Aug 28, 2011

Manusia dan Karya





Art and The Creative Unconscious

Erich Neumann
Princeton University Press, 1959



"...the individual history of every creative man is always close to the abyss of sickness." (p.186)
Sebulan lalu seorang teman meminjamkan buku ini kepada saya, dari judulnya saya sudah menerka: pasti psikoanalisa. Saya pribadi sebenarnya tidak pernah menyenangi buku-buku psikologi klasik, utamanya dari psikoanalisa. Tiga kali sudah saya mencoba memulai membaca tiga teks klasik psikoanalisa (Interpretations of Dreams dan Wit and Its Relation to Unconscious karya Freud, serta Man and His Symbols karya Jung -- kesemuanya sekarang bagian dari public domain dan bisa dibaca gratis) dan hasilnya saya selalu berhenti di beberapa bab awal. Alasannya sederhana: membosankan.
"...despite all the darkness and danger, the man of our time...the art that belongs to him, is a great fullfilment and a still greater hope." (p.134)
Namun buku ini, sebegitu menariknya, sehingga saya tidak ingin berhenti membacanya. Begitu saya selesai membaca buku ini, saya tidak mau mengkategorikan Art and Creative Unconscious sebagai buku teks yang membosankan. Erich Neumann sendiri adalah anak didik Jung, dan hampir seluruh bagian dari buku ini terpengaruh dari teori Jung -- utamanya Archetype dan konsep Animus/Shadow -- yang sebenarnya saya benci karena berbau pseudo-science, tapi saya tetap menyenangi buku ini. Alasan paling masuk akal karena bagi saya, buku ini lebih terasa 'mengajak diskusi' ketimbang 'menggurui', lebih didactical dan open-ended, tidak ada kesimpulan sepihak dari Neumann yang memaksa pembaca menelannya bulat-bulat. Buku ini bukanlah satu teks koheren dari awal hingga akhir, melainkan tersusun dari empat esai yang mengupas mengenai manusia dan seni (secara general).
"In the life of creative man the emphasis always lies on the transpersonal factors..." (p.17)
Esai pertama (Leonardo Da Vinci and The Mother Archetype) mengangkat hubungan antara seni dan archetype mother (atau caregiver, dalam bahasa Pearson) dimana Neumann menggunakan contoh artis/ilmuwan Renaissance, Leonardo Da Vinci sebagai persona yang kehilangan sosok ibu dan menemukan--atau menciptakan--nya kembali dalam karya-karyanya, terutama yang paling terkenal: Mona Lisa. Yang ingin diterangkan Neumann dalam esai ini adalah, seni, tidak hanya memiliki sisi estetika untuk para penikmat namun juga fungsi diagnostik ke dalam: dengan beberapa pertimbangan (dan kemampuan tertentu), melalui karya seseorang, kita bisa melihat keadaan diri sang pencipta. Apa yang menggugahnya membuat satu karya spesifik, apa yang mendorongnya mencipta sesuatu dari ketiadaan.
"..the seed of the fruit of chaos is perhaps more precious than the seed of any other fruit." (p.121)
Esai kedua, Art and Time adalah esai yang sangat menarik dan menginspirasi. Disini Neumann menerangkan mengenai seni sebagai hal universal yang melingkupi seluruh sejarah peradaban manusia. Namun di sisi lain, seni juga sekaligus adalah hal yang kontekstual dan spesifik: yang bisa ditemukan di satu tempat namun tidak di tempat lain. Hal ini terkait dengan keberadaan dimensi waktu. Karya dan gaya seni di tempat dan waktu tertentu, misal di era Perang Dunia 2, tentu berbeda dengan karya dan gaya seni di era lain, misal Renaissance di abad 16. Esai kedua ini juga membicarakan bagaimana seni berkembang dari individu, ke society, menjadi zeitgeist dan akhirnya diterima secara universal. Begitu pula sebaliknya, seni bisa berangkat dari universal, lalu bertransformasi menjadi personal. Neumann juga menerangkan mengenai seni jarang, bahkan hampir tidak pernah datang dari order (keteraturan) melainkan dari chaos (kekacauan), dimana kekacauan itu bertransformasi di tangan para kreatif menjadi sebuah keindahan, dan pada akhirnya, membentuk keteraturan baru.
"The dignity of man now appears to us in his creative power..." (p.128)
Esai ketiga (A Note on Marc Chagall) membicarakan Marc Chagall, seorang artis Yahudi yang kurang dikenal di eranya (dan era sekarang), namun merupakan figur signifikan, utamanya dalam mazhab seni Naturalist. Ketika PD 2 berlangsung, Chagall, seorang Yahudi, harus hidup dalam ketakutan besar dan terpaksa bersembunyi. Hal inilah yang ditulis Neumann dalam esainya, dimana Chagall, kemudian menjadi complete human being ketika menuangkan segala ketakutan, kecemasan, kegelisahan dan kemarahannya tentang hidup dalam kanvas. Chagall yang adalah seorang religius kerap kali membawa motif-motif agamanya ke dalam karyanya -- kepercayaan dan jiwa seninya adalah yang membuat Chagall bertahan hidup, bahkan dalam situasi yang paling gelap sekalipun.
"And this is why many artists, even among the most gifted, have such intense anima relations with the "distant loved one," epistolary relations, relations to the unknown, the dead, etc." (p.18)
Esai keempat dan terakhir adalah Creative Man and Transformation, sebuah esai yang tertulis elegan dan indah, dimana Neumann menerangkan meaning dan value dari sebuah karya, bukan bagi mata orang luar, melainkan bagi sang seniman sendiri. Neumann menulis mengenai seni sebagai sebuah mekanisme untuk membentuk whole self, pribadi yang utuh, yang lengkap secara fisik dan jiwa, yang seimbang dalam cahaya dan kegelapan, yang berdiri menantang di antara perjalanan hidup dan kematian final. Seni menjadi sebuah cara untuk bertahan dari 'kegilaan' di luar, sebuah keteraturan dari kekacauan hidup. Di akhirnya, kreativitas dan pemiliknya, adalah satu dan tak terpisahkan. Kreativitas berkembang sejalan dengan sang seniman, begitu pula sang seniman menjadi utuh karena memiliki kreativitas.
"…nothing had meaning in itself, nothing was an end in itself, neither the insight nor the practical application, neither the discovery nor the invention…art was not everything and not the whole." (p.69)
Buku ini menarik, walaupun tidak ringan, terutama karena Neumann menulis dengan bahasa yang sulit dipahami orang di luar field seni dan psikologi, ditambah lagi dengan referensi sejarah, buku dan tokoh-tokoh yang tidak familiar di telinga. Beberapa kali saya terpaksa googling untuk mencari tahu beberapa nama dan judul buku yang diutarakan Neumann. Bagi mereka yang menyenangi kontemplasi dan perenungan filosofis, serta mereka yang sadar bahwa hidup tidak hanya melulu terdiri dari hal-hal fungsional melainkan juga estetis, buku ini sangat cocok untuk dibaca.

