Feb 26, 2012

Antara Angin dan Pohon Kokoh Berulir



Malam kelam.
Pendar-pendar lampu  bersinar di kejauhan.
Terasa tak ada yang tersisa.
Cinta menembus kekasat mataan
Melampaui hingar bingar
Melampaui batasan-batasan
Melampaui dimensi waktu
Dan menarilah aku dalam ketakkasatan mata
Tubuhku diam terpekur, tapi jiwaku menari bersamamu.
Melompat dari satu spektrum warna ke spektrum berikutnya


Mengapa melompat?


Karena dalam kebebasan gravitasi aku mencintamu yang tak dipahami oleh orang lain
Bebas tanpa hukum-hukum postulat
Alami, riang dan ringan
Mengada, menggenggam, tanpa apa-apa
Hanya aku, diriku yang ingin bersamamu
Meski hanya dalam lompatan,
Meski hanya sekejap, sejentik, sedetik...
Keberartianmu nyata


Dan aku lebur tak kasat mata
Sebab tak ada yang pernah menghakimi angin
Untuk terlalu mencintai pohon kokoh berulir


Tak akan ada yang pernah tahu
Betapa angin selalu memeluk erat pohon kokoh berulir
Mereka hanya melihat dedaunan pohon sedikit bergerak ke kanan dan kiri.
Dan malam-malam kita bercengkrama dengan bebas
Tak akan pernah bisa mereka pahami
Gambar dipinjam dari sini

Feb 19, 2012

Maret, Indonesia Kirim PRT dengan “Bungkus” Baru

Ilustrasi TKI PRT di Malaysia (dok pribadi)

"Pemerintah telah terjebak pada kenikmatan pengiriman TKI PRT ke luar negeri. Hasilnya, pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan" - Jumhur

Surat kabar Malaysia The Star (8/2/2012) yang mengutip informasi dari Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (PAPA), memberitakan bahwa aliran kedatangan maid atau pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia secara resmi akan dimulai lagi bulan maret 2012.

Keputusan pengiriman diatas merupakan usaha pengiriman resmi pertama semenjak penghapusan moratorium pengiriman PRT oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali pada Desember lalu.

Walau belum ramai yang membicarakan hal ini di Malaysia, agak-agaknya keputusan ini akan menjadi berita baik bagi para calon majikan di Malaysia dan calon pekerja asal Indonesia yang sudah saling ketergantungan.

Indonesia memang dikenal sebagai pemasok utama tenaga kerja PRT di Malaysia, selain negara Filipina dan Kamboja. Namun selama 2 tahun ini, banyak kesempatan PRT Indonesia yang telah diambil alih oleh tenaga kerja asal Kamboja akibat kekosongan PRT resmi asal Indonesia.

Menariknya, walau sempat terjadi kelangkaan PRT resmi atau legal selama dua tahun, permintaan akan tenaga kerja Indonesia di sektor ini tetaplah tinggi. Tingginya permintaan di bidang ini di sebut-sebut disebabkan oleh kesamaan budaya yang memudahkan komunikasi dan adaptasi antara majikan dan pekerja, bahkan adaptasi antara pekerja dan anak majikan.

Beda PRT Dulu dan Sekarang

Ketergantungan yang sudah ada ini tentu memaksa kedua pemerintah untuk memecahkan kebuntuan hal ini.

Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang di kutip Kompas (4/1/2012), Indonesia hanya akan mengirim PRT yang masuk kategori pekerja formal. Artinya pekerja-pekerja PRT yang akan datang Maret ini akan mendapat pengakuan jam kerja, ibur, gaji minimum, perlindungan sosial seperti asuransi dan jaminan keamanan.

Jika hal diatas diterapkan dan di monitor secara serius seperti yang di beritakan (biasanya awalnya aja..) maka PRT Indonesia akan semartabat dengan PRT asal Filipina yang selama ini terkenal didukung dan dilindungi secara penuh oleh pemerintah Filipina melalui Kedutaan Besarnya.

Tentu, tuntutan diatas tidaklah tanpa imbalan. Pihak Malaysia juga mengharapkan PRT Indonesia mempunyai kualitas yang tinggi.

Presiden Asosiasi Pembantu Rumah Tangga Malaysia mengakatakan bahwa PRT yang datang ke Malaysia Maret ini harus lulus dari 200 jam pelatihan di Indonesia.

