Oct 31, 2011

Kenyang dan Jajanan


Setelah tiga tahun berkuliah di Semanggi, baru kali ini melewatkan malam hari menyusuri jalanan Benhil. Suasana jalanan di malam hari berbeda  di pagi hari. Penuh dengan temaram lampu dan jajanan makanan yang begitu menggiurkan untuk dicicipi.

Malam ini, sehabis pulang evaluasi YPB  kami memutuskan untuk makan sejenak di warung tenda pinggir jalan yang menjual menu lele dan ayam goreng. Entah karena makanannya memang enak atau kami yang sudah terlalu lapar karena macet dua jam di perjalanan. Makanan habis tandas dan perut terisi.
Kami berjalan kaki menyusuri jalan untuk kembali ke kampus.

Jalan yang sama yang kami lalui ketika baru saja terbebas dari macet dua jam.
Jalan yang sama yang kami lalui ketika perut sedang kelaparan dengan hebatnya.
Tapi kali ini terasa berbeda.
Berbeda ketika melewati deretan jajanan makanan itu setelah perut terisi kenyang.
Rasanya lebih bisa berjarak.

Jajanan makanan itu masih tetap memasang lampu-lampunya yang menarik,
dengan daftar menu makanan yang menggiurkan.
Tapi tak terasa  mereka memanggil-manggilku lagi untuk dicicipi.

Mereka tetap menarik, tapi aku bisa berjarak.

Aku tak lagi menggebu-gebu menginginkan makanan-makanan itu.
Aku bisa berjalan melenggang dengan nyaman dan pasti, sedikit menoleh ke kanan kiri sebagai pemandangan yang menarik saja bagiku.
....................
Ketika kita “lapar” dan “haus”, ketika merasa diri kita kurang...
Mungkin mekanisme yang sama yang kita rasakan ketika melihat kehidupan di luar kita yang tampak begitu menarik dan menggiurkan.
Hal-hal di luar sana jadi terasa begitu menarik.
Hal-hal di luar sana ingin kita dapatkan untuk memuaskan “lapar” dan “haus” kita.
Tapi “lapar” dan “haus” itu tak jua hilang. Semakin kita berusaha memenuhi, malah semakin terasa lelah. Semakin terasa kurang...
Tapi terus diisi dengan hal-hal di luar sana.
Sampai kapan?

Gambar diambil dari sini

Oct 30, 2011

Lesu

Susu dingin di botol biru
Timangan sebatas kain dan bambu
Selimut daster berbau peluh
Bagiku cukuplah itu


Karena di matamu, Ibu..
Rindu tak dinilai perlu.

Oct 23, 2011

Oleh-oleh dari Ubud Writers & Readers Festival


Setelah mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2011, saya mulai membuat harapan dan rencana perjalanan lainnya. Bagi saya, melalui perjalanan banyak hal baru dan menarik yang bisa saya pelajari. Tempatnya, suasananya, makanannya, orang-orangnya dan terlebih perjalanan untuk lebih mengenal diri saya. Bahkan para traveler yang sudah membukukan perjalanannya meyakini “travelling is not going anywhere, it’s going inside yourself”. Banyak momen-momen mengakrabi diri sendiri, merasakan gejolak dinamika dunia batin di kedalaman diri yang terasa menyenangkan dan menghidupkan.

Ternyata, banyak perbincangan dan dialog dengan diri sendiri yang terlewatkan ketika hidup di hiruk pikuknya Jakarta. Menjadi warga komuter yang harus menempuh jarak 17 km dari kampus-rumah disertai kegiatan-kegiatan lainnya, membuat waktu tenang sungguh menjadi suatu hal yang berharga.
Di sini, di Ubud saya seperti menemukan kembali diri saya

Saya menemukan Anas kecil yang selalu senang dengan lagu, keceriaan, kegembiraan, warna dan storytelling. 

Saya menemukan diri yang mengintegrasikan ilmu Psikologi dengan penuturan para panelis mengenai hidup dan karya mereka.

