Jan 31, 2012

Ibu dan Anak



Dari setitik cairan bergumpal menjadi sebentuk kehidupan
Tertanam erat di dasar kehidupan yang tak terjamah mata manusia
Namun kehadirannya dirasakan Ibu

Dari seukuran biji kacang hijau hingga mata, kaki dan hidung sempurna terbentuk
Ibu merasakan derap-derap pertumbuhkembangannya
Seorang individu yang sedang tumbuh di dalam individu
Realitas satu tubuh kian terasa sebagai dua pribadi di satu tubuh

Hingga genap sembilan bulan sepuluh hari
Ketika tubuh mungil harus meninggalkan tubuh ibunya
Ibu merasa ada dirinya berada di dalam diri tubuh mungil
Jika tubuh mungil sakit, ibu pun ikut sakit
Seulas senyum di wajah polosnya membuat ibu berseri bukan kepalang

Demi tapak-tapak mungil itu mampu memijak bumi dengan kokoh
Demi tangan-tangan mungil mengatup erat pada dirinya sendiri
Demi senyum mungil yang bagi ibu bagai jutaan listrik megawatt

Hari ini untuk esok
Kemarin untuk esok
Tapi lebih penting lagi ibu meng-ada bersama tubuh mungil
Perpanjangan dirinya yang kian beranjak besar

Ada garis hidup yang ingin Ia wariskan pada celoteh dan alam pikirnya
Ada pengalaman-pengalaman pedih yang tak ingin sang mungil mencecapnya
Namun atas nama pelajaran kedewasaan,
Hal-hal menyakitkan pun tak terhindarkan

Sebab metamorfosis adalah sebuah kepastian hidup
Dan tubuh mungil mengalami metamorfosisnya sendiri
Bersama ibu di sampingnya namun juga seakan ada di dalam dirinya

Kadang tangan ibu ingin merengkuh tubuh mungil yang sedang kesakitan
Tapi bahkan ia sendiri pun menyadari tak mampu ia melawan garis Sang Pencipta
Manakala Yesus terjatuh berkali-kali  saat memanggul salib,
Di saat itu Bunda Maria menangis penuh luka.
Tak mampu berbuat apa-apa bagi buah hatinya.
Teringat ia saat tapak-tapak mungil-Nya masih berlatih memijak,
Belum sampai Ia jatuh, Bunda sudah menangkap,
Memeluk dan menggendongnya penuh cinta.
...
Kini atas nama penebusan, ia biarkan Sang Anak menjalani metamorfosisnya sendiri.
Di dalam kesakitan dan penderitaan ibu menyatu bersama anaknya
Mengingatkannya pada saat dahulu ibu meregang nyawa ketika persalinan, sang anak juga bertekun bersamanya.
Seringkali ibu muncul di saat anaknya susah, di saat genting hidup anaknya.
Sebab baginya, di saat anaknya menderita, di saat itu pula Ibu menderita.
Di saat ia menemani anaknya, di saat itu pula ia menemani dirinya sendiri
Yang sedang belajar mencinta dan memahami dirinya,
Sekali lagi,
Dalam wujud diri belia. 

Jan 27, 2012

Saya yang Setengah Tionghoa



Entah kenapa saya yang setengah Tionghoa ini sering mempertanyakan tentang identitas saya. Identitas saya sebagai individu maupun identitas dalam kelompok etnis, suku dan budaya. Perpaduan suku dan budaya orang tua saya menjadikan saya berkembang dalam budaya hibrid. Ada nilai-nilai suku dan budaya yang diwariskan. Namun tidak semua nilai-nilai tersebut serta merta diteruskan di keluarga kami. Muncul budaya eklektik atau penggabungan dari nilai-nilai tersebut. Terjadi transformasi nilai bahkan muncul nilai-nilai baru yang berasal dari agama yang diyakini, proses pendidikan yang dialami serta hasil refleksi dan pemaknaan terhadap hidup.

Saya menerimanya sebagai nilai-nilai di dalam keluarga kami. Waktu kecil saya menerimanya sebagai nilai keluarga di mana antara satu keluarga dengan keluarga yang lain bisa mempunyai nilai yang berbeda. Beranjak besar saya baru menyadari bahwa proses ini tidak dialami oleh semua orang. Sebagian orang menerima dan meneruskan saja nilai budaya yang diterimanya. Tanpa proses reflektif sehingga mampu memfiltrasi bahkan mentransformasi nilai-nilai tersebut menjadi lebih kontekstual dengan kehidupan masa kini. Mungkin mengenai pewarisan nilai-nilai dalam keluarga secara khusus akan saya buat pada tulisan berikutnya.

Kembali ke soal mempertanyakan identitas. Saya yang berkulit sawo matang ini lebih merasa dekat dengan keluarga ibu saya yang keturunan Tionghoa. Namun nilai-nilai Tionghoa tidak sepenuhnya ibu saya tanamkan dan wariskan di keluarga inti kami. Mulai muncul pemahaman bahwa merasa dekat belum tentu identik dengan suatu kelompok.

Kebingungan lain muncul ketika orang-orang bertanya “Anas, kamu orang apa?”.
Sewaktu kecil saya akan menjawabnya dengan “Saya orang Indonesia”. Namun jawaban seperti ini tampaknya tidak memuaskan banyak orang. Sebab akan muncul pertanyaan lanjutan dari mereka “Iya, tapi kamu orang apa? Sukunya apa?” ...