Permintaan diatas adalah wajar, karena banyak kasus kekerasan terhadap PRT Indonesia disebabkan hal-hal kecil, seperti tidak pahamnya bagaimana menyalakan mesin cuci dan menyalakan lampu.

Akankah Pengiriman PRT dari Negeri Kaya Ini Akan Berhenti?

Melihat situasi yang ada, rasa-rasanya pemerintah Indoensia akan terus mengirimkan TKI PRT ke Malaysia dalam bentuk dan status apapun. Pemerintah sudah terbuai nikmatnya mengirim TKI. Dengan mengirim TKI, tenaga kerja di Indonesia terserap dan tiap bulannya perputaran uang dari negara tujuan juga sangat kencang. Ini kenapa sampai sekarang TKI masih di sebut sebagai pahlawan Devisa. Jadi susah untuk benar-benar lepas dari mengirim tenaga kerja non-professional ke luar negeri.

Menurut kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat yang di kutip Media Indonesia (5/7/2011), sebelum dihentikan, pemerintah mengirim TKI PRT sebanyak 400 ribu per bulan. Sekarang, setelah memoratorium dihapus ada raturan ribu yang sudah menunggu untuk kembali ke Malaysia, seperti yang di kutip Jakarta Post (16/1/2012).

Memberdayakan TKI PRT

Ratusan ribu orang yang sudah menunggu untuk menjadi TKI PRT menunjukan dengan jelas kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja, kegagalan pemerintah memberdayakan manusia Indonesia dan kegagalan pemerintah memberdayakan TKI yang sudah kembali ke tanah air.

Mengirim TKI PRT seharusnya bukan menjadi sebuah hal yang abadi!

Diharapkan peta jalan (road map) pekerja domestik 2017 yang di garap kementrian tenaga kerja dan transmigrasi untuk menghentikan secara total pengiriman TKI PRT mengcakup bagaimana memberdayakan TKI PRT baik yang masih bertugas di luar negeri dan yang sudah kembali tanah air.

Menurut hasil pengamatan penulis terhadap sejumlah TKI yang sedang bertugas di Malaysia, banyak dari mereka mempunyai semangat, impian dan niat belajar yang tinggi. Banyak juga yang berkeinginan membangun Indonesia dengan kemampuan mereka.

Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi diharapkan bekerja sama dengan kementrian-kementerian lain (seperti kementrian pendidikan, keuangan, koperasi dan UKM, pembangunan daerah tertinggal, dll ) untuk memberdayakan para manusia indonesia ini.

Salah satu bentuknya adalah program pelatihan wira usaha, pentingnya menabung dan lain-lain yang serupa. Hal ini penting untuk mempersiapkan para pekerja ini dari sekarang, di negara kerja mereka, untuk siap bertahan hidup dan menjadi mandiri di Tanah Air. Dengan menjadi pengusaha, lapangan kerja diharapkan akan tumbuh dan dapat menyerap pengganguran yang ada.

Namun semua rencana diatas akal gagal jika tidak ada political will dari pemerintah pusat. Contohnya, adanya minat membuat usaha, tanpa dukungan stimulus bank dan daya beli masyarakat, sama saja bohong. Apakah pemerintah benar-benar ingin memberdayakan manusia Indonesia?

Apa lah jadinya nanti, yuk mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang!

Salam,

Felix Kusmanto

Tulisan ini juga di publikasikan di blog pribadi saya http://felixkusmanto.com/

Berjejaring Dengan Tulus

Bisa dibaca juga di http://okki-sutanto.com

gambar dari Goodreads.com

Penulis: Jeffrey Meshel & Douglas Garr
Tahun terbit: 2005
Jumlah halaman: 256
ISBN: 1591840902
Judul: One Phone Call Away: Secrets of a Master Networker

Ini adalah buku yang saya beli dengan penuh kebetulan. Kebetulan pertama adalah bahwa saya sedang ada di luar kota. Kebetulan kedua adalah saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Kebetulan ketiga adalah saya tidak masuk ke toko buku, malah melihat-lihat buku obralan di depan toko buku tersebut. Berbagai kebetulan tersebut membuat saya menemukan buku ini di depan Gramedia Mal Ekalokasari Bogor dengan harga hanya Rp 10.000 saja.

