Apr 30, 2011

Hanya Dia.

Malam ini ku tak sendiri lagi
Kosongnya lubang hati kini t’lah terisi
Aku membiarkan agar hatiku menghangat
Seterusnya, hangat ini akan semakin pekat.

Kurasakan damai dan rasa aman merengkuh
Perlahan, namun menyeluruh
Mengobati sakit dan benci yang bergemuruh
Ah... hati ini luluh.

Biar ’ku berharap kali ini
Karna hanya Dia yang pasti.
Biar Dia yang mengobati hati
Karna hanya Dia yang memahami.

Ketika Akhirat pun Outsourcing

Alkisah, dunia akhirat kelabakan. Ujung tombak operasional mereka, Pengadilan Terakhir, keteteran menghadapi arwah-arwah yang mengantri minta diadili. Setiap hari makin banyak orang yang meninggal, sementara divisi Sumber Daya Malaikat (SDM) belum membuka lowongan bagi malaikat pengadil baru. Chaos! Kini satu malaikat pengadil bisa melakukan FGD sekaligus ke 10 arwah. Lantas dalam satu jam verbatim sudah harus diketik, data sudah harus dikoding, disusul analisis dan kesimpulan: "masuk mana arwah-arwah tadi, surga atau neraka?"

Manajer SDM pun mengambil kebijakan sensasional: outsourcing! Kebetulan belum lama ini segelintir penghuni surga mendirikan Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Meski mahal, tapi tetap lebih efektif dibanding merekrut malaikat pengadil baru dan mengirim mereka ke berbagai training dan workshop, sebelum akhirnya menjadi tenaga siap pakai. Kesepakatan pun dihasilkan: "Mulai besok, semua proses pengadilan terakhir & penentuan nasib para arwah menjadi tanggung jawab BPP"

Perdebatan hebat terjadi di internal Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Pendekatan mana yang harus dipilih? Kuantitatif, atau kualitatif? Karena keterbatasan waktu, akhirnya mereka memilih kuantitatif. Masing-masing arwah diminta mengerjakan Tes Kesucian Dasar. Ada lima domain dan tiga puluh indikator di dalamnya, yang secara keseluruhan ingin mengukur tingkat kesucian seseorang. Expert judgment dilakukan ke tiga tokoh yang dianggap sangat suci: Bunda Teresa, Paus Yohanes Paulus II, dan Gandhi. Uji validitas lolos. Uji reliabilitas pun lolos setelah menghilangkan beberapa item yang dirasa memiliki derajat kesulitan terlalu tinggi: 0.1.

Alat tes diadministrasikan klasikal, langsung ke seratus arwah sekaligus. Cukup menghemat waktu, antrian arwah semakin cepat dipangkas. Setelah hasil tes diskoring, keseratus arwah diurutkan dari yang skornya terendah ke tertinggi. Permasalahan pun muncul: norma belum ada. Tidak ada cutting point yang jelas. Mereka yang skornya 70 ke atas bisa langsung dikirim ke surga. Mereka yang skornya di bawah 30 dikirim ke neraka. Lantas, bagaimana dengan mereka yang berada di tengah kurva normal, antara Z-Score -0.5 dan +0.5? Apa yang membedakan mereka yang ada di persentil 49 dan persentil 51? Mengapa skor setipis itu bisa membedakan nasib mereka ke depannya? Perbedaan pendapat pun tidak terselesaikan. Pendekatan kuantitatif gagal.

Dalam waktu singkat mereka beralih ke pendekatan kualitatif. Panduan FGD disusun, sekaligus manual berisi rating dan cara penilaian. Dalam melakukan FGD, tiga praktisi BPP menghadapi sepuluh arwah. Setelah FGD selesai, mereka melakukan kalibrasi untuk menguji inter-rater validity. Boom! Masalah baru muncul: definisi teoritis mereka tentang kesucian berbeda, sesuai aliran mereka. Ada yang beraliran humanis, ada yang behaviorisme, ada yang psikodinamis. Perbedaan standar tidak terjembatani. Pendekatan kualitatif bubar jalan.

Setelah kurang lebih seminggu tidak menemukan solusi, Guru Besar di BPP pun memberi usul untuk menggunakan kedua pendekatan sekaligus, kuantitatif, dan kualitatif. Skor di kedua tes dianalisa dan diukur pengaruh multivariatnya. Dengan bantuan aplikasi Lisrel versi terbaru, analisis dimudahkan. Data dimasukkan, lantas hasil keluar. SURGA. NERAKA. SURGA. NERAKA.

Semua berjalan cukup lancar, hingga suatu saat ada "kecelakaan". Seorang yang sudah dinyatakan gagal ditolak ke neraka, baik oleh pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, malah dimasukkan ke surga oleh Dewan Agung Pengadilan Terakhir. Praktisi BPP gerah. Mereka merasa kerja keras mereka tidak dihargai. Setelah dikonfirmasi ke Dewan Agung, ternyata orang tersebut memang semasa hidupnya adalah pendosa berat. Namun, tepat sebelum kematiannya, orang tersebut menyatakan bertobat. Hal itu membuatnya pantas dimasukkan ke surga. Praktisi BPP tetap tak terima. Debat runcing tak terelakkan. Kerja sama berakhir. Izin praktik BPP pun dicabut oleh Dewan Agung.

Setahun ternyata cukup untuk membuat BPP berbenah diri. Setelah sekitar setahun vakum dari surga, mereka membuka kantor baru di neraka. Kini fokus mereka tidak lagi ke pengukuran, melainkan ke konseling dan bimbingan arwah. Mereka yakin, arwah pun memiliki kesempatan yang sama untuk berubah dan menjadi lebih baik. Mereka mulai mendekati arwah-arwah jahat, dan menyadarkan mereka, satu per satu. Setelah penuh perjuangan, usaha mereka terdengar hingga ke telinga orang nomor satu di dunia akhirat. Terkesima dengan usaha mereka, sang presiden dunia akhirat mengeluarkan dekrit: "Semua penghuni neraka yang sudah mengikuti program konseling selama setahun dan menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih baik, berkesempatan dipindahkan ke surga.". Satu per satu penghuni neraka pun termutasi ke surga.

