Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Nov 9, 2012

A Separation: Potret Realistik Drama Kehidupan

Sekian lama saya menantikan momen untuk menonton film A Separation, sebuah film asal Iran karya sutradara dan penulis Asghar Farhadi. Tidak lain dan tidak bukan, ketertarikan saya terhadap film ini meledak ketika melihat kesuksesan film ini sebagai film asal Iran pertama yang mampu menembus nominasi dan memenanginya di ajang Academy Awards, Golden Globe, bahkan menjadi film pertama yang mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada ajang Berlin International Film Festival. Film ini banyak menuai kritikan positif dari pada kritikus film, ramai pula dibicarakan oleh para pecinta film-film arthouse dan movie blogger. Keajaiban datang ketika 21 Cineplex memutuskan untuk mendistribusikan film ini di beberapa bioskop di ibukota. Sebuah kejutan yang tidak terkira bagi penonton reguler 21 Cineplex melihat ada film kelas arthouse bertengger di deretan pilihan film bioskop.

Film dibuka dengan adegan pasangan suami istri Nader dan Simin yang sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Dengan penonton yang mengambil sudut pandang hakim, kesaksian dari Nader dan Simin seakan sebuah prolog cantik nan elegan akan kisah yang hendak diceritakan oleh Asghar Farhadi dalam film ini. Ayah dari Nader mengidap Alzheimer dan tidak mengenali lagi putranya, sementara Simin yang mendapatkan kesempatan untuk keluar dari negeri Iran memaksa Nader dan anaknya untuk pergi dari rumah demi kehidupan yang lebih baik. Nader pun dengan tegas menolak rencana itu demi merawat ayahnya yang sakit. Pertentangan tersebut yang kemudian membawa Nader dan Simin menghadapi serentetan kejadian yang menambah rumit situasi.

Film ini menjustifikasi kecintaan saya terhadap film-film Iran yang sukses di dunia internasional. Walaupun track record tontonan film-film Iran saya hanya bisa dihitung dengan jari, namun saya menemukan suatu hal yang khas dari sinema Iran; ide dasar sederhana dan memotret interaksi antar-manusia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lihat saja kisah Nader dan Simin ini, mungkin kisah pertengkaran suami-istri yang berujung pada perceraian telah kita saksikan ratusan kali di layar kaca maupun layar lebar, maupun sangat familiar kita temui di dunia nyata. Namun dengan naskah nyaris sempurna dari Asghar Farhadi, dengan berbagai konflik dan kejutan di sepanjang film - ditambah dengan twist yang efektif di penghujung film, membuat film ini seakan tontonan menegangkan dan sangat powerful.

Apr 24, 2012

Sanubari Jakarta: Deret Cerita Kaum Minoritas


Tidak banyak film Indonesia yang secara gamblang mengangkat tema homoseksual, atau bahkan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Film-film seperti Arisan!, Arisan 2, Catatan Harian si Boy, atau Minggu Pagi di Victoria Park memang menyelipkan isu percintaan sesama jenis namun hanya sebagai tumpangan semata, atau malah sebagai bahan lelucon. Sebenarnya, isu LGBT adalah "hal yang lumrah" di tengah kota metropolitan yang bergerak cepat seperti Jakarta. Mungkin adanya pandangan tabu, ditambah dengan berbagai organisasi massa yang seakan polisi moral, membuat perasaan tidak aman untuk membuat film bertema LGBT. Namun kini, ada Lola Amaria yang berani memproduksi film omibus yang berisi 10 film pendek yang digarap oleh para sutradara muda berbakat. Ya, ke-10 film pendek ini akan mengupas habis dinamika kaum LGBT di konteks kota Jakarta, dalam film Sanubari Jakarta.

Sepuluh film pendek dengan semangat indie yang masing-masing berdurasi kurang lebih 10 menit ini dengan tajam dan to the point mengangkat dinamika dan kesulitan kaum LGBT yang hidup di Indonesia dengan paradigma ke-timur-annya. Masing-masing film pendek cukup fokus dalam membahas setiap komunitas; baik dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender. Tidak saja menempatkan isu LGBT di budaya Timur yang masih memandang tabu orientasi seksual komunitas ini, tetapi juga diletakkan dalam konteks kota Jakarta yang keras karena himpitan ekonomi, sekaligus glamour namun penuh dengan tipu daya.

Apr 21, 2012

Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen


Suatu siang ketika tubuh terasa penat karena beratnya beban di punggung, seorang teman menyapa hangat. Matahari di luar bersinar sangat terik, membuat udara panas seakan menggigit kulit. Sinar remang sebuah restoran menjadi saksi bisu pertemuan kami yang tidak disengaja, ketika akan memenuhi kebutuhan utama manusia. Perut seakan meronta, meminta makanan untuk dicerna. Namun kami masih bertegur sapa. Ketika senyum dan kata hampir habis, ia memanggil sekali lagi dan menyerahkan sebuah buku ke tangan saya.


Banyak cara untuk menulis cerita pendek (cerpen). Banyak juga gaya penulisan dalam cerpen, yang semuanya memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Dari keunikan yang berbeda, ada pesan dan kesan khas tertentu pula yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Sebuah buku tentang cara menulis cerpen diberikan kepada saya sekitar dua bulan lalu. Sampul buku tersebut tertulis “Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen”. Buku ini ditulis oleh Jakob Sumardjo, terbitan Pustaka Pelajar.

Dalam buku setebal 235 halaman ini, Jakob Sumardjo berusaha untuk menyampaikan dengan jelas bagaimana seharusnya cerpen ditulis. Untuk pemula, sangat banyak tips yang dapat dipelajari dari buku ini. Jakob Sumardjo menjelaskan hal-hal esensial dalam cerpen dengan jelas, disertai dengan contoh.

Misalnya saja, Jakob Sumardjo menjelaskan mengenai buku penuntun yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penulis. Di samping buku acuan, dijabarkan juga beberapa kelemahan umum yang dilakukan oleh para pemula dalam membuat cerpen, seperti pembukaan cerpen, komposisi, bahasa yang digunakan, dan judul.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana menyusun cerpen yang menarik, namun tidak bertele-tele. Penggunaan bahasa dalam cerpen yang disarankan juga merupakan bahasa yang dapat membuat pembaca langsung mengerti makna yang dimaksud oleh penulis. Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis harus dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca. Sebagai contoh, paragraf singkat di awal tulisan ini merupakan contoh dari kalimat yang bertele-tele, yang dimaksud oleh Jakob Sumardjo. 

Pesan yang disampaikan oleh penulis buku ini adalah kejernihan pikiran dan ketepatan bahasa dalam menulis sebuah cerpen. Penulis biasanya memulai tulisannya dengan menggebu-gebu, lalu kemudian mengakibatkan tulisannya menjadi tidak bermakna di alinea-alinea berikutnya. Karena inilah Jakob Sumardjo juga menyarankan agar penulis sering berlatih dan melakukan pemanasan menulis sebelum benar-benar memulai suatu tulisan.

Selain tips untuk para penulis cerpen pemula, Jakob Sumardjo juga menyampaikan beberapa catatan mengenai karya sastra. Karya sastra lain yang dibahas adalah novel, novelet, dan roman. Fiksi sastra juga tidak lupa dibahas secara mendalam oleh penulis buku ini.

Singkat kata, buku ini memberikan poin dan tips penting bagi para penulis cerpen, yaitu bahwa untuk menjadi penulis cerpen yang baik, dibutuhkan latihan terus menerus. Tidak ada hal yang instan untuk sebuah karya yang memuaskan. Ditambah lagi, penulis cerpen juga harus terus memperluas wawasan dan pengetahuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak membaca dan belajar dari berbagai sumber. Dengan kata lain, penulis cerpen harus terus memperkaya diri dan berlatih, untuk menghasilkan karya yang luar biasa.




Mar 6, 2012

A Trip to Sawarna: Exploring The Hidden Paradise

Paradise, kata panitianya. Awalnya saya percaya bahwa kami, para peserta acara ini, akan dibawa menuju pantai yang begitu indahnya. Dalam bayangan saya, acara yang diadakan oleh KMPA Pelangi ke desa Sawarna ini akan penuh dengan kesenangan, serupa dengan tur wisata. 

Pada saat saya mendaftarkan diri untuk menjadi peserta, saya mengira perjalanan hanya akan ditempuh selama empat hingga lima jam. Ternyata saya salah besar. Perjalanan untuk mencapai desa Sawarna diperkirakan menghabiskan waktu sekitar tujuh hingga delapan jam. Tidak secepat yang saya perkirakan. Meskipun demikian, menjelang hari keberangkatan, saya masih optimis bahwa desa Sawarna dan pantainya akan seindah paradise. Begitu juga dengan perjalanan menuju ke sana.

Para peserta diminta untuk mengikuti briefing sekitar satu minggu sebelum keberangkatan. Kami diberikan informasi mengenai tugas dan keperluan apa saya yang wajib dibawa. Eh, sebentar. Tugas? Kami akan diajak untuk mengeksplor paradise dengan tugas? Kedengarannya tidak seperti paradise lagi bagi saya. Malah lebih terasa seperti perjalanan karyawisata di sekolah dulu. Tugas yang diberikan pun tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Profiling desa? Apa itu? Seminggu menuju keberangkatan saya habiskan dengan mencari beberapa keperluan yang belum saya miliki untuk saya bawa, dan saya mencoba melupakan tugas yang harus saya lakukan di sana nantinya.