Awalnya saya berpikir bahwa buku ini hanya akan berisi tentang bagaimana pentingnya memiliki koneksi yang baik dan luas untuk mendapatkan peluang dan profit bisnis. Ternyata tidak. Buku ini bahkan hingga derajat tertentu melawan segala komersialisasi & pengejar profit dari kekuatan koneksi. Mengenal banyak orang hanya untuk mencari keuntungan bisnis adalah perjalanan melelahkan dan tanpa henti. Di buku ini, Jeffrey Meshel yang mendapat julukan "orang yang mengenal semua orang" oleh rekan-rekan bisnisnya, mencoba mengubah paradigma tersebut:

Perluaslah koneksi anda, kenallah banyak orang, bukan untuk mendapat keuntungan, tapi agar anda bisa membantu banyak orang. Kenikmatan yang anda dapat ketika bisa membantu orang sungguh tidak bisa dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan bisnis semata.

Hah? Buku tentang bisnis mengapa malah mengajarkan untuk tidak mengejar profit? Hmm.. Tidak sepenuhnya juga sih. Buku ini tidak berusaha menjadikan kita sebagai juruselamat yang wajib membantu semua orang di dunia yang sedang kesusahan. Buku ini membuka paradigma kita bahwa memperluas jaringan perkenalan dengan tujuan tulus akan jauh lebih nikmat daripada hanya mengejar profit.

Semangat Membantu Orang Lain

Jangan bertanya apa keuntungan atau manfaat yang bisa kita dapatkan dari orang lain. Tanyakanlah, "Apa yang bisa saya bantu?"

Melalui beberapa cerita yang semuanya didasari oleh pengalaman penulisnya, buku ini berusaha menjelaskan bahwa ketika kita berusaha membantu orang lain dengan tulus, entah bagaimana caranya suatu kebaikan tersebut akan kembali lagi ke kita. Kebaikan kita akan dibalas entah oleh orang yang pernah kita bantu, entah melalui teman atau keluarga orang yang pernah kita bantu, entah orang lain yang tidak kita kenal sama sekali. Dalam cara yang kadang tidak bisa dijelaskan oleh logika, kebaikan itu akan kembali ke kita seperti karma.

Lagi-lagi, penulisnya juga mengatakan bahwa JANGAN menolong orang dengan berharap kebaikan kita akan dibalas. Kebaikan itu bisa saja dibalas dengan segera, bisa saja berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelahnya, bisa juga tidak sama sekali. Dan yang terakhir biasanya lebih sering terjadi. Hal ini tidak perlu mengecilkan semangat kita dalam membantu orang lain, tetaplah tulus dalam membantu orang. Setidak-tidaknya, rasa nikmat dan kepuasan batin ketika seseorang mengucapkan terima kasih sudah sangat berarti.

Berjejaring Tanpa Batasan Waktu dan Tempat

Di buku ini Jeff juga menceritakan berbagai pengalamannya dalam berkenalan dengan orang-orang baru. Ia meyakinkan pembaca bahwa hal itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, cukup dengan hal-hal sederhana. Dari pesta cocktail, pernikahan kolega, acara amal, reuni sekolah, penerbangan, hingga keanggotaan di sebuah pusat kebugaran adalah waktu dan tempat yang tepat untuk berkenalan dengan orang baru.

Suatu kali, Jeff sedang naik pesawat untuk melakukan perjalanan bisnis, di sampingnya ada seorang wanita karir yang sedang mengerjakan presentasi. Jeff memberikan sedikit masukan pada presentasi wanita karir tersebut. Awalnya, si wanita karir merasa risih dengan perilaku Jeff tersebut. Lama-kelamaan, melihat ketulusan Jeff dan masukannya yang cukup logis, ia pun bisa menerima masukan dari Jeff. Perbincangan pun dimulai. Akhirnya, bertahun-tahun setelahnya mereka malah menjadi sahabat yang sering saling memberi masukan.

Keterkaitan antara Berjejaring, Pemasaran, dan Membangun Citra Personal

Saya cukup setuju dengan salah satu pernyataan Jeff: "A great networker is a great marketer!". Ada berbagai kesamaan yang perlu dimiliki oleh networker ataupun marketer. Sebagai contoh, pentingnya untuk selalu mengedepankan kenyamanan lawan bicara atau rekan bisnis. Hal ini sangat dibutuhkan baik oleh networker maupun marketer. Networker yang baik juga harus bisa membangun citra personal yang sesuai dengan dirinya.

