Nov 9, 2012

A Separation: Potret Realistik Drama Kehidupan

Sekian lama saya menantikan momen untuk menonton film A Separation, sebuah film asal Iran karya sutradara dan penulis Asghar Farhadi. Tidak lain dan tidak bukan, ketertarikan saya terhadap film ini meledak ketika melihat kesuksesan film ini sebagai film asal Iran pertama yang mampu menembus nominasi dan memenanginya di ajang Academy Awards, Golden Globe, bahkan menjadi film pertama yang mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada ajang Berlin International Film Festival. Film ini banyak menuai kritikan positif dari pada kritikus film, ramai pula dibicarakan oleh para pecinta film-film arthouse dan movie blogger. Keajaiban datang ketika 21 Cineplex memutuskan untuk mendistribusikan film ini di beberapa bioskop di ibukota. Sebuah kejutan yang tidak terkira bagi penonton reguler 21 Cineplex melihat ada film kelas arthouse bertengger di deretan pilihan film bioskop.

Film dibuka dengan adegan pasangan suami istri Nader dan Simin yang sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Dengan penonton yang mengambil sudut pandang hakim, kesaksian dari Nader dan Simin seakan sebuah prolog cantik nan elegan akan kisah yang hendak diceritakan oleh Asghar Farhadi dalam film ini. Ayah dari Nader mengidap Alzheimer dan tidak mengenali lagi putranya, sementara Simin yang mendapatkan kesempatan untuk keluar dari negeri Iran memaksa Nader dan anaknya untuk pergi dari rumah demi kehidupan yang lebih baik. Nader pun dengan tegas menolak rencana itu demi merawat ayahnya yang sakit. Pertentangan tersebut yang kemudian membawa Nader dan Simin menghadapi serentetan kejadian yang menambah rumit situasi.

Film ini menjustifikasi kecintaan saya terhadap film-film Iran yang sukses di dunia internasional. Walaupun track record tontonan film-film Iran saya hanya bisa dihitung dengan jari, namun saya menemukan suatu hal yang khas dari sinema Iran; ide dasar sederhana dan memotret interaksi antar-manusia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lihat saja kisah Nader dan Simin ini, mungkin kisah pertengkaran suami-istri yang berujung pada perceraian telah kita saksikan ratusan kali di layar kaca maupun layar lebar, maupun sangat familiar kita temui di dunia nyata. Namun dengan naskah nyaris sempurna dari Asghar Farhadi, dengan berbagai konflik dan kejutan di sepanjang film - ditambah dengan twist yang efektif di penghujung film, membuat film ini seakan tontonan menegangkan dan sangat powerful.

Sep 13, 2012

Menikah Muda: Sebuah Argumentasi Pribadi


Melihat satu per satu perempuan muda di sekitar saya menikah. Padahal pribadinya belum matang. Ketidakmatangannya berpengaruh ketika nanti punya anak
Melihat dan merencakan foto pre-wedding memang seru, tapi menikah lebih besar konsekuensinya dari itu.
Habis belanja bulanan rumah tangga. Menyadari betapa banyak pengeluaran rumah tangga yang dibiayai orang tua dan saya belum sanggup untuk meng-afford hidup seperti ini
(@anasbubu, 2012).

Saya menulis ini dari sudut pandang pribadi saya menanggapi fenomena dan peristiwa di lingkungan sekitar saya. Saya tidak bicara dari sudut pandang agama. Saya berbicara dari sudut pandang psikologi, ekonomi, dan pengalaman pribadi.

Saat ini saya hampir memasuki usia 22 tahun. Usia yang menurut banyak orang, usia perempuan muda yang sedang ranum-ranumnya. Perempuan muda yang potensial menikah dan memiliki anak. Tak heran jika orang bertemu dengan perempuan seusia saya akan bertanya, “Kapan menikah?”.

Menikah adalah hak setiap orang, menikah muda pun hak setiap orang. Namun alangkah baiknya jika hak ini dijalani atas pertimbangan yang matang dan masak mengenai konsekuensi dari keputusan hidup yang akan diambil.

Saya belum tahu bagaimana proses pengambilan keputusan seseorang sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Hal-hal apa saja yang dipertimbangkannya, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkannya, hal-hal apa yang sudah diantisipasinya. Adakah pemikiran seperti ini selalu dilakukan? Ataukah hanya sudah merasa cocok dengan pasangan, sudah “berumur”, sudah didesak keluarga dan sana-sini untuk menikah atau sudah terlanjur hamil?

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda, usia remaja (16-19 tahun) dan usia dewasa awal (20-25 tahun) yang mengambil keputusan untuk menikah tanpa pertimbangan dan pemikiran yang matang. Tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi potensi diri dan dunia sekitarnya. Tanpa pernah menyadari dan mengetahui peluang apa saja yang ditawarkan dunia untuk ia mengembangkan dan memaksimalkan dirinya.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang sudah terlanjur menikah dan merasa terjebak pada rutinitas hidup yang membosankan menurut mereka. Membuat mereka menjadi kutu loncat ketika tuntutan peran sebagai istri dan ibu membutuhkan diri yang selalu ada kapanpun dibutuhkan.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang tidak berpikir panjang ketika menghadirkan anak ke dunia ini. Ketika anak dipandang sebagai komoditi dan checklist terpenuhinya tuntutan sosial. Padahal mereka sendirinya belum sebegitu tergerak dan terpanggilnya untuk menjadi ibu dan orang tua. Ketika mengurus anak penuh dengan keluhan dan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, berpikir bahwa kehadiran ibu yang penuh dan utuh dapat digantikan oleh seorang babysitter dari desa.

Menurut saya, menikah adalah tahap kehidupan yang perlu diambil dengan pertimbangan masak. Terlebih lagi ketika menjadi ibu.  Ibu yang kepribadiannya sudah matang membuat ia memiliki kualitas tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Kematangan psikologis memang tidak selalu sejalan dengan usia biologis. Namun, kalau usianya saja masih muda kemungkinan besar kematangan psikologisnya pun masih di sekitar usia itu bahkan lebih rendah.

Saya berbicara untuk perempuan-perempuan muda seusia saya yang hidup di zaman ini. Sebab menikah mudah untuk generasi-generasi yang lalu tidak sekrusial saat ini.

Hamil, melahirkan, menyusui, merawat dan mengasuh anak bukanlah kondisi yang selalu nyaman. Seringkali dihinggapi rasa tidak nyaman, sakit, tidak enak, pengorbanan fisik seperti kekurangan waktu tidur, sampai pengorbanan mental di mana harus mengutamakan kebutuhan bayi kecil di atas kepentingan diri sendiri.
Sudahkah mampu menjalani proses menjadi ibu seperti ini dengan kerelaan hati? Menyadari bahwa seluruh ketidaknyamanan dan kesakitan ini dilalui atas dasar pertimbangan matang dan keputusan diri sendiri untuk menghadirkan generasi penerus kehidupan?

Berkaca pada diri sendiri. Saya saja saat ini kalau badan sedang sakit, entah sakit gigi atau PMS, dengan mudahnya saya uring-uringan dan bad mood. Kewajiban belajar sebagai mahasiswa pun bisa saya abaikan dan kesampingkan jika badan dan perasaan sedang tidak enak. Apalagi ketika badan dan perasaan sedang tidak enak lalu harus melayani kebutuhan orang lain. Terlebih melayani kebutuhan bayi mungil-rentan, yang hidupnya amat bergantung pada pengasuhnya.

Saya juga masih ingin bermain-main, jalan-jalan dan bisa membeli barang-barang yang saya inginkan. Berada di keluarga dengan kelas sosial ekonomi menengah, membuat saya belajar membuat prioritas mana yang butuh saya beli, mana yang hanya saya inginkan semata. Termasuk memikirkan bagaimana orang tua saya memenuhi kebutuhan dua anak yang lainnya. Kondisi saya saat ini memberi kemungkinan pada saya untuk sesekali menggunakan uang untuk bersenang-senang.

