Showing posts with label Puisi | Prosa. Show all posts
Showing posts with label Puisi | Prosa. Show all posts

Aug 27, 2012

Kodrat.



Gadis desa berjalan di tengah ladang..
Melirik ke kiri dan ke kanan..
Berhenti, mengamati kumbang..
Tersenyum memetik sekuntum mawar keemasan..

Gadis desa bertemu pemilik ladang..
Seucap tanya terlontar..
"Mengapa kamu tak pulang?"
Ia jawab, "Menunggu waktu menatap bintang.."

Gadis desa mendendang lagu..
Bermandikan cahaya..
Menatap cabang dengan ragu..
Berlari menembus semak di hadapannya..

Gadis desa menggembala domba..
Menggiring semua ke dalam kandang..
Pulang dan menatap keluar jendela..
Tersenyum menatap bintangnya yang cemerlang..

Aug 26, 2012

Senja di Pantai Manado


Ketika menyaksikan matahari senja, rasa cintaku pada Sang Transenden...begitu terasa hidup. 
Megah dalam kelembutan-Nya...menyentuh, menyatu hingga ke bagian terdalam dunia batinku.
Horizon yang tak terbatas, seluas Cinta-Nya yang tiada tepi dan ujung. 
Hanya meng-ada. 
Memancarkan cinta...tanpa syarat. 
Meng-ada sehingga aku dapat merasakan sentuhan-Nya yang melampaui keterbatasanku.

‎​Ia tak berkata apa-apa, pun tak memintaku untuk berlari mendekati-Nya. 
Hanya diam dan meng-ada. 
Sebab meng-ada dengann utuh dan otentik adalah PR-ku saat ini. 
Aku menyadari ia menerima dan bersabar pada proses pertumbuhkembanganku yang unik. 
...
Mengapa aku sering tidak sabar dan tidak menerima diriku sendiri?

Jika cinta-Nya seumpama telur ceplok, mungkin aku baru sanggup mencicip dan mencecap pinggirannya yang kering dan kecoklatan.
Tapi ini pun proses...
Perjalanan yang akan terus bergerak, dinamis, seumur-sepanjang hidup.

Jul 25, 2012

Keluar dari Rahim Ibu Kesekian Kalinya


Penuh sesak
ingin bertumbuh di tempat yang lebih besar
sudah habis masa waktu untuk tetap bersemayam di sini
seluruh badan digeliatkan untuk mendorong keluar

Ngos-ngosan melepaskan diri

Tapi, ketika sudah berhasil keluar
Bingung harus berbuat apa
Di sini berbeda dari tempat yang dulu
Yang awalnya tidak nyaman,
Namun lama kelamaan sudah beradaptasi
Sehingga menjadi tempat yang nyaman.
Sangat nyaman.

Tanpa sarang, tanpa rahim ini...
Apa yang harus kulakukan?
...
Keluar dari rahim ibu (baca: comfort zone)
Kesekian kalinya...
Tetap bingung apa yang harus dilakukan.
...

Jul 10, 2012

Butuh Istirahat


Bergerak seiring waktu yang berulir
Cepat hanyalah persepsi
Namun nyatanya napas begitu tergagap mengiringi waktu
Di titik ini waktu melambat
Namun ia terus berpilin
Mencari selongsong jarak
Agar ia mau berhenti di jeda
Namun adakah jeda itu?

Gambar dipinjam dari sini

Mar 3, 2012

Satu Menit Untuk Sebuah Kejujuran

Ada kalanya jujur tidak akan membawa saya kemana pun.

Jujur justru menarik saya ke belakang.

Tapi... bolehkan saya

untuk satu menit ini saja

jujur

kepada diri sendiri

kepada dunia

kepada dirimu?


Kutahu bahwa ini adalah

kejujuran yang tak bermakna

bagimu

bagi dunia.

Tapi setidaknya bagiku.


Satu menit saja...

membiarkan kejujuran ini

membinasakan benci

menumpahruahkan air mata

menusuk kalbu sekali lagi.


Satu menit untuk sebuah kejujuran:

Saya mencintaimu.