Tak lama kemudian, neraka bangkrut. BPP semakin dikenal dan diakui jasanya. Kantor cabangnya semakin banyak, hingga ke bumi. Karena mereka yakin, pada dasarnya setiap orang memiliki kualitas personal yang baik dalam diri masing-masing. Yang membedakan hanya lingkungan tempat mereka dibesarkan, agama tempat mereka disangkarkan, dan sederet faktor situasional lainnya. Maka tak adil rasanya mengevaluasi mereka di Pengadilan Terakhir dengan mengacuhkan peranan faktor situasional. Sekali lagi, mereka yakin setiap orang itu pada dasarnya baik. Setiap orang bisa menjadi baik. Hanya saja kita kerap tidak menyadarinya. Juga enggan disadarkan.


Jakarta, 28 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com

Apr 28, 2011

Nanti

Nanti di suatu saat
Kan kulihat mozaik-mozaik itu menyatu,
Menempel,
Menemukan pasangannya,
Membentuk pola yang jelas.

Menawarkan padaku satu buah gambar besar
Menunjukkan apa yang selama ini..
kutulisi lewat kata,
kunyanyikan lewat nada,
kutahankan melalui usaha

Dan nanti di suatu saat
Tak ada lagi yang perlu diselesaikan
Karena crayonku menyelesaikan gambar tepat di garis hitam
Dan gunting demi gunting tak lagi dibutuhkan..
Baik untuk memutus yang tak perlu,
Atau memulai sesuatu yang baru

Nanti di suatu saat
Akhirnya aku tahu
Mitologi apa yang selama ini kuceritakan pada dunia
Resital apa yang kualunkan..
yang selama ini menjadi lagu tidur,
pembuai jagat raya menuju peristirahatan

nantinya dengan helaan nafas lega
senyumku kan' merekah
kan’ kutulisi judulnya dengan bangga
Dan kuterbitkan di galaksi Bima:
‘Inilah hidup yang telah kucipta’

Apr 26, 2011

Film Tanda Tanya: Seiris Diagram Venn Kemanusiaan


Isu tentang perbedaan agama kembali mencuat di permukaan akibat terjadinya tindakan-tindakan separatis atas nama agama terhadap pemeluk agama lain. Ini bukan suatu hal baru dalam kehidupan bermasyarakat di negara yang pluralis dan majemuk memang. Namun tampaknya friksi-friksi yang selama ini tersublimasi dan terepresi kini meledak-ledak di peristiwa hidup sehari-hari. Menorehkan luka, darah dan pertanyaan.

Memunculkan tanda tanya tentang apa itu berbeda?

Bagaimana hidup dalam keadaan yang berbeda-beda?

Bagaimana orang lain yang berbeda dari kita?

Kenyataan hidup di negara yang penuh keragaman tidak serta merta bisa dipahami secara bijak oleh banyak orang.

Masih banyak orang yang hidup bak kerbau dicucuk hidung atau menggunakan kacamata kuda. Terbiasa dengan pakem-pakem dan dogma tertentu berdasarkan apa yang diyakininya.

Dan pakem yang ia gunakan, dipakainya pula dalam memandang orang lain sehingga ia menuntut orang lain untuk sama seperti dirinya.

Sama VS Beda

Di film Tanda Tanya, perbedaan-perbedaan dalam hidup masing-masing pemeluk agama ditampilkan dengan sinematografi yang apik.

Berbeda, tapi mereka sama-sama memejamkan mata saat berdoa kepada Tuhan.

Atribut-atribut yang mereka gunakan dalam hidup sehari-hari sebagai bagian dari identitas keagamaannya berbeda-beda.

Berbeda, tapi mereka sama-sama manusia yang ingin semakin dekat dengan Tuhan.

Berbagai aktivitas dan pekerjaan dilakoni oleh para tokoh untuk menyambung hidup hari demi hari, agar asap dapur tetap mengepul.

Pekerjaan yang berbeda-beda, tapi mereka sama-sama manusia yang berusaha untuk dapat bertahan hidup.

Beberapa cuplikan hidup berkeluarga juga ditampilkan di dalam film ini dengan pesan yang sama.

Laki-laki, baik sebagai kepala keluarga, suami, ayah, kakak maupun anak yang diandalkan membutuhkan eksistensi dan pengakuan atas usaha serta keberhasilannya. Rapuh dalam keperkasaannya.

Perempuan, baik sebagai pendamping, istri, ibu, maupun anak membutuhkan dukungan dan tempat perlindungan untuk dapat menjalani hari. Tegar dalam kemarginalannya.

Dan ketika melihat seorang pribadi, seorang individu...identitas apakah yang dipakai orang lain untuk mengidentifikasinya?

Apakah agama, suku, jenis kelamin, status sosial atau namanya?

Ternyata lebih mudah mengkategorikan perilaku SATU orang ke dalam SATU KELOMPOK tertentu.

Maka munculah stereotipe dan kebencian terhadap SATU KELOMPOK hanya karena ulah SATU ORANG.

Di sini terlihat inkonsistensi manusia.

Kadang ia menyamaratakan, kadang ia membeda-bedakan. Tergantung kepentingannya.

Lalu, masih pentingkan memperdebatkan perbedaan agama?

Masih bisakah melihat agama sebagai satu-satunya substansi di dalam hidup manusia?

Padahal dalam hidup sehari-hari, agama adalah bagian dari suatu identitas manusia,

Bagian dari peradaban,

Bagian dari sejarah,

Bagian dari sosialisasi.

Suatu irisan dari diagram venn pribadi manusia.

Di mana ada irisan diagram venn lain yang berisi aspek-aspek diri manusia yang pastinya menarik jika kita mau dan mampu mengenalinya lebih jauh.

Kumpulan irisan diagram venn yang membentuk pola dan warna baru, yang pada akhirnya membentuk suatu harmoni. Harmoni warna, yang bahkan tak satu orang pun memiliki pola dan komposisi ‘warna’ yang sama. Karena setiap individu unik adanya.

Ketika mampu melihat harmoni dari aneka irisan diagram venn yang ada di dalam diri manusia...

Masih pentingkah perbedaan itu dipertanyakan?

PS: Agama sebagai salah satu irisan di dalam diagram Venn manusia, selalu bersahabat dengan konteks. Tak bisa dipisahkan atau berdiri sendiri.

Gambar dipinjam dari sini

Besok!

Tiga tahun lalu.
Ia mengaku memiliki cinta, untukku.