Coba bayangkan jika dalam keadaan diri masih ingin bersenang-senang, masih ingin membeli hal-hal yang diinginkan, masih ingin memuaskan dan menyenangkan diri sendiri, lalu memiliki anak. Uang yang semestinya bisa dipakai untuk bersenang-senang sendiri harus dibagi dua bahkan dialihkan untuk kebutuhan bayi kecil. Ditambah lagi uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja banyak, apalagi untuk memenuhi kebutuhan tersier?

Berkaca pada pengalaman ibu dan beberapa sepupu yang menunda usia pernikahan hingga masuk ke usia dewasa madya (25-30 tahun). Membuat mereka tidak hanya matang secara usia, tapi juga matang  sebagai seorang individu maupun sosial-ekonomi.

Ibu saya menikah di usia 29 tahun dan memiliki anak pertama di usia 30 tahun. Suatu hal yang aneh untuk orang-orang kebanyakan di tahun 1990-an. Ia menikah setelah berpacaran 6,5 tahun, setelah lulus kuliah dan bekerja, setelah bertemu dengan beragam orang dari berbagai negara. Sewaktu kecil saya melihat ibu saya cenderung lebih tua dan tidak se-fashionable ibu-ibu teman sekolah saya yang mayoritas berasal dari kalangan menengah atas.  

Dulu saya juga berpikir ibu saya kolot dan tidak mengikuti perkembangan jaman.

Namun setelah melewati masa remaja yang penuh krisis dan mempelajari psikologi, saya jadi menyadari kualitas pola asuh dan penanaman nilai beliau sehingga membentuk pribadi saya seperti yang hari ini.
Ibu mendidik saya dengan nilai-nilai hasil refleksi dan internalisasi diri atas pengalaman hidup yang telah ia peroleh. Ibu tidak mendidik saya dengan “kata orang” atau “kata masyarakat”. 

Ia memfasilitasi dan memberikan ruang pada saya untuk mengenali dan menjadi diri sendiri. Meskipun prosesnya pun tetap tidak mudah. Bahkan ketika ia sedang memarahi atau menegakkan peraturan, ia tetap bertanya pada saya “kalau kamu merasa apa”, “kalau menurut Anas bagaimana”.

Betapa saya merasa penting dan berarti sebagai seorang individu.
Betapa saya merasa penting dan berarti untuk ibu yang menghadirkan saya ke dunia ini.
Betapa ia mempedulikan saya sehingga pendapat dan perasaan saya menjadi begitu berarti baginya.

Padahal dengan pola asuh seperti ini saja, saya masih mudah merasa minder, tidak percaya diri dan tidak merasa dipedulikan (ini mungkin kontribusi pengalaman di kandungan dan posisi sebagai anak pertama yang hanya berjarak 1,5 tahun dengan adik).

Untuk setiap nilai-nilai hidup; nilai-nilai religiusitas maupun nilai-nilai budaya pun ia filterisasi terlebih dahulu sebelum diajarkan kepada anak-anaknya. Tidak ada nilai di budaya atau masyarakat yang ia berikan mentah-mentah kepada anak-anaknya.

Pengaruhnya sangat signifikan terasa ketika saya memasuki usia dewasa awal seperti ini. Menyadari  banyak orang hidup karena “kata orang”, “kata keluarga”, “kata masyarakat” tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal “apa kata dirinya sendiri tentang dirinya”. 

Menjadi ibu bukan hanya semata-mata melahirkan, merawat dan memberi makan seorang anak. Ibu memasukkan keseluruhan diri (self ibu); penghayatannya tentang diri dan lingkungan dalam interaksi dengan anak. Pada akhirnya hal ini akan terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri (self) anak juga.

Kalau ibunya saja belum yakin dengan dirinya, dengan lingkungannya. Belum matang dalam menyikapi diri dan lingkungannya. Belum yakin dengan  berbagai arus nilai-nilai hidup yang berseliweran di sekitarnya. Bagaimana ia dapat mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang kokoh, solid dan matang? Pribadi yang berkualitas dan berkompeten untuk berkompetisi di dunia global sekarang ini?

Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik?
Ibu berhutang pada masyarakat, sebab anak yang ia didik merupakan bagian dari masyarakat yang akan hidup dan berkembang di masyarakat.
(R.A. Kartini, 1902)

Aug 29, 2012

Tanah Air: Cinta yang Berakar dalam Kesedihan


Oleh Gita Panjaitan
“Kita memuja upacara bendera di istana. Bangga, katanya. Haru, sebutnya. Kaum nasionalis semu bermunculan. Segera menghilang 24 jam kedepan. Sulit bagi saya jatuh cinta pada negara ini, tapi sangat mudah bagi saya untuk terus mencintai tanah air. Kemanapun saya pergi, tanah air: ribuan pulau, jutaan penduduk, beragam budaya, bahasa, kearifan lokal, akan terus memanggil saya pulang.
Dimana lagi ada orang-orang seaneh, selugu, sebodoh, dan semenggemaskan, seperti orang-orang di tanah air kita? Bangga akan bhineka tunggal ika, tapi terus menerus mempertahankan stereotipe negatif, dan diskriminasi terhadap asal suku, agama, dll? Negara kita sakit karena orang-orangnya sakit. Negara tidak akan ada, jika tidak ada orang-orang yang mendirikannya. Tetapi tanah air, adalah sebuah tempat dimana hati kita berada; "Home", istilah yang tidak disediakan dalam Bahasa Indonesia.
Kadang cinta terhadap tanah air menimbulkan kebingungan, karena tampaknya sulit memisahkan "tanah air" dari "negara". Tapi tanah air itu menurut saya sangat mungkin dibedakan dari negara.
Berbicara tentang tanah air, berbicara soal keberakaran. Sebuah keyakinan bahwa saya berasal dari tanah ini. Saya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal tanah ini. Saya adalah bagian dari tanah ini. Berbicara soal negara itu bicara soal sistem. Sesuatu yang dengan sengaja dibentuk manusia. Sesuatu yang berasal di luar diri manusia. Kita bisa mengatakan bahwa kita adalah manusia Jawa,mencintai budaya Jawa,lahir di tanah Jawa, tanpa berpikir bahwa Pulau Jawa adalah bagian dari Indonesia.”
Semua tulisan di atas hanyalah kumpulan “kicauan” saya hari ini yang dengan rendah hati dikumpulkan oleh Anastasia Satriyo. Sangat tidak bisa dijadikan tulisan ilmiah, karena tulisan tersebut tidak runut. Semua adalah fragmen-fragmen pikiran saya hari ini, tentang kita; tentang Indonesia; tentang tanah air kita yang tidak dapat kita lupakan; tentang negara yang begitu memuakkan-namun tetap diam-diam bersemayam dalam istana hati yang paling megah.
Sejak kecil saya belajar tentang tanah air, tentang tanah yang padanya kaki saya menjejakkan langkah pertama di dunia; dan sumber air yang membasuh tubuh saya yang lengket oleh darah ibu saat ia melahirkan. Kita tidak berasal dari negara, kita berasal dari tanah air. Ketika dilahirkan, kita tidak lahir dan belajar mengenai undang-undang, kita lahir dan belajar berbicara bahasa ibu. Belajar mengenai ayah dan ibu yang berbeda cara berkomunikasinya, belajar mengenal paman yang mungkin tinggal di Pulau Kalimantan dan setia mudik ke Pulau Jawa untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Kita belajar tentang Pak Slamet, seorang tetangga yang adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Kita belajar tentang Pak Hatorangan yang berbicara dengan nada tinggi saat mengobrol dengan Pak Slamet. Lebih dari semua itu, kita belajar tentang rumah. Tempat asal, tanah air yang namanya Indonesia. Tempat yang sesungguhnya dulu pernah sangat kaya akan perbedaan namun tetap bersih hati oramg-orang kecilnya.
Hari ini, kita bisa menghitung dengan data statistik berapa jumlah orang Indonesia yang pesimis mengenai negara ini. Tapi kita juga bisa menggali dengan wawancara mendalam mengenai kecintaan orang-orang terhadap tanah air mereka. Tentang ribuan pulau dan penduduknya. Tentang interaksi yang membekas di dalam hati. Tentang keinginan untuk pulang di saat berada begitu jauh dari rumah.
Maka, ketika saat ini konsep negara terlihat semakin mengecewakan. Ketika sistem pemerintahan meniadakan aspek kemanusiaan, ketika melakukan sesuatu untuk negara terasa sia-sia bahkan sejak awal perencanaan, mungkin ini saatnya kita berpaling kepada konsep tanah air. Kepada manusia-manusia yang kaya akan aspek budaya dan masih senang tinggal bersama. Kepada senyum ramah satu sama lain saat berpapasan, kepada anak-anak masa depan yang saat ini belum memahami konsep kebencian, korupsi, dendam masa lalu, dan polusi hati.
Saya memang kesulitan untuk optimis, jika membayangkan bahwa suatu hari nanti anak saya akan bertumbuh di negara yang penuh dengan tindakan korupsi. Saya kesulitan untuk optimis, jika anak saya belajar membaca dari koran yang memberitakan pemukulan terhadap etnis tertentu, penggusuran terhadap pemeluk agama tertentu, pemerkosaan, dan larangan resmi pemerintah kepada perempuan untuk mengenakan rok mini.
Kemudian saya memalingkan wajah saya kepada teman-teman saya. Kepada orang-orang yang memperjuangkan hidup bersama dengan mengusung konsep pluralisme, kepada teman-teman saya yang berpacaran dengan etnis yang berbeda dan bersedia belajar memahami budaya etnis pasangannya. Saya melihat secercah harapan bahwa di masa depan masih ada kalian, masih ada orang-orang yang memberikan ruang pada perbedaan, yang saling mengagumi atas dasar cinta. Dan saya masih bisa membayangkan, di masa depan.. keponakan, anak, cucu, dan cicit saya masih bisa menyanyikan lagu yang sama..
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Aug 27, 2012

