Keberagaman bahasa seharusnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia yang memiliki 741 bahasa (peringkat kedua dunia setelah Papua New Guinea dengan 820 bahasa). Namun, seiring dengan arus globalisasi serta didukung oleh ketidaktegasan dalam perumusan dan pelaksanaan undang-undang untuk melestarikan bahasa daerah membuat bahasa lokal terabaikan dan berangsur hilang.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar "Bahasa Ibu dan Keberaksaraan" yang digelar oleh Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (21/2). Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kependidikan Nonformal dan Informal Regional II Semarang, Ade Kusniadi, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdinas) kita masih belum tegas menerapkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan tahap awal.
"Dalam Undang-Undang Sikdinas kita (hanya) menganjurkan proses pembelajaran tahap awal menggunakan bahasa ibu, tapi tidak menuntut. Kita lihat akibat undang-undang kita yang tidak tegas, persoalan bahasa terabaikan."
Padahal, menurut Ade, bahasa ibu (daerah) terbukti efektif sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, sekolah awal (formal), dan terlebih dalam pendidikan orang dewasa. Dalam penelitiannya, ia mengisahkan, dua kelompok anak di daerah yang mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kelompok anak yang mengunakan bahasa daerah lebih mudah menjawab atau menyebut pertanyaan bila dibandingkan dengan anak yang mengunakan bahasa Indonesia.
Agar bahasa daerah tetap terjaga eksistensinya, Ade berpesan, "Masyarakat yang homogen harus mengunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sedangkan untuk masyarakat yang heterogen bisa mengunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia)."
Selanjutnya, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Prof. Bambang Kaswanti Purwo, mengungkapkan bahwa terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya bahasa ibu dalam pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. Keprihatinan seperti itulah yang melatarbelakangi UNESCO menetapkan setiap 21 Pebruari sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu (International Mother Language Day).
“Terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya potensi bahasa ibu untuk pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. UNESCO sungguh memprihatinkan ini. Sebab, anak yang memulai pendidikan mereka dengan bahasa ibu menapakkan langkah awal yang lebih baik, dan akan berlanjut untuk berprestasi lebih baik pula, dibandingkan dengan mereka yang ketika di sekolah menggunakan bahasa baru (yang bukan bahasa ibu). Oleh karena itu, UNESCO mulai tahun 2000 mengajak seluruh dunia memperingati Hari Internasional Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Pebruari.” Ungkapnya.
Selain itu, Prof. Bambang juga menyinggung kalau selama ini besarnya jumlah para siswa tahun-tahun pertama Sekolah Dasar (SD) yang tidak naik kelas atau putus sekolah, menurut ulasan media sering disebabkan karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, atau mahalnya buku, tetapi sebenarnya yang menjadi persoalan di tahun tersebut karena masih banyak siswa yang berjuang untuk belajar baca tulis sementara bahasa lisan dan bahan baca tulis yang tersaji menggunakan bahasa yang tidak mereka kuasai.
“Mengenai besarnya jumlah siswa tahun-tahun pertama SD yang putus sekolah atau tidak naik kelas, menurut ulasan di media cetak, antara lain, karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, mahalnya buku. Tetapi, justru di tahun-tahun itulah siswa SD mengalami masa perjuangan memasuki dunia baca tulis, apalagi kalau mereka tidak menguasai bahasa Indonesia secara lisan; padahal, bahan baca tulis hanya tersedia di dalam bahasa Indonesia.”
“Idealnya, belajar baca tulis pertama adalah dalam bahasa yang telah dikuasai anak secara lisan, yaitu bahasa dalam lingkungan keseharian mereka (bahasa ibu). Bisa kita bayangkan betapa akan frustrasinya mereka bila belajar baca tulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai secara llisan. Jadi, kalau sampai anak kelas 5 SD di Papua atau di Lombok masih mengalami kesulitan baca tulis dalam bahasa Indonesia bukanlah karena mereka bodoh tetapi karena tidak sesuai “pintu masuk” untuk menuntun mereka masuk ke dunia literasi.” Pungkasnya.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar "Bahasa Ibu dan Keberaksaraan" yang digelar oleh Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (21/2). Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kependidikan Nonformal dan Informal Regional II Semarang, Ade Kusniadi, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdinas) kita masih belum tegas menerapkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan tahap awal.
"Dalam Undang-Undang Sikdinas kita (hanya) menganjurkan proses pembelajaran tahap awal menggunakan bahasa ibu, tapi tidak menuntut. Kita lihat akibat undang-undang kita yang tidak tegas, persoalan bahasa terabaikan."
Padahal, menurut Ade, bahasa ibu (daerah) terbukti efektif sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, sekolah awal (formal), dan terlebih dalam pendidikan orang dewasa. Dalam penelitiannya, ia mengisahkan, dua kelompok anak di daerah yang mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kelompok anak yang mengunakan bahasa daerah lebih mudah menjawab atau menyebut pertanyaan bila dibandingkan dengan anak yang mengunakan bahasa Indonesia.
Agar bahasa daerah tetap terjaga eksistensinya, Ade berpesan, "Masyarakat yang homogen harus mengunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sedangkan untuk masyarakat yang heterogen bisa mengunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia)."
Selanjutnya, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Prof. Bambang Kaswanti Purwo, mengungkapkan bahwa terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya bahasa ibu dalam pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. Keprihatinan seperti itulah yang melatarbelakangi UNESCO menetapkan setiap 21 Pebruari sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu (International Mother Language Day).
“Terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya potensi bahasa ibu untuk pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. UNESCO sungguh memprihatinkan ini. Sebab, anak yang memulai pendidikan mereka dengan bahasa ibu menapakkan langkah awal yang lebih baik, dan akan berlanjut untuk berprestasi lebih baik pula, dibandingkan dengan mereka yang ketika di sekolah menggunakan bahasa baru (yang bukan bahasa ibu). Oleh karena itu, UNESCO mulai tahun 2000 mengajak seluruh dunia memperingati Hari Internasional Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Pebruari.” Ungkapnya.
Selain itu, Prof. Bambang juga menyinggung kalau selama ini besarnya jumlah para siswa tahun-tahun pertama Sekolah Dasar (SD) yang tidak naik kelas atau putus sekolah, menurut ulasan media sering disebabkan karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, atau mahalnya buku, tetapi sebenarnya yang menjadi persoalan di tahun tersebut karena masih banyak siswa yang berjuang untuk belajar baca tulis sementara bahasa lisan dan bahan baca tulis yang tersaji menggunakan bahasa yang tidak mereka kuasai.
“Mengenai besarnya jumlah siswa tahun-tahun pertama SD yang putus sekolah atau tidak naik kelas, menurut ulasan di media cetak, antara lain, karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, mahalnya buku. Tetapi, justru di tahun-tahun itulah siswa SD mengalami masa perjuangan memasuki dunia baca tulis, apalagi kalau mereka tidak menguasai bahasa Indonesia secara lisan; padahal, bahan baca tulis hanya tersedia di dalam bahasa Indonesia.”
“Idealnya, belajar baca tulis pertama adalah dalam bahasa yang telah dikuasai anak secara lisan, yaitu bahasa dalam lingkungan keseharian mereka (bahasa ibu). Bisa kita bayangkan betapa akan frustrasinya mereka bila belajar baca tulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai secara llisan. Jadi, kalau sampai anak kelas 5 SD di Papua atau di Lombok masih mengalami kesulitan baca tulis dalam bahasa Indonesia bukanlah karena mereka bodoh tetapi karena tidak sesuai “pintu masuk” untuk menuntun mereka masuk ke dunia literasi.” Pungkasnya.
No comments:
Post a Comment