Aku ragu ia sungguh memilikinya. Kami baru kenal beberapa minggu. Berawal dari saling sapa di lorong sekolah, kadang kami mengobrol. Kami sama-sama penghuni pertama gedung sekolah setiap harinya. Alasanku: rumahku jauh, dan daerah rawan macet. Berangkat pukul lima, aku akan tiba pukul enam di sekolah. Terlambat berangkat lima belas menit, bisa-bisa pukul delapan aku baru tiba. Sederhana bukan? Alasan dirinya lebih sederhana lagi. Suatu hari ia salah melihat jam, dan datang kepagian ke sekolah. Semenjak "kecelakaan" itulah ia jadi rajin datang pagi ke sekolah, menunggangi motor kesayangannya. Biar tidak kena macet, kilahnya. Belakangan, baru ia akui, akulah alasan dirinya selalu datang pagi ke sekolah.

Dua tahun lalu.
Ia bilang masih menyimpan cinta, untukku.

Aku masih ragu. Aku tahu, kami sudah cukup akrab. Semangkok bubur ayam hangat di meja kantin menjadi saksi bisu setiap harinya. Pun setumpuk surat cinta darinya di lokerku. Juga ratusan tiket bioskop dan puluhan buku yang kami nikmati bersama. Kami suka membunuh waktu bersama. Dengan indah, tentunya. Berdua. Tapi aku ragu, bahwa ruang bening berjarak di antara kami itu betul-betul cinta. Aku rasa ia hanya butuh seorang teman. Dan aku rasa aku teman terbaiknya. Untuk apa bertaruh memulai sesuatu yang bisa berakhir menyakitkan? Jika tanpa itu pun aku masih bisa dekat dengannya. Mereguk manisnya.

Tahun lalu.
Ia nyatakan lagi cintanya, tanpa kata-kata.

Ia melepas tawaran beasiswa dari universitas di kota sebelah. Ia memilih tetap di Jakarta, di tempatku ingin merajut masa depan. Tapi sejentik keraguan lain kini menggoyahkan harapanku. Di depan kami akan ada lembaran kehidupan yang baru. Bukankah kini dunia akan berputar lebih cepat, dan aku dengan segera akan menjadi lembaran kenangan lama baginya? Aku lebih memilih menjadi kenangan yang indah, abadi, dengan tetap sebagai sahabatnya. Dibanding menjadi kenangan yang lebih indah, namun berpotensi tak kekal.

Besok.
Giliranku menyatakan cintaku. Aku mencintainya. Lebih dari sekedar ribuan pelukan hangat seorang sahabat. Lebih dari ratusan kalimat-kalimat penopang kesedihan. Lebih dari puluhan momen di mana aku merasa tak kuat lagi menjadi sekedar sahabat, namun hati dan bibirku tak pernah berharmoni seutuhnya.

Aku mencintainya. Sesederhana itu. Seabsolut itu. Dan besok akan aku curahkan semua perasaanku. Tentang kesempurnaannya yang membuatku ingin berada di sisinya. Sekaligus tentang ketidaksempurnaannya yang juga membuatku ingin berada di sisinya.

Besok, aku akan menyatakan cintaku padanya. Tak noleh ada lagi keengganan bibir untuk berucap. Tak boleh ada lagi keraguan hati untuk bersikap. Tak boleh. Karena besok adalah kesempatan terakhirku. Aku tahu itu.

Karena di saat petinya tertutup sempurna, dan tanah segenggam mulai menutupi liangnya, kami akan berpisah. Juga saat amin terucap dan air mata keluarganya menderas kembali, saat itu pula namanya terhapus dari dunia ini selamanya. Kosa kata itu akan terhapus tanpa jejak dari semua kamus di kehidupanku.

Semoga pernyataan cintaku besok belum terlambat.
Aku yakin ia masih mendengar.
Iya kan, sayang?


Jakarta, dimulai 4 Februari 2011, diselesaikan 25 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Berusaha tak melulu berharap pada esok)

Apr 25, 2011

Tiket Sekali Jalan

Seringkali cinta tak ubahnya tiket pulang-pergi.
Setelah puas membawa kita bertualang,
ke hamparan padang kebahagiaan, bukit kedamaian, dan pantai pengharapan,
Ia akan mengembalikan kita.
Ke tempat asal kita bernama realita, ke kesendirian kita.

Sebenarnya kita sudah diberitahu, bahkan memilih sendiri, dengan sadar.
Saat kita menyobek tiket keberangkatan, seketika pula kita menyimpan erat tiket kepulangan.
Namun seringkali kita berusaha mengacuhkannya.
Segenap tenaga membuaikan diri dalam indah perjalanan.
Dan di saat tiket itu perlahan menyelip keluar dari saku, kita gopoh memasukkannya kembali.

Pada akhirnya, sang tiket mencuat seutuhnya, mendeklarasikan kuasanya.
Sontak perjalanan usai, kita dipaksa pulang.
Sekuat apa pun kita berontak, kuasanya absolut, tak terelakkan.
Pilihannya hanya dua: membuatnya mudah atau membuatnya sulit.
Dan itu pun hanya proses, karena akhirnya jelas: kita kembali ke realita, kembali ke kesendirian.

Kita terhempas.
Sesenggukan menahan kecewa, meronta melepas amarah.
Tapi selintas kemudian, akan kita cari lagi tiket pulang-pergi itu.
Mungkin destinasi lama, mungkin juga baru.
Semua tergantung perjalanan sebelumnya, lebih tepatnya akhir perjalanan sebelumnya.

Dan meski konon menyebutkan adanya tiket sekali jalan, aku pongah percaya.
Aku tak pernah menemukannya, pun tak berharap suatu saat akan menemukannya.
Bagiku semua tiket keberangkatan memiliki pasangannya: kepulangan.
Karena tidak ada perjalanan yang kekal.
Dan tiket kepulangan bisa saja berbentuk apa pun, termasuk maut.

Jakarta, 24 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com

Apr 24, 2011

Bom Gereja

Jarum pendek tepat menghujam angka tiga, saat pastor mengumandangkan bahwa Yesus telah wafat. Dalam sekejap satu per satu umat berlutut. Udara larut dalam keheningan. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Pada detik kedelapan, tepat di saat umat bersiap untuk berdiri, dentuman keras terdengar. Asap mengepul. Orang-orang berteriak, entah kesakitan, panik, atau ketakutan. Di saat seperti inilah insting naluriah menunjukkan peringai aslinya. Semua umat berdiri, berlari sekuat tenaga menuju gerbang keluar terdekat. Tak ada lagi yang peduli akan prosesi liturgi. Ribuan orang membuncah keluar gereja, mulai dari umat, petugas tata laksana, misdinar, imam, hingga pastor kepala.