P.S.: ini bukan curhat! hanya terinspirasi dari AADC sewaktu Valentine's Day kemarin =)

http://eljez.blogspot.com/2012/02/satu-menit-untuk-sebuah-kejujuran.html

Feb 26, 2012

Antara Angin dan Pohon Kokoh Berulir



Malam kelam.
Pendar-pendar lampu  bersinar di kejauhan.
Terasa tak ada yang tersisa.
Cinta menembus kekasat mataan
Melampaui hingar bingar
Melampaui batasan-batasan
Melampaui dimensi waktu
Dan menarilah aku dalam ketakkasatan mata
Tubuhku diam terpekur, tapi jiwaku menari bersamamu.
Melompat dari satu spektrum warna ke spektrum berikutnya


Mengapa melompat?


Karena dalam kebebasan gravitasi aku mencintamu yang tak dipahami oleh orang lain
Bebas tanpa hukum-hukum postulat
Alami, riang dan ringan
Mengada, menggenggam, tanpa apa-apa
Hanya aku, diriku yang ingin bersamamu
Meski hanya dalam lompatan,
Meski hanya sekejap, sejentik, sedetik...
Keberartianmu nyata


Dan aku lebur tak kasat mata
Sebab tak ada yang pernah menghakimi angin
Untuk terlalu mencintai pohon kokoh berulir


Tak akan ada yang pernah tahu
Betapa angin selalu memeluk erat pohon kokoh berulir
Mereka hanya melihat dedaunan pohon sedikit bergerak ke kanan dan kiri.
Dan malam-malam kita bercengkrama dengan bebas
Tak akan pernah bisa mereka pahami
Gambar dipinjam dari sini

Jan 31, 2012

Ibu dan Anak



Dari setitik cairan bergumpal menjadi sebentuk kehidupan
Tertanam erat di dasar kehidupan yang tak terjamah mata manusia
Namun kehadirannya dirasakan Ibu

Dari seukuran biji kacang hijau hingga mata, kaki dan hidung sempurna terbentuk
Ibu merasakan derap-derap pertumbuhkembangannya
Seorang individu yang sedang tumbuh di dalam individu
Realitas satu tubuh kian terasa sebagai dua pribadi di satu tubuh

Hingga genap sembilan bulan sepuluh hari
Ketika tubuh mungil harus meninggalkan tubuh ibunya
Ibu merasa ada dirinya berada di dalam diri tubuh mungil
Jika tubuh mungil sakit, ibu pun ikut sakit
Seulas senyum di wajah polosnya membuat ibu berseri bukan kepalang

Demi tapak-tapak mungil itu mampu memijak bumi dengan kokoh
Demi tangan-tangan mungil mengatup erat pada dirinya sendiri
Demi senyum mungil yang bagi ibu bagai jutaan listrik megawatt

Hari ini untuk esok
Kemarin untuk esok
Tapi lebih penting lagi ibu meng-ada bersama tubuh mungil
Perpanjangan dirinya yang kian beranjak besar

Ada garis hidup yang ingin Ia wariskan pada celoteh dan alam pikirnya
Ada pengalaman-pengalaman pedih yang tak ingin sang mungil mencecapnya
Namun atas nama pelajaran kedewasaan,
Hal-hal menyakitkan pun tak terhindarkan

Sebab metamorfosis adalah sebuah kepastian hidup
Dan tubuh mungil mengalami metamorfosisnya sendiri
Bersama ibu di sampingnya namun juga seakan ada di dalam dirinya