Kodrat.



Gadis desa berjalan di tengah ladang..
Melirik ke kiri dan ke kanan..
Berhenti, mengamati kumbang..
Tersenyum memetik sekuntum mawar keemasan..

Gadis desa bertemu pemilik ladang..
Seucap tanya terlontar..
"Mengapa kamu tak pulang?"
Ia jawab, "Menunggu waktu menatap bintang.."

Gadis desa mendendang lagu..
Bermandikan cahaya..
Menatap cabang dengan ragu..
Berlari menembus semak di hadapannya..

Gadis desa menggembala domba..
Menggiring semua ke dalam kandang..
Pulang dan menatap keluar jendela..
Tersenyum menatap bintangnya yang cemerlang..

Aug 26, 2012

Senja di Pantai Manado


Ketika menyaksikan matahari senja, rasa cintaku pada Sang Transenden...begitu terasa hidup. 
Megah dalam kelembutan-Nya...menyentuh, menyatu hingga ke bagian terdalam dunia batinku.
Horizon yang tak terbatas, seluas Cinta-Nya yang tiada tepi dan ujung. 
Hanya meng-ada. 
Memancarkan cinta...tanpa syarat. 
Meng-ada sehingga aku dapat merasakan sentuhan-Nya yang melampaui keterbatasanku.

‎​Ia tak berkata apa-apa, pun tak memintaku untuk berlari mendekati-Nya. 
Hanya diam dan meng-ada. 
Sebab meng-ada dengann utuh dan otentik adalah PR-ku saat ini. 
Aku menyadari ia menerima dan bersabar pada proses pertumbuhkembanganku yang unik. 
...
Mengapa aku sering tidak sabar dan tidak menerima diriku sendiri?

Jika cinta-Nya seumpama telur ceplok, mungkin aku baru sanggup mencicip dan mencecap pinggirannya yang kering dan kecoklatan.
Tapi ini pun proses...
Perjalanan yang akan terus bergerak, dinamis, seumur-sepanjang hidup.

Jul 25, 2012

Keluar dari Rahim Ibu Kesekian Kalinya


Penuh sesak
ingin bertumbuh di tempat yang lebih besar
sudah habis masa waktu untuk tetap bersemayam di sini
seluruh badan digeliatkan untuk mendorong keluar

Ngos-ngosan melepaskan diri

Tapi, ketika sudah berhasil keluar
Bingung harus berbuat apa
Di sini berbeda dari tempat yang dulu
Yang awalnya tidak nyaman,
Namun lama kelamaan sudah beradaptasi
Sehingga menjadi tempat yang nyaman.
Sangat nyaman.

Tanpa sarang, tanpa rahim ini...
Apa yang harus kulakukan?
...
Keluar dari rahim ibu (baca: comfort zone)
Kesekian kalinya...
Tetap bingung apa yang harus dilakukan.
...

Jul 10, 2012

Butuh Istirahat


Bergerak seiring waktu yang berulir
Cepat hanyalah persepsi
Namun nyatanya napas begitu tergagap mengiringi waktu
Di titik ini waktu melambat
Namun ia terus berpilin
Mencari selongsong jarak
Agar ia mau berhenti di jeda
Namun adakah jeda itu?

Gambar dipinjam dari sini

Apr 24, 2012

Sanubari Jakarta: Deret Cerita Kaum Minoritas


Tidak banyak film Indonesia yang secara gamblang mengangkat tema homoseksual, atau bahkan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Film-film seperti Arisan!, Arisan 2, Catatan Harian si Boy, atau Minggu Pagi di Victoria Park memang menyelipkan isu percintaan sesama jenis namun hanya sebagai tumpangan semata, atau malah sebagai bahan lelucon. Sebenarnya, isu LGBT adalah "hal yang lumrah" di tengah kota metropolitan yang bergerak cepat seperti Jakarta. Mungkin adanya pandangan tabu, ditambah dengan berbagai organisasi massa yang seakan polisi moral, membuat perasaan tidak aman untuk membuat film bertema LGBT. Namun kini, ada Lola Amaria yang berani memproduksi film omibus yang berisi 10 film pendek yang digarap oleh para sutradara muda berbakat. Ya, ke-10 film pendek ini akan mengupas habis dinamika kaum LGBT di konteks kota Jakarta, dalam film Sanubari Jakarta.

Sepuluh film pendek dengan semangat indie yang masing-masing berdurasi kurang lebih 10 menit ini dengan tajam dan to the point mengangkat dinamika dan kesulitan kaum LGBT yang hidup di Indonesia dengan paradigma ke-timur-annya. Masing-masing film pendek cukup fokus dalam membahas setiap komunitas; baik dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender. Tidak saja menempatkan isu LGBT di budaya Timur yang masih memandang tabu orientasi seksual komunitas ini, tetapi juga diletakkan dalam konteks kota Jakarta yang keras karena himpitan ekonomi, sekaligus glamour namun penuh dengan tipu daya.

Apr 21, 2012

Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen


Suatu siang ketika tubuh terasa penat karena beratnya beban di punggung, seorang teman menyapa hangat. Matahari di luar bersinar sangat terik, membuat udara panas seakan menggigit kulit. Sinar remang sebuah restoran menjadi saksi bisu pertemuan kami yang tidak disengaja, ketika akan memenuhi kebutuhan utama manusia. Perut seakan meronta, meminta makanan untuk dicerna. Namun kami masih bertegur sapa. Ketika senyum dan kata hampir habis, ia memanggil sekali lagi dan menyerahkan sebuah buku ke tangan saya.


Banyak cara untuk menulis cerita pendek (cerpen). Banyak juga gaya penulisan dalam cerpen, yang semuanya memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Dari keunikan yang berbeda, ada pesan dan kesan khas tertentu pula yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Sebuah buku tentang cara menulis cerpen diberikan kepada saya sekitar dua bulan lalu. Sampul buku tersebut tertulis “Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen”. Buku ini ditulis oleh Jakob Sumardjo, terbitan Pustaka Pelajar.

Dalam buku setebal 235 halaman ini, Jakob Sumardjo berusaha untuk menyampaikan dengan jelas bagaimana seharusnya cerpen ditulis. Untuk pemula, sangat banyak tips yang dapat dipelajari dari buku ini. Jakob Sumardjo menjelaskan hal-hal esensial dalam cerpen dengan jelas, disertai dengan contoh.