Semua sibuk berusaha menyelamatkan diri. Salib di atas altar pun kehilangan daya magisnya memusatkan konsentrasi dan menenangkan umatnya. Aku tetap duduk. Di tempat dudukku sedari awal. Tak beranjak sama sekali. Aku memperhatikan semua detil dengan seksama, dengan perasaan berdebar, dengan konsentrasi penuh, hingga seakan-akan semua berjalan sangat lambat. Aku tak perlu takut dianggap aneh karena tidak berusaha menyelamatkan diri, aku yakin di saat seperti ini semua orang tak sanggup memikirkan apa pun kecuali tentang keselamatan dirinya sendiri.

Aku menutup mata, berlutut, mulai memanjatkan doa. Aku berharap tidak ada yang terluka, bahkan tewas, saat semua umat berhimpitan keluar dari gereja. Itu saja. Karena aku yakin, ledakan itu sendiri takkan melukai siapa pun. Bom meledak di dalam ruangan tak terpakai di belakang goa maria. Daya ledaknya pun tidak besar, meski asap yang ditimbulkannya memang dibuat seolah bom tersebut mampu meruntuhkan gedung bertingkat. Sudah cukup, sekedar untuk menakuti umat satu gereja.

Saat lautan umat yang saling berdesakan keluar mulai surut, aku ikut beranjak keluar dari gereja. Menghilang dalam lautan umat yang masih diselimuti cemas dan takut. Sejurus kemudian aku sudah tiba di rumahku, langsung menyalakan televisi. Benar saja, berita tersebut langsung muncul menjadi headline news di stasiun-stasiun televisi nasional. Pemadam kebakaran, polisi, dan tim Gegana sudah tiba di lokasi. Berbagai foto dampak ledakan disorot berulang-ulang. Saat pembawa berita mengumumkan tidak adanya korban luka maupun jiwa, aku menghembuskan nafas panjang. Bersyukur. Televisi pun aku matikan.

Senyum tersimpul. Semua berjalan sesuai rencana. Besok, peristiwa tadi akan menjadi berita terhangat seantero negeri. Semua petunjuk yang bisa mengarah pada keterlibatanku sudah terhapus tanpa jejak. Aku yakin dalam beberapa hari polisi akan putus asa. Dan seperti biasa, mereka akan menciptakan tokoh-tokoh rekaan untuk dijadikan kambing hitam. Seorang ekstremis, anggota jaringan teroris internasional, dan berbagai embel-embel yang kelihatan nyata, padahal tidak. Untungnya, media dan masyarakat sedemikian mudahnya mempercayai karangan tersebut. Mereka lebih memilih keberadaan seorang tokoh antagonis, tanpa perlu tahu apakah tokoh tersebut benar-benar ada atau tidak, dibandingkan dibiarkan terus menerka, siapa yang patut dipersalahkan dari kejadian tersebut.

Semua akan lebih percaya pada hasil karangan polisi, tak peduli seberapa absurd dan minim verifikasinya karangan tersebut. Siapa yang percaya, kalau bom tersebut tak lebih dari sekedar ungkapan kekecewaan sang pelaku terhadap gerejanya sendiri? Gereja yang telah terlalu memegahkan diri, dan kehilangan kekhusyukannya sama sekali. Gereja yang terlalu mementingkan ukiran-ukiran indah di sekujur tubuhnya sendiri, dan mengacuhkan keimanan pengunjungnya. Gereja yang sudi repot-repot memasang pendingin ruangan, proyektor, hingga sound-system canggih nan mahal, meski harus mengorbankan kesakralan pemaknaan iman umatnya sendiri. Gereja yang sudah terlalu menyamankan fisik penggemarnya, hingga tak pantas lagi mengenang kesederhanaan anak manusia yang mereka salib dan teladani secara bersamaan.

Semoga saja, usahaku kali ini membuahkan hasil. Mungkin ledakan kecil ini bisa lebih efektif dibandingkan ratusan surat yang sudah kulayangkan sebelumnya ke para petinggi gereja. Jika masih belum berhasil juga, mungkin usaha berikutnya akan melibatkan sedikit darah. Sebagaimana yang telah diteladankan oleh Ia yang tersalib, kadang pengorbanan itu penting, untuk suatu kebaikan yang lebih besar. Dan jelas, tak perlu mengorbankan banyak orang, sebagaimana yang sudah diteladankan oleh Ia yang tersalib, korbankanlah pertama-tama dirimu sendiri. Darahmu sendiri. Nyawamu sendiri. Imanmu sendiri. Amin.

Jakarta, 22 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com/
(sama-sekali-tidak-berencana-merakit-bom)

Saat Malam Membunuh Teman-temannya

Pagi datang, saat Malam belum tuntas bergegas.
Sebenarnya Malam belum rela beranjak.
Ia masih ingin bercinta dengan cahaya bulan, terang bintang, dan nyanyian burung hantu.
Tapi Malam tak punya pilihan. Pagi sudah tiba.

Malam menyimpan iri, terhadap Pagi yang selalu muncul setelahnya.
Memaksanya menyudahi giliran.
Merebut perannya.
Menghapus jejaknya.

Ia ingin seperti Pagi.
Menyaksikan manusia memulai aktivitas.
Ditemani kicauan burung gereja, cahaya matahari, dan biru langit.
Tapi Malam tak punya pilihan. Ia bukan Pagi.

Suatu saat, Malam membunuh Pagi.
Kini ia memiliki seperempat hari sebagai tambahan waktu.
Ia bahagia setengah mati.
Tak ada lagi Pagi yang menyudahi gilirannya.

Tapi tak lama Malam kembali meradang.
Kini ia menghujat siang, juga sore.
Ia ingin pula menyaksikan manusia di tengah kesibukan mereka.
Ditemani terik matahari, panas udara, dan indahnya awan.

Malam pun membunuh siang, sekaligus sore.
Kini ia merajai hari.
Tanpa perlu berganti peran.
Berbagi giliran.