Ada sebuah cerita dimana Jeff mengenal seorang notaris hebat yang selalu tampil urakan dan tidak formal. Jeff sangat menyayangkan bagaimana notaris tersebut menyembunyikan kehebatannya di balik tampilan yang tidak rapih. Akhirnya Jeff memberi masukan pada notaris tersebut. Awalnya notaris tersebut tidak merasa penampilan adalah suatu hal yang penting. Pada suatu ketika, Jeff membelikan satu stel jas pada notaris tersebut, dengan harapan tulus hanya ingin sang notaris mencoba menggunakannya dan melihat perbedaannya. Hasilnya? Tingkat kepercayaan diri sang notaris meningkat, orang-orang jadi jauh lebih respek pada sang notaris, dan jumlah klien pun meningkat dengan signifikan.

Jeff mengakui, banyak orang merasa penampilan bukanlah aspek penting dan seringkali penampilan rapih serta formal bertentangan dengan idealisme orang tersebut. Namun, bagaimana pun dunia memandang kita dengan seperangkat norma tertentu. First impression tidaklah dibangun melalui pertimbangan logis-matematis, melainkan lebih ke instant judgment yang sifatnya afektif dan normatif. Tidak ada salahnya mengikuti bagaimana cara dunia bekerja sampai derajat tertentu, salah satunya melalui penampilan yang sesuai dengan norma yang berlaku.

Manajemen Kontak & Mengembangkan Jaringan

Setelah bercerita bagaimana pentingnya mengenal banyak orang, nikmatnya membantu orang lain, hingga tips praktis berkenalan dengan orang-orang baru, Jeff juga membagikan pengalamannya dalam mengelola database kontak yang kita miliki. Kurang tepat jika kita hanya mengandalkan album kartu nama atau malah hanya mengandalkan ingatan kita. Ada baiknya kita mendokumentasikan dengan sederhana daftar orang-orang yang kita kenal. Cukup dengan membuat kolom nama, nomor telepon, alamat email, lokasi, pekerjaan, dan deskripsi singkat tentang orang tersebut. Banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dengan membuat dan terus memperbarui daftar ini.

Suatu ketika, Jeff ingin melakukan ekspansi bisnis ke Cina. Ia memiliki wawasan, sistem, dan modal yang besar. Namun ia tidak mengenal satu pun pebisnis Cina. Akhirnya ia melakukan pencarian di databasenya, untuk mencari tahu rekan-rekan bisnisnya yang pernah berbisnis dengan pebisnis Cina atau mengenal pejabat Cina yang bisa membantu. Hanya dalam hitungan detik ia berhasil melakukannya. Ia pun langsung menelepon rekan-rekan bisnisnya tersebut untuk dikenalkan ke para pejabat atau pebisnis Cina. Cara tersebut berhasil. Dalam kurun waktu beberapa bulan, perusahaan Jeff memiliki cabang di Cina.

Jeff juga membagikan tips praktis bagi para pebisnis, manajer, dan direksi perusahaan terkait bagaimana mengembangkan jaringan. Salah satu cara yang lazim dipakai di Amerika adalah menggunakan pertemuan kelompok semacam Metropolitan Business Network. Kelompok ini tidak terlalu sering berkegiatan, dalam sebulan cukup sekali. Namun, kelompok ini mempertemukan direksi ataupun CEO dari berbagai perusahaan untuk membicarakan kolaborasi yang mungkin dilakukan di antara mereka. Hasil dari pertemuan-pertemuan semacam ini bisa jadi tidak terduga. Mulai dari membuat acara amal bersama, mengawali perjanjian bisnis bernilai jutaan dolar, hingga kerjasama memulai usaha baru bisa terjadi dari pertemuan-pertemuan kelompok semacam ini.

Sekali lagi Jeff menekankan pentingnya untuk terus mengevaluasi dan mengoptimalkan database yang dimiliki bahkan oleh kelompok semacam ini. Ada baiknya database dikelola secara profesional dan ada administrator 24 jam yang siap memberikan informasi dari database ini. Sebagai contoh, suatu ketika ibu dari seorang CEO perusahaan mengalami stroke hebat. Ia menghubungi administrator database untuk mencari dokter stroke terhebat yang dimiliki database. Administrator lantas mengirimkan pesan singkat ke SELURUH dokter / kepala rumah sakit yang ada di dalam database mengabarkan hal ini. Dalam hitungan menit, beberapa kepala rumah sakit memberikan respon, mereka siap memberikan perawatan terbaik di rumah sakit mereka. Administrator lantas mengabarkan kembali sang CEO. Hasilnya, ibu CEO tersebut terselamatkan dan mendapatkan pelayanan luar biasa. Semua berkat manajemen yang baik akan sebuah database.