Akhirnya hari yang saya tunggu itu tiba juga. Kamis, 1 Maret 2012. Seluruh peserta diminta untuk berkumpul di hall B UNIKA Atma Jaya pada pukul 20.00 WIB. Peserta dan panitia berkumpul sejenak untuk mendengar ceramah pelepasan perjalanan singkat dari Mbak Maria Theresia Asti Wulandari, Psi. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, menaikkan doa, dan melakukan tos untuk memulai perjalanan kami.

Bus yang kami tumpangi tidak terlalu besar. Uniknya, di kaca bagian depan dan samping bus ada stiker bertuliskan ‘Wi-Fi Hotspot’. Wah, sungguh di luar dugaan! Saat masuk dan duduk dalam bus, saya juga menyadari bahwa bus tersebut menyediakan televisi dengan berbagai saluran yang serupa televisi kabel. Hal ini jelas membuat seluruh peserta semakin bersemangat dalam perjalanan. Kami berangkat dari kampus UNIKA Atma Jaya menuju desa Sawarna sekitar pukul 22.00 WIB.

Pada awal perjalanan, para peserta masih menonton televisi dan tertawa bersama. Namun setelah bus berada di luar Jakarta, sinyal televisi mulai terganggu. Karena sudah cukup malam, peserta satu persatu mulai tertidur. Peserta mulai terbangun kembali ketika bus yang kami tumpangi melewati lubang yang cukup besar. Supir bus juga mulai menaikkan kecepatan dan berusaha menyalip beberapa truk untuk mempercepat perjalanan. Beberapa dari peserta sempat menghentikan obrolan karena tegang melihat usaha Pak Supir tersebut. Saya sendiri berusaha untuk memejamkan mata kembali, agar tidak terlalu khawatir.

Sekitar pukul 02.30 dini hari, kami berhenti di Karang Hawu untuk ke toilet. Beberapa peserta juga beranjak ke warung terdekat untuk membeli jajanan ataupun memesan mie instan untuk menahan rasa lapar. Sekitar pukul 03.00, kami kembali masuk dalam bus dan melanjutkan perjalanan. Ternyata, jalan yang kami lewati selanjutnya berliku-liku, menanjak, dan juga banyak jalan menurun. Pemandangan di kiri-kanan bus hanya pepohonan dan terkadang jurang. Beberapa peserta terkadang menahan napas tegang ketika supir mempercepat laju bus ketika jalan menurun dan berliku. Dalam hati saya berkata, perjalanan menuju paradise yang dijanjikan ini salah-salah malah dapat mengantarkan kami semua ke surga yang sebenarnya.

Akhirnya, kami tiba di tempat tujuan. Saya menengok ke arah kanan bus, dan terlihat tulisan ‘Welcome to Sawarna Area’. Karena waktu baru menunjukkan pukul 04.30, maka hari masih gelap dan saya belum dapat melihat pemandangan lain di sekitar bus. Seluruh peserta turun dari bus dan mengambil barang bawaan yang diletakkan di bagasi. Kami diminta untuk menggunakan senter yang memang wajib dibawa oleh seluruh peserta untuk berjalan menuju homestay.

Sekali lagi, saya mengira bahwa perjalanan menuju homestay cukup dekat. Ternyata para peserta diminta untuk melewati jembatan gantung dengan penerangan hanya dari senter di tangan masing-masing. Ditambah lagi, jembatan gantung tersebut hanya boleh dilewati maksimal lima orang sekaligus, untuk mengurangi getaran yang membuat jembatan terayun-ayun. Setelah jembatan gantung, perjalanan yang harus ditempuh masih cukup jauh. Saya sempat berpikir, mengapa rasanya kami tidak sampai-sampai di homestay. Inikah yang dijanjikan sebagai paradise?

Setelah berjalan melalui jalan kecil yang sebagian besar tergenang air, kami akhirnya tiba di homestay Millang. Para peserta masuk ke kamar masing-masing sesuai dengan nama yang tertera pada pintu kamar. Kami diijinkan untuk beristirahat sejenak dan bersiap-siap untuk berkumpul pada pukul 06.00. Kembali sekali lagi saya berpikir, bagian mana dari perjalanan ini yang dimaksud dengan paradise? Kami tidak diberikan waktu untuk tidur setelah perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan tadi?

Sekitar pukul enam kami berkumpul dan berjalan bersama ke arah pantai. Pantai Pasir Putih, begitu namanya. Di sana, kami diberikan petunjuk mengenai hal apa saja yang akan dilakukan di desa Sawarna. Kami akan masuk dalam kelompok dan akan melakukan permainan serupa Amazing Race untuk dua hari ke depan. Saya merasa kembali bersemangat.

Kami kembali ke homestay untuk bersiap-siap memulai permainan dan menyantap sarapan. Setelah selesai, kami kembali ke Pantai Pasir Putih dan dibagi ke dalam lima kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima hingga enam orang. Untuk mengundi kelompok mana yang akan memulai perjalanan terlebih dahulu, kami diundi dan melakukan lomba voli pantai antar kelompok. Kelompok yang menang dan mencapai 10 poin diperbolehkan untuk berjalan ke pos berikutnya. Sedangkan, kelompok yang kalah akan kembali bertanding dengan kelompok urutan berikutnya, dan begitu seterusnya.

Pada pos berikutnya, kami diajak untuk bermain tebak kata, serupa dengan permainan Hangman. Kami diberikan beberapa clue untuk mengetahui petunjuk tempat yang harus kami capai berikutnya. Ternyata, tempat berikutnya adalah Tanjung Layar, tempat di mana turis asing biasanya melihat matahari terbenam. Kami berjalan menyusuri pantai dengan jarak yang cukup jauh untuk melihat dua tebing tinggi di pantai yang luar biasa. Para peserta juga berkumpul di Tanjung Layar untuk berkeliling dan berfoto. Setelah makan siang di sana, perjalanan dilanjutkan ke Goa Lalay.

Perjalanan menuju Goa Lalay cukup jauh. Kami harus kembali menyusuri pantai menuju Pantai Pasir Putih dan kembali ke arah homestay. Setelah itu, kami harus berjalan kembali ke arah jembatan gantung dan berjalan di jalan raya, menuju menara Indosat sebagai petunjuk. Dari menara Indosat, kami harus kembali berjalan menyusuri sawah dan rumah penduduk. Kami juga kembali melewati jembatan gantung lain dan berjalan terus menyusuri sawah, hingga tiba di Goa Lalay. Di sana kami diajak untuk melakukan caving atau penyusuran goa, secara horizontal. Peserta dipandu oleh Mira Margaretha dan diajak untuk masuk ke dalam goa cukup jauh. Selain menyusuri goa, peserta juga diberikan berbagai informasi menarik mengenai goa dan segala ornamen yang ada di dalam goa. Setelah keluar dari Goa Lalay, peserta diajak untuk kembali ke homestay untuk makan malam dan beristirahat.

Keesokan harinya, peserta dibangunkan pada pukul 05.00. Setelah mandi dan sarapan, peserta diminta untuk berangkat satu persatu, sesuai dengan urutan perjalanan hari sebelumnya. Kali ini, peserta diminta untuk berangkat ke Karang Beureum. Perjalanan menuju Karang Beureum cukup berat, dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya. Peserta kembali menuju menara Indosat, berbelok dan melewati rumah penduduk. Kami juga kembali dihadapkan dengan jembatan gantung lain. Setelah jembatan gantung, kami harus melintasi jalan berbatu yang banyak tanjakan dan turunan. Jalan berbatu ini cukup panjang dan sulit, ditambah lagi dengan bebatuan yang cukup licin karena lumpur akibat hujan pada malam sebelumnya.

Namun perjuangan melewati jalan bebatuan tersebut terbayar ketika kami tiba di Karang Beureum. Pemandangan yang terlihat sangat indah dan menyenangkan. Matahari bersinar cukup terik, menambah indahnya air laut di karang dan menjadikannya berkilauan. Di sana, kami diajak untuk menggunakan kompas bidik dan melihat clue kami ke pos berikutnya. Kami pun kembali berjalan menyusuri pantai, Lagoon Pari namanya.

Selain melihat pemandangan yang indah dan bermain games, kami juga diajak untuk berinteraksi langsung dengan penduduk desa Sawarna. Para peserta diperlihatkan mengenai cara membuat gula kelapa dari penduduk asli. Kami juga dipersilahkan untuk mencicipi gula kelapa tersebut. Peserta juga diberikan kesempatan untuk mewawancarai beberapa tokoh desa, seperti kepala desa (yang diwakilkan dengan wakilnya karena beliau sedang sakit), pengusaha pembuat dan penjual pisang sale, pemilik usaha homestay, dan guru. Setelah itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk mencoba langsung melakukan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh warga desa, seperti membuat mebel dengan mengamplas hingga memvernis kursi kayu dan membersihkan hama di sawah.

Jika mengingat jauh dan sulitnya perjalanan yang kami tempuh, saya tidak akan bisa berkata bahwa desa Sawarna merupakan paradise. Sama sekali tidak. Bahkan dapat saya katakan bahwa perjalanan dengan medan seperti itu merupakan siksaan. Apalagi ditambah dengan kulit perih karena terbakar matahari. Belum lagi dengan tugas untuk membuat profiling desa.

Namun ketika saya mengingat indahnya pantai, deburan ombak, pasir yang halus, canda tawa peserta, pemandangan dalam goa, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh, keakraban dengan sesama mahasiswa FPUAJ dari berbagai angkatan, dan senyum ramah dari warga desa Sawarna, saya berani berkata bahwa KMPA Pelangi sungguh membawa kami mengeksplorasi paradise. Segala luka, kulit yang terbakar, pegal, dan rasa lelah terbayar sudah. Betapapun menegangkannya perjalanan ketika Pak Supir membawa kami kembali ke Jakarta setelahnya.