Misalnya saja, Jakob Sumardjo menjelaskan mengenai buku penuntun yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penulis. Di samping buku acuan, dijabarkan juga beberapa kelemahan umum yang dilakukan oleh para pemula dalam membuat cerpen, seperti pembukaan cerpen, komposisi, bahasa yang digunakan, dan judul.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana menyusun cerpen yang menarik, namun tidak bertele-tele. Penggunaan bahasa dalam cerpen yang disarankan juga merupakan bahasa yang dapat membuat pembaca langsung mengerti makna yang dimaksud oleh penulis. Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis harus dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca. Sebagai contoh, paragraf singkat di awal tulisan ini merupakan contoh dari kalimat yang bertele-tele, yang dimaksud oleh Jakob Sumardjo. 

Pesan yang disampaikan oleh penulis buku ini adalah kejernihan pikiran dan ketepatan bahasa dalam menulis sebuah cerpen. Penulis biasanya memulai tulisannya dengan menggebu-gebu, lalu kemudian mengakibatkan tulisannya menjadi tidak bermakna di alinea-alinea berikutnya. Karena inilah Jakob Sumardjo juga menyarankan agar penulis sering berlatih dan melakukan pemanasan menulis sebelum benar-benar memulai suatu tulisan.

Selain tips untuk para penulis cerpen pemula, Jakob Sumardjo juga menyampaikan beberapa catatan mengenai karya sastra. Karya sastra lain yang dibahas adalah novel, novelet, dan roman. Fiksi sastra juga tidak lupa dibahas secara mendalam oleh penulis buku ini.

Singkat kata, buku ini memberikan poin dan tips penting bagi para penulis cerpen, yaitu bahwa untuk menjadi penulis cerpen yang baik, dibutuhkan latihan terus menerus. Tidak ada hal yang instan untuk sebuah karya yang memuaskan. Ditambah lagi, penulis cerpen juga harus terus memperluas wawasan dan pengetahuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak membaca dan belajar dari berbagai sumber. Dengan kata lain, penulis cerpen harus terus memperkaya diri dan berlatih, untuk menghasilkan karya yang luar biasa.




Apr 8, 2012

Aung San Suu Kyi dan Paskah


Beberapa hari terakhir ini film The Lady yang menceritakan tentang potret kehidupan Aung San Suu Kyi ditayangkan di bioskop. Pada hari Sabtu kemarin, saya menontonnya bersama keluarga. Saya tidak tahu seberapa banyak orang Indonesia terutama teman-teman seusia saya yang familiar dengan Aung San Suu Kyi. Kisah hidupnya layak menjadi bahan permenungan bagi kehidupan kita.

Sebelum menonton film ini, saya mengenalnya sebatas artikel di harian Kompas yang beberapa kali memuat berita tentang beliau dalam kilasan kawat dunia. Beliau identik dengan gerakan pro-demokrasi di Myanmar. Beliau menjadi oposisi junta militer yang saat ini berkuasa di Myanmar dan sebagai lawan politik, ia sering menjadi tahanan rumah bahkan penjara.

Ia begitu konsisten berjuang untuk hak asasi, kesetaraan dan kehidupan yang lebih beradab di Myanmar melalui jalan damai. Berbagai foto Aung San Suu Kyi yang muncul di koran selalu menunjukkan wajahnya yang tersenyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajah.

Entah kekuatan apa yang memberinya daya...

Entah apa yang terbersit dalam dirinya untuk melakukan pengorbanan sebesar itu. Meninggalkan kehidupan aman, tentram dan nyaman di Oxford, Inggris sebagai istri dari dosen, profesor dan peneliti, Michael Aris bersama dua anak laki-laki mereka.  Pada tahun 1988 ia kembali ke Rangoon, ibukota Myanmar.
Berawal dari mengunjungi ibunya yang sedang stroke, kehadirannya kembali di tanah kelahirannya menjadi tonggak pergerakan baru di negara yang diktator untuk gerakan pro-demokrasi.

Ia anak dari Jenderal Aung San yang memerdekakan Myanmar dari penjajahan Inggris. Namun ayahnya dibunuh ketika usianya baru menginjak dua tahun. Semenjak itu, ia dibesarkan oleh ibunya yang juga mengambil alih kepemimpinan partai politik.

Selepas SMA, Aung San Suu Kyi berkuliah di Oxford University, Inggris dan mendapat gelar B.A. untuk filsafat, politik dan ekonomi. Timeline hidupnya secara lengkap dapat dilihat di situs Nobel Prize ini.

Singkat cerita, menonton film ini di pekan Minggu Suci yang berpuncak pada perayaan Paskah membuat saya merasa Aung San Suu Kyi merepresentasikan  santa atau martir di zaman ini.

Kesungguhan hatinya,
Kegigihannya,
Kesabarannya,
Kerelaannya berkorban
Dan cintanya yang begitu besar pada bangsa dan tanah air.

Meski demi mewujudkan cinta dan cita-cita tentang bangsanya ia harus rela berpisah belasan tahun dari suaminya. Ia tak dapat mendampingi langsung tumbuh kembang anak-anaknya. Bahkan ia tak dapat mendampingi suaminya di akhir hayat hidupnya.

Betapa orang-orang yang dikasihinya dijauhkan darinya demi menggoyahkan misi dan niat mulianya untuk keadilan dan kedamaian di Myanmar.

Entah pergumulan hidup seperti apa yang ia rasakan pada titik-titik hidup di mana ia harus memilih antara keluarga dan negaranya. Pergumulan Yesus di Taman Getsemani yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan Aung San Suu Kyi. Getir kebingungan dan kekalutannya tergambar melalui ekspresi dan bahasa tubuh Michelle Yeoh yang sangat apik berperan sebagai Aung San Suu Kyi.

Sedih, getir dan kalut yang tak terkatakan. Sekaligus cinta yang tak terkatakan namun dibuktikan sehingga banyak orang perlahan dapat mengalami buah-buah dari perjuangan dan pengorbanannya.

Bukan perjuangan yang instan memang, perjuangan yang hasilnya baru terlihat setelah belasan tahun. Namun berawal dari kesediaan dan komitmen Aung San Suu Kyi untuk berjuang hingga kematian, seperti yang sudah dilakukan ayah dan ibunya bagi negaranya.

Ia juga menunjukkan sisi keibuan, kasih dan kelemahlembutan yang mengingatkan saya pada sosok Bunda Maria. Seorang perempuan yang berani berkata “Ya” pada rencana Allah meski ia tak tahu apa yang akan dihadapinya. Seorang perempuan yang pasrah dan berserah namun tetap berusaha memberi yang terbaik. Seorang ibu yang harus rela melihat putra yang dilahirkan dan dibesarkannya disiksa dan mati di kayu salib.

Konon, orang baru tahu rasanya menjadi ibu jika sudah menjadi ibu. Paling tidak kalimat “sakti” ini yang sering ibu saya utarakan pada saya jika saya protes akan suatu hal yang menurutnya penting untuk diusahakan.

Jika melihat bayi kecil jatuh, digigit nyamuk atau sakit saja rasanya tidak rela...bagaimana rasanya tercabik-cabik melihat anak yang dikandung dan dibesarkan harus mati di kayu salib dengan disiksan dan dihujat banyak orang?

Banyak hal masih misteri terlebih jika menyangkut cerita yang konon terjadi dua ribu tahun yang lalu.
Namun pesan-pesan perdamaian, kasih dan ketulusan hidup melalui pengorbanan dan perjuangan pada nilai-nilai luhur nampaknya masih berguna bagi kehidupan saat ini. Di era milenium ini, perjuangan ini dapat direpresentasikan oleh sosok Aung San Suu Kyi.