Tantangan Aplikasi di Indonesia

Sedikit banyak, saya telah menjalankan apa yang dilakukan oleh Jeff selama saya berkarir di dunia organisasi kemahasiswaan. Saya setuju, penting sekali mengenal dan menjalin hubungan yang baik dengan banyak orang. Di kampus misalnya, saya seringkali mendapatkan banyak kemudahan karena memang mengenal orang-orang yang memiliki posisi kunci mulai dari petugas keamanan, petugas kebersihan, pejabat biro, pemimpin fakultas maupun universitas.

Hal yang saya utarakan di atas bukan dalam konteks nepotisme ya! Saya tetap melakukan prosedur yang sama dengan mahasiswa lainnya, hanya saja sering diprioritaskan karena keramahan mereka juga saya balas dengan keramahan. Makanya saya agak bingung ketika pengurus organisasi tertentu merasa dipersulit oleh Biro Kemahasiswaan misalnya, padahal itu karena mereka sendiri tidak berusaha mengikuti gaya kerja para petugas di Biro Kemahasiswaan. Kadang proposal dan laporan pertanggungjawaban saya ditolak, namun saya tetap menjalin hubungan yang baik dengan para petugas di biro tersebut.

Berurusan dengan salah seorang petugas sekretariat fakultas yang kerap kali disegani mayoritas mahasiswa juga saya bisa santai dan tidak pernah merasa disulitkan. Kuncinya adalah tetap ramah dan berusaha menempatkan diri di posisi orang lain. Ketika petugas sekretariat sedang sibuk dan repot, saya tidak akan memaksakan permintaan saya untuk dituruti. Saya bisa menunggu kesibukan mereka sedikit reda atau membuat janji untuk datang kembali keesokan harinya. Menurut saya wajar sekali petugas sekretariat tersebut menjadi kesal dan tidak ramah terhadap banyak mahasiswa, wong mahasiswanya saja sering "maksa" dan tidak tahu sopan santun. Kalau saya jadi petugas sekretariat tersebut, mungkin sudah saya stapler lidahnya. hehe..

Kembali ke aplikasi buku ini, saya rasa ada tantangan yang membuat aplikasinya di Indonesia menjadi agak sulit. Yang terutama adalah kebiasaan untuk selalu berhati-hati dan curiga pada orang lain, khususnya yang sedang menawarkan bantuan / berbuat baik. Entah kenapa, sebagian dari kita selalu berpikir bahwa semua orang pasti memiliki maksud tersembunyi di balik kebaikan. Tidak ada orang yang tulus. Hal ini pada akhirnya membuat orang kesulitan berbuat baik.

Saya pernah menanyakan pada seorang teman, apa visinya lima tahun dari sekarang, sehingga saya mungkin bisa membantunya mencapai visi tersebut. Ternyata responnya cukup negatif, dimana ia menyuruh saya melihat saja lima tahun dari sekarang ia bisa menjadi apa. Saya mendapat kesan teman saya tersebut takut mimpinya dicontek atau diolok-olok oleh saya. Padahal, saya benar-benar ingin membantu loh! Saya yakin bisa mendayagunakan sumber daya dan kompetensi yang saya miliki untuk membantu teman saya itu, karena saya tahu ia cukup visioner dan mimpinya agak berat jika dijalankan sendirian.

Di lain kesempatan, saya bertanya kepada seorang teman yang mempunyai bisnis kuliner, dimana ia biasanya membeli daging ayam (kebetulan bisnis keluarga saya adalah daging ayam). Dengan terburu-buru ia mengatakan "Oh kita udah punya langganan tetap kok untuk daging ayam". Teman saya tersebut seakan memunculkan kesan tidak ingin saya jadikan target pemasaran dan pengerukan untung dari bisnis keluarga saya. Padahal, saya bisa memberikan berbagai kemudahan pembayaran dan harga yang bisa membantu bisnisnya, justru karena ia adalah teman saya. Sekalipun tidak menjadi mitra bisnis, saya juga tetap ingin melakukan riset pasar tentang apa yang diharapkan oleh restoran dari pedagang daging ayam. Yah, akhirnya saya tidak jadi melakukan hal itu karena sudah terlanjur mendapatkan penolakan.