Malam terus menguasai hari.
Hingga ia kelelahan.
Ia sudah bosan bercinta dengan bulan, bintang, dan nyanyian burung hantu.
Ia sudah muak melihat manusia dengan segala kesibukannya.

Malam pun memutuskan ingin bunuh diri.
Ia tak sanggup lagi.
Tapi ia lupa, ia tak bisa.
Saat ia membunuh Pagi, sebenarnya saat itu pula ia sudah mati.


Jakarta, 23 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Bergegas ke gereja, bersama MALAM)

Apr 22, 2011

Unsur Feminin di dalam Transendensi




Budaya patriarki yang telah mengakar pada peradaban manusia, juga mengakar kuat pada agama-agama di dunia, terutama pada agama-agama samawi. Termasuk juga mempengaruhi bagaimana manusia dari zaman ke zaman dalam usaha mempersonifikasi Tuhan atau Sang Transenden itu ke dalam konteks kehidupan manusia. Tuhan dipersonifikasikan sebagai Bapa, Ayah atau Tuan.

Setiap individu mungkin memiliki preferensi kedekatan dengan Transendennya masing-masing.

Ada yang merasakan kehadiran transenden lewat personifikasi seorang Bapa.

Personifikasi seperti ini mungkin cocok untuk para anak perempuan atau perempuan yang merasa lebih dekat dengan figur Bapa/Ayah yang berbeda jenis kelamin dengan dirinya. Ini ada teorinya di dunia Psikologi.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran ibu yang adalah perempuan merupakan sosok sentral dalam jejak kehidupan seorang manusia.

Siapa yang pertama kali merawat dan mengasuh seorang anak?

Siapa yang selalu berjaga ketika anaknya sakit?

Siapa yang paling banyak menghabiskan waktu dengan anak?

Tak bisa dipungkiri bahwa ibu berperan besar dalam kehidupan anak manusia. Dan bukan tidak mungkin seorang manusia menjadi lebih mudah memahami tentang Transendensi melalui sosok ibu yang memang riil dan nyata ada dalam kehidupannya.

Pengkotak-kotakkan keilahian transendensi di dalam kelaki-lakian boleh jadi sebagai usaha manusia memahami keilahian transendensi yang begitu luas tak terbatas. Tentu saja proses memahami ini berjalan seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan bagaimana manusia mampu memahami diri dan alam sekitarnya.

Namun, apakah itu saja cukup?

Bisa iya, bisa tidak...

Tergantung pengalaman dan interpretasi masing-masing individu terhadap transendensi di dalam dirinya.

Paling tidak, dengan menyadari bahwa agama sebenarnya juga bersifat antropologis bukan suatu dogma dan doktrin absolut kita mampu menyadari bahwa patriarki dan maskulinitas di dalam agama terjadi seiring dengan perkembangan peradaban manusia dari zaman ke zaman.

Saya ingin mengutip ajaran agama Hindu tentang bagaimana mereka menggambarkan hubungan mansuia dengan Transendensinya.

Dalam Hinduisme, hubungan terdalam antara manusia dan Tuhan adalah hubungan anak dengan Ibu. Tuhan memiliki sifat-sifat keibuan, sifat feminin yang selamai ini hanya diatribusikan kepada perempuan. Tak ada hubungan manusiawi yang lebih dekat dari hubungan ibu dan anak.” (Jurnal Perempuan, 2010).

Pemikiran dan kesadaran bahwa hubungan manusiawi yang paling dekat terjadi antara ibu dan anak, bukan tidak mungkin kesadaran ini dipakai untuk memahami Sang Transenden yang Maha Kasih dan Maha Rahim.

Unsur feminin di dalam Transendensi ternyata mampu menjangkau ke tempat-tempat terdalam di mana maskulinitas tidak dapat menembusnya.

Akhir kata,

Tanpa memberi penghargaan yang layak pada kualitas feminin, sebuah agama tidaklah lengkap dan akan menghasilkan konsekuensi negatif. Pengenalan terhadap aspek feminin selain maskulin niscaya akan memberikan pemahaman tentang keseluruhan Tuhan yang lengkap dan universal (Jurnal Perempuan: Perempuan dan Spiritualitas, 2010).

Tulisan ini adalah refleksi hari Kartini dan Kamis Putih yang tahun ini jatuh pada hari yang sama.

Apr 19, 2011

Let Alone

let alone this emptiness
so I could have a thousand words to speak
with myself and my God
the only God, which never been around but in my mind

let alone this stubbornness
so I could sip the bitter taste of bliss
with my own foolishness
the foolishness that kept me walk around in circles
and let the pathetic history to repeat itself

just let alone. it keeps me alive.

Jakarta, 13 Oktober 2009
Okki Sutanto

Apr 17, 2011

Dare to Dream Big

[sumber : http://monsieursb.wordpress.com/2011/04/16/dare-to-dream-big/ ]

Teman-teman, pernahkah teman-teman suatu hari mengendarai mobil, motor, sepeda atau hanya berjalan kaki, tapi tanpa ada tujuan di kepala teman-teman sebelumnya?

Saya pernah. Saya pernah beberapa kali. Biasanya hal ini terjadi saat saya dengan pacar saya. Saat pacaran dulu, kami seringkali terjebak dalam situasi di mana kami mau pergi jalan-jalan, tapi sama sekali tidak tahu mau ke mana. Tidak ada tujuan. Jadi demi menghemat waktu berpikir, kami biasanya tetap naik mobil terlebih dahulu, jalan terlebih dahulu, sambil terus berpikir mau ke mana.

Pada beberapa kesempatan, ide luar biasa muncul di saat yang tepat. Saat dalam perjalanan ke mobil, atau saat baru mulai berjalan keluar dari kompleks rumah. Akhirnya kami akan berjalan menuju ke tujuan tersebut dan kami menikmati waktu bersenang-senang yang luar biasa. Sayangnya tidak semua kesempatan seperti itu. Sebagian besar yang terjadi adalah kami stuck, lalu kami berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Saat berputar-putar tanpa arah tersebut, yang terjadi adalah kami membuang banyak sekali waktu berharga. Kami membuang-buang bensin. Kami membuang energi. Energi yang bisa kami pakai untuk bersenang-senang, ngobrol banyak hal yang menyenangkan, tapi malah kami pakai untuk berdiskusi “mau ke mana nih kita??”


