Aug 29, 2012

Tanah Air: Cinta yang Berakar dalam Kesedihan


Oleh Gita Panjaitan
“Kita memuja upacara bendera di istana. Bangga, katanya. Haru, sebutnya. Kaum nasionalis semu bermunculan. Segera menghilang 24 jam kedepan. Sulit bagi saya jatuh cinta pada negara ini, tapi sangat mudah bagi saya untuk terus mencintai tanah air. Kemanapun saya pergi, tanah air: ribuan pulau, jutaan penduduk, beragam budaya, bahasa, kearifan lokal, akan terus memanggil saya pulang.
Dimana lagi ada orang-orang seaneh, selugu, sebodoh, dan semenggemaskan, seperti orang-orang di tanah air kita? Bangga akan bhineka tunggal ika, tapi terus menerus mempertahankan stereotipe negatif, dan diskriminasi terhadap asal suku, agama, dll? Negara kita sakit karena orang-orangnya sakit. Negara tidak akan ada, jika tidak ada orang-orang yang mendirikannya. Tetapi tanah air, adalah sebuah tempat dimana hati kita berada; "Home", istilah yang tidak disediakan dalam Bahasa Indonesia.
Kadang cinta terhadap tanah air menimbulkan kebingungan, karena tampaknya sulit memisahkan "tanah air" dari "negara". Tapi tanah air itu menurut saya sangat mungkin dibedakan dari negara.
Berbicara tentang tanah air, berbicara soal keberakaran. Sebuah keyakinan bahwa saya berasal dari tanah ini. Saya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal tanah ini. Saya adalah bagian dari tanah ini. Berbicara soal negara itu bicara soal sistem. Sesuatu yang dengan sengaja dibentuk manusia. Sesuatu yang berasal di luar diri manusia. Kita bisa mengatakan bahwa kita adalah manusia Jawa,mencintai budaya Jawa,lahir di tanah Jawa, tanpa berpikir bahwa Pulau Jawa adalah bagian dari Indonesia.”
Semua tulisan di atas hanyalah kumpulan “kicauan” saya hari ini yang dengan rendah hati dikumpulkan oleh Anastasia Satriyo. Sangat tidak bisa dijadikan tulisan ilmiah, karena tulisan tersebut tidak runut. Semua adalah fragmen-fragmen pikiran saya hari ini, tentang kita; tentang Indonesia; tentang tanah air kita yang tidak dapat kita lupakan; tentang negara yang begitu memuakkan-namun tetap diam-diam bersemayam dalam istana hati yang paling megah.
Sejak kecil saya belajar tentang tanah air, tentang tanah yang padanya kaki saya menjejakkan langkah pertama di dunia; dan sumber air yang membasuh tubuh saya yang lengket oleh darah ibu saat ia melahirkan. Kita tidak berasal dari negara, kita berasal dari tanah air. Ketika dilahirkan, kita tidak lahir dan belajar mengenai undang-undang, kita lahir dan belajar berbicara bahasa ibu. Belajar mengenai ayah dan ibu yang berbeda cara berkomunikasinya, belajar mengenal paman yang mungkin tinggal di Pulau Kalimantan dan setia mudik ke Pulau Jawa untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Kita belajar tentang Pak Slamet, seorang tetangga yang adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Kita belajar tentang Pak Hatorangan yang berbicara dengan nada tinggi saat mengobrol dengan Pak Slamet. Lebih dari semua itu, kita belajar tentang rumah. Tempat asal, tanah air yang namanya Indonesia. Tempat yang sesungguhnya dulu pernah sangat kaya akan perbedaan namun tetap bersih hati oramg-orang kecilnya.
Hari ini, kita bisa menghitung dengan data statistik berapa jumlah orang Indonesia yang pesimis mengenai negara ini. Tapi kita juga bisa menggali dengan wawancara mendalam mengenai kecintaan orang-orang terhadap tanah air mereka. Tentang ribuan pulau dan penduduknya. Tentang interaksi yang membekas di dalam hati. Tentang keinginan untuk pulang di saat berada begitu jauh dari rumah.
Maka, ketika saat ini konsep negara terlihat semakin mengecewakan. Ketika sistem pemerintahan meniadakan aspek kemanusiaan, ketika melakukan sesuatu untuk negara terasa sia-sia bahkan sejak awal perencanaan, mungkin ini saatnya kita berpaling kepada konsep tanah air. Kepada manusia-manusia yang kaya akan aspek budaya dan masih senang tinggal bersama. Kepada senyum ramah satu sama lain saat berpapasan, kepada anak-anak masa depan yang saat ini belum memahami konsep kebencian, korupsi, dendam masa lalu, dan polusi hati.
Saya memang kesulitan untuk optimis, jika membayangkan bahwa suatu hari nanti anak saya akan bertumbuh di negara yang penuh dengan tindakan korupsi. Saya kesulitan untuk optimis, jika anak saya belajar membaca dari koran yang memberitakan pemukulan terhadap etnis tertentu, penggusuran terhadap pemeluk agama tertentu, pemerkosaan, dan larangan resmi pemerintah kepada perempuan untuk mengenakan rok mini.
Kemudian saya memalingkan wajah saya kepada teman-teman saya. Kepada orang-orang yang memperjuangkan hidup bersama dengan mengusung konsep pluralisme, kepada teman-teman saya yang berpacaran dengan etnis yang berbeda dan bersedia belajar memahami budaya etnis pasangannya. Saya melihat secercah harapan bahwa di masa depan masih ada kalian, masih ada orang-orang yang memberikan ruang pada perbedaan, yang saling mengagumi atas dasar cinta. Dan saya masih bisa membayangkan, di masa depan.. keponakan, anak, cucu, dan cicit saya masih bisa menyanyikan lagu yang sama..
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Aug 27, 2012