Pantai Pasir Putih (pagi hari)*

Sawah di belakang homestay Millang *

Pantai Pasir Putih (menjelang matahari terbenam)*


* gambar merupakan dokumentasi pribadi


Feb 19, 2012

Berjejaring Dengan Tulus

Bisa dibaca juga di http://okki-sutanto.com

gambar dari Goodreads.com

Penulis: Jeffrey Meshel & Douglas Garr
Tahun terbit: 2005
Jumlah halaman: 256
ISBN: 1591840902
Judul: One Phone Call Away: Secrets of a Master Networker

Ini adalah buku yang saya beli dengan penuh kebetulan. Kebetulan pertama adalah bahwa saya sedang ada di luar kota. Kebetulan kedua adalah saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Kebetulan ketiga adalah saya tidak masuk ke toko buku, malah melihat-lihat buku obralan di depan toko buku tersebut. Berbagai kebetulan tersebut membuat saya menemukan buku ini di depan Gramedia Mal Ekalokasari Bogor dengan harga hanya Rp 10.000 saja.

Awalnya saya berpikir bahwa buku ini hanya akan berisi tentang bagaimana pentingnya memiliki koneksi yang baik dan luas untuk mendapatkan peluang dan profit bisnis. Ternyata tidak. Buku ini bahkan hingga derajat tertentu melawan segala komersialisasi & pengejar profit dari kekuatan koneksi. Mengenal banyak orang hanya untuk mencari keuntungan bisnis adalah perjalanan melelahkan dan tanpa henti. Di buku ini, Jeffrey Meshel yang mendapat julukan "orang yang mengenal semua orang" oleh rekan-rekan bisnisnya, mencoba mengubah paradigma tersebut:

Perluaslah koneksi anda, kenallah banyak orang, bukan untuk mendapat keuntungan, tapi agar anda bisa membantu banyak orang. Kenikmatan yang anda dapat ketika bisa membantu orang sungguh tidak bisa dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan bisnis semata.

Hah? Buku tentang bisnis mengapa malah mengajarkan untuk tidak mengejar profit? Hmm.. Tidak sepenuhnya juga sih. Buku ini tidak berusaha menjadikan kita sebagai juruselamat yang wajib membantu semua orang di dunia yang sedang kesusahan. Buku ini membuka paradigma kita bahwa memperluas jaringan perkenalan dengan tujuan tulus akan jauh lebih nikmat daripada hanya mengejar profit.

Semangat Membantu Orang Lain

Jangan bertanya apa keuntungan atau manfaat yang bisa kita dapatkan dari orang lain. Tanyakanlah, "Apa yang bisa saya bantu?"

Melalui beberapa cerita yang semuanya didasari oleh pengalaman penulisnya, buku ini berusaha menjelaskan bahwa ketika kita berusaha membantu orang lain dengan tulus, entah bagaimana caranya suatu kebaikan tersebut akan kembali lagi ke kita. Kebaikan kita akan dibalas entah oleh orang yang pernah kita bantu, entah melalui teman atau keluarga orang yang pernah kita bantu, entah orang lain yang tidak kita kenal sama sekali. Dalam cara yang kadang tidak bisa dijelaskan oleh logika, kebaikan itu akan kembali ke kita seperti karma.

Lagi-lagi, penulisnya juga mengatakan bahwa JANGAN menolong orang dengan berharap kebaikan kita akan dibalas. Kebaikan itu bisa saja dibalas dengan segera, bisa saja berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelahnya, bisa juga tidak sama sekali. Dan yang terakhir biasanya lebih sering terjadi. Hal ini tidak perlu mengecilkan semangat kita dalam membantu orang lain, tetaplah tulus dalam membantu orang. Setidak-tidaknya, rasa nikmat dan kepuasan batin ketika seseorang mengucapkan terima kasih sudah sangat berarti.

Berjejaring Tanpa Batasan Waktu dan Tempat

Di buku ini Jeff juga menceritakan berbagai pengalamannya dalam berkenalan dengan orang-orang baru. Ia meyakinkan pembaca bahwa hal itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, cukup dengan hal-hal sederhana. Dari pesta cocktail, pernikahan kolega, acara amal, reuni sekolah, penerbangan, hingga keanggotaan di sebuah pusat kebugaran adalah waktu dan tempat yang tepat untuk berkenalan dengan orang baru.

Suatu kali, Jeff sedang naik pesawat untuk melakukan perjalanan bisnis, di sampingnya ada seorang wanita karir yang sedang mengerjakan presentasi. Jeff memberikan sedikit masukan pada presentasi wanita karir tersebut. Awalnya, si wanita karir merasa risih dengan perilaku Jeff tersebut. Lama-kelamaan, melihat ketulusan Jeff dan masukannya yang cukup logis, ia pun bisa menerima masukan dari Jeff. Perbincangan pun dimulai. Akhirnya, bertahun-tahun setelahnya mereka malah menjadi sahabat yang sering saling memberi masukan.

Keterkaitan antara Berjejaring, Pemasaran, dan Membangun Citra Personal

Saya cukup setuju dengan salah satu pernyataan Jeff: "A great networker is a great marketer!". Ada berbagai kesamaan yang perlu dimiliki oleh networker ataupun marketer. Sebagai contoh, pentingnya untuk selalu mengedepankan kenyamanan lawan bicara atau rekan bisnis. Hal ini sangat dibutuhkan baik oleh networker maupun marketer. Networker yang baik juga harus bisa membangun citra personal yang sesuai dengan dirinya.

Ada sebuah cerita dimana Jeff mengenal seorang notaris hebat yang selalu tampil urakan dan tidak formal. Jeff sangat menyayangkan bagaimana notaris tersebut menyembunyikan kehebatannya di balik tampilan yang tidak rapih. Akhirnya Jeff memberi masukan pada notaris tersebut. Awalnya notaris tersebut tidak merasa penampilan adalah suatu hal yang penting. Pada suatu ketika, Jeff membelikan satu stel jas pada notaris tersebut, dengan harapan tulus hanya ingin sang notaris mencoba menggunakannya dan melihat perbedaannya. Hasilnya? Tingkat kepercayaan diri sang notaris meningkat, orang-orang jadi jauh lebih respek pada sang notaris, dan jumlah klien pun meningkat dengan signifikan.

Jeff mengakui, banyak orang merasa penampilan bukanlah aspek penting dan seringkali penampilan rapih serta formal bertentangan dengan idealisme orang tersebut. Namun, bagaimana pun dunia memandang kita dengan seperangkat norma tertentu. First impression tidaklah dibangun melalui pertimbangan logis-matematis, melainkan lebih ke instant judgment yang sifatnya afektif dan normatif. Tidak ada salahnya mengikuti bagaimana cara dunia bekerja sampai derajat tertentu, salah satunya melalui penampilan yang sesuai dengan norma yang berlaku.

Manajemen Kontak & Mengembangkan Jaringan

Setelah bercerita bagaimana pentingnya mengenal banyak orang, nikmatnya membantu orang lain, hingga tips praktis berkenalan dengan orang-orang baru, Jeff juga membagikan pengalamannya dalam mengelola database kontak yang kita miliki. Kurang tepat jika kita hanya mengandalkan album kartu nama atau malah hanya mengandalkan ingatan kita. Ada baiknya kita mendokumentasikan dengan sederhana daftar orang-orang yang kita kenal. Cukup dengan membuat kolom nama, nomor telepon, alamat email, lokasi, pekerjaan, dan deskripsi singkat tentang orang tersebut. Banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dengan membuat dan terus memperbarui daftar ini.

Suatu ketika, Jeff ingin melakukan ekspansi bisnis ke Cina. Ia memiliki wawasan, sistem, dan modal yang besar. Namun ia tidak mengenal satu pun pebisnis Cina. Akhirnya ia melakukan pencarian di databasenya, untuk mencari tahu rekan-rekan bisnisnya yang pernah berbisnis dengan pebisnis Cina atau mengenal pejabat Cina yang bisa membantu. Hanya dalam hitungan detik ia berhasil melakukannya. Ia pun langsung menelepon rekan-rekan bisnisnya tersebut untuk dikenalkan ke para pejabat atau pebisnis Cina. Cara tersebut berhasil. Dalam kurun waktu beberapa bulan, perusahaan Jeff memiliki cabang di Cina.

Jeff juga membagikan tips praktis bagi para pebisnis, manajer, dan direksi perusahaan terkait bagaimana mengembangkan jaringan. Salah satu cara yang lazim dipakai di Amerika adalah menggunakan pertemuan kelompok semacam Metropolitan Business Network. Kelompok ini tidak terlalu sering berkegiatan, dalam sebulan cukup sekali. Namun, kelompok ini mempertemukan direksi ataupun CEO dari berbagai perusahaan untuk membicarakan kolaborasi yang mungkin dilakukan di antara mereka. Hasil dari pertemuan-pertemuan semacam ini bisa jadi tidak terduga. Mulai dari membuat acara amal bersama, mengawali perjanjian bisnis bernilai jutaan dolar, hingga kerjasama memulai usaha baru bisa terjadi dari pertemuan-pertemuan kelompok semacam ini.