Begitulah kurang lebih tantangan terbesar aplikasi buku ini di Indonesia. Meski demikian, saya tetap merasa buku ini tepat dibaca oleh siapa pun khususnya para anak muda yang masih belum terpapar akan pentingnya memiliki koneksi yang luas. Jika mereka sudah menyadari hal ini sedari sekarang, saya yakin mereka akan mendapatkan satu keunggulan yang bisa mereka gunakan dalam hidup mereka, entah sebagai pekerja kantoran ataupun wirausahawan. Bagi saya, apa yang diberikan buku ini jauh lebih bermanfaat dibanding ratusan buku motivasi yang meyakinkan pembacanya bahwa kesuksesan hanya ditentukan oleh diri sendiri saja. Sejalan dengan hampir seluruh kisah orang hebat dan besar di dunia, buku ini justru memberi penekanan pada pentingnya mengenal banyak orang. Ya, kesuksesan (baik dalam karir atau kehidupan), tidak semata ditentukan oleh diri sendiri. Kolaborasi, bagaimana pun, jauh lebih penting! 



Jakarta, 19 Februari 2012
Okki Sutanto
http://okki-sutanto.com

Feb 15, 2012

Tuhan Memang Satu, (lagi-lagi) Kita yang...

“Tuhan memang satu, kita yang tak sama...”

Sekali lagi lagu ini terngiang di kepala saya. Kali ini saya tidak sedang berdiskusi atau mengobrol dengan klien. Tidak juga sedang sekedar berbincang dengan teman. Sebaliknya, saya sedang duduk di kamar saya, sendiri.

Sekali lagi pula lagu ini mengingatkan saya akan isu kepercayaan kepada Tuhan, seperti tulisan saya sebelumnya. Dengan Tuhan yang dipercayai ada, masih banyak masalah yang membuat manusia tidak bisa bersama. Hanya karena cara mencapai Tuhan yang berbeda.

Bukan, bukan agama yang saya maksudkan. Cara mencapai Tuhan tidak harus dengan agama. Bahkan agama yang sama saja seringkali menempatkan dua orang manusia di jalan yang berbeda. Oleh karena itu, di sini saya melihat cara orang mencapai Tuhannya, bukan agamanya.

Saya pernah mengalami sendiri berhubungan dengan orang yang berbeda agama. Kami sama-sama percaya Tuhan itu ada, namun dengan cara mencapai Tuhan yang berbeda. Dengan pegangan dan jalan yang berbeda menuju Tuhan, banyak hal yang terpengaruh dan semakin menunjukkan bahwa kami tidak sejalan.

Saya juga pernah mengalami sendiri berhubungan dengan orang yang memiliki agama yang sama dengan saya. Namun agama yang sama pun tidak berarti memiliki jalan yang sama untuk mencapai Tuhan. Saya berjalan di koridor yang santai, perlahan, dan cenderung konservatif. Sedangkan ia berjalan di koridor yang lebih menggebu, lebih berenergi, lebih modern. Tidak, saya bukan mengatakan salah satu dari koridor itu lebih baik dari koridor yang satu. Banyak jalan menuju Roma, bukan? Namun tetap saja, kami berjalan di koridor yang berbeda, dan tidak ada yang mau mengikuti yang lain, untuk berjalan bersama.

Kemudian saya teringat perkataan seorang teman. Kami pernah membahas penting tidaknya mencari pasangan hidup yang seagama. Argumen saya, pasangan hidup haruslah seagama, karena jika tidak, banyak hal yang akan menjadi hambatan. Salah satu contohnya adalah pernikahan, apalagi di negara ini.

Namun argumen teman tersebut juga membuat saya kembali berpikir. Pertanyaan dan perkataannya menyentil saya. Lalu kenapa kalau tidak seagama? Memangnya dalam mencari pasangan hidup, kamu mencari cinta atau agama? Kamu mencari pasangan yang dapat mengerti kamu dan mau berkembang bersama kamu, atau mencari orang yang berjalan bersama di koridor untuk mencapai Tuhan? Karena agama adalah masalah personal. Antara diri kita pribadi dengan Tuhan.