Kodrat.



Gadis desa berjalan di tengah ladang..
Melirik ke kiri dan ke kanan..
Berhenti, mengamati kumbang..
Tersenyum memetik sekuntum mawar keemasan..

Gadis desa bertemu pemilik ladang..
Seucap tanya terlontar..
"Mengapa kamu tak pulang?"
Ia jawab, "Menunggu waktu menatap bintang.."

Gadis desa mendendang lagu..
Bermandikan cahaya..
Menatap cabang dengan ragu..
Berlari menembus semak di hadapannya..

Gadis desa menggembala domba..
Menggiring semua ke dalam kandang..
Pulang dan menatap keluar jendela..
Tersenyum menatap bintangnya yang cemerlang..

Aug 26, 2012

Senja di Pantai Manado


Ketika menyaksikan matahari senja, rasa cintaku pada Sang Transenden...begitu terasa hidup. 
Megah dalam kelembutan-Nya...menyentuh, menyatu hingga ke bagian terdalam dunia batinku.
Horizon yang tak terbatas, seluas Cinta-Nya yang tiada tepi dan ujung. 
Hanya meng-ada. 
Memancarkan cinta...tanpa syarat. 
Meng-ada sehingga aku dapat merasakan sentuhan-Nya yang melampaui keterbatasanku.

‎​Ia tak berkata apa-apa, pun tak memintaku untuk berlari mendekati-Nya. 
Hanya diam dan meng-ada. 
Sebab meng-ada dengann utuh dan otentik adalah PR-ku saat ini. 
Aku menyadari ia menerima dan bersabar pada proses pertumbuhkembanganku yang unik. 
...
Mengapa aku sering tidak sabar dan tidak menerima diriku sendiri?

Jika cinta-Nya seumpama telur ceplok, mungkin aku baru sanggup mencicip dan mencecap pinggirannya yang kering dan kecoklatan.
Tapi ini pun proses...
Perjalanan yang akan terus bergerak, dinamis, seumur-sepanjang hidup.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...