Jan 27, 2012

Saya yang Setengah Tionghoa



Entah kenapa saya yang setengah Tionghoa ini sering mempertanyakan tentang identitas saya. Identitas saya sebagai individu maupun identitas dalam kelompok etnis, suku dan budaya. Perpaduan suku dan budaya orang tua saya menjadikan saya berkembang dalam budaya hibrid. Ada nilai-nilai suku dan budaya yang diwariskan. Namun tidak semua nilai-nilai tersebut serta merta diteruskan di keluarga kami. Muncul budaya eklektik atau penggabungan dari nilai-nilai tersebut. Terjadi transformasi nilai bahkan muncul nilai-nilai baru yang berasal dari agama yang diyakini, proses pendidikan yang dialami serta hasil refleksi dan pemaknaan terhadap hidup.

Saya menerimanya sebagai nilai-nilai di dalam keluarga kami. Waktu kecil saya menerimanya sebagai nilai keluarga di mana antara satu keluarga dengan keluarga yang lain bisa mempunyai nilai yang berbeda. Beranjak besar saya baru menyadari bahwa proses ini tidak dialami oleh semua orang. Sebagian orang menerima dan meneruskan saja nilai budaya yang diterimanya. Tanpa proses reflektif sehingga mampu memfiltrasi bahkan mentransformasi nilai-nilai tersebut menjadi lebih kontekstual dengan kehidupan masa kini. Mungkin mengenai pewarisan nilai-nilai dalam keluarga secara khusus akan saya buat pada tulisan berikutnya.

Kembali ke soal mempertanyakan identitas. Saya yang berkulit sawo matang ini lebih merasa dekat dengan keluarga ibu saya yang keturunan Tionghoa. Namun nilai-nilai Tionghoa tidak sepenuhnya ibu saya tanamkan dan wariskan di keluarga inti kami. Mulai muncul pemahaman bahwa merasa dekat belum tentu identik dengan suatu kelompok.

Kebingungan lain muncul ketika orang-orang bertanya “Anas, kamu orang apa?”.
Sewaktu kecil saya akan menjawabnya dengan “Saya orang Indonesia”. Namun jawaban seperti ini tampaknya tidak memuaskan banyak orang. Sebab akan muncul pertanyaan lanjutan dari mereka “Iya, tapi kamu orang apa? Sukunya apa?” ...

Sejak kecil, ibu saya menanamkan kepada tiga anak perempuannya bahwa kami orang Indonesia. Menurut saya, ibu saya bahkan jauh lebih nasionalis daripada ayah saya yang asli Jawa dan sering disebut sebagai pribumi (native people of Indonesia). Indonesia itu satu kesatuan dengan helaan nafas, satu kesatuan dengan tanah yang kami pijak, satu kesatuan dengan eksistensi kami sebagai manusia.

Kemudian, walaupun dari kecil saya terbiasa memanggil keluarga ayah dan ibu saya dengan sebutan yang berbeda saya tidak sungguh-sungguh menyadari bahwa ini dikarenakan perbedaan suku. Sejak saya bisa berceloteh saya memanggil orang tua ayah saya dengan sebutan eyang kakung dan eyang putri dan memanggil orang tua ibu saya dengan sebutan Akong dan Emak/Amak.  Sama alaminya bagi saya memanggil “Ayah” untuk ayah saya dan “Mama” untuk ibu saya.

Waktu kecil, saya tidak tahu apa itu Jawa dan apa itu Cina. Yang saya tahu mereka adalah keluarga saya. Buat saya yang lebih esensial dalam keluarga adalah kehadiran dan penerimaan, bukan labelisasi. Maka pertanyaan orang-orang di sekitar saya tentang suku menjadi paparan pertama saya mengenai isu identitas ini. Terlebih sampai saya SMP, saya jarang menemukan keluarga yang campuran seperti saya.

Kemudian beranjak remaja dan bertemu dengan psikotes beberapa kali, selalu ada kolom suku bangsa. Ketika saya bingung menuliskan apa karena sebenarnya saya ingin menuliskannya dengan “Indonesia”, muncul arahan dari tester bahwa kolom itu diisi dengan suku dari ayah. Saat itu rasanya muncul penolakan dari dalam diri saya. Apakah suku dari ayah serta merta menjadikan saya bagian dari suku itu? Serta merta membuat saya mengadopsi semua nilai dari suku ayah saya? Padahal saya lihat dan rasakan sendiri nilai-nilai di keluarga inti saya berbeda dari nilai-nilai di keluarga ayah saya.

Lalu di masa sekarang ini, ketika ditanya saya orang apa lebih sering saya menjawab dengan memaparkan fakta. “Ayah saya orang Jawa, ibu saya keturunan Tionghoa. Tapi saya lahir dan besar di Jakarta”. Di tengah persilangan kultural seperti ini, saya merasa lebih aman dan nyaman menghayati diri sebagai orang Indonesia.

Bagi saya, Indonesia adalah rumah bagi semua suku dan etnis.
Bagi saya, Indonesia lebih memiliki fleksibilitas dan penerimaan untuk orang campuran seperti saya.
Bagi saya, Indonesia yang terkenal dengan kebhinnekaannya pasti bisa menerima keragaman saya yang belum tentu mudah dipahami oleh orang lain.