Lalu saya hanya diam, tidak bisa menjawab. Saya tersenyum kecil, dan tetap tidak bisa menjawab. Hingga saat ini. Atau mungkinkah memang pertanyaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dijawab? Kembali, saya tersenyum.

Feb 5, 2012

Kultur Bicara dan Para Pendiam

Saya sadar saya bukan orang yang paling outgoing. Justru sebaliknya, saya hampir-hampir hermitic, kerap menolak dengan sopan ajakan teman untuk keluar rumah, untuk entah kumpul-kumpul, pesta dan lainnya. Saya juga bukan orang yang paling banyak bicara, sebaliknya saya bisa jadi orang yang paling diam di ruangan penuh manusia. Mungkin banyak yang akan bertanya: lho, kalau keluar rumah saja jarang, bicara saja jarang, lalu bagaimana dengan kesempatan saya melihat dunia luar, networking dengan teman baru, mencari pengalaman lain? Eits, tentu saya melakukan itu semua, hanya saja bukan dengan cara yang konvensional ("Halo! Saya Gilang, senang bertemu dengan anda!")

Tertutup? Pemalu? Menarik diri? (atau yang lebih parah) Egois? Sombong? Wah, tidak terhitung banyaknya label yang diberikan social circle kepada saya, tapi satu label yang paling bisa saya terima adalah introvert. Percayalah, saya bukan alien dari planet lain, hanya introvert (walau memang ekstrem, Introversion saya selalu di batas tertinggi kalau dites berbagai self-report, dari Big Five, 16PF, MBTI ataupun Keirsey Temperament Sorter. Selalu mentok. Pas. Maksimal.)

Seperti yang diutarakan di atas, sejak kecil introversi saya dianggap agak 'aneh', saya pun diberi label macam-macam. Padahal, saya sendiri melihat wajar-wajar saja: social skills saya tidak rusak, interaksi saya normal, tidak agoraphobia, bukan juga antisosial yang diam-diam menyimpan dendam pada masyarakat (lalu membunuhi mereka, seperti kasus penembakan di Columbine atau kampus Virginia Tech, eh kok jadi serem), dan yang terpenting: PASTI bukan saya sendiri yang memiliki preferensi untuk menyenangi kesunyian dan waktu untuk berdiam diri. Bias kepada kami para introvert, mungkin sedikit banyak terjadi karena masalah kultur. Kultur kita adalah kultur bicara, kultur 'makan-tidak-makan-asal-kumpul', kultur nongkrong, kultur arisan. Masyarakat kita menjunjung tinggi kolektivitas, bukan individualitas. Dari sini kemudian muncul bias terhadap mereka yang punya preferensi lain. Nah, kalau judulnya saja sudah kultur, berarti tidak bisa dilawan dan sedikit banyak harus dihormati. Saya sendiri sesekali mengalah dan meninggalkan preferensi pribadi demi terjaganya hubungan interpersonal atas nama tradisi dan kultur: menghadiri pesta, nongkrong bareng, ikut arisan, reunian dan segala macam social events lain. Walau kalau disuruh memilih, saya lebih senang keep-in-touch dengan teman/keluarga lewat cara yang lebih personal, lebih tenang dan tidak kolosal nan epik seperti kumpul-kumpul itu.

Bagian yang paling membebani dari menjadi seorang introvert mungkin ini: diam dan tenang kami kemudian diasumsi bermacam-macam oleh orang lain yang tidak mengerti. Diam kami lalu diisi dengan judgment beragam, “dia marah ya? Dia bete ya?“ Tidak. Hanya diam mencari sedikit kesunyian. Masa iya tidak boleh? Dunia itu berisik. Saya percaya kata-kata ini, kalau menurut buku Quiet karya Susan Cain, ekstrovert mendominasi 2/3 penduduk dunia (ataupun kalau bukan individunya, ya pembicaraan mereka), jadilah kebanyakan dari perspektif dan cara pandang yang berseliweran di dunia itu dari para ekstrovert. Standar sosial di kultur kita juga biasanya adalah standar ekstrovert. Standar seperti, kesopanan, misalnya: saya ingat selalu disuruh keluar kamar untuk menyapa dan berbasa-basi ke setiap tamu yang datang ke rumah oleh orangtua saya. Atas nama kesopanan. Sekalipun si tamu tidak ada kepentingan, bahkan kenal juga mungkin tidak dengan saya. Nah, ini bagian sulitnya, ketika preferensi pribadi mesti dibenturkan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur. Dan kultur kita (serta kultur timur pada umumnya) punya luar biasa banyak detail soal interaksi sosial. Segalanya diatur, dan kita diekspektasi untuk mengikuti standar tersebut (apalagi saya tumbuh di kultur Jawa yang kental, yang segalanya mesti 'orang lain dulu, diri sendiri belakangan'). Padahal tidak bisa disamaratakan semua orang punya ruang gerak pribadi yang terbuka: yang setiap saat, setiap waktu harus mau dimasuki orang lain. Beberapa ada yang personal space-nya lebih terjaga, yang mesti dengan persiapan jika bertemu orang: tidak bisa spontan, tapi apa boleh buat.