Tak ada manusia yang sempurna. Namun sosok Aung San Suu Kyi dapat menjadi salah satu inspirasi masa kini untuk menyadari makna kehidupan dan transendensi dalam setiap aspek kehidupan. Dunia politik yang tampaknya kotor bagi banyak orang dapat menjadi sarana bagi Suu Kyi untuk menunjukkan bakti, cinta dan pengorbanannya pada bangsa dan negara, pada kesetaraan hak asasi manusia, pada perjuangan membela martabat kehidupan.

Pada akhirnya, bukankah perjuangan terhadap kesetaraan martabat kehidupan dan kemanusiaan merupakan hal yang selalu didengungkan oleh gereja?

Maka di zaman ini jika kalimat “Mewartakan Kerajaan Allah dan kabar gembira” selalu dimaknai untuk menciptakan sebanyak-banyaknya pengikut Kristus agaknya terlalu sempit.  Berbagai metafora, perumpamaan, analogi dan ekspresi bahasa yang terdapat di dalam Kitab Suci tidak terlepas dari konteks budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum pada zaman si penulis Kitab Suci. Terlebih kitab suci yang mengalami proses penerjemahan bahasa berkali-kali tentu mengalami perbedaan atau penurunan makna akibat ekspresi bahasa dan pemaknaan.

Masih relevankah kita menggunakan dogma sebagai kaca mata untuk melihat kehidupan?
Bisakah kita membuka mata pada inspirasi keilahian (transendensi)  yang masih dan sebenarnya ada di kehidupan kita sehari-hari? Bahkan melalui sosok Aung San Suu Kyi yang notabene bukan penganut agama Nasrani.

I see God in every human being” (Mother Teresa).



Selamat Paskah!



                                     Use your freedom, to promote ours (Aung San Suu Kyi)



Di waktu yang bersamaan dengan dipublikasikannya film The Lady, Aung San Suu Kyi pada tahun ini diperbolehkan mengikuti Pemilu dan menjadi kandidat untuk bergabung dalam parlemen Myanmar. Kelanjutan sepak terjangnya di dunia politik masih akan kita saksikan dalam hari-hari yang akan datang.

Gambar dipinjam dari sini

Mar 31, 2012

Mahasiswa Bukanlah Suatu Entitas Homogen


Pemberitaan  media massa beberapa hari terakhir terkait reaksi para mahasiswa akibat kenaikan BBM, membuat saya merasa pemberitaan media seolah-olah menjadikan mahasiswa sebagai suatu kelompok yang sejenis.

Segala tuntutan dan harapan masyarakat terhadap mahasiswa yang dianggap sebagai ujung tombak pergerakan bangsa dan perwakilan kaum intelektual disertai tuntutan untuk berpikir kritis tampaknya perlu dikaji kembali.

Mengapa?

Jika dilihat alur kronologisnya, maka mahasiswa merupakan suatu tahapan yang dilalui oleh seorang individu setelah lulus dari jenjang SMA. Ketika tahapan ini dilalui layaknya menaiki eskalator, maka tidak akan ada perubahan berarti jika siswa SMA yang kemudian menjadi mahasiswa hanya menjalani saja tanpa memaknai betul arti dan peran sebagai mahasiswa. Perubahan peran dari siswa menjadi “maha”siswa tak ubahnya suatu rutinitas seperti makan tidur yang dijalani begitu saja. Lalu bagaimana mungkin mengharapkan ada perubahan yang signifikan jika si mahasiswa sendiri tidak menyadari peran, di mana ia berada dan untuk apa ia menjadi mahasiswa?

Karakteristik mahasiswa zaman ini tentu berbeda dari generasi mahasiswa yang lalu, bahkan berbeda dari generasi mahasiswa ’98. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan ini, antara lain perbedaan situasi zaman yang dihadapi, paparan sosial media dan teknologi serta tingkat ekonomi orang tua.

Dari perbedaan ini pun, kondisi mahasiswa zaman sekarang tidak dapat dipukul rata. Bagaimana pun juga mereka adalah individu-individu yang minimal telah delapan belas tahun lebih mengalami pembentukan dan sosialisi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat mereka selama ini.

Perguruan tinggi menerima para lulusan SMA setelah mereka mengalami pembentukan dan sosialisasi tersebut. Bersamaan dengan proses pendidikan mereka di perguruan tinggi, mahasiswa juga tetap berinteraksi dengan keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat lainnya.

Jika di hari-hari ini kita prihatin dengan aksi mahasiswa yang anarki, tampaknya perlu juga melihat bagaimana orang-orang dan lingkungan tempat mereka dibesarkan selama ini. Sekolah yang mereka jalani selama ini hingga ke perguruan tinggi, lingkungan pergaulan apa yang mereka miliki dan bagaimana selama ini mereka berinteraksi di dalam lingkungan-lingkungan tersebut. Dengan demikian label “mahasiswa yang anarki” tidak dimaknai bahwa perilaku anarki tersebut muncul karena mereka mahasiswa dan karena mereka terdaftar sebagai mahasiswa di suatu perguruan tinggi tertentu.

Sebab, banyak juga mahasiswa yang memilih untuk menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri melalui prestasi di berbagai bidang seperti perlombaan karya ilmiah mahasiswa, PKM-DIKTI, perlombaan penerapan teknologi LSI di Okinawa, perlombaan bussines plan tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Danone serta terjun langsung dalam bidang pengabdian masyarakat dengan mengajar di rumah singgah, membuat kegiatan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan atau pelatihan bagi anak-anak pra-sejahtera seperti yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta di bawah Yayasan Putra Bahagia.

Pada akhirnya, mahasiswa merupakan potret dari dinamika dan keragaman masyarakat itu sendiri. Mahasiswa memang dipandang sebagai kaum intelek dan calon cendekiawan muda. Posisi sebagai mahasiswa sebenarnya adalah posisi prestises yang setiap tahunnya hanya mampu dinikmati oleh lima juta orang dari keseluruhan populasi masyarakat Indonesia sebesar 273 juta penduduk (“Inilah Lima”, 2011). Berdasarkan pengamatan di lapangan, bagi  kalangan mahasiswa sendiri, saya meragukan mereka sungguh tahu dan menyadari apa arti peran dan posisi mereka di dalam piramida penduduk Indonesia.  Sedangkan bagi kalangan masyarakat lainnya, menurut saya ada standar sangat tinggi yang diharapkan pada para mahasiswa. Seakan-akan mereka adalah juru selamat bagi negara Indonesia yang sedang carut-marut. Seakan melupakan bahwa mahasiswa juga bagian dari realita masyarakat Indonesia.

Maka, walaupun ada lima juta orang yang tercatat sebagai mahasiswa  namun karakteristik, motivasi dan kiprah mereka pun beraneka ragam. Tidak semuanya anarki, tidak semuanya juga berprestasi dan memberikan kontribusi bagi lingkungan sekitarnya. Tidak semudah itu melakukan dikotomi dan pengkotak-kotakan pada kelompok mahasiswa. Definisi mahasiswa yang ada dan diharapkan masyarakat tampaknya tidak selalu dapat memahami kompleksitas mahasiswa pada realitanya.

Sekali lagi, perlu diingat bahwa mahasiswa juga bagian dari masyarakat Indonesia bukan suatu kelompok anomali yang berdiri sendiri. Oh ya, mahasiswa sejatinya juga manusia yang memiliki dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Selain mencoba memahami mereka sebagai kelompok, pahami juga mereka sebagai individu.

Jika ada tindakan-tindakan anarki ataupun prestasi yang mereka lakukan pandanglah perilaku tersebut sebagai perilaku kelompok mahasiswa sekaligus tindakan seorang atau beberapa individu yang memiliki nama dan identitas. Dengan demikian, persepsi mengenai mahasiswa di benak masyarakat tak hanya satu warna saja, entah merah, hitam atau putih saja. 

Mar 9, 2012

Jangan Abaikan Bahasa Ibu



Keberagaman bahasa seharusnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia yang memiliki 741 bahasa (peringkat kedua dunia setelah Papua New Guinea dengan 820 bahasa). Namun, seiring dengan arus globalisasi serta didukung oleh ketidaktegasan dalam perumusan dan pelaksanaan undang-undang untuk melestarikan bahasa daerah membuat bahasa lokal terabaikan dan berangsur hilang.