Biasanya pada akhirnya kami kemudian menentukan satu tempat yang sejalan dengan arah mobil kami. Dan biasanya tempat itu tidak begitu oke, karena itu bukan tempat yang ideal. Tempat itu dipilih karena darurat. Daripada tidak ada tempat tujuan sama sekali. Atau yang lebih parah adalah ketika akhirnya sudah tahu mau ke mana, tapi ternyata tempat itu tidak sejalan atau jauh sekali dengan posisi terakhir. Padahal kalau tujuan itu sudah ditentukan dari awal, tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat keberangkatan awal.
Teman-teman, mungkin beberapa dari kita pernah punya pengalaman seperti itu. Atau beberapa lagi punya pengalaman yang berbeda, tapi tetap dengan tema yang sama. Berjalan tanpa tujuan.
Hidup kita, sebenarnya juga sama seperti kita berjalan. Hidup adalah sebuah petualangan dan perjalanan besar. Dari detik kita dilahirkan di dunia sampai suatu saat kita kembali ke sisi Tuhan, kita melakukan suatu perjalanan petualangan yang luar biasa besar.

Pertanyaannya apakah teman-teman sudah memiliki tujuan untuk perjalanan petualangan hidup teman-teman?

Tujuan hidup adalah hal yang mudah untuk kita buat, karena teman-teman pada dasarnya tidak perlu keahlian apapun untuk membuat sebuah tujuan. Hanya dibutuhkan sebuah otak yang masih bekerja. Tanpa menggerakkan satu otot pun dalam tubuh, teman-teman bisa membuat sebuah tujuan hidup, mimpi yang bisa teman-teman kejar. Namun ironisnya, membuat atau menentukan sebuah tujuan hidup, sebuah mimpi, terkadang adalah tugas terberat yang bisa kita lakukan. Sebagian besar orang menghabiskan berjuta-juta uang untuk membiayai banyak hal, seperti sekolah, kuliah, kursus, pelatihan, dll, baru terkadang kita menemukan mimpi kita. Bahkan terkadang menghabiskan waktu yang sangat lama, baru dapat melihat mimpi apa yang akan kita gantungkan. Lebih ironisnya sebagian manusia bahkan sampai akhir hidupnya, tetap tidak memiliki mimpi untuk dijalani.

Mimpi atau tujuan hidup adalah sebuah topik yang hampir pasti dapat saya temukan di setiap seminar motivasi dan buku-buku pengembangan diri. Bahkan ada pelatihan khusus tersendiri yang menyangkut cara untuk merealisasikan mimpi. Oleh karena itu, mimpi pasti memiliki arti penting. Jadi sebenarnya apa arti penting dari sebuah mimpi, teman-teman? Mengapa mimpi ini sebegitu pentingnya sampai-sampai hampir semua buku motivasi – pengembangan diri, motivator-motivator, tokoh besar, tokoh sukses, dan (bahkan saat ini) saya sendiri mendorong teman-teman untuk bermimpi besar.

Bagi saya, mimpi adalah hal yang paling esensial dalam hidup. Mimpi memberikan hidup sebuah makna dan warna untuk dijalani.

Bagi saya mimpi memegang 2 peranan penting dalam hidup.

1. Petunjuk arah hidup


Seperti halnya pengalaman saya di atas, seandainya saya tahu tujuan saya, maka saya dengan mudah menyusun rencana perjalanan saya. Lewat jalur mana yang terbaik, jalur yang tidak terkena macet. Apakah bensin saya cukup. Apakah saya perlu naik tol atau tidak. Semua dapat saya rencanakan terlebih dahulu. Kemudian saya bisa menghewat waktu. Sampai di tujuan lebih cepat, bahkan menghindari banyak kemacetan yang tidak perlu. Ketika saya tahu tujuan saya, maka semua energi, pemikiran dan semangat saya akan terfokus pada suatu hal. Fokus pada pembuatan rencana, pengambilan keputusan dan perjuangan untuk sampai ke tujuan saya.

Namun ketika Saya berjalan tanpa sebuah tujuan, maka saya hanya menghabis-habiskan tenaga dan pikiran saya. Sama halnya dengan hidup. Tanpa tujuan yang jelas, kita tidak tahu apa yang harus saya kerjakan dengan tepat, apa yang harus saya pelajari, apa yang harus saya kejar. Ketika kita tidak tahu, maka hal yang terjadi adalah kita akan menghambur-hamburkan banyak waktu, tenaga, pikiran dan kemungkinan uang untuk suatu hal yang tidak berguna.

Banyak kisah yang menceritakan tentang orang di sekitar kita merasa salah ambil jurusan dalam kuliah. Kuliah mereka ternyata tidak sesuai dengan keinginan mereka. Kuliah mereka ternyata tidak sesuai dengan hidup yang mereka jalani setelah lulus. Sehingga kuliah selama kurang lebih 4 tahun, ilmu yang dipelajari, uang yang dihamburkan, kemungkinan besar menjadi percuma. Ini hanyalah sebuah contoh ketika kita tidak memiliki sebuah tujuan atau mimpi. Kita menjadi tidak dapat mengambil keputusan yang tepat dalam hidup.
Teman-teman, dengan sebuah mimpi, dengan sebuah tujuan hidup, maka kita bisa membuat rencana hidup yang lebih akurat. Kita bisa membuat pilihan-pilihan yang lebih tepat. Kita mampu mengeluarkan energi kita dengan lebih efektif dan efisien, karena kita tahu hal mana yang perlu kita kerjakan, hal mana yang tidak perlu kita kerjakan.