Kadang tangan ibu ingin merengkuh tubuh mungil yang sedang kesakitan
Tapi bahkan ia sendiri pun menyadari tak mampu ia melawan garis Sang Pencipta
Manakala Yesus terjatuh berkali-kali  saat memanggul salib,
Di saat itu Bunda Maria menangis penuh luka.
Tak mampu berbuat apa-apa bagi buah hatinya.
Teringat ia saat tapak-tapak mungil-Nya masih berlatih memijak,
Belum sampai Ia jatuh, Bunda sudah menangkap,
Memeluk dan menggendongnya penuh cinta.
...
Kini atas nama penebusan, ia biarkan Sang Anak menjalani metamorfosisnya sendiri.
Di dalam kesakitan dan penderitaan ibu menyatu bersama anaknya
Mengingatkannya pada saat dahulu ibu meregang nyawa ketika persalinan, sang anak juga bertekun bersamanya.
Seringkali ibu muncul di saat anaknya susah, di saat genting hidup anaknya.
Sebab baginya, di saat anaknya menderita, di saat itu pula Ibu menderita.
Di saat ia menemani anaknya, di saat itu pula ia menemani dirinya sendiri
Yang sedang belajar mencinta dan memahami dirinya,
Sekali lagi,
Dalam wujud diri belia. 

Jan 19, 2012

Rengkuh, hangat, dan Cakrawala

Rengkuhmu hangat sang surya
Membawaku dalam nyaman persinggahan
Termangu dalam hening perahu nelayan
Sendiri menyeruput harum dan lembut lautan

Tatap matamu garis batas cakrawala
Kedalamannya takkan pernah sanggup kugapai
Perhentian sang langit bertemu daratan
Yang kerap hanya sanggup kupandang kenikmatan

Walau mendung
Walau beku
Walau sayu
Walau deru dan debu mengganggu
dan bilakah nanti kulitku membiru?


Rengkuhmu hangat sang surya,
Tatap matamu garis batas cakrawala
Dalam diam aku mengutara
dalam biru aku kan menjingga

Jan 5, 2012

Terbuang dan Tertawa


Halo, namaku waktu. Terkesan familiar? Mungkin bagi sebagian dari kalian, aku merupakan hal yang cukup sering dikeluhkan. Aku juga seringkali jadi bahan pembicaraan. Jadi kambing hitam!

Sebagian manusia mengeluhkan ketika aku terasa berjalan lambat. Banyak hal yang mereka tunggu di masa depan, katanya. Huh, gaya! Tahu apa mereka sebenarnya tentang masa depan? Esok akan terjadi apa pun, mereka tidak tahu. Bagaimana bisa mereka bilang menunggu sesuatu dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahun ke depan?

Sebagian manusia lainnya mengeluhkan ketika aku terasa berjalan sangat cepat. Waktu dua puluh empat jam dalam satu hari tidak dirasa cukup untuk mereka. Tidak cukup banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu, katanya.

Padahal, aku stabil-stabil saja. Konsisten. Satu menit diisi oleh enam puluh detik. Satu jam diisi oleh enam puluh menit. Satu hari diisi dua puluh empat jam. Konstan. Pasti. Tidak berubah.

Lalu, kenapa seringkali aku disalahkan? Seakan aku ini yang mengatur kalian, manusia. Seakan segala kebodohan kalian dalam melakukan kegiatan kalian menjadi salahku. Seakan segala ketidakmampuan kalian dalam mengaturku, juga adalah kesalahanku. Haruskah aku marah karena disalahkan? Atau aku harus tertawa atas kebodohan kalian?

Banyak yang membuangku sia-sia. Banyak yang berkata bahwa aku tidak ada, untuk lari dari tanggungjawab mereka. Aku terima. Terima dengan lapang dada. Lalu aku tertawa, keras sekali.





Dec 21, 2011

Teruntuk Senyuman






*versi yang (mungkin) lebih mudah dibaca ada di sini

Dec 2, 2011

Lelah… 01.12.11




Aku lelah
Aku lelah berlari
Aku lelah
Aku hanya ingin berhenti sejenak
Tapi aku janji nanti aku pasti akan berlari hingga garis finish.
Aku janji.
Aku janji bunda.
Aku janji ayah.
Aku akan membuat kalian bangga.

Dec 1, 2011

Bahagia Adalah...

Bahagia. Satu kata sederhana.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku melihatmu tersenyum dan tahu bahwa itu bukan pura-pura.

Bahagia itu sangat sederhana. Ketika aku melihatmu dari kejauhan dan tahu bahwa kamu baik-baik saja.

Bahagia itu sederhana, sesederhana berbincang denganmu dan tahu kabarmu.