Jadilah para introvert memang mesti dengan lapang dada mengikuti aturan-aturan sosial itu, terlebih di kultur yang tukang ngumpul ini, yang segalanya gotong royong, bahu-membahu, dan atas nama solidaritas ini. Sedikit annoying memang, tapi mau apalagi, toh by default, manusia itu makhluk sosial. Maaf kalau sedikit naif dan simplistik, tapi lagi-lagi penyesuaian diri memang penting. Banyak orang menganggap remeh yang namanya personal space dan energi interaksi, padahal ini penting. Kalau memang bisa, beri sedikit aturan pada hidup pribadi, ini lebih baik daripada mesti tiap hari berpura-pura, pasang senyum palsu, bicara basa-basi, padahal dalam hati dan kepala, "capek banget nih." Saya sering membuat kesepakatan dengan teman-teman mengenai 'jadwal-tidak-mau-diganggu' saya. Di waktu-waktu tersebut, saya tidak mau menerima telepon, email, atau bentuk komunikasi apapun. Saya rasa pembatasan saya itu masih cukup wajar (untuk konteks Indonesia, yang terlalu individual sedikit saja biasanya dibilang egois.) Tapi kalau sampai berlebihan, ekstrem menutup diri juga agak mengganggu sih, terlalu reclusive. Rasanya kok seperti berteman dengan Batman, misterius banget.

Tulisan ini bukan justifikasi perilaku saya (lagian juga apa yang mau dijustifikasi, jadi introvert kan bukan kriminal). Introvert-ekstrovert ini sebenarnya teori super jadul, tapi agak lucu hingga sekarang beberapa orang masih belum mengerti kontinuum sederhana ini (iya, bahkan mereka yang kuliah psikologi), entah memang tidak tahu, memilih untuk taken-for-granted, atau apalah yang jelas saya tergelitik, karena jarang yang membicarakan ini dalam konteks budaya Indonesia. Yang lebih mengagung-agungkan mereka yang ceplas-ceplos, serba terbuka dan banyak bicara, mereka ini lalu diasosiasikan dengan hal-hal positif: menyenangkan, ramah, ceria. Sedangkan kita yang lebih tenang diasosiasikan lebih 'buruk': terlalu serius, cemberut, bahkan ya itu tadi, egois atau sombong. Kalau kami para introvert bisa mengerti aturan dan kultur yang serba ekstrovert ini, inginnya sih kami dimengerti balik.


Anggap saja tulisan ini menyuarakan suara para introvert lain yang mungkin enggan angkat bicara. Jangan khawatir, kami tidak selamanya diam: teman-teman introvert saya banyak yang luar biasa dalam public speaking dan performance kok, bahkan yang cerewet di keseharian pun ada. Dan kalaupun kami tidak bicara secara kasat mata di depan orang banyak: banyak introvert yang memilih mengkompensasi itu lewat cara lain. Menulis, komposisi lagu, melukis, atau menikmati hal individual lain-lain, yang jelas ujungnya kan bicara, dan itu tidak mesti lewat mulut.




*Introversi itu beragam bentuknya, bahkan masih jadi perdebatan sampai sekarang. Kalau diatas saya bicara soal personal space dan energi dalam berinteraksi, itu cuma salah dua model introversi yang paling dikenal. Banyak buku dan artikel berseliweran mengenai kontinuum ekstrovert-introvert. Walau saya sih belum menemukan yang menyangkutkan ini dengan konteks budaya kita.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...