Betapa sastra sangat psikologis. Betapa pengalaman dan penghayatan diri seseorang, mempengaruhi karya dan cara penulisannya. Menulis menjadi sarana aktualisasi diri sekaligus terapi untuk memaafkan dan menerima diri sendiri. Saya merasakan suasana pembelajaran dan interaksi yang menyenangkan.
Pernahkah mengalami suasana pembelajaran yang santai, kasual, apa adanya namun “berisi”?
Baru kali ini saya mengalaminya. Saya merasa begitu senang dan cocok dengan suasana pembelajaran seperti ini.

Saya menemukan diri saya yang semakin melebarkan, meluaskan dan meninggikan mimpi. Terinspirasi dari orang-orang hebat yang saya lihat dan saya temui. Salah satunya adalah Dr. Izzeldin Abuelaish dari Palestina. Ia menerbitkan buku “I Shall Not Hate”. Sampai hari ini saya belum sempat membaca bukunya. Namun penuturan cerita beliau membuat saya dua kali banjir air mata mengikuti dua sesi yang menghadirkan beliau sebagai salah satu panelisnya.

Apa yang membuat saya tersentuh? 

Sederhana sekaligus sulit.

Sederhana karena ia tetap memiliki cinta dan tak kehilangan harapan untuk perdamaian dunia, mulai dari melindungi anak-anak dan wanita. Padahal ia sejak kecil tinggal di penampungan untuk masyarakat Palestina, merasakan diskriminasi dari orang-orang Palestina. Namun ia akhirnya berhasil menjadi satu-satunya dokter Palestina yang praktek di rumah sakit Israel. Dokter kandungan untuk wanita-wanita Israel. Terakhir setelah istrinya meninggal, tiga anak perempuan dan keponakannya meninggal ketika rumah mereka terkena rudal Israel. Sebenarnya ia sudah cukup memiliki alasan untuk membenci bahkan mungkin mengakhiri hidupnya...

Tapi ia memilih untuk tetap mencintai...

Mencintai anak-anak Israel, sebagaimana ia mencintai anak-anak Palestina.

Menyadari bahwa anak-anak adalah makhluk yang paling rentan dan rapuh.

Menyadari bahwa untuk menyembuhkan dunia di masa depan, perlu dimulai dari sekarang dengan memberi 
perlindungan dan cinta pada anak-anak.

Meyakini bahwa tidak ada hal yang mustahil di dunia ini selama mau berusaha keras. Hal yang mustahil hanyalah mengharapkan istri dan anak-anaknya hidup kembali.

Mendorong dan mengajak orang-orang untuk menaruh perhatian pada pendidikan perempuan. Sebagaimana ia memulai sebuah organisasi untuk beasiswa pendidikan para perempuan di Timur Tengah.
“When you educate a woman, you educate the family and the nation”

Dan bagaimana ia mengapresiasi keluarganya
“My parents lost everything, but we didn’t loose hope and love”

Hal sederhana yang penting namun sering luput. Setidaknya oleh saya sendiri.
Bersama Dr. Izzeldin Abuelaish, setelah sesi di UWRF
                                   Buku versi Bahasa Inggris, versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan

Oct 17, 2011

Waw, Ada Wanita Emas!

This summary is not available. Please click here to view the post.

Oct 9, 2011

Aku Ada

Jika malam menjelang, dan kau melihat bintang,

Ingatlah mungkin aku tengah menatap bintang yang sama

Jika hujan membasahi jendelamu, dan kau mendengar desau rintiknya membawa rindu,

Ingatlah kala kita bersama-sama menertawakan hujan yang sendu

Jika ada waktu ketika kau terbangun begitu pagi, dan wangi embun menyerangmu seketika,

Ingatlah waktu kita mendiami malam, menganggapnya sama dengan siang

Saat datang semua pikiran yang bagimu hanya sederhana,

Saat selintas tawa menyusupimu,

Saat potongan kecil kenangan kita melewati mata,

yang seringkali kau anggap tak sengaja,

saat sebongkah rindu merengkuhmu.........