Bahagia adalah ketika melihat ada pesan singkat darimu, sesingkat apapun itu. Aku tahu, bahwa kamu masih mengingatku.

Bahagia adalah ketika kedua bola matamu menatapku, dan menyapaku akrab. Aku tahu, bahwa kamu sadar akan kehadiranku.

Bahagia adalah ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta kepadamu. Aku tahu, bahwa kamu tidak tahu.

Nov 26, 2011

Go, (Try to) Fake A Smile!


Fake smile. Senyum palsu.

Katanya senyumku palsu. Benarkah?

Ah, sok tahu dia. Mana mungkin senyumku palsu. Aku tidak pernah tersenyum pura-pura.

Tahu apa dia? Katanya aku sebenarnya menutupi kesedihanku dengan senyum. Lihat, sok tahu sekali, bukan?

Memang apa yang harus aku sedihkan? Aku baik-baik saja. Memang ada beberapa masalah, tapi kan bukan berarti bahwa aku harus sedih. Betul kan?

Ah, baiklah. Aku akui memang hatiku sedang sedih, tapi kan bukan berarti aku harus terus memasang wajah sedih.

Hmm... baiklah. Aku mengaku lagi. Mungkin aku memang tidak sebahagia yang aku tampilkan. Eh, tapi siapa sih yang benar-benar bahagia dan tersenyum senantiasa? Pasti tidak ada.

Ya habis bagaimana, hatiku terluka. Tentu saja aku sedih. Apakah hatimu pernah terluka? Sakit, bukan?

Apa? Kenapa terluka? Kau ingin tahu? Tidak, aku tidak ingin menceritakannya. Itu juga bukan masalahmu kan?

Aku tersenyum, justru karena aku sakit, teman. Tidak tahukah kamu bahwa senyumku ini untuk menutupi sakitku? Aku tersenyum, agar air mata ini tidak menetes...

Apa? Menyedihkan? Memang, menyedihkan. Oleh karena itulah aku tersenyum. Agar sedih ini dapat sedikit lebih baik. Agar sakit ini sedikit bisa kulupakan. Agar dunia tidak tahu betapa sedihnya aku sebenarnya.

Ah, akui saja. Kamu juga merasakan hal yang sama kan? Kamu juga punya rasa sakit yang kau coba untuk dihindari, atau mungkin kau lupakan. Mari, kita tersenyum bersama. Nah, sekarang, bukankah dunia terlihat sedikit lebih menyenangkan?

Lihat, kau pun tersenyum sekarang. Coba rasakan, apakah sakit itu masih sama?



-inspired by facial feedback-

Nov 25, 2011

Yang Dipaksa Diam

Siang dan malam diciptakan bergantian
Sedang senja begitu pendiam
Saksi kekal kala siang kelelahan
Kemudian mengalah,
Mempersilakan malam unjuk kebolehan

Sama seperti lelaki dan perempuan
Katanya diciptakan berpasangan.
Senja masih saja diam,
Kali ini tidak menunggu salah satu pihak mengalah
Hanya merindukan kejujuran:
Bahwa jantung Rian berdebar kencang kala melihat Rahman,
Bukan Dian.
Dan senja masih saja dipaksa diam
Kali ini, bahkan dipaksa tiada.

Nov 23, 2011

Empat



Empat raga, satu tempat.

Duduk bersama, mencoba berbagi rasa.

Masing-masing membawa luka dan cerita dibaliknya.


Empat raga, empat topeng berbeda.

Mencoba menutupi luka dengan senyum, berusaha tertawa.

Satu berkata, tak bisakah kita bersikap apa adanya?


Empat raga, satu tujuan.

Menghilangkan sesak yang terasa di dada.

Dua berkata, bolehkah saya bercerita?


Empat raga, empat cerita berbeda.

Mencari jawaban atas segala rasa sakit yang ada.

Tiga berkata, kenapa rasa sakit ini ada?


Empat raga, satu usaha yang sama.

Memaksa diri kebal akan luka yang menganga.

Empat berkata, tak adakah cara untuk menutupnya?


Tak adakah yang bisa melenyapkan luka?

Tak bisakah kita berkumpul bersama dan membakarnya?