2. Sumber Motivasi, Inspirasi dan Passion
Seorang pelatih renang bingung bagaimana caranya agar para muridnya dapat berlatih dengan lebih semangat dan baik. Para muridnya tidak berlatih serius dan sekuat tenaga, padahal guru ini tahu bahwa muridnya punya potensi untuk berenang lebih baik dan lebih cepat dari kondisi saat ini. Muridnya hanya menjadikan renang seperti rutinitas semata. Setiap hari berlatih selama 3 jam, kemudian pulang. 
Suatu hari pada saat latihan, sang guru memanggil semua muridnya untuk melakukan sebuah simulasi lomba renang di antara mereka. Gurunya menambahkan bahwa dirinya berharap pada simulasi kali ini, semua muridnya bisa memecahkan rekor waktunya mereka sendiri.
Saat para murid sudah mengambil posisi masing-masing di pinggir kolam untuk mulai perlombaan, sang guru sambil mengendong seekor buaya kecil dan berkata, “Satu hal lagi, kalian hari ini akan berenang dengan ditemani oleh buaya ini. Saat saya menembakkan tanda dimulainya renang, saya saat itu juga akan melepaskan buaya ini. Kalian tentunya tahu bahwa buaya adalah salah satu binatang perenang yang luar biasa. Tapi saya tahu kalian lebih hebat dari buaya ini, jadi saya serius akan melakukan hal ini. Karena saya yakin, kalian bisa berenang lebih cepat dari teman kita ini. Seandainya kalian kalah cepat.............., hm semoga kalian tidak kalah cepat. Baik semua ambil posisi! 1...2...3...”  DORR!!!
Semua muridnya meloncat dan berenang sekuat tenaga dan secepat mungkin. Setelah semua murid sampai di sisi kolam sisi lain, mereka langsung meloncat keluar  dari kolam, takut digigit buaya tersebut. Tapi yang mereka lihat, di kolam tidak ada buaya, buaya tersebut berada di dalam kandang di sebelah pelatih mereka. Saat itu, semua murid pelatih tersebut berhasil memecahkan rekor waktu mereka, bahkan ada yang tercatat berhasil mengalahkan rekor waktu perenang profesional.
Teman-teman, berdasarkan cerita kecil di atas kita dapat melihat bahwa para murid tersebut sebegitu takutnya sehingga mereka memiliki sebuah tujuan untuk selamat tanpa tergigit buaya. Sehingga saat mereka mulai berenang, mereka sangat terfokus untuk menyelamatkan diri. Semua energi mereka dikeluarkan untuk berenang menyelamatkan diri dari buaya. Tujuan inilah yang membawa mereka semua akhirnya berhasil memecahkan rekor mereka sendiri. Tujuan inilah yang membuat mereka mengeluarkan semua potensi mereka.

Cerita tersebut mungkin sedikit berlebihan, tapi kita dapat melihat bahwa mimpi kita akan memberikan kita sebuah dorongan motivasi untuk berusaha sebaik mungkin pada setiap yang kita kerjakan. Memberi makna lebih pada pekerjaan kita. Membuat kita menjadi bergairah pada pekerjaan kita, karena kita tahu bahwa pekerjaan ini akan membawa kita selangkah lebih dekat dengan mimpi kita pada setiap harinya.

Semakin besar mimpi kita, maka motivasi dan gairah kita untuk memujudkan hal tersebut akan semakin besar. Mimpi yang besar ini akan memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang sebelumnya kita anggap tidak mungkin. Mimpi akan membuat diri kita mampu mengeluarkan dan mengoptimalkan seluruh potensi diri kita.

Teman-teman, sebagian dari kita mungkin takut untuk bermimpi besar. Karena kita mungkin merasa bahwa mimpi yang besar akan sulit dicapai dan akan hanya menghasilkan kekecewaan yang besar pula.

BETUL. Semua mimpi yang besar memang sulit dicapai, tapi bukannya tidak mungkin untuk dicapai. Jangan karena ketakutan kita, ketidaktahuan kita akan masa depan, membuat kita menjadi tidak berani bermimpi besar. Seperti yang pernah saya katakan [ read : http://monsieursb.wordpress.com/2010/12/03/the-garuda-way/], untuk merasa takut memang wajar, tapi keyakinan, keberanian dan iman kita harus lebih besar dari rasa takut kita!

Yakinlah bahwa semua mimpi kita akan terwujud. Yakinlah suatu hari nanti masa depan yang cerah menunggu kita. Yakinlah Tuhan akan selalu memberi kita yang terbaik. Saat teman-teman meyakini hal tersebut dan terus bermimpi besar, maka tanpa teman-teman sadari pintu-pintu kesempatan akan terbuka satu per satu.

Semoga teman-teman terus berani untuk bermimpi besar. Dan semoga mimpi tersebut akan menuntun teman-teman menuju masa depan yang cerah dan menguatkan hati teman-teman dari segala rintangan yang menghadang dalam petualangan teman-teman.

See you around,

LYSA (Let Your Spirit Arise)

Apr 10, 2011

Pulang

GA 824

From Singapore to Jakarta

Departure time: 06:30

Arrival time : 09.30

Hari ini aku pulang. Pulang ke kota yang sudah kutinggalkan lima tahun lamanya. Pulang kepada masa lalu, Pulang ke rumah, kepada tentakel-tentakel gurita yang penuh kehangatan. Mungkin apa yang ada dulu, tiada lagi sekarang. Tapi apa yang ada dulu, masih hidup di hatiku sampai sekarang. Setiap roman percintaan, roman perpisahan, dan roman pengorbanan yang membentukku menjadi manusia utuh sekarang.

Udara panas menyengat setibanya di bandara Soe-tta. Ternyata tempatku tinggal bertambah tinggi saja suhunya. Riuhan orang menanti mereka yang baru saja keluar dari pesawat. Aku? Aku sendirian. Tiada yang menunggu untuk menjemputku ke rumah. Memang sebaiknya tidak. Karena toh aku tidak akan lama berada di sini. Aku datang untuk menunjukkan cintaku. penghormatanku. Dan kesetiaanku pada cinta lama yang kini hanya hidup di hatiku seorang. Setelahnya aku akan kembali kepada dunia yang lain. Kembali kepada tuntutan-tuntutan pekerjaan yang sudah menantiku bahkan di saat aku baru merencanakan untuk pulang ke rumah.

*****

“ Kemana Bu? “

“ ke Hotel H pak..”

Aku menaiki taksi menuju sebuah hotel. Aku akan menginap di sana. Karena rumahku tidak bisa lagi ditinggali bahkan diinapi. Bahkan kini rumah tersebut tidak lagi memiliki properti. Ia hanya sebidang tanah kecil, tapi yang selalu kurindu setiap waktu.

Perjalanan ini terasa menyengat jiwa. Akan kerinduan, akan kepenatan semasa masih duduk di bangku sekolah. Semasa pikiranku masih begitu naïf memandang kehidupan. Ah ya, aku terlupa.. Jakarta tidak kehilangan kemacetannya. Dan AC di taksi ini, masih saja tidak terasa. Tapi aku merasa begitu dekat dengan rumah. Walau mungkin esok baru sempat kukunjungi dirinya.