Sejak kecil, ibu saya menanamkan kepada tiga anak perempuannya bahwa kami orang Indonesia. Menurut saya, ibu saya bahkan jauh lebih nasionalis daripada ayah saya yang asli Jawa dan sering disebut sebagai pribumi (native people of Indonesia). Indonesia itu satu kesatuan dengan helaan nafas, satu kesatuan dengan tanah yang kami pijak, satu kesatuan dengan eksistensi kami sebagai manusia.

Kemudian, walaupun dari kecil saya terbiasa memanggil keluarga ayah dan ibu saya dengan sebutan yang berbeda saya tidak sungguh-sungguh menyadari bahwa ini dikarenakan perbedaan suku. Sejak saya bisa berceloteh saya memanggil orang tua ayah saya dengan sebutan eyang kakung dan eyang putri dan memanggil orang tua ibu saya dengan sebutan Akong dan Emak/Amak.  Sama alaminya bagi saya memanggil “Ayah” untuk ayah saya dan “Mama” untuk ibu saya.

Waktu kecil, saya tidak tahu apa itu Jawa dan apa itu Cina. Yang saya tahu mereka adalah keluarga saya. Buat saya yang lebih esensial dalam keluarga adalah kehadiran dan penerimaan, bukan labelisasi. Maka pertanyaan orang-orang di sekitar saya tentang suku menjadi paparan pertama saya mengenai isu identitas ini. Terlebih sampai saya SMP, saya jarang menemukan keluarga yang campuran seperti saya.

Kemudian beranjak remaja dan bertemu dengan psikotes beberapa kali, selalu ada kolom suku bangsa. Ketika saya bingung menuliskan apa karena sebenarnya saya ingin menuliskannya dengan “Indonesia”, muncul arahan dari tester bahwa kolom itu diisi dengan suku dari ayah. Saat itu rasanya muncul penolakan dari dalam diri saya. Apakah suku dari ayah serta merta menjadikan saya bagian dari suku itu? Serta merta membuat saya mengadopsi semua nilai dari suku ayah saya? Padahal saya lihat dan rasakan sendiri nilai-nilai di keluarga inti saya berbeda dari nilai-nilai di keluarga ayah saya.

Lalu di masa sekarang ini, ketika ditanya saya orang apa lebih sering saya menjawab dengan memaparkan fakta. “Ayah saya orang Jawa, ibu saya keturunan Tionghoa. Tapi saya lahir dan besar di Jakarta”. Di tengah persilangan kultural seperti ini, saya merasa lebih aman dan nyaman menghayati diri sebagai orang Indonesia.

Bagi saya, Indonesia adalah rumah bagi semua suku dan etnis.
Bagi saya, Indonesia lebih memiliki fleksibilitas dan penerimaan untuk orang campuran seperti saya.
Bagi saya, Indonesia yang terkenal dengan kebhinnekaannya pasti bisa menerima keragaman saya yang belum tentu mudah dipahami oleh orang lain.

Di titik ini, saya justru makin tergugah untuk menelusuri kembali asal usul saya. Semakin tergugah untuk mempelajari sejarah bangsa serta memahami bagaimana suku mempengaruhi pemaknaan identitas seseorang.

Dari ayah yang tidak mau mengajarkan bahasa Jawa dan pada ibu yang tidak fasih berbahasa Mandarin, saya memutar haluan. Mempelajari budaya Jawa melalui diri sendiri, buku dan lingkungan serta mempelajari bahasa Mandarin melalui kursus. Namun ini saja tidaklah cukup.

Perhatian saya saat ini lebih mengarah pada kelompok Indonesia Tionghoa yang sebenarnya juga merupakan bagian dari budaya hibrid. Mereka adalah orang-orang yang berbeda dari orang Cina daratan, namun di sisi lain dianggap berbeda pula dari orang-orang Indonesia pada umumnya.

Politisasi terhadap Tionghoa Indonesia mulai dari bahasa, pelarangan kebudayaan, stigmatisasi, stereotipe hingga standar ganda menyebabkan semakin muncul kegamangan terhadap identitas. Setiap kali melakukan studi literatur tentang Indonesia Tionghoa terkait dengan skripsi saya, ada bagian diri yang ikut terhanyut dan tergerak. Ada bagian diri yang ingin ikut bersuara dan berkontribusi. Ada bagian diri yang menyadari betapa krusialnya masalah ini.

Sebab identitas mencakup eksistensi manusia. Bagaimana mungkin mengharapkan manusia dapat berkembang dan mengaktualisasikan diri dengan maksimal jika identitasnya selalu terombang-ambing.
Maka, saya yang setengah Tionghoa ini tergerak untuk menelaah, mengkaji dan menggumuli masalah ini lebih lanjut. Meskipun belum tahu dengan cara apa dan bagaimana.

Saya berpendirian bahwa Indonesia Tionghoa adalah bagian dari kebhinnekaan Indonesia yang seharusnya juga terfasilitasi untuk berkembang optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan. Sebagaimana saya juga ingin dapat berkembang optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan.

“Pernikahan sesama suku akan menghasilkan anak suku, pernikahan antar suku akan menghasilkan anak bangsa”(Romo Ismartono, S.J.)
“Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.
...Kesadaran Minke tergugat, tergurah dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.” (Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer)

Jan 26, 2012

Indonesia Tionghoa dan Identitas


Sampai hari ini, masih banyak pihak yang mempertanyakan loyalitas kelompok Indonesia Tionghoa pada negara ini. Pada banyak kesempatan, mereka disamakan dengan orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai negara. Diumpamakan sebagai tikus di lumbung padi yang akan menjadi orang pertama yang melarikan diri jika terjadi kebakaran di lumbung padi. Pada perumpaan yang sama pula, mereka dianggap sebagai orang yang hanya mengeruk keuntungan dan kekayaan dari negara yang mereka tinggali tanpa merasa perlu berkontribusi bagi pembangunan negara ini.

