Jun 17, 2013

Minggu Pagi di Cilincing

Apa yang terbersit di kepala kita ketika mendengar kata “Cilincing”? Mungkin yang terbayang adalah suatu sudut kota Jakarta yang kumuh. Enggan untuk dilihat apalagi didatangi. Dekat dengan pelabuhan dan pabrik-pabrik besar, Cilincing merupakan bagian kota Jakarta yang menunjukkan kekhasannya sebagai  daerah industri kaum pekerja.

Sepanjang jalan tol menuju Cilincing, kita akan melihat deretan pabrik dan mesin-mesin alat berat di kiri kanan jalan. Sementara di jalanan, sering sekali kita berpapasan dengan truk-truk kontainer besar. Minder rasanya menaiki mobil kijang yang diapit oleh truk-truk kontainer besar.

Pernahkah terbayang kehidupan seperti apa yang dapat kita temukan di Cilincing?

Daerah Cilincing sendiri merupakan daerah yang luas. Ada daerah pemukiman layak, setengah layak sampai tidak layak sama sekali untuk disebut tempat tinggal. Kalau kita meng-googling “Cilincing” maka yang muncul adalah berita kriminal, narkoba, nelayan, perjudian dan berita-berita lainnya yang negatif.

Seeing is Believing

Idiom ini pertama kali muncul pada tahun 1639. Idiom ini muncul dari cerita Santo Thomas yang tidak percaya bahwa Yesus yang disalib telah bangkit. Maka dia berkata kalau ia baru akan percaya bahwa Yesus bangkit jika ia dapat mencucukkan jari pada lubang di tangan Yesus karena disalib.
Ini juga bisa berlaku untuk kita. Kita baru mempercayai sesuatu jika melihat hal tersebut secara langsung. 

Sebaliknya kita juga perlu peka dan kritis mempercayai yang disajikan atau disuguhkan dalam kehidupan kita sehari-hari dalam bentuk pengetahuan yang ada di keluarga, masyarakat, dan media massa. Sebab siapa tahu keyakinan kita akan suatu hal diarahkan melalui apa yang dengan sengaja disuguhkan di depan mata kita.

Kembali ke soal Cilincing. Di Minggu pagi saat menyusuri gang-gang kecil di Cilincing, saya melihat dinamika kehidupan masyarakat yang memperlihatkan sendi dan denyut-denyut kehidupan sosial manusia masih ada dan hidup.

Berbelok ke gang di sebelah kiri, terlihat tiga ibu berpakaian gamis dan jilbab serasi warna merah dan kuning gading. Lengkap dengan riasan wajah sedang memegang alat music. Saya duga mereka akan qasidahan di suatu hajatan.

Menyusuri gang, lalu berbelok ke sebelah kanan terlihat jalanan gang ditutup oleh kursi kayu panjang. Di jalan tersebut sekitar lima belas ibu-ibu sedang melakukan senam aerobik dipandu oleh instruktur laki-laki. House music diputar untuk mengiringi gerakan mereka. Riuh sekali suasananya. Di sekitarnya, ada beberapa anak kecil yang menonton para ibu berlatih senam. Ada juga ibu yang menggendong bayi lalu ikut berjoget mengikuti irama house music.

Tak berapa lama, sambil mencari jalan keluar dari gang sempit ini terdengar suara pengumuman dari masjid. Tersiar berita duka cita atas meninggalnya seorang nenek dari pengeras suara masjid. Pengurus masjid juga memberitahukan kapan jenazah akan di-sholatkan dan dibawa ke pemakaman.

Di setiap sudut atau pengkolan gang, dengan mudah ditemui warung. Warung yang bukan hanya berfungsi sebagai penyedia kebutuhan sehari-hari tapi juga menjadi tempat nongkrong. Anak muda nongkrong dengan sesama anak muda, bapak-bapak nongkrong dengan sesama bapak-bapak. Begitu juga dengan para ibu.

Tak lama kemudian, dari pengeras masjid lainnya terdengar suara himbauan untuk melakukan kerja bakti bersama.

Saya tercenung.

Saya yang tinggal di kompleks perumahan tidak pernah menyaksikan dinamika kehidupan bermasyarakat seperti ini di lingkungan tempat tinggal saya. Paling hanya ada rapat RT. Itupun yang hadir biasanya hanya sepertiga dari warga kompleks.

Saat saya lari pagi atau sore keliling kompleks, saya menyadari bahwa yang menikmati jalanan kompleks yang enak hanyalah para baby sitter dengan anak majikannya yang didorong di kereta bayi dan sepeda, atau para anjing peliharaan majikan yang dibawa berkeliling oleh pembantu rumah tangga.

Sementara pemilik rumah yang tinggal di kompleks hanya berseliweran dengan mobil. Pergi pagi, pulang 
malam dan langsung masuk ke garasi rumah.

Sepuluh tahun lalu, saya masih kenal tetangga saya. Setiap sore saya bermain dengan tetangga seumuran. Naik sepeda keliling kompleks atau bermain di rumah.

Salah satu keberfungsian manusia yang sehat dilihat dari kualitas interaksi dan relasi sosialnya.

Di tempat yang sering dikonotasikan orang sebagai tempat yang kumuh, kriminal dan tidak layak tinggal saya menyaksikan kemanusiaan manusia yang terfasilitasi melalui ruang publik yang terbatas.

Saya melihat orang-orang bisa mengobrol dengan akrab di luar rumah, tak hanya mengurung diri di dalam rumah beton.

Saya melihat orang-orang yang bisa terlihat rileks dan tersenyum saat bertegur sapa dengan sesamanya. Bukan hanya tersenyum ke layar tablet atau komputer ketika ada orang nun jauh di sana menge-like status Facebook saya. *eaaa*

Minggu pagi itu di Cilincing saya diizinkan-Nya melihat kemanusiaan manusia pada suatu kelompok masyarakat yang sering kita nihilkan keberadaannya.  

Sesungguhnya siapa yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai yang paling ‘beradab’?-Maria Hartiningsih, jurnalis senior Kompas di bidang HAM dan kemanusiaan (2013).

Sekali lagi, pengalaman dan perjalanan hidup menyadarkan saya akan keberagaman. Menyadarkan betapa paradigma berpikir kita sendiri yang seringkali membuat kotak sempit sehingga kita sulit melihat kekayaan dan keberagaman warna hidup di depan kita.

Termasuk membatasi bahkan menghambat kita untuk menyadari sentuhan dan suara-Nya di keseharian hidup kita.

Seeing is believing-St. Thomas.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...