Jan 10, 2013

Saya dan Perbedaan


Sejak tahun 2010, semakin banyak bermunculan film-film Indonesia yang mengangkat hubungan percintaan antar lawan jenis dari suku dan/atau agama yang berbeda. Secara fundamental, perbedaan agama dalam hubungan percintaan dianggap lebih krusial dan menjadi isu di dalam kehidupan masyarakat. Jika diperhatikan, setting yang dibangun di cerita sebagian besar berada di tahap forming atau pembentukan. Ketika dua insan dari latar belakang berbeda saling bertemu dan jatuh cinta lalu ingin menikah tapi tidak disetujui oleh keluarga karena perbedaan tersebut.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama bukanlah baru terjadi di tahun-tahun terakhir ini. Situasi seperti ini sudah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun sejak agama-agama “impor” masuk ke bumi pertiwi. Lalu bagaimana menjalani hidup di dalam keluarga, kelompok dan masyarakat dalam perbedaan yang sudah terberi (given) seperti ini?

Saya adalah orang yang terlahir dalam situasi terberi (given) berada dalam perbedaan. Hubungan antar berbagai keluarga inti di keluarga besar merupakan interaksi antar keluarga yang berbeda agama. Keluarga saya menganut agama Katolik, keluarga tante saya beragama Kristen Protestan, keluarga tante saya yang lain beragama Islam, dan ada keluarga om-tante saya beragama Buddha.

Saya tidak lahir dalam kondisi baru akan membentuk keluarga. Ketika saya lahir, kondisi-kondisi berbeda seperti ini sudah ada dan terberi. Saya belajar hidup dan bertumbuh dalam perbedaan-perbedaan ini. Saya hidup dalam keberagaman sedari saya mulai berjalan dan mengucap kata pertama.

Saat ini saya memang tidak terlalu sering bertatap muka, bertemu dan berkumpul dengan keluarga besar saya. Kami berkumpul hanya pada waktu-waktu tertentu, entah ada saudara yang menikah, meninggal, atau hari besar agama. Tapi dari pengalaman masa kecil yang teringat di saat ini saya mengingat memiliki pengalaman-pengalaman berinteraksi bersama mereka yang menyenangkan.

Pengalaman duduk, mengobrol, makan dan tertawa bersama. Interaksi normal antar manusia.

Manusia yang sama-sama punya mata, telinga, mulut, tangan dan kulit yang melapisi tubuh. Sama-sama berselera untuk menikmati makanan dan duduk bersantai.

Lebih dari itu, ada ikatan dan perasaan sebagai satu keluarga yang menyatukan. Kami berbeda tapi kami menyadari kami punya leluhur, nenek moyang yang sama. Kami mengasihi dan menghormati kakek-nenek, emak-akong, eyang putri-eyang kakung yang sama sehingga membuat kami juga mampu mengasihi dan menghormati satu sama lain.

Dari pengalaman ini saya belajar, ikatan keluarga melampaui perbedaan agama.
Hal serupa saya temui ketika mengunjungi komunitas Kampung Sawah. Ada yang tau komunitas Kampung Sawah?

Di komunitas ini masih tersisa orang-orang Betawi yang tinggal bersama dalam populasi sejumlah 20.000 orang berdasarkan penuturan tokoh masyarakat setempat. Orang-orang Betawi di sini ada yang menganut agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Di lingkungan Kampung Sawah sendiri, berbagai gereja dan masjid didirikan berdekatan bahkan bersebelahan. Saat ini, komunitas gereja yang ada di Kampung Sawah pun kian beragam. Mulai dari Gereja Pasundan, Gereja Kristen Jawa, Gereja HKBP dan beberapa gereja lainnya.

Mereka terbiasa saling meminjamkan ruangan dan membantu jika ada acara keagamaan dari salah satu agama. Pernikahan antar agama maupun berbeda-beda agama di satu keluarga bagi mereka adalah hal yang biasa.

“Jadi dari satu nenek saya, yang anak pertama masuk Islam, yang anak kedua, bapak saya masuk Kristen. Saya sendiri Kristen dan ikut gereja Pasundan”, demikian penuturan seorang bapak tokoh masyarakat di Kampung Sawah berusia 60-an tahun.

Saya lumayan kaget mendengar penuturan bapak ini. Sebab ia menggunakan pakaian khas Betawi: peci, baju koko dan sarung. Atribut pakaian yang saya identikkan dengan agama Islam. Di kemudian hari ketika mengobrol dengan Mas Danny Yatim, baru saya ketahui kalau peci itu sebenarnya tradisi di Indonesia yang dahulu berlaku universal *lihat saja foto-foto generasi muda Indonesia tahun 1920-1970-an. Sementara saat ini peci sudah bergeser seolah-olah hanya yang beragama Islam yang memakai peci.

Bapak ini juga menceritakan orang-orang di Kampung Sawah terlibat dalam perseteruan, misalnya pada saat berkendara di jalan mereka menjadi mudah akur karena menyadari kalau mereka masih bersaudara, nenek moyangnya masih sama. Kesadaran ini membuat mereka cepat meredam pertikaian di antara mereka.
Sejuk sekali hati rasanya mendengar penuturan bapak ini. Percakapan di jalan kecil yang rindang pepohonan di Kampung Sawah kala menjadi pendamping kelompok dan penerjemah untuk pemuka agama dari World Church Organization (WCO), sebuah organisasi oikumene antar berbagai denominasi gereja.

Berbeda bukan hal yang tabu.

Berbeda adalah keindahan.

Berbeda adalah keberagaman yang diizinkan-Nya terjadi. Sebagaimana Ia menciptakan keberagaman flora dan fauna di darat, laut dan air.

Jika Ia, Sang Pencipta Kehidupan saja mencipta dunia dan isinya dalam keberagaman. Siapakah kita, manusia ciptaan-Nya yang berani menistakan keberagaman?

Kalau sedari saya hidup dan membuka mata, saya sudah hidup di tengah keberagaman masak saya harus meniadakan kehidupan saya sendiri demi “keseragaman”?

Di akhir berbagai pertanyaan, pergumulan dan keprihatinan saya terhadap situasi di Indonesia akhir-akhir ini, salah satu cuplikan adegan di film Tarzan yang saya tonton saat kelas 5 SD selalu muncul.

Adegan ketika Tarzan bertanya kepada ibu gorilla, mengapa Kala, sang Ayah gorilla dan kelompoknya membenci dirinya, apakah karena dirinya berbeda?

Lalu ibu gorilla menjawab, “Lihat…apakah yang berbeda dari kita? Rentangkan jari tanganmu, lihatkan jari tangan kita sama meskipun aku lebih berbulu. Kita juga punya dua mata yang sama. Lalu…rasakan degup jantung di dadaku. Bukankah degup jantungku sama dengan degup jantungmu, Nak?”

Di momen itu, Tarzan menyadari persamaan dirinya dengan ibu Gorilla serta bagaimana Ibu Gorilla mengasihi dan menerima dia.

Di momen itu saya menonton, saya menangis tersedu-sedu .

We’re not that difference, dear human.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...