Entah anggapan ini benar atau tidak, namun banyak orang sampai hari ini masih salah kaprah. Etnis Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai satu entitas yang homogen (Tan, 2008). Padahal etnis Tionghoa di Indonesia sangat heterogen dalam hal sosiokultural dan geografisnya, termasuk keberagaman dalam menghayati ke-Indonesiaan. Di satu kontinuum terdapat orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah sangat melebur ke dalam budaya Indonesia. Mereka bahkan menjadi pakar dari kebudayaan Indonesia, seperti Melani Budianta, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Prof. Tjan Tjoe Siem ahli Javanologi yang menikah dengan perempuan Jawa, Junus Jahja ekonom dari Rotterdam yang menikah dengan perempuan Sunda, Go Tik Swan yang ahli batik, Masagung pemilik Toko Buku Gunung Agung, (Alm). Prof. Hembing yang ahli obat-obatan herbal dan masih banyak lagi.

Sementara di kontinuum lain, ada orang-orang keturunan Tionghoa yang masih teguh memegang kulturnya. Mereka dulu mengenyam pendidikan Cina dan masih fasih menggunakan bahasa Mandarin. Saat ini banyak di antara mereka yang menjadi pengusaha besar, seperti Sudono Salim pemilik Salim Group dan Mochtar Riyadi. Generasi penerus mereka kebanyakan bersekolah di luar negeri untuk kemudian kembali ke nagara ini meneruskan bisnis keluarga mereka.

Menurut Mely G. Tan (2008) sebagian besar orang berada di tengah-tengah antara dua kontinum ini. Kondisi ini mungkin yang menyebabkan munculnya kebingungan pada generasi muda Tionghoa Indonesia. Mereka menyadari diri mereka tidak sama dengan kaum Cina daratan yang tinggal di negara Cina. Tapi mereka juga menyadari bahwa diri mereka sampai saat ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia.

Kebingungan para generasi muda mungkin juga diperparah dengan ajaran di dalam keluarga yang menanamkan bahwa mereka (Tionghoa Indonesia) berbeda dari orang Indonesia lainnya, terutama pribumi (Komunikasi pribadi, 20 November 2011). Ajaran di dalam keluarga yang seperti ini tak terlepas dari pengalaman para orang tua menghadapi kehidupan yang diskriminasif akibat kebijakan pemerintah Orde Baru.  Walaupun kemudian sejak tahun 2002 Gusdur mencabut SK pelarangan perayaan kebudayaan Cina suasana hidup bermasyarakat jauh lebih demokratis dan terbuka. Tapi tetap saja friksi dan kesensitifan mengenai hal ini masih terasa. Mungkin ini adalah sisa peninggalan “kebudayaan” Orde Baru yang secara sublimatif terpatri di alam bawah sadar masyarakat. Pada kondisi authomatic response atau dalam kondisi tertekan, isu ini masih muncul kuat di masyarakat.

Maka, muncul generasi muda Tionghoa Indonesia  yang gamang  di mana mereka seharusnya meletakkan kaki untuk berpijak. Beranikah mereka berpijak apa adanya pada tanah Indonesia ini atau merasa perlu memiliki kapital sebanyak mungkin agar menjadi orang yang diperhitungkan di negara ini? Jawabannya tentu bergantung pada pemaknaan diri mereka masing-masing sesuai dengan pengalaman hidup dan internalisasi yang mereka lakukan.

Selain dipengaruhi oleh pengalaman hidup, pemaknaan diri juga dipengaruhi oleh ingatan kolektif dan informasi yang tersedia mengenai sejarah kehadiran Tionghoa Indonesia. Sayangnya, penulisan sejarah mengenai kontribusi Tionghoa Indonesia seringkali diabaikan (“Call to”, 24 Januari 2011). Padahal mereka sudah ikut berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa penjajahan Belanda.

Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang (Oey Phan Ciang) memimpin pasukan koalisi antara penduduk Jawa dan Tionghoa menentang VOC. Perang ini dinamakan Perang Sepanjang. Kapiten Nie Hoe Kong merupakan salah satu orang yang mempelopori pemberontakan rakyat Tionghoa terhadap VOC di Batavia. Rumah tempat Sumpah Pemuda dilaksanakan pun milik orang Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Pada Kongres Sumpah Pemuda ini ada 700 orang hadir. Namun, hanya 85 yang berani tanda tangan, lima di antaranya adalah pemuda Tionghoa. Saat mempertahankan kemerdekaan ada satu nama yaitu Laksamana Muda John Lie yang belum lama diangkat sebagai pahlawan nasional 

Kontribusi Indonesia Tionghoa pun terus berlanjut pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po (Intisari Online, 21 Januari 2012).