Sekali lagi Jeff menekankan pentingnya untuk terus mengevaluasi dan mengoptimalkan database yang dimiliki bahkan oleh kelompok semacam ini. Ada baiknya database dikelola secara profesional dan ada administrator 24 jam yang siap memberikan informasi dari database ini. Sebagai contoh, suatu ketika ibu dari seorang CEO perusahaan mengalami stroke hebat. Ia menghubungi administrator database untuk mencari dokter stroke terhebat yang dimiliki database. Administrator lantas mengirimkan pesan singkat ke SELURUH dokter / kepala rumah sakit yang ada di dalam database mengabarkan hal ini. Dalam hitungan menit, beberapa kepala rumah sakit memberikan respon, mereka siap memberikan perawatan terbaik di rumah sakit mereka. Administrator lantas mengabarkan kembali sang CEO. Hasilnya, ibu CEO tersebut terselamatkan dan mendapatkan pelayanan luar biasa. Semua berkat manajemen yang baik akan sebuah database.

Tantangan Aplikasi di Indonesia

Sedikit banyak, saya telah menjalankan apa yang dilakukan oleh Jeff selama saya berkarir di dunia organisasi kemahasiswaan. Saya setuju, penting sekali mengenal dan menjalin hubungan yang baik dengan banyak orang. Di kampus misalnya, saya seringkali mendapatkan banyak kemudahan karena memang mengenal orang-orang yang memiliki posisi kunci mulai dari petugas keamanan, petugas kebersihan, pejabat biro, pemimpin fakultas maupun universitas.

Hal yang saya utarakan di atas bukan dalam konteks nepotisme ya! Saya tetap melakukan prosedur yang sama dengan mahasiswa lainnya, hanya saja sering diprioritaskan karena keramahan mereka juga saya balas dengan keramahan. Makanya saya agak bingung ketika pengurus organisasi tertentu merasa dipersulit oleh Biro Kemahasiswaan misalnya, padahal itu karena mereka sendiri tidak berusaha mengikuti gaya kerja para petugas di Biro Kemahasiswaan. Kadang proposal dan laporan pertanggungjawaban saya ditolak, namun saya tetap menjalin hubungan yang baik dengan para petugas di biro tersebut.

Berurusan dengan salah seorang petugas sekretariat fakultas yang kerap kali disegani mayoritas mahasiswa juga saya bisa santai dan tidak pernah merasa disulitkan. Kuncinya adalah tetap ramah dan berusaha menempatkan diri di posisi orang lain. Ketika petugas sekretariat sedang sibuk dan repot, saya tidak akan memaksakan permintaan saya untuk dituruti. Saya bisa menunggu kesibukan mereka sedikit reda atau membuat janji untuk datang kembali keesokan harinya. Menurut saya wajar sekali petugas sekretariat tersebut menjadi kesal dan tidak ramah terhadap banyak mahasiswa, wong mahasiswanya saja sering "maksa" dan tidak tahu sopan santun. Kalau saya jadi petugas sekretariat tersebut, mungkin sudah saya stapler lidahnya. hehe..

Kembali ke aplikasi buku ini, saya rasa ada tantangan yang membuat aplikasinya di Indonesia menjadi agak sulit. Yang terutama adalah kebiasaan untuk selalu berhati-hati dan curiga pada orang lain, khususnya yang sedang menawarkan bantuan / berbuat baik. Entah kenapa, sebagian dari kita selalu berpikir bahwa semua orang pasti memiliki maksud tersembunyi di balik kebaikan. Tidak ada orang yang tulus. Hal ini pada akhirnya membuat orang kesulitan berbuat baik.

Saya pernah menanyakan pada seorang teman, apa visinya lima tahun dari sekarang, sehingga saya mungkin bisa membantunya mencapai visi tersebut. Ternyata responnya cukup negatif, dimana ia menyuruh saya melihat saja lima tahun dari sekarang ia bisa menjadi apa. Saya mendapat kesan teman saya tersebut takut mimpinya dicontek atau diolok-olok oleh saya. Padahal, saya benar-benar ingin membantu loh! Saya yakin bisa mendayagunakan sumber daya dan kompetensi yang saya miliki untuk membantu teman saya itu, karena saya tahu ia cukup visioner dan mimpinya agak berat jika dijalankan sendirian.

Di lain kesempatan, saya bertanya kepada seorang teman yang mempunyai bisnis kuliner, dimana ia biasanya membeli daging ayam (kebetulan bisnis keluarga saya adalah daging ayam). Dengan terburu-buru ia mengatakan "Oh kita udah punya langganan tetap kok untuk daging ayam". Teman saya tersebut seakan memunculkan kesan tidak ingin saya jadikan target pemasaran dan pengerukan untung dari bisnis keluarga saya. Padahal, saya bisa memberikan berbagai kemudahan pembayaran dan harga yang bisa membantu bisnisnya, justru karena ia adalah teman saya. Sekalipun tidak menjadi mitra bisnis, saya juga tetap ingin melakukan riset pasar tentang apa yang diharapkan oleh restoran dari pedagang daging ayam. Yah, akhirnya saya tidak jadi melakukan hal itu karena sudah terlanjur mendapatkan penolakan.

Begitulah kurang lebih tantangan terbesar aplikasi buku ini di Indonesia. Meski demikian, saya tetap merasa buku ini tepat dibaca oleh siapa pun khususnya para anak muda yang masih belum terpapar akan pentingnya memiliki koneksi yang luas. Jika mereka sudah menyadari hal ini sedari sekarang, saya yakin mereka akan mendapatkan satu keunggulan yang bisa mereka gunakan dalam hidup mereka, entah sebagai pekerja kantoran ataupun wirausahawan. Bagi saya, apa yang diberikan buku ini jauh lebih bermanfaat dibanding ratusan buku motivasi yang meyakinkan pembacanya bahwa kesuksesan hanya ditentukan oleh diri sendiri saja. Sejalan dengan hampir seluruh kisah orang hebat dan besar di dunia, buku ini justru memberi penekanan pada pentingnya mengenal banyak orang. Ya, kesuksesan (baik dalam karir atau kehidupan), tidak semata ditentukan oleh diri sendiri. Kolaborasi, bagaimana pun, jauh lebih penting! 



Jakarta, 19 Februari 2012
Okki Sutanto
http://okki-sutanto.com

Nov 18, 2011

Sang Penari: Pagelaran Tari Budaya dan Politik

Adat istiadat memang tidak pandang bulu. Apalagi jika adat istiadat yang sedianya berlangsung secara turun-temurun tersebut ada di sebuah desa pedalaman di Indonesia tahun 1960-an. Kemiskinan dan gagal panen yang melanda desa kecil tersebut pun semakin menjustifikasi warga desa untuk bersandar pada hal-hal supranatural. Dengan kepercayaan animisme dan nilai tradisional yang kuat, warga pun rela meninggalkan logika demi memuja sang adat dan tradisi. Situasi menjadi semakin kompleks ketika modernitas yang datang dengan deras menyerbu nilai tradisional. Para pelaku adat pun segera membangun tembok setinggi mungkin, dengan dalih pribadinya telah menyatu dengan adat. Lalu bagaimana dinamikanya? Kira-kira ini yang ingin diangkat oleh sutradara Ifa Isfansyah dalam film terbarunya, Sang Penari.

Di dukuh (desa) Paruk tahun 1960-an, hiduplah sepasang sahabat yang tumbuh bersama; Rasus (Nyoman Oka Antara) dan Srintil (Prisia Nasution). Dalam perkembangannya, ternyata mereka saling menyimpan perasaan terhadap satu sama lain. Tetapi percintaan mereka terhalang oleh kemampuan Srintil menari. Warga desa pun percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng (penari desa), dimana tidak semua orang bisa menjadi ronggeng. Dukuh Paruk yang terus menerus gagal panen memang sedang membutuhkan seorang ronggeng untuk memberi warna dan semangat bagi warga desa yang mulai putus asa. Namun untuk menjadi seorang ronggeng dukuh, Srintil - dan tubuhnya - akan menjadi milik warga desa. Rasus yang mengetahui tradisi tersebut tidak terima jika Srintil bagaikan "pohon kelapa yang seenaknya dipanjat berbagai orang". Dalam keputusasaan, Rasus pun meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Jaman bergerak, politik tahun 1965 pun bergejolak. Saat-saat dimana Rasus dan Srintil harus memilih untuk loyal pada aset sosial atau mengikuti perasaan masing-masing pun tiba. Sadar tidak ada jalan tengah dari dilema tersebut, mereka pun harus memilih salah satunya.

Menurut istilah yang digunakan oleh pembuat film, cerita dalam film ini "terinspirasi" dari novel trilogi karya Ahmad Tohari; Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus di Dini Hari (1984), dan Jentera Bianglala (1985). Sekarang, trilogi novel tersebut telah digabungkan menjadi satu buku dengan judul "Ronggeng Dukuh Paruk" dengan menyertakan detil-detil cerita yang telah disensor selama lebih dari 20 tahun. Ya, di masanya novel ini dikategorikan sebagai karya sastra yang kontroversial. Selain karena dibilang terlalu vulgar dan seronok, Ahmad Tohari juga berani menyinggung gejolak politik Indonesia tahun 1965. Meskipun dengan dibuatnya film ini merupakan sebuah resiko tersendiri bagi produser Shanty Harmayn, yang juga ikut menulis naskah dari film ini. Kembali ke inspirasi, trio penulis naskah yang juga menggodok Garuda di Dadaku (2009), Ifa-Shanty-Salman Aristo tidak terlalu setia pada novelnya. Garis besar cerita memang mengikuti cerita arahan Ahmad Tohari, namun trio penulis ini mengubah beberapa detil cerita. Toh perubahan ini tidak sedemikian signifikannya, selama makna dan maksud dari penulis novel masih pararel dengan pembuat film.

