Apa yang terbersit di kepala kita ketika mendengar kata “Cilincing”?
Mungkin yang terbayang adalah suatu sudut kota Jakarta yang kumuh. Enggan untuk
dilihat apalagi didatangi. Dekat dengan pelabuhan dan pabrik-pabrik besar,
Cilincing merupakan bagian kota Jakarta yang menunjukkan kekhasannya sebagai daerah industri kaum pekerja.
Sepanjang jalan tol menuju Cilincing, kita akan melihat
deretan pabrik dan mesin-mesin alat berat di kiri kanan jalan. Sementara di
jalanan, sering sekali kita berpapasan dengan truk-truk kontainer besar. Minder
rasanya menaiki mobil kijang yang diapit oleh truk-truk kontainer besar.
Pernahkah terbayang kehidupan seperti apa yang dapat kita
temukan di Cilincing?
Daerah Cilincing sendiri merupakan daerah yang luas. Ada
daerah pemukiman layak, setengah layak sampai tidak layak sama sekali untuk
disebut tempat tinggal. Kalau kita meng-googling “Cilincing” maka yang muncul
adalah berita kriminal, narkoba, nelayan, perjudian dan berita-berita lainnya
yang negatif.
Seeing is Believing
Idiom ini pertama kali muncul pada tahun 1639. Idiom ini
muncul dari cerita Santo Thomas yang tidak percaya bahwa Yesus yang disalib
telah bangkit. Maka dia berkata kalau ia baru akan percaya bahwa Yesus bangkit
jika ia dapat mencucukkan jari pada lubang di tangan Yesus karena disalib.
Ini juga bisa berlaku untuk kita. Kita baru mempercayai
sesuatu jika melihat hal tersebut secara langsung.
Sebaliknya kita juga perlu
peka dan kritis mempercayai yang disajikan atau disuguhkan dalam kehidupan kita
sehari-hari dalam bentuk pengetahuan yang ada di keluarga, masyarakat, dan
media massa. Sebab siapa tahu keyakinan kita akan suatu hal diarahkan melalui
apa yang dengan sengaja disuguhkan di depan mata kita.
Kembali ke soal Cilincing. Di Minggu pagi saat menyusuri
gang-gang kecil di Cilincing, saya melihat dinamika kehidupan masyarakat yang
memperlihatkan sendi dan denyut-denyut kehidupan sosial manusia masih ada dan
hidup.
Berbelok ke gang di sebelah kiri, terlihat tiga ibu
berpakaian gamis dan jilbab serasi warna merah dan kuning gading. Lengkap
dengan riasan wajah sedang memegang alat music. Saya duga mereka akan qasidahan
di suatu hajatan.
Menyusuri gang, lalu berbelok ke sebelah kanan terlihat
jalanan gang ditutup oleh kursi kayu panjang. Di jalan tersebut sekitar lima
belas ibu-ibu sedang melakukan senam aerobik dipandu oleh instruktur laki-laki.
House music diputar untuk mengiringi gerakan mereka. Riuh sekali suasananya. Di
sekitarnya, ada beberapa anak kecil yang menonton para ibu berlatih senam. Ada
juga ibu yang menggendong bayi lalu ikut berjoget mengikuti irama house music.
Tak berapa lama, sambil mencari jalan keluar dari gang
sempit ini terdengar suara pengumuman dari masjid. Tersiar berita duka cita atas
meninggalnya seorang nenek dari pengeras suara masjid. Pengurus masjid juga
memberitahukan kapan jenazah akan di-sholatkan dan dibawa ke pemakaman.
Di setiap sudut atau pengkolan gang, dengan mudah ditemui
warung. Warung yang bukan hanya berfungsi sebagai penyedia kebutuhan
sehari-hari tapi juga menjadi tempat nongkrong. Anak muda nongkrong dengan sesama
anak muda, bapak-bapak nongkrong dengan sesama bapak-bapak. Begitu juga dengan
para ibu.
Tak lama kemudian, dari pengeras masjid lainnya terdengar
suara himbauan untuk melakukan kerja bakti bersama.
Saya tercenung.
Saya yang tinggal di kompleks perumahan tidak pernah
menyaksikan dinamika kehidupan bermasyarakat seperti ini di lingkungan tempat
tinggal saya. Paling hanya ada rapat RT. Itupun yang hadir biasanya hanya
sepertiga dari warga kompleks.
Saat saya lari pagi atau sore keliling kompleks, saya
menyadari bahwa yang menikmati jalanan kompleks yang enak hanyalah para baby
sitter dengan anak majikannya yang didorong di kereta bayi dan sepeda, atau
para anjing peliharaan majikan yang dibawa berkeliling oleh pembantu rumah
tangga.
Sementara pemilik rumah yang tinggal di kompleks hanya
berseliweran dengan mobil. Pergi pagi, pulang
malam dan langsung masuk ke
garasi rumah.
Sepuluh tahun lalu, saya masih kenal tetangga saya. Setiap sore
saya bermain dengan tetangga seumuran. Naik sepeda keliling kompleks atau
bermain di rumah.
Salah satu keberfungsian manusia yang sehat dilihat dari
kualitas interaksi dan relasi sosialnya.
Di tempat yang sering dikonotasikan orang sebagai tempat
yang kumuh, kriminal dan tidak layak tinggal saya menyaksikan kemanusiaan
manusia yang terfasilitasi melalui ruang publik yang terbatas.
Saya melihat orang-orang bisa mengobrol dengan akrab di luar
rumah, tak hanya mengurung diri di dalam rumah beton.
Saya melihat orang-orang yang bisa terlihat rileks dan
tersenyum saat bertegur sapa dengan sesamanya. Bukan hanya tersenyum ke layar
tablet atau komputer ketika ada orang nun jauh di sana menge-like status
Facebook saya. *eaaa*
Minggu pagi itu di Cilincing saya diizinkan-Nya melihat
kemanusiaan manusia pada suatu kelompok masyarakat yang sering kita nihilkan
keberadaannya.
Sesungguhnya siapa yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai
yang paling ‘beradab’?-Maria Hartiningsih, jurnalis senior Kompas di bidang HAM
dan kemanusiaan (2013).
Sekali lagi, pengalaman dan perjalanan hidup menyadarkan
saya akan keberagaman. Menyadarkan betapa paradigma berpikir kita sendiri yang
seringkali membuat kotak sempit sehingga kita sulit melihat kekayaan dan
keberagaman warna hidup di depan kita.
Termasuk membatasi bahkan menghambat kita untuk menyadari
sentuhan dan suara-Nya di keseharian hidup kita.
Seeing is
believing-St. Thomas.