Identitas Terbentuk Melalui Interaksi

Di masa reformasi ini,pertanyaan mengenai identitas menjadi relevan kembali. Bukan hanya bagi Indonesia Tionghoa saja tapi bagi seluruh putra dan putri Bangsa Indonesia. Pada generasi muda Indonesia yang hidup di zaman kebebasan informasi dan globalisasi, rasa ke-Indonesiaan bukanlah suatu hal yang dapat diperoleh secara otomatis. Diperlukan usaha terus menerus untuk merefleksikan dan memaknai apa arti menjadi Indonesia bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Diperlukan kesadaran bahwa identitas juga terbentuk melalui interaksi dengan orang lain, dengan kelompok lain, dengan masyarakat kolektif dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun kehidupan. Maka jika tokoh Psikologi Erik Erikson mengatakan bahwa pencarian identitas hanya terjadi di masa remaja (Identity VS Identity Confusion), sesungguhnya pertanyaan mengenai identitas pada orang-orang Tionghoa di Indonesia terjadi setiap hari di seluruh rentang hidupnya.

Cara mereka mengisi hidup dan mengkontribusikan diri di dalam kehidupan Indonesia mungkin salah satu cara menjawab sekaligus mencari identitas ke-Indonesiaan mereka. Sekalipun mereka belum sampai pada kesadaran ini, mungkin hidup di Indonesia hanyalah sekedar fase hidup yang harus dilalui saja. Seperti orang yang meminum air agar tak mengalami kehausan, namun tak sempat memaknai rasa dan hakikat air itu sendiri.  

Teach Us, Love..


"Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not proud. It is not rude, it is not self-seeking, it is not easily angered, it keeps no record of wrongs. Love does not delight in evil but rejoices with the truth. It always protects, always trusts, always hopes, always perseveres." [1]

Cinta.
Dulu saya pernah bilang kalau cinta itu ibarat kotoran kerbau yang diberi selai cokelat.
Saya juga pernah bilang kalau cinta bukan sekedar pengalaman pahit.
Tapi karena terlalu nikmat menjilati kotoran kerbau berselai cokelat, saya jadi lupa diri.

Iya. Saya lupa kalau yang saya cintai adalah manusia.
Manusia yang sama berdosanya dengan saya, manusia yang sering lupa diri juga kayak saya.
Saya bahkan lupa kalau dalam doa yang saya panjatkan setiap hari, saya harus mengampuni sesama saya seperti saya diampuni oleh mereka.
Saya lupa kalau mereka ada untuk mengisi hari-hari saya dengan pahit dan manis, supaya tidak terlalu bosan untuk dijalani.

Cinta.
Ketika kamu mencintai seseorang dan ia sedang memenuhi tugasnya untuk mengeksplorasi diri, tak jarang muncul rasa takut bahwa ia akan pergi darimu selamanya.
Rasa takut yang justru mengekangmu dan mengikatmu. Menjerumuskanmu lebih dalam.

"Heaven and hell are right here on earth. Hell is living your fears, heaven is living your dreams. Hell may live within us but so does heaven."  [2]

Untuk apa merasakan neraka yang justru akan lebih dalam menjerumuskanmu?
Biarkan setiap manusia memenuhi tugasnya, dan jangan pernah biarkan dirimu terlelap.
Mencintai bukan tentang memiliki seseorang.
Mencintai adalah tentang berdampingan mencapai setiap mimpi.
Jangan saling menjatuhkan, justru saling membantu.
Berpelukan dan berjalan mengarungi badai.
Bergandengan dan tertawa ketika matahari tersenyum padamu.

"Let love be genuine; hate what is evil, hold fast to what is good; love one another with mutual affection; outdo one another in showing honour. Do not lag in zeal, be ardent in spirit, serve the Lord. Rejoice in hope, be patient in suffering, persevere in prayer. Contribute to the needs of the saints; extend hospitality to strangers. Bless those who persecute you; bless and do not curse them. Rejoice with those who rejoice, weep with those who weep. Live in harmony with one another; do not be haughty, but associate with the lowly; do not claim to be wiser than you are. Do not repay anyone evil for evil, but take thought for what is noble in the sight of all. If it is possible, so far as it depends on you, live peaceably with all." [3]

Mari berdamai dengan cinta.
Mari berdamai dengan amarah.
Mari berdamai dengan diri sendiri.
Love lies within us.

Cinta bukan hanya eros. Cinta adalah untuk alam semesta.

[1] 1 Corinthians 13:4-7
[2] Awakening Heroes Within, Carol S. Pearson
[3] Romans 12:1-2, 9-18

Jan 23, 2012

Daddy's Little Girl

Sudah lama tidak menulis, rasanya agak sulit memulai kembali sebuah karya yang sebelumnya sudah lama menjadi makanan saya sehari-hari.. Hmm.. Mari kita coba! *pasang ikat kepala*

Sudah beberapa waktu ini saya mengalami ups & downs dalam hal produktivitas. Saya yang pada tahun 2010 penuh dengan semangat untuk bermimpi dan mewujudkan mimpi tersebut, secara otomatis berubah menjadi zombie di awal tahun 2012. Saya tidak menyalahkan kegagalan perwujudan mimpi saya di tahun 2011, tetapi salah satu pemicunya adalah banyaknya kehilangan yang saya alami di tahun 2011.

Kehilangan ini tidak saya sebut sebagai rasionalisasi, namun hal ini muncul di bawah alam sadar saya. Dan saya juga tidak menyalahkan orang lain sebagai penyebab dari kondisi saya yang seperti ini. Bagi saya, saya tetap selalu memiliki andil dari hal-hal yang terjadi dalam hidup saya.