Rancangan Semesta





The Grand Design
Stephen Hawking & Leonard Mlodinow
Bantam, 2010


"The most incomprehensible thing about the universe is that it is comprehensible." -- Albert Einstein
Saya ingat buku ini terbit dengan riuh, publikasi media dan sorotan publik menyertai Grand Design diawal penerbitannya. Beberapa menyatakan keberatan, beberapa mengangguk menyetujui apa yang ditulis Hawking (dan co-author Mlodinow) di dalam buku ini. Singkat kata, buku ini mengemukakan hipotesa -- yang bisa dibuktikan suatu saat ketika teknologi manusia sudah mumpuni -- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri, tanpa bantuan tangan transendental milik entitas bernama Tuhan. Hawking menyertakan teori penguat hipotesa ini, yakni Grand Unified Field Theory, sebuah modifikasi M-Theory -- dimana M-Theory sendiri merupakan lanjutan dari string theory (dan superstring theory) yang super-njelimet itu. Setelah membaca bukunya, saya pribadi tidak menemukan kontroversi berlebih seperti yang diumbar banyak orang: buku ini ternyata tidak anti-Tuhan, tapi pro-sains dan pro-kehidupan.
"The native view of reality therefore is not compatible with modern physics." (hal.7)
Untuk sampai pada kesimpulan diatas, Hawking, di dalam buku ini, mengajak pembaca berkeliling dimensi ruang-waktu untuk menemui sosok-sosok yang menginspirasi terciptanya modifikasi M-Theory, banyak dari tokoh yang ia kemukakan dalam buku mungkin sangat asing bagi kita di luar domain ilmu fisika atau astronomi, namun Hawking dengan teliti tidak memfokuskan arah buku kepada mereka, melainkan kepada tiga ikon fisika yang dikenal dunia. Sosok paling awal yang ia kenalkan tentu saja bapak Fisika klasik, Isaac Newton (dan di akhir buku, kesimpulan akan berbalik ke temuan Newton pertama kali: gaya gravitasi), lalu pembaca juga akan menemui si jenius penemu fisika quantum, Richard Feynmann -- yang teorinya akan dijadikan landasan string theory serta M-Theory -- serta terakhir, Albert Einstein, dengan teori relativitas-nya. Tokoh keempat (dan kelima) yang sebenarnya memegang peran penting adalah James Maxwell dan Michael Faraday, masing-masing ialah penemu gaya magnet dan elektrik, yang kemudian terbukti saling bersinggungan satu sama lain dan dikenal sebagai gaya elektromagnet. Keempat gaya fundamental dalam fisika: gravitasi, elektromagnet dan nuklir (kuat-lemah) menjadi 'bahan baku' utama dalam buku. Perlu diingat, buku ini mempersepsikan pembaca sebagai 'penganut' fisika kuantum, yang berarti percaya dan paham bahwa realita kita hanyalah satu diantara realita lain yang tidak berbatas jumlahnya, dan 'secara kebetulan' kita berada dan memilih untuk berada di jagat ini (diterangkan dalam teori Goldilock Zone di bab 7 dalam buku). Kedua, buku ini sangat spekulatif dan imajinatif: tidak adanya observasi dan pembuktian teori dalam buku memaksa pembaca untuk berimajinasi dan membayangkan segalanya.
"...the universe doesn't have just a single existence or history, but rather every possible version of the universe exists simultaneously..." (hal.59)
Buku ini sangat epik dalam sudut pandangnya mengenai jagat raya, delapan bab dalam buku ini mengupas alam, tidak hanya dari sudut pandang kosmik yang luas, tapi juga sampai ke detil atom terkecil, bahkan partikel subatom. Ini adalah salah satu kehebatan buku ini, Hawking serasa memainkan teleskop besar yang bisa menerawang dari luar angkasa hingga sudut terkecil di alam raya tanpa melepas gambaran utama. Kelebihan lainnya adalah bagaimana Hawking mengelaborasi teori-teori yang selama ini eksis dalam fisika klasik dan kontemporer, menjadi satu kesimpulan besar -- dalam Grand Unified Field Theory -- tanpa terlihat memusingkan atau mengalienasi pembaca, dan kelengkapan referensinya juga sangat mencengangkan. Hawking menerangkan segala ini dengan bahasa awam, bahkan kadang diiringi lelucon dan ilustrasi humor. Tapi bukan berarti buku ini tanpa kekurangan. Saya pribadi menganggap buku ini, walaupun sangat jelas dan simpel dalam penjelasannya, namun tetap terlalu 'datar'. Sekalipun banyak ilustrasi menarik disana-sini dan lelucon (yang terkadang aneh) dari penulis, itu tidak cukup untuk menutupi betapa datarnya buku ini.