Nov 16, 2011

Omah SiMbok: a place where urban people take some rest while they're longing for their own paradise

Jl. Kemang Raya 72E


Visualisasi sungai dalam kehidupan urban people dan sawah surganya SiMbok

'Kaga Ada Matinye' dan ruang pamer produk Omah SiMbok, Onion, d

Sekitar empat hari yang lalu, saya menghadiri acara soft opening Kemang Raya 72E, tempat yang biasa saya sebut Omah SiMbok kini resmi diperkenalkan kepada masyarakat. Berdasarkan undangan yang saya terima lewat email, acara akan diisi dengan pembukaan fashion store yang memamerkan karya Onion dan gantibaju.com, workshop "Archetypal Brand Identity Workshop For Starting Up Business", dan perayaan kecil bersama Mie Ayam Bang Joni, dan tongseng kambing setelah itu.

Walau kemacetan bagai banjir yang menghadang dan langit mendung menggelayut di atas kota Jakarta, saya tetap datang karena penasaran dengan konsep "Longing For Paradise" yang menjadi tema soft opening Omah SiMbok malam itu. Setibanya saya di depan ruko bertuliskan "Jl. Kemang Raya 72E", saya tertegun sejenak. Kenapa tiba-tiba ada sawah di tengah kehidupan sosialita Kemang? Dan kenapa pula TV di bagian depan ruangan malah menghadap ke luar jendela dan memutar video air terjun?

Ternyata semua kebingungan saya adalah bagian dari konsep 'Urban and Longing for Paradise' yang diusung oleh Omah SiMbok. "Setelah hutan ditebang, muncullah dunia industrial, kicau burung dan airpun hanya dalam ilusi video saja.. tetapi masih ada sedikit sawah dan Omah SiMbok untuk menjaga keharmonisan.. keseimbangan.." Begitu kata Mbak Nani Yugo, salah seorang lay designer Omah SiMbok. Bagi saya, tempat ini merupakan oase di tengah gurun kemacetan Jakarta.

Ruko tiga lantai yang sejak berbulan-bulan yang lalu dicurigai sebagai 'markas gerilya', hari itu disulap menjadi sebuah fashion store yang dipadukan dengan karya seni Awan Simatupang, seorang pematung yang sejak lama melahirkan patung-patung bernilai seni from his loving hands. Salah satu karya seni yang ditampilkan berjudul 'Kaga Ada Matinye' turut menjadi andalan di dalam ruangan pamer toko (dapat dilihat di sini). Kenapa namanya 'Kaga Ada Matinye'? Karena mau dipukul berapa kali pun patung ini tetap dapat berdiri tegak dan tidak jatuh. Terbukti dari semua sisi patung yang sudah ada bekas tonjok dan tendangan, namun ia masih tetap kokoh berdiri. Dan bagi saya pribadi, patung ini menggambarkan mimpi umat manusia sebagai pemicu semangat kehidupan, yang sehar
usnya 'Kaga Ada Matinye'.

'Slentong' atau slendang kantong hasil karya Mbak Nani Yugo, kaos-kaos hasil karya desainer muda Indonesia yang memenangkan kompetisi gantibaju.com, dan kain-kain tenun serta batik turut dipamerkan dan mengundang mata untuk melirik sejenak. Fashion store ini sungguh menggambarkan 'Indonesia' dengan segala idealisme meluap-luap dari anak muda, berpadu dengan ketenangan si Mbok dalam menggoreskan karya dan memadukan warna pada proses membatik, serta kehangatan tangan si Mbok ketika menenun.

Salah seorang idola saya sejak kelas 6 SD ikut mampir ke acara ini dan membeli sebuah kaos Bung Karno hasil produksi gantibaju.com. Jantung saya berdebar-debar dan mulut saya menganga lebar ketika seorang Dennis Adhiswara bergabung dengan kami dalam acara tersebut. Jujur saja, saya mengidolakan dia sejak ia muncul sebagai Mamet dalam kisah Ada Apa Dengan Cinta, sembilan tahun silam. :)

Dennis Adhiswara di fashion store gantibaju.com di FX

Malam semakin larut, ketika saya menutup hari dengan sepiring tongseng kambing dan semangkuk mie ayam sambil duduk di beranda toko. Idealisme dari toko ini sungguh membuat saya tidak ingin pulang, karena suasana yang begitu nyaman seperti rumah sendiri. Saya yang tadinya harus pulang pukul 8 malam, akhirnya memutuskan untuk menginap di rumah teman saya dan menghabiskan waktu hingga larut malam disana.

Terima kasih Mas Eric yang telah memperkenalkan tempat ini kepada saya. :)


Penasaran dengan 'Kaga Ada Matinye', 'Slentong', dan kaos Bung Karno yang dibeli Dennis Adhiswara? Mari mampir! :)

Oct 23, 2011

Oleh-oleh dari Ubud Writers & Readers Festival


Setelah mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2011, saya mulai membuat harapan dan rencana perjalanan lainnya. Bagi saya, melalui perjalanan banyak hal baru dan menarik yang bisa saya pelajari. Tempatnya, suasananya, makanannya, orang-orangnya dan terlebih perjalanan untuk lebih mengenal diri saya. Bahkan para traveler yang sudah membukukan perjalanannya meyakini “travelling is not going anywhere, it’s going inside yourself”. Banyak momen-momen mengakrabi diri sendiri, merasakan gejolak dinamika dunia batin di kedalaman diri yang terasa menyenangkan dan menghidupkan.

Ternyata, banyak perbincangan dan dialog dengan diri sendiri yang terlewatkan ketika hidup di hiruk pikuknya Jakarta. Menjadi warga komuter yang harus menempuh jarak 17 km dari kampus-rumah disertai kegiatan-kegiatan lainnya, membuat waktu tenang sungguh menjadi suatu hal yang berharga.
Di sini, di Ubud saya seperti menemukan kembali diri saya

Saya menemukan Anas kecil yang selalu senang dengan lagu, keceriaan, kegembiraan, warna dan storytelling. 

Saya menemukan diri yang mengintegrasikan ilmu Psikologi dengan penuturan para panelis mengenai hidup dan karya mereka.

Betapa sastra sangat psikologis. Betapa pengalaman dan penghayatan diri seseorang, mempengaruhi karya dan cara penulisannya. Menulis menjadi sarana aktualisasi diri sekaligus terapi untuk memaafkan dan menerima diri sendiri. Saya merasakan suasana pembelajaran dan interaksi yang menyenangkan.
Pernahkah mengalami suasana pembelajaran yang santai, kasual, apa adanya namun “berisi”?
Baru kali ini saya mengalaminya. Saya merasa begitu senang dan cocok dengan suasana pembelajaran seperti ini.

Saya menemukan diri saya yang semakin melebarkan, meluaskan dan meninggikan mimpi. Terinspirasi dari orang-orang hebat yang saya lihat dan saya temui. Salah satunya adalah Dr. Izzeldin Abuelaish dari Palestina. Ia menerbitkan buku “I Shall Not Hate”. Sampai hari ini saya belum sempat membaca bukunya. Namun penuturan cerita beliau membuat saya dua kali banjir air mata mengikuti dua sesi yang menghadirkan beliau sebagai salah satu panelisnya.

Apa yang membuat saya tersentuh? 

Sederhana sekaligus sulit.

Sederhana karena ia tetap memiliki cinta dan tak kehilangan harapan untuk perdamaian dunia, mulai dari melindungi anak-anak dan wanita. Padahal ia sejak kecil tinggal di penampungan untuk masyarakat Palestina, merasakan diskriminasi dari orang-orang Palestina. Namun ia akhirnya berhasil menjadi satu-satunya dokter Palestina yang praktek di rumah sakit Israel. Dokter kandungan untuk wanita-wanita Israel. Terakhir setelah istrinya meninggal, tiga anak perempuan dan keponakannya meninggal ketika rumah mereka terkena rudal Israel. Sebenarnya ia sudah cukup memiliki alasan untuk membenci bahkan mungkin mengakhiri hidupnya...

Tapi ia memilih untuk tetap mencintai...

Mencintai anak-anak Israel, sebagaimana ia mencintai anak-anak Palestina.

Menyadari bahwa anak-anak adalah makhluk yang paling rentan dan rapuh.

Menyadari bahwa untuk menyembuhkan dunia di masa depan, perlu dimulai dari sekarang dengan memberi 
perlindungan dan cinta pada anak-anak.

Meyakini bahwa tidak ada hal yang mustahil di dunia ini selama mau berusaha keras. Hal yang mustahil hanyalah mengharapkan istri dan anak-anaknya hidup kembali.