Hal tersebut mengemuka dalam Seminar "Bahasa Ibu dan Keberaksaraan" yang digelar oleh Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (21/2). Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kependidikan Nonformal dan Informal Regional II Semarang, Ade Kusniadi, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdinas) kita masih belum tegas menerapkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan tahap awal.

"Dalam Undang-Undang Sikdinas kita (hanya) menganjurkan proses pembelajaran tahap awal menggunakan bahasa ibu, tapi tidak menuntut. Kita lihat akibat undang-undang kita yang tidak tegas, persoalan bahasa terabaikan."

Padahal, menurut Ade, bahasa ibu (daerah) terbukti efektif sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, sekolah awal (formal), dan terlebih dalam pendidikan orang dewasa. Dalam penelitiannya, ia mengisahkan, dua kelompok anak di daerah yang mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kelompok anak yang mengunakan bahasa daerah lebih mudah menjawab atau menyebut pertanyaan bila dibandingkan dengan anak yang mengunakan bahasa Indonesia.

Agar bahasa daerah tetap terjaga eksistensinya, Ade berpesan, "Masyarakat yang homogen harus mengunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sedangkan untuk masyarakat yang heterogen bisa mengunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia)."

Selanjutnya, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Prof. Bambang Kaswanti Purwo, mengungkapkan bahwa terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya bahasa ibu dalam pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. Keprihatinan seperti itulah yang melatarbelakangi UNESCO menetapkan setiap 21 Pebruari sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu (International Mother Language Day).

“Terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya potensi bahasa ibu untuk pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. UNESCO sungguh memprihatinkan ini. Sebab, anak yang memulai pendidikan mereka dengan bahasa ibu menapakkan langkah awal yang lebih baik, dan akan berlanjut untuk berprestasi lebih baik pula, dibandingkan dengan mereka yang ketika di sekolah menggunakan bahasa baru (yang bukan bahasa ibu). Oleh karena itu, UNESCO mulai tahun 2000 mengajak seluruh dunia memperingati Hari Internasional Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Pebruari.” Ungkapnya.

Selain itu, Prof. Bambang juga menyinggung kalau selama ini besarnya jumlah para siswa tahun-tahun pertama Sekolah Dasar (SD) yang tidak naik kelas atau putus sekolah, menurut ulasan media sering disebabkan karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, atau mahalnya buku, tetapi sebenarnya yang menjadi persoalan di tahun tersebut karena masih banyak siswa yang berjuang untuk belajar baca tulis sementara bahasa lisan dan bahan baca tulis yang tersaji menggunakan bahasa yang tidak mereka kuasai.

“Mengenai besarnya jumlah siswa tahun-tahun pertama SD yang putus sekolah atau tidak naik kelas, menurut ulasan di media cetak, antara lain, karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, mahalnya buku. Tetapi, justru di tahun-tahun itulah siswa SD mengalami masa perjuangan memasuki dunia baca tulis, apalagi kalau mereka tidak menguasai bahasa Indonesia secara lisan; padahal, bahan baca tulis hanya tersedia di dalam bahasa Indonesia.”

“Idealnya, belajar baca tulis pertama adalah dalam bahasa yang telah dikuasai anak secara lisan, yaitu bahasa dalam lingkungan keseharian mereka (bahasa ibu). Bisa kita bayangkan betapa akan frustrasinya mereka bila belajar baca tulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai secara llisan. Jadi, kalau sampai anak kelas 5 SD di Papua atau di Lombok masih mengalami kesulitan baca tulis dalam bahasa Indonesia bukanlah karena mereka bodoh tetapi karena tidak sesuai “pintu masuk” untuk menuntun mereka masuk ke dunia literasi.” Pungkasnya.

Mar 6, 2012

A Trip to Sawarna: Exploring The Hidden Paradise

Paradise, kata panitianya. Awalnya saya percaya bahwa kami, para peserta acara ini, akan dibawa menuju pantai yang begitu indahnya. Dalam bayangan saya, acara yang diadakan oleh KMPA Pelangi ke desa Sawarna ini akan penuh dengan kesenangan, serupa dengan tur wisata. 

Pada saat saya mendaftarkan diri untuk menjadi peserta, saya mengira perjalanan hanya akan ditempuh selama empat hingga lima jam. Ternyata saya salah besar. Perjalanan untuk mencapai desa Sawarna diperkirakan menghabiskan waktu sekitar tujuh hingga delapan jam. Tidak secepat yang saya perkirakan. Meskipun demikian, menjelang hari keberangkatan, saya masih optimis bahwa desa Sawarna dan pantainya akan seindah paradise. Begitu juga dengan perjalanan menuju ke sana.

Para peserta diminta untuk mengikuti briefing sekitar satu minggu sebelum keberangkatan. Kami diberikan informasi mengenai tugas dan keperluan apa saya yang wajib dibawa. Eh, sebentar. Tugas? Kami akan diajak untuk mengeksplor paradise dengan tugas? Kedengarannya tidak seperti paradise lagi bagi saya. Malah lebih terasa seperti perjalanan karyawisata di sekolah dulu. Tugas yang diberikan pun tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Profiling desa? Apa itu? Seminggu menuju keberangkatan saya habiskan dengan mencari beberapa keperluan yang belum saya miliki untuk saya bawa, dan saya mencoba melupakan tugas yang harus saya lakukan di sana nantinya.

Akhirnya hari yang saya tunggu itu tiba juga. Kamis, 1 Maret 2012. Seluruh peserta diminta untuk berkumpul di hall B UNIKA Atma Jaya pada pukul 20.00 WIB. Peserta dan panitia berkumpul sejenak untuk mendengar ceramah pelepasan perjalanan singkat dari Mbak Maria Theresia Asti Wulandari, Psi. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, menaikkan doa, dan melakukan tos untuk memulai perjalanan kami.

Bus yang kami tumpangi tidak terlalu besar. Uniknya, di kaca bagian depan dan samping bus ada stiker bertuliskan ‘Wi-Fi Hotspot’. Wah, sungguh di luar dugaan! Saat masuk dan duduk dalam bus, saya juga menyadari bahwa bus tersebut menyediakan televisi dengan berbagai saluran yang serupa televisi kabel. Hal ini jelas membuat seluruh peserta semakin bersemangat dalam perjalanan. Kami berangkat dari kampus UNIKA Atma Jaya menuju desa Sawarna sekitar pukul 22.00 WIB.

Pada awal perjalanan, para peserta masih menonton televisi dan tertawa bersama. Namun setelah bus berada di luar Jakarta, sinyal televisi mulai terganggu. Karena sudah cukup malam, peserta satu persatu mulai tertidur. Peserta mulai terbangun kembali ketika bus yang kami tumpangi melewati lubang yang cukup besar. Supir bus juga mulai menaikkan kecepatan dan berusaha menyalip beberapa truk untuk mempercepat perjalanan. Beberapa dari peserta sempat menghentikan obrolan karena tegang melihat usaha Pak Supir tersebut. Saya sendiri berusaha untuk memejamkan mata kembali, agar tidak terlalu khawatir.

Sekitar pukul 02.30 dini hari, kami berhenti di Karang Hawu untuk ke toilet. Beberapa peserta juga beranjak ke warung terdekat untuk membeli jajanan ataupun memesan mie instan untuk menahan rasa lapar. Sekitar pukul 03.00, kami kembali masuk dalam bus dan melanjutkan perjalanan. Ternyata, jalan yang kami lewati selanjutnya berliku-liku, menanjak, dan juga banyak jalan menurun. Pemandangan di kiri-kanan bus hanya pepohonan dan terkadang jurang. Beberapa peserta terkadang menahan napas tegang ketika supir mempercepat laju bus ketika jalan menurun dan berliku. Dalam hati saya berkata, perjalanan menuju paradise yang dijanjikan ini salah-salah malah dapat mengantarkan kami semua ke surga yang sebenarnya.