Kehilangan kesempatan mewujudkan mimpi sejak semester satu, kehilangan kepercayaan kerja dari berbagai pihak, kehilangan kesempatan memperbaiki sebuah hubungan interpersonal, kehilangan semangat kerja, kehilangan kontrol atas emosi diri, kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan sosok yang (tanpa saya sadari) memiliki ikatan yang kuat dengan saya dan sangat saya rindukan. Bahkan puncaknya adalah saya kehilangan kemampuan untuk bermimpi. Saya yakin ini hanya terjadi sementara, namun ini cukup mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini.

Di balik berbagai kehilangan yang saya rasakan tersebut, sebenarnya ada impian saya yang akhirnya tercapai di tahun 2011. Salah satu yang paling signifikan memberikan insight adalah saya berhasil membiayai hidup saya sendiri selama satu tahun. Belum sampai membiayai kuliah dan pulsa handphone, tapi minimal saya sudah tidak pernah meminta uang dari ibu saya untuk transportasi dan hedon. Pernah sih kebobolan dua kali, tapi bagi saya itu prestasi yang cukup luar biasa mengingat betapa borosnya hidup saya.

Dan yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini bukanlah bagaimana saya mengeluhkan rasa kehilangan saya, tetapi setelah melalui berbagai tantangan tersebut, saya tersadar bahwa di umur 21 tahun ini, saya sering menganggap diri saya sudah dewasa dan ingin dianggap dewasa oleh orang sekitar, tetapi saya lupa bahwa saya tetap anak kecil di hadapan Bapa.

Bukan.
Saya bukan orang Katolik religius yang rajin ke gereja.
Saya bukan orang Katolik yang rajin ikut persekutuan doa.

Saya cuma orang berdosa yang kerjaannya juga minta melulu dari Dia. Jadi insight ini juga saya peroleh bukan karena saya mau sok-sok jadi orang beragama. Bagi saya agama hanya alat untuk mengenal Tuhan, tapi bagaimana memaknai ketuhanan itulah yang belum tentu dimiliki oleh semua orang beragama.

Kadang begitu besar mimpi seorang manusia, sampai kita lupa bahwa Bapa tetap menganggap kita anak kecil yang polos, yang semua kenakalannya perlu diampuni dan bisa dimaklumi. Bahwa Bapa tetap berhak mengajarkan kita dengan cara-Nya yang tidak pernah kita ketahui, untuk menyadarkan kita agar tetap rendah hati dan tidak menjadi lebih dari saudara-saudara kita yang lain. Bapa tidak akan memukul kita dengan rotan apabila kita berbuat nakal. Ia hanya akan mengampuni dan mengingatkan kita dengan kegagalan, dengan kehilangan.

Dan di dalam hidup saya saat ini, Bapa mengingatkan bahwa apabila saya berusaha, maka Ia akan memberikan yang terbaik untuk saya. Bapa selalu memberi saya rezeki yang cukup. Apabila rezeki yang saya terima masih terasa kurang, artinya saya yang masih kurang mampu untuk mengatur rezeki saya tersebut. Oleh karena itu, saya tidak perlu takut kekurangan atau takut pada orang lain. Saya hanya perlu melangkah untuk mencapai mimpi saya, karena Bapa selalu memberi yang terbaik untuk setiap langkah mencapai mimpi saya. Bagi saya, syarat dari Bapa hanya dua, hiduplah dengan sederhana dan Bapa hanya tidak ingin saya menyakiti saudara saya yang lain.

"Heaven and hell are right here on earth. Hell is living your fears, heaven is living your dreams. Hell may live within us but so does heaven." - Quoted from Awakening the Heroes Within, Carol S. Pearson

Saya hanya ingin berbagi. Bukan mencoba menjerumuskan anda ke dalam agama manapun. :)

Jan 19, 2012

Rengkuh, hangat, dan Cakrawala

Rengkuhmu hangat sang surya
Membawaku dalam nyaman persinggahan
Termangu dalam hening perahu nelayan
Sendiri menyeruput harum dan lembut lautan

Tatap matamu garis batas cakrawala
Kedalamannya takkan pernah sanggup kugapai
Perhentian sang langit bertemu daratan
Yang kerap hanya sanggup kupandang kenikmatan

Walau mendung
Walau beku
Walau sayu
Walau deru dan debu mengganggu
dan bilakah nanti kulitku membiru?


Rengkuhmu hangat sang surya,
Tatap matamu garis batas cakrawala
Dalam diam aku mengutara
dalam biru aku kan menjingga

Jan 18, 2012

Ohana


“Ohana means family. Family means nobody gets left behind..... or forgotten.”

Pernah dengar kalimat di atas? Kalimat tersebut diucapkan oleh Lilo dalam film Disney berjudul Lilo & Stitch. Sebuah kalimat yang mendefinisikan keluarga. Dalam bahasa Indonesia, Lilo mengatakan bahwa "Ohana berarti keluarga, dan keluarga berarti tidak ada seorang pun yang ditinggalkan, atau terlupakan."

Jika mendengar kata ‘keluarga’, bayangan apakah yang pertama kali muncul di pikiran kita? Bagi saya, kata tersebut memunculkan bayangan seorang ayah, seorang ibu, dan dua orang anak kecil yang bergandengan tangan. Lebih spesifik lagi, anak pertama berjenis kelamin laki-laki dan anak kedua berjenis kelamin perempuan. Bayangan keluarga yang sederhana, dan menurut saya, sempurna.

Pada kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seringkali keluarga tidak sesempurna bayangan yang ada di pikiran tersebut. Banyak kasus keluarga yang memiliki masalah. Atau mungkin keluarga kita pun tidak sempurna bayangan dan harapan?