"...we must alter our conception of goals and of what makes a physical theory acceptable." (hal. 143)
Fisika/filsafat/astronomi/geometri, sesuai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri: memang harus selalu benar, harus mengungkapkan fakta, harus bisa dibuktikan, namun harus serius dan datar seperti diktat kuliah yang membosankan? Tidak. Dan inilah kelemahan Grand Design. Mungkin ini kembali kepada gaya penulisan. Saya mengakui penulisan Hawking dan Mlodinow sangat datar, berbeda misalnya dengan buku-buku dari spesies yang sama, seperti Carl Sagan dalam Demon-Haunted World, atau The Fabric of Cosmos karangan Brian Greene. Buku-buku ini, walaupun sama-sama menerangkan topik mengenai alam semesta dan objek di dalamnya, namun terasa lebih hidup, lebih menyenangkan, dan di akhirnya: lebih meyakinkan pembaca. Hal ini sedikit disayangkan karena salah satu penulis Grand Design, Mlodinow, adalah penulis naskah veteran, ia pernah menulis beberapa episode untuk Star Trek: The Next Generation.
"In this view, the universe appeared spontaneously, starting off in every possible way." (hal. 136)
Kelemahan kedua dari buku ini adalah Grand Design tidak menyentuh aspek teknis. Tentu saja aspek teknis fisika akan membosankan (dan tidak mungkin, karena M-theory melibatkan multiverse, jagat lain di luar realita kita dalam kalkulasinya) untuk dimasukkan ke dalam buku, namun di sisi lain, ketiadaan aspek teknis (misal, pembuktian rumus dan kalkulasi) membuat buku ini terasa tidak meyakinkan. Ini selalu menjadi pedang bermata dua bagi para penulis sains populer: di satu sisi, pembaca yang mengerti atau paling tidak kenal dengan topiknya selalu menginginkan aspek teknis untuk dibahas, namun di sisi lain, untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, aspek teknis kemudian di-filter oleh penulis, demi menjaga koherensi teks dan pesan didalamnya.
"We are the product of quantum fluctuations in the very early universe." (hal. 139)
Satu kelemahan lain yang sangat saya sayangkan adalah bahwa Hawking dan Mlodinow, walau keduanya tidak dipungkiri dua jenius besar di dunia, memilih untuk menulis pembukaan yang sangat, sangat tidak pintar. Di bab pertama, mereka menulis: 'philosophy is dead, philosophy is not keeping up with modern science.' Ini adalah sebuah sindiran tidak perlu kepada filsafat, yang notabene adalah akar dari segala ilmu pengetahuan rasional. Bagi saya pribadi, pernyataan ini sangat munafik, karena nyatanya di bab-bab selanjutnya, The Grand Design banyak memuat filsafat. Ini sangat 'mengganggu' keseluruhan pengalaman membaca saya, karena bagi saya pembukaan tadi tidak lebih dari sekedar pernyataan bodoh yang tidak perlu dalam buku setingkat The Grand Design.
"If the theory is confirmed by observation, it will be the successful conclusion of a search going back more than 3,000 years. We will have found the grand design." (hal.181)
Akhir kata, buku ini sangat cocok untuk mereka yang penasaran mengenai alam semesta dan proses penciptaan non-religius atau bagi mereka yang familiar dengan tema fisika, astronomi dan matematika. Catatan saya, bagi yang berniat membaca buku ini: selamat menantang daya imajinasi anda untuk membayangkan proses yang terjadi milyaran tahun lalu :-)