Aku ada.

kisah si benalu..

halo! namaku benalu.

iya. benalu.

be-na-lu.

benalu yang terkenal itu..

yang katanya manusia sih sering jadi parasit di tumbuhan.
yang katanya nggak berguna.
yang katanya cuma menyerap nutrisi tumbuhan yang ditumpanginya..

iya juga sih..

kalo kerjaannya numpang melulu, nyedot nutrisi pula..
gak tau diuntung banget ya?

sakit sih kadang-kadang..
kalo denger manusia di sebelah pohon yang kutumpangi, saling berucap bahwa mereka akan segera memusnahkan aku..
padahal kalo bisa pindah dari sini pun sebenarnya aku ingin..
tapi aku nggak bisa hidup di tempat lain..
hidup di tempat lain sama saja artinya aku harus menumpang di tumbuhan yang lain lagi..

suatu ketika, aku harus berpisah dengan ibuku dan berpindah ke tumbuhan bernama teh..
seperti biasanya, aku menyedot nutrisinya..
tumbuhan teh itu pun merasa risih dengan keberadaanku..

ia berkali-kali mengeluh..

'aku hanya berbisik padamu, aku yakin tidak ada yang mendengar.. tapi tak bisakah kamu berhenti menyedot nutrisiku?'

aku hanya bilang..

'aku cuma ingin hidup.. aku tak tahu lagi bagaimana caranya aku bisa hidup kalau bukan menumpang padamu..'

ia kembali menyahut..

'ah.. benar kata orang.. kamu memang parasit.. tidak berguna.. tapi yasudahlah.. aku cukup kuat.. kubiarkan kamu menyedot nutrisiku..'

rasanya aku ingin menangis..
ingin berteriak..

aku tidak ingin menjadi benalu! siapa bilang aku berharap terlahir sebagai benalu?
dicemooh dan tidak diharapkan oleh tumbuhan maupun manusia..

tiba-tiba seorang petugas perkebunan datang di minggu kelima aku bertengger disana..
ia memetikku..

aku bahkan tidak sempat mengucap selamat tinggal dan berterimakasih pada tumbuhan teh yang kutumpangi..
ia membawaku dan sejumlah teman-teman benalu ke sebuah tempat..
tak disangka, semakin lama aku semakin sesak napas!

sangat lemas rasanya..

samar-samar aku melihat ia membawaku ke sebuah pabrik bertuliskan 'benalu teh'..

aku sudah pasrah..

samar pula aku dengar para petugas itu membicarakan sesuatu..
tentang khasiat benalu teh bagi manusia..

aku tersentak. hah?
sejak kapan aku berkhasiat? berkhasiat itu sama artinya dengan bermanfaat kan?

aku mendengarkan dengan saksama..

dan mendapatkan fakta bahwa aku ternyata bermanfaat menyembuhkan kanker, tumor, dan darah tinggi..
penyakit pada manusia yang sulit disembuhkan..

seketika aku merasa sangat senang..

ya. aku ternyata bisa bermanfaat bagi orang-orang yang pernah mencemoohku..
dan ini semua juga berkat tumbuhan teh yang dulu kutumpangi..

biarpun ia mencemooh keberadaanku, tapi ia tidak membiarkan tumbuhan teh lain tahu kalau aku membuatnya kesal..

dan kini aku pun menunjukkan kepadanya, bahwa aku bisa bermanfaat..

#sebuahanalogi

..everybody can be a hero in their own unique way..

Oct 6, 2011

Mistis, Cinta, dan Cerita



Habibi
Craig Thompson
Pantheon Books, 2011


Setting timur tengah kerap kali dianggap sesuatu yang eksotis, misterius dan penuh potensial narasi oleh para penulis dan pembaca. Maka tak heran, buku-buku 'timur' seperti The Kite Runner karya Khaled Hosseini sangat laris di luar sana. Penulis timur yang mengangkat setting dari dunianya sendiri memang sangat jamak dan lumrah: Salman Rushdie mengangkat setting India dalam Midnight's Children karena memang ia lahir dan besar di sana sebelum bermigrasi ke Inggris, begitu pula Aravind Adiga dengan White Tiger atau Jhumpa Lahiri dalam The Namesake, bahkan dalam bentuk narasi bergambar pun pernah dilakukan Marjane Satrapi yang mengangkat tanah airnya, Iran, dalam Persepolis. Dalam Habibi kita disuguhkan timur tengah menurut seorang barat. Craig Thompson, sang pengarang sendiri, lahir dan besar di Amerika. Lalu apakah Habibi jatuh ke dalam 'timur tengah fantasi' karena pengarangnya tidak pernah mengenal dunia itu? Bukunya sendiri sudah menjawab: tidak. Keunggulan Habibi adalah buku ini memang membawa tema timur tengah dalam visualnya, namun narasi utama cerita tetap universal: hal yang bisa terjadi di mana saja, merdeka secara kontekstual tapi tetap relevan dengan pembaca. Inilah yang tidak bisa dilakukan buku-buku teks non ilustrasi, tapi bisa dilakukan Habibi: penggambaran visual yang kuat tanpa harus memaksa pembaca mengerutkan dahi dan membalik puluhan halaman hanya untuk mencari tahu "dimana setting cerita ini?"