Orang-orang yang disebut sebagai keluarga biasanya adalah orang yang memiliki hubungan darah dengan kita. Entah itu adalah orangtua, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan sebagainya. Namun menurut saya pribadi, keluarga juga termasuk orang-orang yang peduli dan sayang dengan saya.

Kerabat dengan hubungan darah belum tentu peduli kondisi saya. Bahkan dalam beberapa kasus yang saya jumpai, orang yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali, merupakan orang yang lebih peduli dengan keadaan saya. Darah lebih kental daripada air? Tidak juga, ternyata.

Oleh karena itu, menurut saya ohana tidak hanya dalam bentuk seorang ayah, ibu, kakak, atau adik. Tidak juga dalam bentuk seorang nenek, kakek, paman, bibi, om, tante, sepupu, keponakan, dan sebagainya. Bagi saya, ohana juga berupa sahabat dan teman-teman. Dimana tidak ada seorang pun yang ditinggalkan, atau terlupakan. Dimana tidak ada seorang pun yang meninggalkan, ataupun melupakan.

Jan 11, 2012

Semoga

Lampu yang bersinar redup. Tembok berwarna kuning kecoklatan. Kursi sederhana berwarna coklat tua. Kafe sederhana. Aku dan kamu duduk berhadapan.

Mencoba mencairkan suasana dengan segelas minuman di tangan masing-masing. Berusaha mencari hal sederhana yang bisa diperbincangkan. Aku mulai menyalakan rokokku. Berharap bahwa rokok ini dapat menunda waktu perbincangan kita.

Menatap kedua bola matamu. Gestur santai dari tubuhmu. Melihatmu mengaduk minumanmu. Memperhatikan responmu atas pertanyaan dan kisahku. Senyum itu, senyum khas milikmu. Senyum yang terbawa hingga mimpiku.

Minuman di hadapanku sudah habis. Aku sengaja memesan lagi, berharap kebersamaan yang menyenangkan ini tidak akan pernah usai. Sambil aku terus mencari cara untuk memperpanjang waktuku bersamamu.

Terus mencari hal yang dapat diperbincangkan. Kamu nampak begitu menikmati kisahku. Tatapanmu menunjukkan bahwa kamu lebih dari sekedar mendengarkan. Kamu peduli.

Rokokku sudah habis dua batang. Nah, sekarang kamu mulai menceritakan kisahmu. Kisah masa lalumu ternyata juga penuh kepahitan, walaupun tak sepahit masa laluku. Melihatmu menyisir rambutmu dengan jari. Cantik.

Aku menenggak minumanku lagi. Sudah hampir habis. Ah, biarlah. Berapa gelas pun akan kupesan lagi, selama aku masih tetap bisa berbincang dengan wanita menakjubkan ini. Berapa bungkus rokok pun rela aku habiskan.

Binar dari mata itu. Bagaimana bisa aku tak kagum padanya? Semua cerita dan candaannya terasa begitu menyejukkan hati. Kisah apapun rasanya menjadi sangat menarik ketika diceritakan olehnya. Dia luar biasa!

Kutengok jam di tangan kiriku. Sudah malam. Sebaiknya aku mengantarkannya pulang. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya hingga sampai ke rumah. Anggukan dan senyumannya, serasa aku telah diijinkan melangkahkan kaki semakin masuk dalam kehidupannya.

Aku menyetir sambil memikirkan buket bunga di kursi belakang. Haruskah kuberikan kepadanya sekarang? Atau nanti? Apakah berlebihan jika kuberikan kepadanya di pertemuan kali ini? Kendaraanku terus melaju.

Rumahnya semakin dekat. Aku tak punya akal lagi bagaimana memperpanjang pertemuan ini. Haruskah aku mengajaknya pergi lagi? Tidak. Malam sudah terlalu larut. Ia harus pulang. Bagaimana dengan buket bunga itu?

Ia membuka pintu mobilku dan mengucapkan terima kasih. Rasanya belum ingin menyudahi pertemuan ini. Aku memintanya menunggu sebentar. Aku membuka pintu belakang mobilku dan mengambil buket bunga itu. Ah, kuletakkan lagi buket bunga itu. Tidak. Jangan malam ini.

Aku menutup pintu mobilku lagi. Aku menghampirinya dan mengucapkan terima kasih atas pertemuan hari ini. Menunggunya masuk dalam rumah. Lalu aku kembali masuk ke mobilku. Menyetir pulang, dengan pikiran penuh olehnya.

Kuperiksa ponselku, ada satu pesan masuk. Dari dirinya. Ucapan terima kasih dan pesan untuk berhati-hati saat menyetir. Aku tersenyum sekali sambil menatap layar ponselku. Aku melihat buket bunga itu dari kaca spionku. Aku tersenyum lagi.

Mendadak aku memutar balik mobilku. Aku kembali ke rumahnya. Kutelepon dia untuk keluar dan menemuiku lagi. Aku sendiri tak mengerti perubahan pikiran yang mendadak ini.

Kulihat ia keluar dari pintu ruang tamu rumahnya. Kali ini, aku berikan buket itu ke tangannya. Ia tersenyum lebar dan memelukku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku. Tertegun. Diam. Lama.

Ia melepaskan pelukannya. Aku meraih tangannya dan meraihnya dalam pelukku. Kali ini, ia yang tertegun. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu. Aku menyatakan cintaku kepadanya. Ia kembali tersenyum.

