Sejak tahun 2010, semakin banyak bermunculan film-film
Indonesia yang mengangkat hubungan percintaan antar lawan jenis dari suku
dan/atau agama yang berbeda. Secara fundamental, perbedaan agama dalam hubungan
percintaan dianggap lebih krusial dan menjadi isu di dalam kehidupan
masyarakat. Jika diperhatikan, setting yang dibangun di cerita sebagian besar
berada di tahap forming atau
pembentukan. Ketika dua insan dari latar belakang berbeda saling bertemu dan
jatuh cinta lalu ingin menikah tapi tidak disetujui oleh keluarga karena
perbedaan tersebut.
Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama bukanlah
baru terjadi di tahun-tahun terakhir ini. Situasi seperti ini sudah terjadi
puluhan bahkan ratusan tahun sejak agama-agama “impor” masuk ke bumi pertiwi.
Lalu bagaimana menjalani hidup di dalam keluarga, kelompok dan masyarakat dalam
perbedaan yang sudah terberi (given)
seperti ini?
Saya adalah orang yang terlahir dalam situasi terberi (given) berada dalam perbedaan. Hubungan
antar berbagai keluarga inti di keluarga besar merupakan interaksi antar
keluarga yang berbeda agama. Keluarga saya menganut agama Katolik, keluarga tante
saya beragama Kristen Protestan, keluarga tante saya yang lain beragama Islam,
dan ada keluarga om-tante saya beragama Buddha.
Saya tidak lahir dalam kondisi baru akan membentuk keluarga.
Ketika saya lahir, kondisi-kondisi berbeda seperti ini sudah ada dan terberi.
Saya belajar hidup dan bertumbuh dalam perbedaan-perbedaan ini. Saya hidup
dalam keberagaman sedari saya mulai berjalan dan mengucap kata pertama.
Saat ini saya memang tidak terlalu sering bertatap muka,
bertemu dan berkumpul dengan keluarga besar saya. Kami berkumpul hanya pada
waktu-waktu tertentu, entah ada saudara yang menikah, meninggal, atau hari
besar agama. Tapi dari pengalaman masa kecil yang teringat di saat ini saya
mengingat memiliki pengalaman-pengalaman berinteraksi bersama mereka yang
menyenangkan.
Pengalaman duduk, mengobrol, makan dan tertawa bersama. Interaksi
normal antar manusia.
Manusia yang sama-sama punya mata, telinga, mulut, tangan
dan kulit yang melapisi tubuh. Sama-sama berselera untuk menikmati makanan dan
duduk bersantai.
Lebih dari itu, ada ikatan dan perasaan sebagai satu
keluarga yang menyatukan. Kami berbeda tapi kami menyadari kami punya leluhur,
nenek moyang yang sama. Kami mengasihi dan menghormati kakek-nenek, emak-akong,
eyang putri-eyang kakung yang sama sehingga membuat kami juga mampu mengasihi
dan menghormati satu sama lain.
Dari pengalaman ini saya belajar, ikatan keluarga melampaui
perbedaan agama.
Hal serupa saya temui ketika mengunjungi komunitas Kampung
Sawah. Ada yang tau komunitas Kampung Sawah?
Di komunitas ini masih tersisa orang-orang Betawi yang
tinggal bersama dalam populasi sejumlah 20.000 orang berdasarkan penuturan
tokoh masyarakat setempat. Orang-orang Betawi di sini ada yang menganut agama
Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Di lingkungan Kampung Sawah sendiri,
berbagai gereja dan masjid didirikan berdekatan bahkan bersebelahan. Saat ini,
komunitas gereja yang ada di Kampung Sawah pun kian beragam. Mulai dari Gereja
Pasundan, Gereja Kristen Jawa, Gereja HKBP dan beberapa gereja lainnya.
Mereka terbiasa saling meminjamkan ruangan dan membantu jika
ada acara keagamaan dari salah satu agama. Pernikahan antar agama maupun
berbeda-beda agama di satu keluarga bagi mereka adalah hal yang biasa.
“Jadi dari satu nenek saya, yang anak pertama masuk Islam,
yang anak kedua, bapak saya masuk Kristen. Saya sendiri Kristen dan ikut gereja
Pasundan”, demikian penuturan seorang bapak tokoh masyarakat di Kampung Sawah
berusia 60-an tahun.
Saya lumayan kaget mendengar penuturan bapak ini. Sebab ia
menggunakan pakaian khas Betawi: peci, baju koko dan sarung. Atribut pakaian
yang saya identikkan dengan agama Islam. Di kemudian hari ketika mengobrol
dengan Mas Danny Yatim, baru saya ketahui kalau peci itu sebenarnya tradisi di
Indonesia yang dahulu berlaku universal *lihat saja foto-foto generasi muda
Indonesia tahun 1920-1970-an. Sementara saat ini peci sudah bergeser
seolah-olah hanya yang beragama Islam yang memakai peci.
Bapak ini juga menceritakan orang-orang di Kampung Sawah terlibat
dalam perseteruan, misalnya pada saat berkendara di jalan mereka menjadi mudah
akur karena menyadari kalau mereka masih bersaudara, nenek moyangnya masih
sama. Kesadaran ini membuat mereka cepat meredam pertikaian di antara mereka.
Sejuk sekali hati rasanya mendengar penuturan bapak ini.
Percakapan di jalan kecil yang rindang pepohonan di Kampung Sawah kala menjadi
pendamping kelompok dan penerjemah untuk pemuka agama dari World Church
Organization (WCO), sebuah organisasi oikumene antar berbagai denominasi
gereja.
Berbeda bukan hal yang tabu.
Berbeda adalah keindahan.
Berbeda adalah keberagaman yang diizinkan-Nya terjadi. Sebagaimana
Ia menciptakan keberagaman flora dan fauna di darat, laut dan air.
Jika Ia, Sang Pencipta Kehidupan saja mencipta dunia dan
isinya dalam keberagaman. Siapakah kita, manusia ciptaan-Nya yang berani
menistakan keberagaman?
Kalau sedari saya hidup dan membuka mata, saya sudah hidup
di tengah keberagaman masak saya harus meniadakan kehidupan saya sendiri demi “keseragaman”?
Di akhir berbagai pertanyaan, pergumulan dan keprihatinan
saya terhadap situasi di Indonesia akhir-akhir ini, salah satu cuplikan adegan
di film Tarzan yang saya tonton saat kelas 5 SD selalu muncul.
Adegan ketika Tarzan bertanya kepada ibu gorilla, mengapa
Kala, sang Ayah gorilla dan kelompoknya membenci dirinya, apakah karena dirinya
berbeda?
Lalu ibu gorilla menjawab, “Lihat…apakah yang berbeda dari
kita? Rentangkan jari tanganmu, lihatkan jari tangan kita sama meskipun aku
lebih berbulu. Kita juga punya dua mata yang sama. Lalu…rasakan degup jantung
di dadaku. Bukankah degup jantungku sama dengan degup jantungmu, Nak?”
Di momen itu, Tarzan menyadari persamaan dirinya dengan ibu
Gorilla serta bagaimana Ibu Gorilla mengasihi dan menerima dia.
Di momen itu saya menonton, saya menangis tersedu-sedu .
We’re not that difference, dear human.
No comments:
Post a Comment