Tak mungkinkah luka itu dibuang dan dilenyapkan begitu saja?



Nov 22, 2011

Aku Ingin... Bolehkah?


Siapa aku? Tak usah menanyakan namaku. Aku hanya sebuah benda, yang mungkin tak berdampak besar bagi dunia. Tapi aku punya cerita.


Pemilikku, ia adalah seorang gadis. Aku dipeluk olehnya sejak ia berusia lima tahun. Ya, lima tahun. Gadis kecil yang memelukku itu telah beranjak dewasa. Setiap malam, ia selalu memelukku.

Aku dapat merasakan perasaannya ketika ia memelukku. Pelukannya saat panik, pelukannya saat sedih, pelukannya saat takut. Ya, aku sangat mengenalnya.

Hingga suatu saat, ia memelukku sambil memegang ponselnya. Beberapa kali kurasakan pelukannya menguat, dan ia tersenyum. Ah, senyum itu, senyum yang sudah lama tidak kulihat. Senyum yang hilang sejak pemilikku kehilangan kekasihnya, beberapa tahun lalu. Jangan tanyakan apa penyebab ia kehilangan kekasihnya. Jangan membuatnya membasahi aku dengan air matanya lagi.

Sekarang, tiap malam, ia punya rutinitas baru. Ia akan berbaring di ranjangnya sambil memelukku dan melihat ponselnya. Ia akan tersenyum lebar, lalu memelukku makin erat. Mengetik di ponselnya, menunggu, lalu tersenyum kembali ketika ponselnya bergetar.

Kata temannya, ia jatuh cinta. Ah, jatuh cinta. Apa itu? Begitu menyenangkan kah rasa itu?

Harapanku cuma satu.

Aku hanya ingin berjumpa dengan lelaki itu. Lelaki yang membuatnya tersenyum setiap malam. Aku hanya ingin berpesan kepadanya untuk menjaga gadisku itu. Menjaganya untuk tetap tersenyum dan memelukku erat seperti malam kemarin. Menjaganya agar tidak kembali membasahi aku dengan air matanya. Menjaganya dengan sepenuh hatinya.

Aku mungkin bukan siapa-siapa. Aku tak berjasa besar. Aku bukan pahlawan. Tapi aku tak mau lagi dibasahi air mata. Aku suka senyumnya dan pelukannya yang seperti ini. Aku hanya mau merasakannya setiap hari. Bolehkah?




Nov 20, 2011

Lima Rasa


Pahit, asam, manis, asin, umami
Mereka tak berdiri sendiri
Yang satu menopang yang lain
Mereka berbagi lahan di lidah
Memberi ruang satu sama lain untuk menguasai
dan menonjol di satu area
tapi tetap bekerja bersama-sama

Kemudian datang pedas,
Yang membakar dan mengambil semua lahan
Yang membuat semua papila berdenyut dan bekerja
Tak ada pergantian, tak ada istirahat
Terbakar... padahal tak ada api
Meledak...tapi tak ada petasan apalagi bom
Lalu di mana?

Bahkan tak seorang pun bisa memberikan bukti
Bahwa keserakahan, penindasan dan ketidakadilan pernah ada di sana.
Entah takut, bungkam atau kebal.

Yang masih tidak suka pedas hingga hari ini
Penghargaan terhadap pelajaran Psikologi Umum tentang “Senses”
Metafora atas ketidakadilan di tanah Indonesia

Nov 18, 2011

Kawan Lama

Senyap itu kembali datang, ketika hujan urung bertandang dan jangkrik tertidur sebelum mengerik. Bukan, bukan sepi yang berisik. Bukan pula sepi yang memekakkan telinga. Tapi sepi yang kosong seakan ruang hampa udara ada di sekitarmu. Ia hanya tak berwujud dan enggan mewujud karena kosong telah lama menjadi wujudnya yang enggan kau kenali.