Aku juga, katanya. Tapi tidak bisa, kita tidak bisa bersama. Kamu dan aku ada di dunia yang tak akan mengijinkan kita bersama. Lebih baik tidak memulai. Sehingga tidak akan ada akhir yang menyakitkan.

Aku menatapnya. Ia benar. Terlalu tinggi dan tebal tembok penghalang di antara kami. Aku menatap matanya sekali lagi. Berjalan kembali ke mobilku dengan langkah berat.

Aku beranjak pergi dari rumahnya. Mungkin pergi juga dari hidupnya. Kuharap ia tahu, ruang di hatiku hanya terisi olehnya. Untuk saat ini. Mudah-mudahan untuk selamanya. Agar jika mungkin, kami bisa bersama. Mungkin. Suatu saat nanti. Jika keajaiban terjadi.

Aku menantikan waktu itu akan tiba. Semoga segera. Dimana warna kulit, latar belakang, dan kepercayaan tidak lagi menjadi penghalang antara cinta kita. Saat dimana kita bisa saja bergandengan dan berangkulan di tempat umum. Tanpa ada mata dan mulut usil yang mengomentari. Sama sekali.

Semoga ketika waktu itu tiba, aku dan kamu masih ada. Masih juga ada cinta itu di antara kita. Dan kita akan mencinta, hingga maut yang menjadi penghalangnya.




Inspired by a little chat with some inspiring friends

Jan 6, 2012

Jika Nilai adalah Sebuah Masakan


Seumpama nilai adalah hidangan masakan yang sudah jadi dan terhidang di atas meja, menurut Anda ia bisa dilambangkan dengan masakan apa? Lalu terhidang di piring dan meja seperti apa? Bagaimana diaturnya? Apakah rapi teratur atau acak-acakan?

Zaman sekarang ini food photography semakin marak. Untuk semakin menggugah selera manusia, tampilan foto makanan dibuat semenarik dan seindah mungkin menyaingi foto pre-wedding yang latah dibuat oleh para pasangan.

Foto-foto  makanan itu ditampilkan di menu makanan sebuah restoran, website, iklan atau media apapun yang tertangkap mata. Seketika itu juga tampilan yang ditangkap oleh indera penglihat membangkitkan keinginan untuk mencicipi rasa dari makanan itu. Kita tergugah untuk mencobanya secara langsung.
Tapi apakah ketika dicoba langsung, rasanya akan sama “indahnya” dengan tampilannya?

Kita semua akan punya pendapat subyektif masing-masing. Sebab ini menyangkut rasa.
Apa yang manis menurut saya, belum tentu manis menurut Anda.
Apa yang pedas menurut anda, belum tentu pedas menurut saya.

Jika nilai adalah masakan, ia adalah hasil akhir makanan yang terhidang di meja. Kemudian para juri (baca: dosen) menilai dengan kriteria pembuatan masakan dan makanan yang “baik”.
Terkadang penilaian tergantung selera juri. Terkadang penilaian tergantung urutan dan ketepatan hal-hal teknis yang sudah kita lakukan sebagai pemasak. Terkadang sedikit kekurangan namun krusial bisa mematikan, namun kekurangan untuk konteks lainnya masih termaafkan sebab kita adalah pemasak yang sedang belajar.

Memasak tentunya butuh latihan, butuh persiapan, butuh proses, butuh umpan balik dari yang sudah mahir. Butuh mempelajari secara teori apa itu yang disebut “pastry”, apa kriterianya sehingga disebut pastry. Dari teori kemudian mempraktekkan. Dari praktek melakukan evaluasi dan umpan balik. Lalu mempelajari lagi, begitu seterusnya dengan alur yang berulang.

Bosan? Sangat mungkin. Tapi konon menurut Malcolm Gladwell dalam Tipping Point  (2007) kemahiran membutuhkan waktu 10.000 jam berlatih. Sudah dibuktikan oleh The Beatles, Bill Gates dan pemain orkestra handal.

Kembali lagi ke masakan. Ketika penilaian juri belum atau tidak memuaskan kita sebagai pemasak,saatnya kita mengevaluasi diri. *meski evaluasi diri tak hanya bergantung dari penilaian luar. Menilik kembali perjalanan persiapan dan pembuatan masakan selama ini.

Jika masih belum menemukan korelasi antar usaha dan apresiasi, mungkin saatnya menerima dan memiliki kerendahan hati tentang perbedaan.

Tapi apakah lalu berhenti sampai di situ saja?

Kalau saya sih masih ingin terus memasak. Supaya suatu hari saya bisa menjadi JURU MASAK.

Gambar dipinjam dari sini

Jan 5, 2012

Terbuang dan Tertawa


Halo, namaku waktu. Terkesan familiar? Mungkin bagi sebagian dari kalian, aku merupakan hal yang cukup sering dikeluhkan. Aku juga seringkali jadi bahan pembicaraan. Jadi kambing hitam!

Sebagian manusia mengeluhkan ketika aku terasa berjalan lambat. Banyak hal yang mereka tunggu di masa depan, katanya. Huh, gaya! Tahu apa mereka sebenarnya tentang masa depan? Esok akan terjadi apa pun, mereka tidak tahu. Bagaimana bisa mereka bilang menunggu sesuatu dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahun ke depan?

Sebagian manusia lainnya mengeluhkan ketika aku terasa berjalan sangat cepat. Waktu dua puluh empat jam dalam satu hari tidak dirasa cukup untuk mereka. Tidak cukup banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu, katanya.