Aug 27, 2011

Kenapa Saya Terdampar di Psikologi?


#Curhat.070.Sesi.Satu.

Sampai sekarang, ketika ditanya orang apa alasan saya mengambil kuliah jurusan Psikologi, saya suka gelagapan. Mao dijawab "Gak tau", tapi kok kesannya tolol. Mao dibilang "Disuruh orangtua", tapi ya kagak juga sih.

Kadang saya suka iri sih, sama alasan teman-teman saya yang kuliah di Psikologi. Ada yang bilang karena pas SMA suka jadi tempat curhatan orang-orang, makanya tertarik belajar lebih lanjut tentang konseling, dan kuliah di Psikologi. Kalau saya? Waduh, jangankan orang. Anjing aja pasti ogah deh disuruh curhat ke saya. Habisnya, hobi saya itu ngata-ngatain orang. Cela-cela orang. Kalo ada cowo yang curhat karena baru putus, pasti saya kata-katain "Jadi cowo kok lembek banget sih? Pantes aja lu diputusin!". Kalo ada cowo yang curhat karena susah dapet pacar, pasti saya maki-maki "Lu itu gak muka, gak otak, gak dompet, semuanya pas-pasan. Satu-satunya kelemahan lu adalah lu gak punya kelebihan. Ya wajar aja lu ga dapet-dapet pacar!". Ya, pokoknya gitu deh. Curhat sama saya itu pasti ga enak banget. Orang yang tadinya ga mau bunuh diri, bisa jadi malah berniat bunuh diri setelah curhat sama saya. Yang tadinya mau bunuh diri, bisa-bisa malah berhasrat bunuh saya duluan.

Ada lagi alasan teman saya yang lain, "Soalnya gue mau lebih kenal diri gue sendiri". Wah, sakit nih yang kayak gini-gini. Kenalan kok sama diri sendiri? Di mana-mana kenalan itu ya sama orang hebat, minimal orang cakep/ganteng, ini malah mau kenal sama diri sendiri. Filosofis banget ya tuh alasan? Minder saya langsung.

Pokoknya masih banyak lagi deh alasan-alasan spektakuler yang dilontarkan teman-teman saya. Dari yang mau bisa "baca" orang, hipnotis orang, sampe yang mau nyembuhin orang gila juga ada. Tinggallah saya terkesima dengan berjuta alasan tersebut. Saya sendiri? Hmm...

Dari dulu, saya suka mikir, kalo diibaratin, saya kini kayak seorang sleepwalker. Pernah denger kansleepwalker? Iya betul, orang yang suka (bisa) jalan pas lagi tidur. Biasanya orang tersebut tidur di kamarnya, lalu dalam keadaan masih tidur, dia jalan-jalan keluar kamar, keluar rumah, hingga ke suatu tempat yang enggak dikenal. Tiba-tiba, dia bangun dan sama sekali ga ngerti lagi ada di mana dan kenapa. Nah, kurang lebih kayak gitu deh sensasi yang kerap saya rasakan. Tiba-tiba aja, saya udah daftar, diterima, dan kuliah di Fakultas Psikologi. Ya, terdampar mungkin suatu istilah yang tepat. Tanpa tahu alasannya, saya terdampar di Psikologi.

