Habibi
Craig Thompson
Pantheon Books, 2011Setting timur tengah kerap kali dianggap sesuatu yang eksotis, misterius dan penuh potensial narasi oleh para penulis dan pembaca. Maka tak heran, buku-buku 'timur' seperti
The Kite Runner karya Khaled Hosseini sangat laris di luar sana. Penulis timur yang mengangkat setting dari dunianya sendiri memang sangat jamak dan lumrah: Salman Rushdie mengangkat setting India dalam
Midnight's Children karena memang ia lahir dan besar di sana sebelum bermigrasi ke Inggris, begitu pula Aravind Adiga dengan
White Tiger atau Jhumpa Lahiri dalam
The Namesake, bahkan dalam bentuk narasi bergambar pun pernah dilakukan Marjane Satrapi yang mengangkat tanah airnya, Iran, dalam
Persepolis. Dalam
Habibi kita disuguhkan timur tengah menurut seorang barat. Craig Thompson, sang pengarang sendiri, lahir dan besar di Amerika. Lalu apakah Habibi jatuh ke dalam 'timur tengah fantasi' karena pengarangnya tidak pernah mengenal dunia itu? Bukunya sendiri sudah menjawab:
tidak. Keunggulan
Habibi adalah buku ini memang membawa tema timur tengah dalam visualnya, namun narasi utama cerita tetap universal: hal yang bisa terjadi di mana saja, merdeka secara kontekstual tapi tetap relevan dengan pembaca. Inilah yang tidak bisa dilakukan buku-buku teks non ilustrasi, tapi bisa dilakukan
Habibi: penggambaran visual yang kuat tanpa harus memaksa pembaca mengerutkan dahi dan membalik puluhan halaman hanya untuk mencari tahu "
dimana setting cerita ini?"
(halaman 101)
Walau dituturkan melalui panel bergambar dan balon kata-kata,
Habibi karya Craig Thompson menolak untuk dikategorikan sebagai sebuah buku komik. Dalam hampir 700 halaman, Craig Thompson seakan ingin menegaskan ini adalah karya serius, buah tangan selama 7 tahun pengerjaan (dimulai dari 2004, kisah dibalik pembuatan, penundaan terbit hingga rilisnya buku ini bisa dibaca di blog pribadi sang penulis,
dootdootgarden).
Habibi, secara esensi adalah kisah cinta, namun bukan cinta romantis antara dua orang semata,
Habibi adalah cerita tentang cinta pada hidup itu sendiri, lebih spesifik, cinta pada cerita kehidupan. (dalam lafal Arab, kata
habibi bisa diterjemahkan sebagai '
yang tercinta'). Kegigihan Craig untuk membuat setting timur tengah menjadi hidup patut diakui: ia belajar menggambar corak timur tengah yang kompleks dengan kalkulasi dan akurasi geometri, ia pun belajar kaligrafi dan bahasa Arab untuk menemani narasi agar tidak terkesan tertempel belaka, ia juga menelusuri manuskrip kuno dan literatur sejarah mengenai kebudayaan timur, mulai dari keempat Injil hingga Riyadhus Shalihin, dari 1,001 Malam hingga
Bhagavad Gita, agar narasi dalam buku semakin lengkap. Perhatian pada detil inilah yang membuat Habibi pantas ditelusuri dari halaman ke halaman, tidak hanya sekali namun lagi dan lagi.
Lahir dari tangan seorang Barat tidak berarti membuat
Habibi menjadi simplistik dalam penuturannya tentang dunia timur. Selama ini yang kita kenal, timur tengah di tangan barat selalu menjadi eksploitasi fantasi dan mistik (ambil contoh,
Alladin dalam kartun Disney atau
Prince of Persia karya Jordan Mechner). Dalam Habibi, beberapa stereotipe tentang timur masih bisa ditemukan disana-sini, namun Craig Thompson berhasil membalikkannya dari sekedar klise dan repetisi menjadi sesuatu yang faktual dan nyata. Unsur mistisisme, misalnya, tergantikan oleh simbol-simbol agama yang konkrit dan relevan secara kultur. Tidak ada jin dalam lampu wasiat, tidak ada karpet terbang dan jam pasir ajaib. Tergantikan oleh cerita penemuan unsur kimia oleh Abu Musa Jabir bin Hayyan, atau petikan kitab Ayub. Walau begitu, tetap terasa ada hiperbola yang mengganggu, beberapa unsur terasa berlebihan seperti kekerasan dan sensualitas. Meskipun minor, namun sentralisasi Craig dalam tema sensualitas dan erotisme terasa berlebihan. Memang benar hukum pancung, rajam dan siksaan mengerikan lain bisa kini hanya dapat ditemui di timur tengah, namun tidak berarti hal itu harus diumbar di setiap halaman. Benar pula bahwa teks erotis dan sensual semacam
Kama Sutra berasal dari timur, namun bukan berarti kebudayaan timur mengagungkan seks di tiap sudut kehidupan. Terlepas dari kekurangan minor tersebut,
Habibi adalah sebuah pencapaian yang luar biasa untuk media narasi bergambar.