(halaman 101)

Walau dituturkan melalui panel bergambar dan balon kata-kata, Habibi karya Craig Thompson menolak untuk dikategorikan sebagai sebuah buku komik. Dalam hampir 700 halaman, Craig Thompson seakan ingin menegaskan ini adalah karya serius, buah tangan selama 7 tahun pengerjaan (dimulai dari 2004, kisah dibalik pembuatan, penundaan terbit hingga rilisnya buku ini bisa dibaca di blog pribadi sang penulis, dootdootgarden). Habibi, secara esensi adalah kisah cinta, namun bukan cinta romantis antara dua orang semata, Habibi adalah cerita tentang cinta pada hidup itu sendiri, lebih spesifik, cinta pada cerita kehidupan. (dalam lafal Arab, kata habibi bisa diterjemahkan sebagai 'yang tercinta'). Kegigihan Craig untuk membuat setting timur tengah menjadi hidup patut diakui: ia belajar menggambar corak timur tengah yang kompleks dengan kalkulasi dan akurasi geometri, ia pun belajar kaligrafi dan bahasa Arab untuk menemani narasi agar tidak terkesan tertempel belaka, ia juga menelusuri manuskrip kuno dan literatur sejarah mengenai kebudayaan timur, mulai dari keempat Injil hingga Riyadhus Shalihin, dari 1,001 Malam hingga Bhagavad Gita, agar narasi dalam buku semakin lengkap. Perhatian pada detil inilah yang membuat Habibi pantas ditelusuri dari halaman ke halaman, tidak hanya sekali namun lagi dan lagi.



Lahir dari tangan seorang Barat tidak berarti membuat Habibi menjadi simplistik dalam penuturannya tentang dunia timur. Selama ini yang kita kenal, timur tengah di tangan barat selalu menjadi eksploitasi fantasi dan mistik (ambil contoh, Alladin dalam kartun Disney atau Prince of Persia karya Jordan Mechner). Dalam Habibi, beberapa stereotipe tentang timur masih bisa ditemukan disana-sini, namun Craig Thompson berhasil membalikkannya dari sekedar klise dan repetisi menjadi sesuatu yang faktual dan nyata. Unsur mistisisme, misalnya, tergantikan oleh simbol-simbol agama yang konkrit dan relevan secara kultur. Tidak ada jin dalam lampu wasiat, tidak ada karpet terbang dan jam pasir ajaib. Tergantikan oleh cerita penemuan unsur kimia oleh Abu Musa Jabir bin Hayyan, atau petikan kitab Ayub. Walau begitu, tetap terasa ada hiperbola yang mengganggu, beberapa unsur terasa berlebihan seperti kekerasan dan sensualitas. Meskipun minor, namun sentralisasi Craig dalam tema sensualitas dan erotisme terasa berlebihan. Memang benar hukum pancung, rajam dan siksaan mengerikan lain bisa kini hanya dapat ditemui di timur tengah, namun tidak berarti hal itu harus diumbar di setiap halaman. Benar pula bahwa teks erotis dan sensual semacam Kama Sutra berasal dari timur, namun bukan berarti kebudayaan timur mengagungkan seks di tiap sudut kehidupan. Terlepas dari kekurangan minor tersebut, Habibi adalah sebuah pencapaian yang luar biasa untuk media narasi bergambar.