Pernah aku berteman dengan senyap, berkawan bahkan bergandeng tangan, tapi kemudian ia menghilang digantikan suara-suara yang enggan padam. Pernah aku berteriak, mencari dirinya di segala penjuru ruang, tak kudapat juga. Entahlah ia bosan atau bertemu teman barunya, yang jelas aku mulai tertawa di tengah riuh tawa dunia dan berteriak serta bersorak di dalam suasana gempita.

Tapi kali ini, di ruang yang hingar bingar oleh desis kipas angin dan kecakan cicak yang tak henti lewat, sang senyap memasuki ruangan membawa tatapan rindunya yang dalam.

Bukan aku tak siap dengan kedatangannya, bukan pula enggan menyambutnya. Hanya saja sudah lama tak kulihat perawakan menarik yang selalu kupandang asing ini. Lembut aroma rambutnya ketika tertiup angin menggetarkan jiwaku, hangat sentuhan tangannya yang seakan penuh kasih menghangatkan ariku. Setiap inci sentuhnya pernah tertinggal di masa lalu. Ya, dulu. Aku pernah begitu lama mengenalnya, bahkan pernah menjadi bagian dirinya. Aku mengenali setiap gerak-gerik tubuhnya, kerling matanya, senyum nakalnya, serta ide-ide yang ia bawa bersama otak cerdasnya. Aku mengenalnya lebih dari mengenal diriku sendiri. Aku bahkan pernah berpikir, mungkinkah senyap adalah diriku sendiri?

Senyap melangkah dengan penuh percaya dirinya, senyumnya terjepit di antara pipi, ia melangkah ke dekatku, menarik kursi dan.. Sst… senyap sekarang duduk di sebelahku, tepat sebelah kiri. Ia menatapku lamat-lamat, tatapan lekat yang seakan tak akan pernah beranjak. Tak hanya itu, ia menyondongkan tubuhnya ke arahku, harum wewangian kosongnya bisa kurasakan menjalar masuk ke dalam rongga hidungku. Hembusan nafasnya terasa hangat, di sini, di pipi kiriku ini.

Aku merasakannya. Ia Mendekat. Mendekat. Erat, melekat. Menyentuhkan bibirnya rapat ke bibirku, bibirnya terasa hangat dan empuk. Kami berciuman, ia meninggalkan kursinya dan bergerak ke arahku. Tangan kirinya merangkul pundakku, dan tangan kanannya menyentuhkan diri ke dadaku, menekan terus ke dalam dada. Aku tersentak, mataku terbuka lebar; jari-jari tangan kanan senyap menembus kulit dan tulangku. Ia mengambil sesuatu dari rongga dadaku. Entah apa. Aku bisa merasakan jarinya mengorek sesuatu, sesuatu yang keras. Sesuatu yang tersangkut tepat di dadaku. Sesuatu yang besar yang membuat nafasku tahun-tahun lalu kian memendek.

Jemari itu sekarang terasa menggenggam sesuatu, di kepalan tangan kanannya itu. sementara mataku… aku terbelalak begitu lebar, warna merah,jingga, kuning, dan hitam semua berputar dalam ruang pandang. Telah kulepaskan ciumanku. Kini mulutku ternganga sempurna. Aku gamang. Kehilangan makna, tak bisa menjelaskan rasa lewat kata. Tak terbayang di bumi ada aksara. Tak lama ditariknya tangan tersebut keluar dari dadaku, sebuah batu berwarna merah marun. Ya, sebuah batu Kristal berwarna merah marun. Aku terpana. Tapi hatiku dipenuhi perasaan lega. Nafasku panjang. Begitu lapang. Begitu tenang.

Aku masih bersender di bangkuku. Tidak berdaya, memandang ke arah sang senyap yang senyum nakalnya masih terlihat, di ujung sadarku yang mengelam, tak begitu lama kudengar tawanya membahana “Halo teman lama, sudah lama kita tak berjumpa”

Masih di dalam warna jingga yang menghitam. entah terdengar atau tidak tapi hatiku berbisik lega: “senyap, kini aku mengerti apa yang kurasa; engkau rinduku yang sempurna”. Dan bahana tawa senyap menyisakkan pusing di kepala sebelum akhirnya aku terjatuh ke tanah.

Senyap, terima kasih untuk kebebasan dari sesak.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...