Mendorong dan mengajak orang-orang untuk menaruh perhatian pada pendidikan perempuan. Sebagaimana ia memulai sebuah organisasi untuk beasiswa pendidikan para perempuan di Timur Tengah.
“When you educate a woman, you educate the family and the nation”

Dan bagaimana ia mengapresiasi keluarganya
“My parents lost everything, but we didn’t loose hope and love”

Hal sederhana yang penting namun sering luput. Setidaknya oleh saya sendiri.
Bersama Dr. Izzeldin Abuelaish, setelah sesi di UWRF
                                   Buku versi Bahasa Inggris, versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan

Oct 6, 2011

Mistis, Cinta, dan Cerita



Habibi
Craig Thompson
Pantheon Books, 2011


Setting timur tengah kerap kali dianggap sesuatu yang eksotis, misterius dan penuh potensial narasi oleh para penulis dan pembaca. Maka tak heran, buku-buku 'timur' seperti The Kite Runner karya Khaled Hosseini sangat laris di luar sana. Penulis timur yang mengangkat setting dari dunianya sendiri memang sangat jamak dan lumrah: Salman Rushdie mengangkat setting India dalam Midnight's Children karena memang ia lahir dan besar di sana sebelum bermigrasi ke Inggris, begitu pula Aravind Adiga dengan White Tiger atau Jhumpa Lahiri dalam The Namesake, bahkan dalam bentuk narasi bergambar pun pernah dilakukan Marjane Satrapi yang mengangkat tanah airnya, Iran, dalam Persepolis. Dalam Habibi kita disuguhkan timur tengah menurut seorang barat. Craig Thompson, sang pengarang sendiri, lahir dan besar di Amerika. Lalu apakah Habibi jatuh ke dalam 'timur tengah fantasi' karena pengarangnya tidak pernah mengenal dunia itu? Bukunya sendiri sudah menjawab: tidak. Keunggulan Habibi adalah buku ini memang membawa tema timur tengah dalam visualnya, namun narasi utama cerita tetap universal: hal yang bisa terjadi di mana saja, merdeka secara kontekstual tapi tetap relevan dengan pembaca. Inilah yang tidak bisa dilakukan buku-buku teks non ilustrasi, tapi bisa dilakukan Habibi: penggambaran visual yang kuat tanpa harus memaksa pembaca mengerutkan dahi dan membalik puluhan halaman hanya untuk mencari tahu "dimana setting cerita ini?"


(halaman 101)

Walau dituturkan melalui panel bergambar dan balon kata-kata, Habibi karya Craig Thompson menolak untuk dikategorikan sebagai sebuah buku komik. Dalam hampir 700 halaman, Craig Thompson seakan ingin menegaskan ini adalah karya serius, buah tangan selama 7 tahun pengerjaan (dimulai dari 2004, kisah dibalik pembuatan, penundaan terbit hingga rilisnya buku ini bisa dibaca di blog pribadi sang penulis, dootdootgarden). Habibi, secara esensi adalah kisah cinta, namun bukan cinta romantis antara dua orang semata, Habibi adalah cerita tentang cinta pada hidup itu sendiri, lebih spesifik, cinta pada cerita kehidupan. (dalam lafal Arab, kata habibi bisa diterjemahkan sebagai 'yang tercinta'). Kegigihan Craig untuk membuat setting timur tengah menjadi hidup patut diakui: ia belajar menggambar corak timur tengah yang kompleks dengan kalkulasi dan akurasi geometri, ia pun belajar kaligrafi dan bahasa Arab untuk menemani narasi agar tidak terkesan tertempel belaka, ia juga menelusuri manuskrip kuno dan literatur sejarah mengenai kebudayaan timur, mulai dari keempat Injil hingga Riyadhus Shalihin, dari 1,001 Malam hingga Bhagavad Gita, agar narasi dalam buku semakin lengkap. Perhatian pada detil inilah yang membuat Habibi pantas ditelusuri dari halaman ke halaman, tidak hanya sekali namun lagi dan lagi.



Lahir dari tangan seorang Barat tidak berarti membuat Habibi menjadi simplistik dalam penuturannya tentang dunia timur. Selama ini yang kita kenal, timur tengah di tangan barat selalu menjadi eksploitasi fantasi dan mistik (ambil contoh, Alladin dalam kartun Disney atau Prince of Persia karya Jordan Mechner). Dalam Habibi, beberapa stereotipe tentang timur masih bisa ditemukan disana-sini, namun Craig Thompson berhasil membalikkannya dari sekedar klise dan repetisi menjadi sesuatu yang faktual dan nyata. Unsur mistisisme, misalnya, tergantikan oleh simbol-simbol agama yang konkrit dan relevan secara kultur. Tidak ada jin dalam lampu wasiat, tidak ada karpet terbang dan jam pasir ajaib. Tergantikan oleh cerita penemuan unsur kimia oleh Abu Musa Jabir bin Hayyan, atau petikan kitab Ayub. Walau begitu, tetap terasa ada hiperbola yang mengganggu, beberapa unsur terasa berlebihan seperti kekerasan dan sensualitas. Meskipun minor, namun sentralisasi Craig dalam tema sensualitas dan erotisme terasa berlebihan. Memang benar hukum pancung, rajam dan siksaan mengerikan lain bisa kini hanya dapat ditemui di timur tengah, namun tidak berarti hal itu harus diumbar di setiap halaman. Benar pula bahwa teks erotis dan sensual semacam Kama Sutra berasal dari timur, namun bukan berarti kebudayaan timur mengagungkan seks di tiap sudut kehidupan. Terlepas dari kekurangan minor tersebut, Habibi adalah sebuah pencapaian yang luar biasa untuk media narasi bergambar.


(halaman 300)

Secara cerita, Habibi pun tidak kalah menarik, bahkan inilah daya tarik utama buku ini. Habibi, mula-mula dibuka dengan perintah pertama Jibril kepada Muhammad, "iqra." ('baca'), dan terus menggema sepanjang buku, membuat kita terus ingin membaca buku ini hingga konklusi akhir. Ceritanya sendiri mengetengahkan dua orang protagonis utama: Dodola dan Zam, yang satu adalah seorang gadis yang dinikahkan sejak usia 9 tahun, yang lain adalah budak kulit hitam yang dijual layaknya binatang. Kedua tokoh ini kemudian bertemu, kabur dan tinggal bersama di gurun yang sunyi. Dodola yang lebih tua (saat itu berusia 12 tahun) kemudian menemukan tujuan dan makna hidupnya dalam Zam, kala itu berusia tidak lebih dari 5 tahun. Dodola berjanji untuk melihat Zam tumbuh besar dan dewasa, merdeka dari kekangan perbudakan dan penderitaan. Dodola pun mengasuh Zam layaknya seorang kakak perempuan, ia mencuri makanan dan pakaian, rela mengambil air berkilo-kilometer jauhnya hanya untuk menghidupi dirinya dan Zam. Dodola pun mengajari Zam tentang kehidupan, melalui kisah-kisah dalam Al Qur'an dan Perjanjian Lama. Melalui kisah tentang para Nabi, mulai dari Adam dan Hawa, Abraham, Nuh, hingga Yesus dan Muhammad. Cerita tentang Raja Salomo dan para permaisuri, cerita tentang kaburnya Musa dari Mesir. Semua cerita ini tidak memutus alur narasi utama, melainkan menyambung menjadi satu dengan keseluruhan buku. Bermain dengan latar timur tengah, mau tak mau memaksa Habibi bertatap muka dengan spiritualisme timur yang kental dan pengaruh besar agama samawi (Abrahamik), utamanya Islam dan Kristen. Dan hal ini berhasil dilakukan Craig Thompson, seorang yang tumbuh dalam keluarga Kristen yang fundamental (seperti terungkap dalam karyanya, Blankets, di tahun 2002). Peleburan teks religius dengan cerita kontemporer tentang trauma, penderitaan, peran gender, seksualitas dan kemiskinan inilah yang membuat Habibi pantas disebut sebagai karya yang megah: yang sudut pandangnya tidak terkungkung batasan waktu dan geografis, yang bisa dicerna dan diceritakan ulang ke berbagai kalangan. Mereka yang tidak menyenangi tema religius pun bisa membaca Habibi dengan mudah, karena dibalik itu, ada sebuah cerita tentang keinginan untuk bertahan hidup, kemauan untuk melewati segregasi ketat suku, ras dan label agama.

(halaman 19)

Tema cinta memang tidak pernah membosankan untuk dikupas, terutama jika dilihat dari sudut pandang yang segar seperti yang tersaji dalam Habibi. Konklusi buku ini terasa menyakitkan dan pahit untuk dicerna, namun sangat puitis dan indah, sebuah akhir yang sangat pas dengan keseluruhan jalan cerita. Akhir kata, jika anda berniat membaca Habibi: bukalah imajinasi seluas-luasnya dan selamat menyelami permadani visual yang indah dari Craig Thompson.