Akhirnya, kami tiba di tempat tujuan. Saya menengok ke arah kanan bus, dan terlihat tulisan ‘Welcome to Sawarna Area’. Karena waktu baru menunjukkan pukul 04.30, maka hari masih gelap dan saya belum dapat melihat pemandangan lain di sekitar bus. Seluruh peserta turun dari bus dan mengambil barang bawaan yang diletakkan di bagasi. Kami diminta untuk menggunakan senter yang memang wajib dibawa oleh seluruh peserta untuk berjalan menuju homestay.

Sekali lagi, saya mengira bahwa perjalanan menuju homestay cukup dekat. Ternyata para peserta diminta untuk melewati jembatan gantung dengan penerangan hanya dari senter di tangan masing-masing. Ditambah lagi, jembatan gantung tersebut hanya boleh dilewati maksimal lima orang sekaligus, untuk mengurangi getaran yang membuat jembatan terayun-ayun. Setelah jembatan gantung, perjalanan yang harus ditempuh masih cukup jauh. Saya sempat berpikir, mengapa rasanya kami tidak sampai-sampai di homestay. Inikah yang dijanjikan sebagai paradise?

Setelah berjalan melalui jalan kecil yang sebagian besar tergenang air, kami akhirnya tiba di homestay Millang. Para peserta masuk ke kamar masing-masing sesuai dengan nama yang tertera pada pintu kamar. Kami diijinkan untuk beristirahat sejenak dan bersiap-siap untuk berkumpul pada pukul 06.00. Kembali sekali lagi saya berpikir, bagian mana dari perjalanan ini yang dimaksud dengan paradise? Kami tidak diberikan waktu untuk tidur setelah perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan tadi?

Sekitar pukul enam kami berkumpul dan berjalan bersama ke arah pantai. Pantai Pasir Putih, begitu namanya. Di sana, kami diberikan petunjuk mengenai hal apa saja yang akan dilakukan di desa Sawarna. Kami akan masuk dalam kelompok dan akan melakukan permainan serupa Amazing Race untuk dua hari ke depan. Saya merasa kembali bersemangat.

Kami kembali ke homestay untuk bersiap-siap memulai permainan dan menyantap sarapan. Setelah selesai, kami kembali ke Pantai Pasir Putih dan dibagi ke dalam lima kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima hingga enam orang. Untuk mengundi kelompok mana yang akan memulai perjalanan terlebih dahulu, kami diundi dan melakukan lomba voli pantai antar kelompok. Kelompok yang menang dan mencapai 10 poin diperbolehkan untuk berjalan ke pos berikutnya. Sedangkan, kelompok yang kalah akan kembali bertanding dengan kelompok urutan berikutnya, dan begitu seterusnya.

Pada pos berikutnya, kami diajak untuk bermain tebak kata, serupa dengan permainan Hangman. Kami diberikan beberapa clue untuk mengetahui petunjuk tempat yang harus kami capai berikutnya. Ternyata, tempat berikutnya adalah Tanjung Layar, tempat di mana turis asing biasanya melihat matahari terbenam. Kami berjalan menyusuri pantai dengan jarak yang cukup jauh untuk melihat dua tebing tinggi di pantai yang luar biasa. Para peserta juga berkumpul di Tanjung Layar untuk berkeliling dan berfoto. Setelah makan siang di sana, perjalanan dilanjutkan ke Goa Lalay.

Perjalanan menuju Goa Lalay cukup jauh. Kami harus kembali menyusuri pantai menuju Pantai Pasir Putih dan kembali ke arah homestay. Setelah itu, kami harus berjalan kembali ke arah jembatan gantung dan berjalan di jalan raya, menuju menara Indosat sebagai petunjuk. Dari menara Indosat, kami harus kembali berjalan menyusuri sawah dan rumah penduduk. Kami juga kembali melewati jembatan gantung lain dan berjalan terus menyusuri sawah, hingga tiba di Goa Lalay. Di sana kami diajak untuk melakukan caving atau penyusuran goa, secara horizontal. Peserta dipandu oleh Mira Margaretha dan diajak untuk masuk ke dalam goa cukup jauh. Selain menyusuri goa, peserta juga diberikan berbagai informasi menarik mengenai goa dan segala ornamen yang ada di dalam goa. Setelah keluar dari Goa Lalay, peserta diajak untuk kembali ke homestay untuk makan malam dan beristirahat.

Keesokan harinya, peserta dibangunkan pada pukul 05.00. Setelah mandi dan sarapan, peserta diminta untuk berangkat satu persatu, sesuai dengan urutan perjalanan hari sebelumnya. Kali ini, peserta diminta untuk berangkat ke Karang Beureum. Perjalanan menuju Karang Beureum cukup berat, dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya. Peserta kembali menuju menara Indosat, berbelok dan melewati rumah penduduk. Kami juga kembali dihadapkan dengan jembatan gantung lain. Setelah jembatan gantung, kami harus melintasi jalan berbatu yang banyak tanjakan dan turunan. Jalan berbatu ini cukup panjang dan sulit, ditambah lagi dengan bebatuan yang cukup licin karena lumpur akibat hujan pada malam sebelumnya.

Namun perjuangan melewati jalan bebatuan tersebut terbayar ketika kami tiba di Karang Beureum. Pemandangan yang terlihat sangat indah dan menyenangkan. Matahari bersinar cukup terik, menambah indahnya air laut di karang dan menjadikannya berkilauan. Di sana, kami diajak untuk menggunakan kompas bidik dan melihat clue kami ke pos berikutnya. Kami pun kembali berjalan menyusuri pantai, Lagoon Pari namanya.

Selain melihat pemandangan yang indah dan bermain games, kami juga diajak untuk berinteraksi langsung dengan penduduk desa Sawarna. Para peserta diperlihatkan mengenai cara membuat gula kelapa dari penduduk asli. Kami juga dipersilahkan untuk mencicipi gula kelapa tersebut. Peserta juga diberikan kesempatan untuk mewawancarai beberapa tokoh desa, seperti kepala desa (yang diwakilkan dengan wakilnya karena beliau sedang sakit), pengusaha pembuat dan penjual pisang sale, pemilik usaha homestay, dan guru. Setelah itu, peserta juga diberikan kesempatan untuk mencoba langsung melakukan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh warga desa, seperti membuat mebel dengan mengamplas hingga memvernis kursi kayu dan membersihkan hama di sawah.

Jika mengingat jauh dan sulitnya perjalanan yang kami tempuh, saya tidak akan bisa berkata bahwa desa Sawarna merupakan paradise. Sama sekali tidak. Bahkan dapat saya katakan bahwa perjalanan dengan medan seperti itu merupakan siksaan. Apalagi ditambah dengan kulit perih karena terbakar matahari. Belum lagi dengan tugas untuk membuat profiling desa.

Namun ketika saya mengingat indahnya pantai, deburan ombak, pasir yang halus, canda tawa peserta, pemandangan dalam goa, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh, keakraban dengan sesama mahasiswa FPUAJ dari berbagai angkatan, dan senyum ramah dari warga desa Sawarna, saya berani berkata bahwa KMPA Pelangi sungguh membawa kami mengeksplorasi paradise. Segala luka, kulit yang terbakar, pegal, dan rasa lelah terbayar sudah. Betapapun menegangkannya perjalanan ketika Pak Supir membawa kami kembali ke Jakarta setelahnya.



Pantai Pasir Putih (pagi hari)*

Sawah di belakang homestay Millang *

Pantai Pasir Putih (menjelang matahari terbenam)*


* gambar merupakan dokumentasi pribadi


Mar 3, 2012

Satu Menit Untuk Sebuah Kejujuran

Ada kalanya jujur tidak akan membawa saya kemana pun.

Jujur justru menarik saya ke belakang.

Tapi... bolehkan saya

untuk satu menit ini saja

jujur

kepada diri sendiri

kepada dunia

kepada dirimu?


Kutahu bahwa ini adalah

kejujuran yang tak bermakna

bagimu

bagi dunia.

Tapi setidaknya bagiku.


Satu menit saja...

membiarkan kejujuran ini

membinasakan benci

menumpahruahkan air mata

menusuk kalbu sekali lagi.