Padahal, aku stabil-stabil saja. Konsisten. Satu menit diisi oleh enam puluh detik. Satu jam diisi oleh enam puluh menit. Satu hari diisi dua puluh empat jam. Konstan. Pasti. Tidak berubah.

Lalu, kenapa seringkali aku disalahkan? Seakan aku ini yang mengatur kalian, manusia. Seakan segala kebodohan kalian dalam melakukan kegiatan kalian menjadi salahku. Seakan segala ketidakmampuan kalian dalam mengaturku, juga adalah kesalahanku. Haruskah aku marah karena disalahkan? Atau aku harus tertawa atas kebodohan kalian?

Banyak yang membuangku sia-sia. Banyak yang berkata bahwa aku tidak ada, untuk lari dari tanggungjawab mereka. Aku terima. Terima dengan lapang dada. Lalu aku tertawa, keras sekali.





Jan 4, 2012

Jembatan yang Koyak: Ketidaksinambungan Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja



Sejak September 2010, Kemendiknas melakukan suatu penelitian untuk melihat keterpaduan pendidikan tinggi dan dunia usaha. Terungkap adanya ketidakpaduan antara dunia usaha dan pendidikan (“Pendidikan Tak”, 2011).  Melihat hal ini sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Kita banyak mendengar sulitnya lulusan perguruan tinggi mencari kerja. "Setiap tahun ribuan lulusan perguruan tinggi hanya menambah panjang barisan penganggur intelektual”, demikian pendapat rektor Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, NTT, Pater Yulius Yasinto SVD (“Perguruan Tinggi”, 2009). Menurut versi pemerintah pada artikel “Pendidikan Tak Padu dengan Dunia Kerja” (2011), ada sembilan juta penganggur terbuka,  empat belas persen di antaranya adalah alumni pendidikan setara diploma dan tujuh belas persen setara sarjana.

Sudah saatnya dunia pendidikan berkaca dan berefleksi apa yang sudah dibekalkan bagi para peserta didik.  Apakah kurikulum dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia-selain mampu membuat siswa-siswinya jago hafalan- mampu memiliki kompetensi yang berguna di dunia kerja.  Sebenarnya, antara dunia pendidikan dan dunia kerja  terdapat hubungan berkesinambungan suatu proses. Dunia pendidikan sebagai hulu dan dunia kerja sebagai hilir. Proses ini seharusnya berjalan seiring sehingga apa yang diajarkan di dunia pendidikan berguna di dunia kerja.  Sebaliknya dunia kerja pun bisa memberikan kontribusi dan umpan balik pada dunia pendidikan. Sekarang ini situasinya para peserta didik di dunia pendidikan mengeluhkan kurikulum dan tuntutan ketuntasan belajar yang berat. Guru dan tenaga pengajar  juga merasa kesulitan memenuhi tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan dalam kurun waktu terbatas disertai tugas administratif dari suku dinas pendidikan yang harus mereka selesaikan pada saat bersamaan pula. Informasi ini saya peroleh dari interaksi dengan para guru dalam Pelatihan Yayasan Putera Bahagia (YPB) pada kurun waktu September-November 2011.

Sementara dari sisi dunia kerja mereka juga menyatakan protes dan keheranan serta rasa penasaran dan bertanya-tanya mengenai apa yang sudah dibekalkan dunia pendidikan pada para lulusannya. Sebab mereka menjumpai orang-orang lulusan dunia pendidikan bukanlah orang yang siap bekerja melainkan siap dilatih (“Dunia Pendidikan”, 2011). Akhirnya banyak hal yang sudah dipelajari di dunia pendidikan menjadi mubazir karena tidak terpakai di dunia kerja. Sementara pihak dunia kerja masih harus mengeluarkan waktu, biaya dan tenaga untuk melatih lulusan dunia pendidikan agar mampu bekerja sesuai dengan tuntutan. Belum lagi ketika berbicara tentang ketertinggalan dunia pendidikan dalam mengejar perkembangan dunia kerja yang sangat pesat dalam dekade terakhir ini. Bisa jadi materi pendidikan yang diajarkan sudah tidak lagi relevan dan kontekstual.

                Maka hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja di Indonesia tak ubahnya jembatan yang koyak. Dibilang benar-benar putus juga tidak, tapi tersambung dengan baik pun juga tidak. Berbagai pihak pembuat kebijakan dan pelaksana sampai saat ini lebih sering saling tuding untuk mencari siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap realita ini. Kondisi ini mungkin sama seperti tak ada satu pun pihak yang merasa bertanggung jawab bahkan saling menyalahkan ketika jembatan Kutai Kartanegara runtuh. Para eksekutor di dunia pendidikan dan dunia kerja seumpama kerbau yang dicucuk hidung karena harus tetap menjalankan sistem yang tidak jelas. Korban paling “tersiksa” dan dirugikan adalah para peserta didik yang menjadi objek penderita. Harus menerima nasib ketika kurikulum bergonta-ganti tergantung siapa yang memegang jabatan Menteri Pendidikan. Sekaligus dituntut untuk mampu mentuntaskan kompetensi kurikulum yang berat ini. Tapi pada akhirnya, segala perjuangan untuk memenuhi tuntutan dunia pendidikan pun tidak bisa menjamin para peserta didik dapat menjadi penyintas di dunia kerja. Seperti meniti jembatan yang koyak, orang-orang ini tetap berusaha untuk berjalan, bertahan, bahkan bergelantung di jembatan ini demi mampu menyebrangkan diri dari dunia pendidikan ke dunia kerja. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...