(halaman 589)

*sembari menulis catatan kecil ini, saya ditemani lagu Sting, If I Ever Lose My Faith In You, yang liriknya seakan berparalel dengan keseluruhan cerita terutama bagian chorus, 'if I ever lose my faith in you, there will be nothing left for me to do.' Selamat membaca :-)

Aug 28, 2011

Manusia dan Karya





Art and The Creative Unconscious

Erich Neumann
Princeton University Press, 1959



"...the individual history of every creative man is always close to the abyss of sickness." (p.186)
Sebulan lalu seorang teman meminjamkan buku ini kepada saya, dari judulnya saya sudah menerka: pasti psikoanalisa. Saya pribadi sebenarnya tidak pernah menyenangi buku-buku psikologi klasik, utamanya dari psikoanalisa. Tiga kali sudah saya mencoba memulai membaca tiga teks klasik psikoanalisa (Interpretations of Dreams dan Wit and Its Relation to Unconscious karya Freud, serta Man and His Symbols karya Jung -- kesemuanya sekarang bagian dari public domain dan bisa dibaca gratis) dan hasilnya saya selalu berhenti di beberapa bab awal. Alasannya sederhana: membosankan.
"...despite all the darkness and danger, the man of our time...the art that belongs to him, is a great fullfilment and a still greater hope." (p.134)
Namun buku ini, sebegitu menariknya, sehingga saya tidak ingin berhenti membacanya. Begitu saya selesai membaca buku ini, saya tidak mau mengkategorikan Art and Creative Unconscious sebagai buku teks yang membosankan. Erich Neumann sendiri adalah anak didik Jung, dan hampir seluruh bagian dari buku ini terpengaruh dari teori Jung -- utamanya Archetype dan konsep Animus/Shadow -- yang sebenarnya saya benci karena berbau pseudo-science, tapi saya tetap menyenangi buku ini. Alasan paling masuk akal karena bagi saya, buku ini lebih terasa 'mengajak diskusi' ketimbang 'menggurui', lebih didactical dan open-ended, tidak ada kesimpulan sepihak dari Neumann yang memaksa pembaca menelannya bulat-bulat. Buku ini bukanlah satu teks koheren dari awal hingga akhir, melainkan tersusun dari empat esai yang mengupas mengenai manusia dan seni (secara general).
"In the life of creative man the emphasis always lies on the transpersonal factors..." (p.17)
Esai pertama (Leonardo Da Vinci and The Mother Archetype) mengangkat hubungan antara seni dan archetype mother (atau caregiver, dalam bahasa Pearson) dimana Neumann menggunakan contoh artis/ilmuwan Renaissance, Leonardo Da Vinci sebagai persona yang kehilangan sosok ibu dan menemukan--atau menciptakan--nya kembali dalam karya-karyanya, terutama yang paling terkenal: Mona Lisa. Yang ingin diterangkan Neumann dalam esai ini adalah, seni, tidak hanya memiliki sisi estetika untuk para penikmat namun juga fungsi diagnostik ke dalam: dengan beberapa pertimbangan (dan kemampuan tertentu), melalui karya seseorang, kita bisa melihat keadaan diri sang pencipta. Apa yang menggugahnya membuat satu karya spesifik, apa yang mendorongnya mencipta sesuatu dari ketiadaan.
"..the seed of the fruit of chaos is perhaps more precious than the seed of any other fruit." (p.121)
Esai kedua, Art and Time adalah esai yang sangat menarik dan menginspirasi. Disini Neumann menerangkan mengenai seni sebagai hal universal yang melingkupi seluruh sejarah peradaban manusia. Namun di sisi lain, seni juga sekaligus adalah hal yang kontekstual dan spesifik: yang bisa ditemukan di satu tempat namun tidak di tempat lain. Hal ini terkait dengan keberadaan dimensi waktu. Karya dan gaya seni di tempat dan waktu tertentu, misal di era Perang Dunia 2, tentu berbeda dengan karya dan gaya seni di era lain, misal Renaissance di abad 16. Esai kedua ini juga membicarakan bagaimana seni berkembang dari individu, ke society, menjadi zeitgeist dan akhirnya diterima secara universal. Begitu pula sebaliknya, seni bisa berangkat dari universal, lalu bertransformasi menjadi personal. Neumann juga menerangkan mengenai seni jarang, bahkan hampir tidak pernah datang dari order (keteraturan) melainkan dari chaos (kekacauan), dimana kekacauan itu bertransformasi di tangan para kreatif menjadi sebuah keindahan, dan pada akhirnya, membentuk keteraturan baru.
"The dignity of man now appears to us in his creative power..." (p.128)
Esai ketiga (A Note on Marc Chagall) membicarakan Marc Chagall, seorang artis Yahudi yang kurang dikenal di eranya (dan era sekarang), namun merupakan figur signifikan, utamanya dalam mazhab seni Naturalist. Ketika PD 2 berlangsung, Chagall, seorang Yahudi, harus hidup dalam ketakutan besar dan terpaksa bersembunyi. Hal inilah yang ditulis Neumann dalam esainya, dimana Chagall, kemudian menjadi complete human being ketika menuangkan segala ketakutan, kecemasan, kegelisahan dan kemarahannya tentang hidup dalam kanvas. Chagall yang adalah seorang religius kerap kali membawa motif-motif agamanya ke dalam karyanya -- kepercayaan dan jiwa seninya adalah yang membuat Chagall bertahan hidup, bahkan dalam situasi yang paling gelap sekalipun.
"And this is why many artists, even among the most gifted, have such intense anima relations with the "distant loved one," epistolary relations, relations to the unknown, the dead, etc." (p.18)
Esai keempat dan terakhir adalah Creative Man and Transformation, sebuah esai yang tertulis elegan dan indah, dimana Neumann menerangkan meaning dan value dari sebuah karya, bukan bagi mata orang luar, melainkan bagi sang seniman sendiri. Neumann menulis mengenai seni sebagai sebuah mekanisme untuk membentuk whole self, pribadi yang utuh, yang lengkap secara fisik dan jiwa, yang seimbang dalam cahaya dan kegelapan, yang berdiri menantang di antara perjalanan hidup dan kematian final. Seni menjadi sebuah cara untuk bertahan dari 'kegilaan' di luar, sebuah keteraturan dari kekacauan hidup. Di akhirnya, kreativitas dan pemiliknya, adalah satu dan tak terpisahkan. Kreativitas berkembang sejalan dengan sang seniman, begitu pula sang seniman menjadi utuh karena memiliki kreativitas.
"…nothing had meaning in itself, nothing was an end in itself, neither the insight nor the practical application, neither the discovery nor the invention…art was not everything and not the whole." (p.69)
Buku ini menarik, walaupun tidak ringan, terutama karena Neumann menulis dengan bahasa yang sulit dipahami orang di luar field seni dan psikologi, ditambah lagi dengan referensi sejarah, buku dan tokoh-tokoh yang tidak familiar di telinga. Beberapa kali saya terpaksa googling untuk mencari tahu beberapa nama dan judul buku yang diutarakan Neumann. Bagi mereka yang menyenangi kontemplasi dan perenungan filosofis, serta mereka yang sadar bahwa hidup tidak hanya melulu terdiri dari hal-hal fungsional melainkan juga estetis, buku ini sangat cocok untuk dibaca.