(halaman 300)

Secara cerita, Habibi pun tidak kalah menarik, bahkan inilah daya tarik utama buku ini. Habibi, mula-mula dibuka dengan perintah pertama Jibril kepada Muhammad, "iqra." ('baca'), dan terus menggema sepanjang buku, membuat kita terus ingin membaca buku ini hingga konklusi akhir. Ceritanya sendiri mengetengahkan dua orang protagonis utama: Dodola dan Zam, yang satu adalah seorang gadis yang dinikahkan sejak usia 9 tahun, yang lain adalah budak kulit hitam yang dijual layaknya binatang. Kedua tokoh ini kemudian bertemu, kabur dan tinggal bersama di gurun yang sunyi. Dodola yang lebih tua (saat itu berusia 12 tahun) kemudian menemukan tujuan dan makna hidupnya dalam Zam, kala itu berusia tidak lebih dari 5 tahun. Dodola berjanji untuk melihat Zam tumbuh besar dan dewasa, merdeka dari kekangan perbudakan dan penderitaan. Dodola pun mengasuh Zam layaknya seorang kakak perempuan, ia mencuri makanan dan pakaian, rela mengambil air berkilo-kilometer jauhnya hanya untuk menghidupi dirinya dan Zam. Dodola pun mengajari Zam tentang kehidupan, melalui kisah-kisah dalam Al Qur'an dan Perjanjian Lama. Melalui kisah tentang para Nabi, mulai dari Adam dan Hawa, Abraham, Nuh, hingga Yesus dan Muhammad. Cerita tentang Raja Salomo dan para permaisuri, cerita tentang kaburnya Musa dari Mesir. Semua cerita ini tidak memutus alur narasi utama, melainkan menyambung menjadi satu dengan keseluruhan buku. Bermain dengan latar timur tengah, mau tak mau memaksa Habibi bertatap muka dengan spiritualisme timur yang kental dan pengaruh besar agama samawi (Abrahamik), utamanya Islam dan Kristen. Dan hal ini berhasil dilakukan Craig Thompson, seorang yang tumbuh dalam keluarga Kristen yang fundamental (seperti terungkap dalam karyanya, Blankets, di tahun 2002). Peleburan teks religius dengan cerita kontemporer tentang trauma, penderitaan, peran gender, seksualitas dan kemiskinan inilah yang membuat Habibi pantas disebut sebagai karya yang megah: yang sudut pandangnya tidak terkungkung batasan waktu dan geografis, yang bisa dicerna dan diceritakan ulang ke berbagai kalangan. Mereka yang tidak menyenangi tema religius pun bisa membaca Habibi dengan mudah, karena dibalik itu, ada sebuah cerita tentang keinginan untuk bertahan hidup, kemauan untuk melewati segregasi ketat suku, ras dan label agama.

(halaman 19)

Tema cinta memang tidak pernah membosankan untuk dikupas, terutama jika dilihat dari sudut pandang yang segar seperti yang tersaji dalam Habibi. Konklusi buku ini terasa menyakitkan dan pahit untuk dicerna, namun sangat puitis dan indah, sebuah akhir yang sangat pas dengan keseluruhan jalan cerita. Akhir kata, jika anda berniat membaca Habibi: bukalah imajinasi seluas-luasnya dan selamat menyelami permadani visual yang indah dari Craig Thompson.


(halaman 589)

*sembari menulis catatan kecil ini, saya ditemani lagu Sting, If I Ever Lose My Faith In You, yang liriknya seakan berparalel dengan keseluruhan cerita terutama bagian chorus, 'if I ever lose my faith in you, there will be nothing left for me to do.' Selamat membaca :-)

Oct 1, 2011

Rikuh

Bibir yang hampir beku ini enggan bersuara
Bergetar nyaris melontar kata,
Tapi tertahan di dada.

Dalamnya dada seperti bola yang diletakkan di tengah lapangan
Menunggu di dalam sesaat yang terasa selamanya.
Antara dorongan ringan canda sang angin,
dan gugup tendangan kuat sang juara.

Seperti sepi bulat yang harus dipecahkan
Tapi tetap inginkan sang sunyi yang senyap

Aku duduk di dalam gelap
Menanti sesuatu di balik jendela
Yang indah itu
Yang manis itu
Yang menggetarkan itu

Dalam hitungan detik ia kan kusambut
Tapi jiwaku terbang
Berharap lama
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...