(halaman 300)
Secara cerita,
Habibi pun tidak kalah menarik, bahkan inilah daya tarik utama buku ini.
Habibi, mula-mula dibuka dengan perintah pertama Jibril kepada Muhammad, "
iqra." ('baca'), dan terus menggema sepanjang buku, membuat kita terus ingin membaca buku ini hingga konklusi akhir. Ceritanya sendiri mengetengahkan dua orang protagonis utama: Dodola dan Zam, yang satu adalah seorang gadis yang dinikahkan sejak usia 9 tahun, yang lain adalah budak kulit hitam yang dijual layaknya binatang. Kedua tokoh ini kemudian bertemu, kabur dan tinggal bersama di gurun yang sunyi. Dodola yang lebih tua (saat itu berusia 12 tahun) kemudian menemukan tujuan dan makna hidupnya dalam Zam, kala itu berusia tidak lebih dari 5 tahun. Dodola berjanji untuk melihat Zam tumbuh besar dan dewasa, merdeka dari kekangan perbudakan dan penderitaan. Dodola pun mengasuh Zam layaknya seorang kakak perempuan, ia mencuri makanan dan pakaian, rela mengambil air berkilo-kilometer jauhnya hanya untuk menghidupi dirinya dan Zam. Dodola pun mengajari Zam tentang kehidupan, melalui kisah-kisah dalam Al Qur'an dan Perjanjian Lama. Melalui kisah tentang para Nabi, mulai dari Adam dan Hawa, Abraham, Nuh, hingga Yesus dan Muhammad. Cerita tentang Raja Salomo dan para permaisuri, cerita tentang kaburnya Musa dari Mesir. Semua cerita ini tidak memutus alur narasi utama, melainkan menyambung menjadi satu dengan keseluruhan buku. Bermain dengan latar timur tengah, mau tak mau memaksa
Habibi bertatap muka dengan spiritualisme timur yang kental dan pengaruh besar agama samawi (Abrahamik), utamanya Islam dan Kristen. Dan hal ini berhasil dilakukan Craig Thompson, seorang yang tumbuh dalam keluarga Kristen yang fundamental (seperti terungkap dalam karyanya,
Blankets, di tahun 2002). Peleburan teks religius dengan cerita kontemporer tentang trauma, penderitaan, peran gender, seksualitas dan kemiskinan inilah yang membuat
Habibi pantas disebut sebagai karya yang megah: yang sudut pandangnya tidak terkungkung batasan waktu dan geografis, yang bisa dicerna dan diceritakan ulang ke berbagai kalangan. Mereka yang tidak menyenangi tema religius pun bisa membaca
Habibi dengan mudah, karena dibalik itu, ada sebuah cerita tentang keinginan untuk bertahan hidup, kemauan untuk melewati segregasi ketat suku, ras dan label agama.
(halaman 19)
Tema cinta memang tidak pernah membosankan untuk dikupas, terutama jika dilihat dari sudut pandang yang segar seperti yang tersaji dalam
Habibi. Konklusi buku ini terasa menyakitkan dan pahit untuk dicerna, namun sangat puitis dan indah, sebuah akhir yang sangat pas dengan keseluruhan jalan cerita. Akhir kata, jika anda berniat membaca
Habibi: bukalah imajinasi seluas-luasnya dan selamat menyelami permadani visual yang indah dari Craig Thompson.
*sembari menulis catatan kecil ini, saya ditemani lagu Sting, If I Ever Lose My Faith In You, yang liriknya seakan berparalel dengan keseluruhan cerita terutama bagian chorus, 'if I ever lose my faith in you, there will be nothing left for me to do.' Selamat membaca :-)