Rancangan Semesta





The Grand Design
Stephen Hawking & Leonard Mlodinow
Bantam, 2010


"The most incomprehensible thing about the universe is that it is comprehensible." -- Albert Einstein
Saya ingat buku ini terbit dengan riuh, publikasi media dan sorotan publik menyertai Grand Design diawal penerbitannya. Beberapa menyatakan keberatan, beberapa mengangguk menyetujui apa yang ditulis Hawking (dan co-author Mlodinow) di dalam buku ini. Singkat kata, buku ini mengemukakan hipotesa -- yang bisa dibuktikan suatu saat ketika teknologi manusia sudah mumpuni -- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri, tanpa bantuan tangan transendental milik entitas bernama Tuhan. Hawking menyertakan teori penguat hipotesa ini, yakni Grand Unified Field Theory, sebuah modifikasi M-Theory -- dimana M-Theory sendiri merupakan lanjutan dari string theory (dan superstring theory) yang super-njelimet itu. Setelah membaca bukunya, saya pribadi tidak menemukan kontroversi berlebih seperti yang diumbar banyak orang: buku ini ternyata tidak anti-Tuhan, tapi pro-sains dan pro-kehidupan.
"The native view of reality therefore is not compatible with modern physics." (hal.7)
Untuk sampai pada kesimpulan diatas, Hawking, di dalam buku ini, mengajak pembaca berkeliling dimensi ruang-waktu untuk menemui sosok-sosok yang menginspirasi terciptanya modifikasi M-Theory, banyak dari tokoh yang ia kemukakan dalam buku mungkin sangat asing bagi kita di luar domain ilmu fisika atau astronomi, namun Hawking dengan teliti tidak memfokuskan arah buku kepada mereka, melainkan kepada tiga ikon fisika yang dikenal dunia. Sosok paling awal yang ia kenalkan tentu saja bapak Fisika klasik, Isaac Newton (dan di akhir buku, kesimpulan akan berbalik ke temuan Newton pertama kali: gaya gravitasi), lalu pembaca juga akan menemui si jenius penemu fisika quantum, Richard Feynmann -- yang teorinya akan dijadikan landasan string theory serta M-Theory -- serta terakhir, Albert Einstein, dengan teori relativitas-nya. Tokoh keempat (dan kelima) yang sebenarnya memegang peran penting adalah James Maxwell dan Michael Faraday, masing-masing ialah penemu gaya magnet dan elektrik, yang kemudian terbukti saling bersinggungan satu sama lain dan dikenal sebagai gaya elektromagnet. Keempat gaya fundamental dalam fisika: gravitasi, elektromagnet dan nuklir (kuat-lemah) menjadi 'bahan baku' utama dalam buku. Perlu diingat, buku ini mempersepsikan pembaca sebagai 'penganut' fisika kuantum, yang berarti percaya dan paham bahwa realita kita hanyalah satu diantara realita lain yang tidak berbatas jumlahnya, dan 'secara kebetulan' kita berada dan memilih untuk berada di jagat ini (diterangkan dalam teori Goldilock Zone di bab 7 dalam buku). Kedua, buku ini sangat spekulatif dan imajinatif: tidak adanya observasi dan pembuktian teori dalam buku memaksa pembaca untuk berimajinasi dan membayangkan segalanya.
"...the universe doesn't have just a single existence or history, but rather every possible version of the universe exists simultaneously..." (hal.59)
Buku ini sangat epik dalam sudut pandangnya mengenai jagat raya, delapan bab dalam buku ini mengupas alam, tidak hanya dari sudut pandang kosmik yang luas, tapi juga sampai ke detil atom terkecil, bahkan partikel subatom. Ini adalah salah satu kehebatan buku ini, Hawking serasa memainkan teleskop besar yang bisa menerawang dari luar angkasa hingga sudut terkecil di alam raya tanpa melepas gambaran utama. Kelebihan lainnya adalah bagaimana Hawking mengelaborasi teori-teori yang selama ini eksis dalam fisika klasik dan kontemporer, menjadi satu kesimpulan besar -- dalam Grand Unified Field Theory -- tanpa terlihat memusingkan atau mengalienasi pembaca, dan kelengkapan referensinya juga sangat mencengangkan. Hawking menerangkan segala ini dengan bahasa awam, bahkan kadang diiringi lelucon dan ilustrasi humor. Tapi bukan berarti buku ini tanpa kekurangan. Saya pribadi menganggap buku ini, walaupun sangat jelas dan simpel dalam penjelasannya, namun tetap terlalu 'datar'. Sekalipun banyak ilustrasi menarik disana-sini dan lelucon (yang terkadang aneh) dari penulis, itu tidak cukup untuk menutupi betapa datarnya buku ini.
"...we must alter our conception of goals and of what makes a physical theory acceptable." (hal. 143)
Fisika/filsafat/astronomi/geometri, sesuai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri: memang harus selalu benar, harus mengungkapkan fakta, harus bisa dibuktikan, namun harus serius dan datar seperti diktat kuliah yang membosankan? Tidak. Dan inilah kelemahan Grand Design. Mungkin ini kembali kepada gaya penulisan. Saya mengakui penulisan Hawking dan Mlodinow sangat datar, berbeda misalnya dengan buku-buku dari spesies yang sama, seperti Carl Sagan dalam Demon-Haunted World, atau The Fabric of Cosmos karangan Brian Greene. Buku-buku ini, walaupun sama-sama menerangkan topik mengenai alam semesta dan objek di dalamnya, namun terasa lebih hidup, lebih menyenangkan, dan di akhirnya: lebih meyakinkan pembaca. Hal ini sedikit disayangkan karena salah satu penulis Grand Design, Mlodinow, adalah penulis naskah veteran, ia pernah menulis beberapa episode untuk Star Trek: The Next Generation.
"In this view, the universe appeared spontaneously, starting off in every possible way." (hal. 136)
Kelemahan kedua dari buku ini adalah Grand Design tidak menyentuh aspek teknis. Tentu saja aspek teknis fisika akan membosankan (dan tidak mungkin, karena M-theory melibatkan multiverse, jagat lain di luar realita kita dalam kalkulasinya) untuk dimasukkan ke dalam buku, namun di sisi lain, ketiadaan aspek teknis (misal, pembuktian rumus dan kalkulasi) membuat buku ini terasa tidak meyakinkan. Ini selalu menjadi pedang bermata dua bagi para penulis sains populer: di satu sisi, pembaca yang mengerti atau paling tidak kenal dengan topiknya selalu menginginkan aspek teknis untuk dibahas, namun di sisi lain, untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, aspek teknis kemudian di-filter oleh penulis, demi menjaga koherensi teks dan pesan didalamnya.
"We are the product of quantum fluctuations in the very early universe." (hal. 139)
Satu kelemahan lain yang sangat saya sayangkan adalah bahwa Hawking dan Mlodinow, walau keduanya tidak dipungkiri dua jenius besar di dunia, memilih untuk menulis pembukaan yang sangat, sangat tidak pintar. Di bab pertama, mereka menulis: 'philosophy is dead, philosophy is not keeping up with modern science.' Ini adalah sebuah sindiran tidak perlu kepada filsafat, yang notabene adalah akar dari segala ilmu pengetahuan rasional. Bagi saya pribadi, pernyataan ini sangat munafik, karena nyatanya di bab-bab selanjutnya, The Grand Design banyak memuat filsafat. Ini sangat 'mengganggu' keseluruhan pengalaman membaca saya, karena bagi saya pembukaan tadi tidak lebih dari sekedar pernyataan bodoh yang tidak perlu dalam buku setingkat The Grand Design.
"If the theory is confirmed by observation, it will be the successful conclusion of a search going back more than 3,000 years. We will have found the grand design." (hal.181)
Akhir kata, buku ini sangat cocok untuk mereka yang penasaran mengenai alam semesta dan proses penciptaan non-religius atau bagi mereka yang familiar dengan tema fisika, astronomi dan matematika. Catatan saya, bagi yang berniat membaca buku ini: selamat menantang daya imajinasi anda untuk membayangkan proses yang terjadi milyaran tahun lalu :-)


Jul 14, 2011

Sepak Bola: Antara Cinta dan Cita-Cita

Andrea Hirata, Novelis Indonesia yang sukses dengan novel Laskar Pelangi-nya, kini menghadirkan Sebelas Patriot sebagai novel ketujuhnya. Sebelas Patriot melukiskan tentang cinta seorang anak, pengorbanan seorang ayah, makna menjadi orang Indonesia, dan kegigihan menggapai mimpi-mimpi.
Sepak Bola dan Perlawanan
Hanung Handoko dalam pengantar bukunya Sepak Bola tanpa Batas menulis demikian “Sepak bola bukan lagi sekedar joga bonito (permainan indah) para aktornya untuk menciptakan gol dan meraih kemenangan. Sepak bola juga tidak lagi sekedar pertandingan 2 x 45 menit (plus extra time dan adu penalti), tetapi sepak bola telah memberi pelajaran terhadap refleksi kemanusiaan kita”. Hal itulah yang menjadi salah satu intisari yang mengemuka dalam karya Andrea Hirata dalam Sebelas Patriot. Sepak bola sebagai salah satu cabang olah raga yang begitu banyak digandrungi masyarakat dunia pernah menjadi simbol kolonial Belanda menegakan superioritasnya di tanah koloni yakni Indonesia secara khusus di tanah Belitong.
“Baginya (Van Holden-Distric beheerder), setiap aspek, termasuk sepak bola, adalah politik dan dia akan menggunakannya untuk satu tujuan yaitu melanggengkan pendudukan Belanda. Lebih dari itu, tim sepak bola gabungan Belanda tak pernah dikalahkan tim mana pun (hlm. 20)”.
“Van Holden (Distric beheerder yang membawahi wilayah ekonomi pulau Bangka dan Belitong) memerintahkan agar hari lahir Ratu Belanda diperingati di tanah jajahan. Orang-orang Melayu dipaksa memeriahkan hari kelahiran ratu dari bangsa yang terang-terangan di siang bolong menindas mereka. Perayaan itu ditandai dengan pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric beheerder. Orang jajahan bertanding sesama orang jajahan. Tapi tentu saja, sehebat bagaimanapun, orang jajahan tidak boleh menang melawan penjajah (hlm. 11-12)”.
Mereka (orang-orang jajahan) yang “membandel” akan berujung tragis. Belanda membawa mereka ke dalam tangsi dan memperlakukan tidak manusiawi. Atletdan pelatih kita ada yang “dikandangkan”, tidak diizinkan untuk bertanding dan melatih, babak belur, gigi tanggal, tulang remuk, dan diasingkan. Namun, seakan tidak jera sekalipun dimasukan dalam “camp konsentrasi” masih ada yang tetap “membandel”. Hal itu dilakoni 3 bersaudara yang mana satu diantaranya adalah ayahnya Ikal.
Perlawanan terhadap penjajah tidak harus mengangkat senjata. Tapi perlawanan bisa dalam bentuk pertandingan sepak bola. Dan inilah saat dimana “senjata” memakan tuannya sendiri. Belanda yang awalnya mengunakan sepak bola untuk menegakan supremasi di tanah jajahan mereka harus menanggung malu karena sepak bolalah yang mendamprat wajah mereka. Usaha Van Holden untuk membendung kedigdayaan 3 bersaudara dari unit parit tambang dengan membangkucadangkan mereka. Namun, mereka menepis keinginan Van Holder dan membawa kemenangan Indonesia atas Belanda.
“Mereka tak menghiraukan bahaya yang bahkan dapat mengancam jiwa. Mereka tidak dapat menahan diri untuk tidak bermain sepak bola. Karena sepak bola adalah kegembiraan mereka satu-satunya. Lapangan bola adalah medan pertempuran untuk melawan penjajah (hlm. 21).”
PSSI Harga Mati!
Sekalipun PSSI sedang berkecamuk (saat itu) dengan berbagai persoalan yang mungkin samas-sama kita ketahui tapi tidak mempengaruhi Ikal untuk menc
intai PSSI apa adanya. Hal itu tidak terlihat secara terang benderang dalam karya terbarunya ini kalau ia mengkritik atau bahkan mengutuk carut marut yang melanda Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ini. Tetapi sebaliknya mencintai PSSI dengan keapaadaanya apalagi sampai berpalinghati ke negara lain. Memang, Ikal juga menyukai Real Madrid, tapi rasa sukanya pada salah satu klub Spanyol itu tak bisa menyaingi kecintaannya pada Tim “Garuda”, Indonesia.
Pada posisi ini Andrea Hirata ingin mengajarkan kepada kita untuk mencintai apa yang kita miliki dengan sepenuh hati, meskipun apa yang kita miliki jauh dari kesempurnaan. Ikal juga tidak melarang kita untuk mengkritik asalkan dilandasi rasa cinta bukan kebencian.
Buku yang disertai sekeping kaset compact disc (cd) dengan 3 lagu karangan Ikal di dalamnya layak menjadi bahan bacaan untuk Anda. Selamat membaca.

Foto:www.google.com
kunjungi jg blog gw: http://yanuarimarwanto.wordpress.com/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...