Anda percaya cerita di atas? Sebaiknya jangan terlalu. Karena saya sendiri juga kurang percaya. Mungkin cerita tersebut ada benarnya, tapi ga sepenuhnya. Emang sih, pas masih SMA saya itu sama sekali gak peduli tentang kuliah. Saya yakin, kuliah di mana aja saya bakalan survive dan sukses. Tapi saya rasa ada satu alasan fundamental yang membuat saya memilih berkuliah di Psikologi. Kalo saya ceritain alasannya, pasti ada yang bilang saya ini sombong. Tapi serius deh, alasan yang paling masuk akal kenapa saya kuliah di Psikologi itu adalah karena katanya kuliah di Psikologi itu susah. Ya, situ gak salah denger kok. Saya masuk Psikologi karena katanya Psikologi itu susah / berat. Susah masuknya, susah kuliahnya, susah lulusnya. Gitu kira-kira yang saya denger tentang kuliah di Psikologi.

Lah?? Udah tau susah, kenapa malah pengen masuk???

Tenang, saya tau pertanyaan itu bercokol di tenggorokan situ dan siap situ muntahkan. Ada alasannya kok. Sampai mau lulus SMA, bagi saya hidup itu gak ada tantangannya. Pernah sih pas kelas 1 SMA saya nyaris gak naik kelas, tapi itu lebih karena sayanya terlalu santai dan gak mao nganggep serius sekolah. Selebihnya, hidup saya itu lurus-lurus aja. Lempeng-lempeng aja. Pas SD saya terbiasa jadi penghuni ranking 1-5 di sekolah. Pas SMP saya biasa juga penghuni papan atas prestasi di sekolah, ditambah lagi saya cukup aktif di berbagai kegiatan termasuk jadi kapten tim Basket pas kelas 3. Pas SMA, saya juga ga kesulitan di pelajaran, bahkan bisa masuk ke tim inti Basket dan Sepakbola. Intinya, idup itu gak ada susah-susahnya bagi saya.

Yap, saya benar-benar butuh tantangan!!

Ya, kurang lebih itulah latar belakang kenapa saya kuliah di Psikologi.
Selanjutnya... Bagaimana rasanya kuliah di Psikologi?
Apakah saya sukses menemukan apa yang saya cari?
Sudahkah hidup saya dipenuhi kesusahan-kesusahan yang saya mau?

Tenang. Nantikan jawabannya di sesi-sesi selanjutnya #Curhat.070
Mau berbagi cerita juga? Mari bikin sesi-sesi #Curhat.070 versimu sendiri! =)

Jakarta, 26 Agustus 2011
Okki Sutanto.

[Oh ya, jangan terlalu kagum ya sama cerita saya semasa SMP dan SMA. Satu-satunya rekor menang yang dipegang tim basket SMP saya, semasa saya jadi kapten, adalah saat tim kami menang walkout atas tim dari luar kota yang kayaknya kejebak macet ke lokasi bertanding. Selama jadi tim inti Basket & Sepakbola SMA, tempat saya beraksi itu ya cuma di ruang ganti sama di bangku cadangan. Masuk lapangan sih jarang-jarang, itu pun kalo ada yang cedera. Dan tugas saya bukan gantiin yang cedera, tapi bopong yang cedera itu ke pinggir lapangan. Miris ya? hehehe] 

Aug 26, 2011

Bangga Jadi Koruptor

Sebenarnya,
saat bebek-bebek bermesin menggagahi trotoar,
ada hak yang terampas
ada mutualisme yang terlanggar.

Sebenarnya,
saat kaleng beracun memperkosa jalanan,
ada pula hak yang terampas
juga mutualisme yang terlanggar.

Sebenarnya,
saat mamalia setengah manusia meniduri langit gerbong,
lagi-lagi hak terampas
mutualisme terlanggar.

Maka dari itu,
koruptor itu tak ubahnya penggembala bebek,
sopir-sopir setengah dewa,
atau pendompleng pekat.

Maka dari itu,
saya bangga jadi koruptor
jadi salah satu dari mereka
jadi sama dengan mereka.

Karena dengan menyelam di tengah norma,
kita terlepas dari keberbedaan
terbebas dari keterkutukan
Dan neraka itu tak lagi penting, saat kita semua sama.

Jakarta, 24 Agustus 2011
Okki Sutanto.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...