Satu menit untuk sebuah kejujuran:

Saya mencintaimu.



P.S.: ini bukan curhat! hanya terinspirasi dari AADC sewaktu Valentine's Day kemarin =)

http://eljez.blogspot.com/2012/02/satu-menit-untuk-sebuah-kejujuran.html

Feb 26, 2012

Antara Angin dan Pohon Kokoh Berulir



Malam kelam.
Pendar-pendar lampu  bersinar di kejauhan.
Terasa tak ada yang tersisa.
Cinta menembus kekasat mataan
Melampaui hingar bingar
Melampaui batasan-batasan
Melampaui dimensi waktu
Dan menarilah aku dalam ketakkasatan mata
Tubuhku diam terpekur, tapi jiwaku menari bersamamu.
Melompat dari satu spektrum warna ke spektrum berikutnya


Mengapa melompat?


Karena dalam kebebasan gravitasi aku mencintamu yang tak dipahami oleh orang lain
Bebas tanpa hukum-hukum postulat
Alami, riang dan ringan
Mengada, menggenggam, tanpa apa-apa
Hanya aku, diriku yang ingin bersamamu
Meski hanya dalam lompatan,
Meski hanya sekejap, sejentik, sedetik...
Keberartianmu nyata


Dan aku lebur tak kasat mata
Sebab tak ada yang pernah menghakimi angin
Untuk terlalu mencintai pohon kokoh berulir


Tak akan ada yang pernah tahu
Betapa angin selalu memeluk erat pohon kokoh berulir
Mereka hanya melihat dedaunan pohon sedikit bergerak ke kanan dan kiri.
Dan malam-malam kita bercengkrama dengan bebas
Tak akan pernah bisa mereka pahami
Gambar dipinjam dari sini

Feb 19, 2012

Maret, Indonesia Kirim PRT dengan “Bungkus” Baru

Ilustrasi TKI PRT di Malaysia (dok pribadi)

"Pemerintah telah terjebak pada kenikmatan pengiriman TKI PRT ke luar negeri. Hasilnya, pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan" - Jumhur

Surat kabar Malaysia The Star (8/2/2012) yang mengutip informasi dari Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (PAPA), memberitakan bahwa aliran kedatangan maid atau pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia secara resmi akan dimulai lagi bulan maret 2012.

Keputusan pengiriman diatas merupakan usaha pengiriman resmi pertama semenjak penghapusan moratorium pengiriman PRT oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali pada Desember lalu.

Walau belum ramai yang membicarakan hal ini di Malaysia, agak-agaknya keputusan ini akan menjadi berita baik bagi para calon majikan di Malaysia dan calon pekerja asal Indonesia yang sudah saling ketergantungan.

Indonesia memang dikenal sebagai pemasok utama tenaga kerja PRT di Malaysia, selain negara Filipina dan Kamboja. Namun selama 2 tahun ini, banyak kesempatan PRT Indonesia yang telah diambil alih oleh tenaga kerja asal Kamboja akibat kekosongan PRT resmi asal Indonesia.

Menariknya, walau sempat terjadi kelangkaan PRT resmi atau legal selama dua tahun, permintaan akan tenaga kerja Indonesia di sektor ini tetaplah tinggi. Tingginya permintaan di bidang ini di sebut-sebut disebabkan oleh kesamaan budaya yang memudahkan komunikasi dan adaptasi antara majikan dan pekerja, bahkan adaptasi antara pekerja dan anak majikan.

Beda PRT Dulu dan Sekarang

Ketergantungan yang sudah ada ini tentu memaksa kedua pemerintah untuk memecahkan kebuntuan hal ini.

Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang di kutip Kompas (4/1/2012), Indonesia hanya akan mengirim PRT yang masuk kategori pekerja formal. Artinya pekerja-pekerja PRT yang akan datang Maret ini akan mendapat pengakuan jam kerja, ibur, gaji minimum, perlindungan sosial seperti asuransi dan jaminan keamanan.

Jika hal diatas diterapkan dan di monitor secara serius seperti yang di beritakan (biasanya awalnya aja..) maka PRT Indonesia akan semartabat dengan PRT asal Filipina yang selama ini terkenal didukung dan dilindungi secara penuh oleh pemerintah Filipina melalui Kedutaan Besarnya.

Tentu, tuntutan diatas tidaklah tanpa imbalan. Pihak Malaysia juga mengharapkan PRT Indonesia mempunyai kualitas yang tinggi.

Presiden Asosiasi Pembantu Rumah Tangga Malaysia mengakatakan bahwa PRT yang datang ke Malaysia Maret ini harus lulus dari 200 jam pelatihan di Indonesia.

Permintaan diatas adalah wajar, karena banyak kasus kekerasan terhadap PRT Indonesia disebabkan hal-hal kecil, seperti tidak pahamnya bagaimana menyalakan mesin cuci dan menyalakan lampu.

Akankah Pengiriman PRT dari Negeri Kaya Ini Akan Berhenti?

Melihat situasi yang ada, rasa-rasanya pemerintah Indoensia akan terus mengirimkan TKI PRT ke Malaysia dalam bentuk dan status apapun. Pemerintah sudah terbuai nikmatnya mengirim TKI. Dengan mengirim TKI, tenaga kerja di Indonesia terserap dan tiap bulannya perputaran uang dari negara tujuan juga sangat kencang. Ini kenapa sampai sekarang TKI masih di sebut sebagai pahlawan Devisa. Jadi susah untuk benar-benar lepas dari mengirim tenaga kerja non-professional ke luar negeri.

Menurut kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat yang di kutip Media Indonesia (5/7/2011), sebelum dihentikan, pemerintah mengirim TKI PRT sebanyak 400 ribu per bulan. Sekarang, setelah memoratorium dihapus ada raturan ribu yang sudah menunggu untuk kembali ke Malaysia, seperti yang di kutip Jakarta Post (16/1/2012).

Memberdayakan TKI PRT

Ratusan ribu orang yang sudah menunggu untuk menjadi TKI PRT menunjukan dengan jelas kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja, kegagalan pemerintah memberdayakan manusia Indonesia dan kegagalan pemerintah memberdayakan TKI yang sudah kembali ke tanah air.

Mengirim TKI PRT seharusnya bukan menjadi sebuah hal yang abadi!

Diharapkan peta jalan (road map) pekerja domestik 2017 yang di garap kementrian tenaga kerja dan transmigrasi untuk menghentikan secara total pengiriman TKI PRT mengcakup bagaimana memberdayakan TKI PRT baik yang masih bertugas di luar negeri dan yang sudah kembali tanah air.

Menurut hasil pengamatan penulis terhadap sejumlah TKI yang sedang bertugas di Malaysia, banyak dari mereka mempunyai semangat, impian dan niat belajar yang tinggi. Banyak juga yang berkeinginan membangun Indonesia dengan kemampuan mereka.

Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi diharapkan bekerja sama dengan kementrian-kementerian lain (seperti kementrian pendidikan, keuangan, koperasi dan UKM, pembangunan daerah tertinggal, dll ) untuk memberdayakan para manusia indonesia ini.

Salah satu bentuknya adalah program pelatihan wira usaha, pentingnya menabung dan lain-lain yang serupa. Hal ini penting untuk mempersiapkan para pekerja ini dari sekarang, di negara kerja mereka, untuk siap bertahan hidup dan menjadi mandiri di Tanah Air. Dengan menjadi pengusaha, lapangan kerja diharapkan akan tumbuh dan dapat menyerap pengganguran yang ada.

Namun semua rencana diatas akal gagal jika tidak ada political will dari pemerintah pusat. Contohnya, adanya minat membuat usaha, tanpa dukungan stimulus bank dan daya beli masyarakat, sama saja bohong. Apakah pemerintah benar-benar ingin memberdayakan manusia Indonesia?

Apa lah jadinya nanti, yuk mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang!

Salam,

Felix Kusmanto

Tulisan ini juga di publikasikan di blog pribadi saya http://felixkusmanto.com/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...