Alkisah, dunia akhirat kelabakan. Ujung tombak operasional mereka, Pengadilan Terakhir, keteteran menghadapi arwah-arwah yang mengantri minta diadili. Setiap hari makin banyak orang yang meninggal, sementara divisi Sumber Daya Malaikat (SDM) belum membuka lowongan bagi malaikat pengadil baru. Chaos! Kini satu malaikat pengadil bisa melakukan FGD sekaligus ke 10 arwah. Lantas dalam satu jam verbatim sudah harus diketik, data sudah harus dikoding, disusul analisis dan kesimpulan: "masuk mana arwah-arwah tadi, surga atau neraka?"
Manajer SDM pun mengambil kebijakan sensasional: outsourcing! Kebetulan belum lama ini segelintir penghuni surga mendirikan Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Meski mahal, tapi tetap lebih efektif dibanding merekrut malaikat pengadil baru dan mengirim mereka ke berbagai training dan workshop, sebelum akhirnya menjadi tenaga siap pakai. Kesepakatan pun dihasilkan: "Mulai besok, semua proses pengadilan terakhir & penentuan nasib para arwah menjadi tanggung jawab BPP"
Perdebatan hebat terjadi di internal Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Pendekatan mana yang harus dipilih? Kuantitatif, atau kualitatif? Karena keterbatasan waktu, akhirnya mereka memilih kuantitatif. Masing-masing arwah diminta mengerjakan Tes Kesucian Dasar. Ada lima domain dan tiga puluh indikator di dalamnya, yang secara keseluruhan ingin mengukur tingkat kesucian seseorang. Expert judgment dilakukan ke tiga tokoh yang dianggap sangat suci: Bunda Teresa, Paus Yohanes Paulus II, dan Gandhi. Uji validitas lolos. Uji reliabilitas pun lolos setelah menghilangkan beberapa item yang dirasa memiliki derajat kesulitan terlalu tinggi: 0.1.
Alat tes diadministrasikan klasikal, langsung ke seratus arwah sekaligus. Cukup menghemat waktu, antrian arwah semakin cepat dipangkas. Setelah hasil tes diskoring, keseratus arwah diurutkan dari yang skornya terendah ke tertinggi. Permasalahan pun muncul: norma belum ada. Tidak ada cutting point yang jelas. Mereka yang skornya 70 ke atas bisa langsung dikirim ke surga. Mereka yang skornya di bawah 30 dikirim ke neraka. Lantas, bagaimana dengan mereka yang berada di tengah kurva normal, antara Z-Score -0.5 dan +0.5? Apa yang membedakan mereka yang ada di persentil 49 dan persentil 51? Mengapa skor setipis itu bisa membedakan nasib mereka ke depannya? Perbedaan pendapat pun tidak terselesaikan. Pendekatan kuantitatif gagal.
Dalam waktu singkat mereka beralih ke pendekatan kualitatif. Panduan FGD disusun, sekaligus manual berisi rating dan cara penilaian. Dalam melakukan FGD, tiga praktisi BPP menghadapi sepuluh arwah. Setelah FGD selesai, mereka melakukan kalibrasi untuk menguji inter-rater validity. Boom! Masalah baru muncul: definisi teoritis mereka tentang kesucian berbeda, sesuai aliran mereka. Ada yang beraliran humanis, ada yang behaviorisme, ada yang psikodinamis. Perbedaan standar tidak terjembatani. Pendekatan kualitatif bubar jalan.
Setelah kurang lebih seminggu tidak menemukan solusi, Guru Besar di BPP pun memberi usul untuk menggunakan kedua pendekatan sekaligus, kuantitatif, dan kualitatif. Skor di kedua tes dianalisa dan diukur pengaruh multivariatnya. Dengan bantuan aplikasi Lisrel versi terbaru, analisis dimudahkan. Data dimasukkan, lantas hasil keluar. SURGA. NERAKA. SURGA. NERAKA.
Semua berjalan cukup lancar, hingga suatu saat ada "kecelakaan". Seorang yang sudah dinyatakan gagal ditolak ke neraka, baik oleh pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, malah dimasukkan ke surga oleh Dewan Agung Pengadilan Terakhir. Praktisi BPP gerah. Mereka merasa kerja keras mereka tidak dihargai. Setelah dikonfirmasi ke Dewan Agung, ternyata orang tersebut memang semasa hidupnya adalah pendosa berat. Namun, tepat sebelum kematiannya, orang tersebut menyatakan bertobat. Hal itu membuatnya pantas dimasukkan ke surga. Praktisi BPP tetap tak terima. Debat runcing tak terelakkan. Kerja sama berakhir. Izin praktik BPP pun dicabut oleh Dewan Agung.
Setahun ternyata cukup untuk membuat BPP berbenah diri. Setelah sekitar setahun vakum dari surga, mereka membuka kantor baru di neraka. Kini fokus mereka tidak lagi ke pengukuran, melainkan ke konseling dan bimbingan arwah. Mereka yakin, arwah pun memiliki kesempatan yang sama untuk berubah dan menjadi lebih baik. Mereka mulai mendekati arwah-arwah jahat, dan menyadarkan mereka, satu per satu. Setelah penuh perjuangan, usaha mereka terdengar hingga ke telinga orang nomor satu di dunia akhirat. Terkesima dengan usaha mereka, sang presiden dunia akhirat mengeluarkan dekrit: "Semua penghuni neraka yang sudah mengikuti program konseling selama setahun dan menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih baik, berkesempatan dipindahkan ke surga.". Satu per satu penghuni neraka pun termutasi ke surga.
Tak lama kemudian, neraka bangkrut. BPP semakin dikenal dan diakui jasanya. Kantor cabangnya semakin banyak, hingga ke bumi. Karena mereka yakin, pada dasarnya setiap orang memiliki kualitas personal yang baik dalam diri masing-masing. Yang membedakan hanya lingkungan tempat mereka dibesarkan, agama tempat mereka disangkarkan, dan sederet faktor situasional lainnya. Maka tak adil rasanya mengevaluasi mereka di Pengadilan Terakhir dengan mengacuhkan peranan faktor situasional. Sekali lagi, mereka yakin setiap orang itu pada dasarnya baik. Setiap orang bisa menjadi baik. Hanya saja kita kerap tidak menyadarinya. Juga enggan disadarkan.
Jakarta, 28 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
No comments:
Post a Comment