Di titik ini, saya justru makin tergugah untuk menelusuri kembali asal usul saya. Semakin tergugah untuk mempelajari sejarah bangsa serta memahami bagaimana suku mempengaruhi pemaknaan identitas seseorang.

Dari ayah yang tidak mau mengajarkan bahasa Jawa dan pada ibu yang tidak fasih berbahasa Mandarin, saya memutar haluan. Mempelajari budaya Jawa melalui diri sendiri, buku dan lingkungan serta mempelajari bahasa Mandarin melalui kursus. Namun ini saja tidaklah cukup.

Perhatian saya saat ini lebih mengarah pada kelompok Indonesia Tionghoa yang sebenarnya juga merupakan bagian dari budaya hibrid. Mereka adalah orang-orang yang berbeda dari orang Cina daratan, namun di sisi lain dianggap berbeda pula dari orang-orang Indonesia pada umumnya.

Politisasi terhadap Tionghoa Indonesia mulai dari bahasa, pelarangan kebudayaan, stigmatisasi, stereotipe hingga standar ganda menyebabkan semakin muncul kegamangan terhadap identitas. Setiap kali melakukan studi literatur tentang Indonesia Tionghoa terkait dengan skripsi saya, ada bagian diri yang ikut terhanyut dan tergerak. Ada bagian diri yang ingin ikut bersuara dan berkontribusi. Ada bagian diri yang menyadari betapa krusialnya masalah ini.

Sebab identitas mencakup eksistensi manusia. Bagaimana mungkin mengharapkan manusia dapat berkembang dan mengaktualisasikan diri dengan maksimal jika identitasnya selalu terombang-ambing.
Maka, saya yang setengah Tionghoa ini tergerak untuk menelaah, mengkaji dan menggumuli masalah ini lebih lanjut. Meskipun belum tahu dengan cara apa dan bagaimana.

Saya berpendirian bahwa Indonesia Tionghoa adalah bagian dari kebhinnekaan Indonesia yang seharusnya juga terfasilitasi untuk berkembang optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan. Sebagaimana saya juga ingin dapat berkembang optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan.

“Pernikahan sesama suku akan menghasilkan anak suku, pernikahan antar suku akan menghasilkan anak bangsa”(Romo Ismartono, S.J.)
“Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.
...Kesadaran Minke tergugat, tergurah dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.” (Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer)

7 comments:

Anonymous said...

I can relate to this..i'm half javanese and chinese juga..justru pertanyaan - pertanyaan dari luar lah yang membuat keraguan akan identitas..dan pada akhirnya saya bisa berkata saya kaya..karena memiliki dua budaya.. ;)

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

Halo salam kenal, Maya. Terima kasih atas komentarnya. Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan dari orang luar itu yang membuat ngeh dan refleksi sehingga akhirnya menyadari bahwa itulah kekayaannya, ya.

Anonymous said...

Hai anas..baru nemu tulisan kamu skrg.
Saya pun sama,dilahirkan dr 2 budaya yg berbeda.ibu sy tionghoa dan ayah sy jawa.
Dan sy bersyukur krn dapat merasakan 2 kebudayaan scr bersamaan.ditambah lg keluarga sy muslim dan keluarga ibu sy non muslim.itu malah menjadi nilai plus bagi keluarga kami..setiap lebaran ibu sy selalu masak lontong opor dan sambal goreng lalu dibagi2kan ke saudara.dan tiap imlek kamipun jg merayakannya..dengan bagi2 angpao dan masak2..
Jadi beruntunglah kita sbg org 'setengah2' ini..
Salam kenal yaaaa..

Anonymous said...

hi ka aku udah baca. aku nemu tulisan kaka krn aku lg cari" tntang etnis
soalny mama aku tionghoa papa aku jawa, aku jg sama bingung kalo disuruh ngisi etnis hehe
hatiku lebih ingin ngisi pake etnis dr mama tp kt mamaku ikut etnis papa yaitu jawa
aku kurang pas kalo ngisi etnis jawa soalnya aku sakit hati krn keluarga papaku kurang menerima mamaku krn mamaku tionghoa ka jd aku males gitu kalo berurusan sm keluarga papa termasuk harus ngisi etnis jawa aku jd males ka :(

Anonymous said...

Memang etnis tionghoa menganggap garis keturunan itu dari pihak ayah,karena ayah yang menurunkan marga tionghoa kepada anak nya sedangkan ibu tidak menurunkan marga tionghoa tsb. jadi menurut orang tionghoa jika ayah nya pribumi anak tsb pun pribumi bukan etnis tionghoa. Papa saya Hokkien lang Mama saya Hakka nyin �� segitu yg saya tahu, mohon maaf jika ada kesalahan ✌��✌��

Rizky angga said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

Ibu gua jawa bapak gua tionghoa berarti etnis gua tionghoa? Padahal gua dianggap native "wong jowo" karena gua lancar banget pake bahasa jawa��

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...