*****

Pagi hari.

Aku terbagun oleh suara alarm dari handphone-ku. Terbangun dan tersentak begitu kagetnya. Bertanya dimanakah aku saat ini? Ah.. ya. Di dalam perjalanan menuju rumah. Aku tersenyum, membayangkan pagi ini aku akan datang mengunjungi rumahku. Maka aku bergegas untuk mandi. Untuk berdandan secantik mungkin menuju kepada kenangan.

*****

“ ke jalan Kenangan pak.”

Lagi-lagi aku naik taksi. Taksi yang berwarna biru sebiru ketika aku meninggalkan Jakarta. Rupa-rupanya taksi ini masih saja menjadi pendominasi pasaran taksi di Jakarta. HEBAT. Sehebat rumah yang kan kukunjungi. Sehebat tokoh yang aku kan datangi. Mereka begitu konsisten untuk diam di hatiku. Seberapa jauhpun aku berada.

*****

Sekarang aku tiba di rumah masa kecilku. Masih sama besarnya dengan yang dulu. Halamannya masih begitu bersih, karena kakakku yang tinggal di Jakarta membayar orang untuk menjaga dan merawat rumah ini. Aku membunyikan bel. Tidak lama seorang perempuan tua datang menyambutku.

“ ah.. Mbak.. kapan datang ke Jakarta? Kok ndak kirim kabar mbak? Wah si mbak tambah cantik..”

“ iya, kebetulan mampir.. ada pekerjaan kantor..”

“oh.. kakak mbak tau mbak di sini?”

“ tidak bi.. tidak perlu diberitahu ya? Saya Cuma sebentar melihat-lihat. Harus buru-buru pergi, tidak enak jika tidak mapir.. “

“baik, mbak.. monggo masuk”

Aku melangkah menuju ke dalam rumah. Begitu sepi, tiada lagi yang tinggal di dalamnya. Tidak juga kakak-kakaku yang tinggal di Jakarta. Mungkin karena letak rumahku cukup jauh masuk ke dalam, sehingga untuk menuju jalan besar kami harus naik ojek dulu.

Langkahku begitu gontai. Jantungku berdentum begitu cepat, layaknya lagu tentu kali ini drum tersebut memainkan bagian reff-nya. Aku takut melangkah lebih dalam, tidak siap rasanya memandang barisan foto-foto wisudaku dan ketiga kakakku masih terpasang di sana. Tepat seperti hari dimana aku pergi dari rumah.

“mau minum apa mbak? Biar bibi bikinin”

“gak usah bi, Cuma sebentar kok. Aku harus pergi ke tempat lain”

BOHONG.

Bukan karena kau harus pergi ke tempat lain. Tapi karena aku tidak cukup kuat untuk lebih lama menghirup kenangan manis ini. Kenangan masa kecil. Kenangan saksi bisu perjuanganku menuju hari ini. Aku tidak siap. Tidak untuk paparan memori ini.

Aku melangkah menuju kamarku. Masih ada meja belajar tua, tempat tidur, dan lemari pakaian dari kayu jati. Di sini tempatku biasa menulis. Tempatku menangis di setiap penghujung kisah cinta remaja. Di meja ini kuletakkan cangkir-cangkir kopiku yang menemaniku berjuang menghadapi skripsi.

“Ah..”

Aku melangkah menuju kamar ayah dan ibuku. Masih seperti yang dulu. Masih memuat aroma daster ibuku. Entah bagaimana aku tidak mengerti. Tapi semua itu seperti tidak larut dimakan jaman.

Sejenak aku berjalan menyeret langkahku menuju teras. Memandang kembali rumahku dari teras, menyatukan setiap mozaik kenangan. Mengintegrasikan semua bagian menjadi sebuah bentuk bangunan yang sangat kukenal.

Ya.

Ya.

Ini rumahku.

Tapi bukan rumahku.

Ah entah bagaimana mengatakannya, Bahasa Indonesia tidak membedakan rumah dari rumah yang sesungguhnya. Tidak membedakan rumah sebagai kata sifat dan kata benda.

Ya. Ini lah bendanya. Inilah rumahku.

Inilah rumahku, tapi bukan rumah ini yang menjadi tujuan kedatanganku.

aku tiba-tiba saja ingin pergi secepat mungkin dari bangunan ini. Aku ingin datang ke rumahku yang sesungguhnya. Tempat labuhan jiwa. Tempat artefak kenangan.

Terburu-buru aku meminta diri dari bibi, dan kembali mengingatkannya untuk tidak memberitahu siapapun bahwa aku datang ke bangunan ini.

Aku berjalan begitu cepat. Dua kali lebih cepat dari kecepatan normalku dalam berjalan. Mencari pangkalan ojek dan menaikinya. Ya. Aku meminta si tukang ojek untuk membawaku lebih cepat aku harus cepat. Rasa rindu ini sudah memuncah di dalam dada.

Setibanya di jalan besar, lagi-lagi aku memberhentikan taksi. Taksi yang juga berwarna biru.

“Pondok Harapan, Pak”

“kalau bisa, jalannya cepat ya”

1 jam 20 menit.

“mbak ini sudah tiba”

“ Ah.. rupanya aku tertidur.

“masuk saja pak. Cari blok c no. 36”

“itu untuk yang agama apa mbak?”

“ Kristen”

“baik”

*****

“di depan pak, belokan pertama. Berhenti di situ”

“iya, mbak”

“bapak tunggu saya di depan kantor pusat di depan tadi ya. “

“iya mbak.”

Akhirnya inilah rumahku. Tempat kerinduanku. Tempat larinya air mata-air mata kesepianku. Aku duduk menghadapnya. Di sini. Di hadapan kedua nisan ayah dan ibuku.

“ayah, ibu.. aku datang. Jauh dari tanah sebrang. Penuh kerinduan.”

“ ini anakmu bu.. yah.. masih seperti yang dulu.. masih Rasha yang dulu”

“masih mencintai kalian. Masih begitu dalam”

Tangisku tak tertahan. Aku duduk sambil menciumi batu nisan ayah dan ibu. Keduanya memang diletakan berdampingan agar memudahkan kami jika berziarah. Dan inilah, rumahku. Rumah tambatan hatiku. Gudang nilai-nilai kehidupanku. Liang kenangan hidupku. Masih terlalu rapuh diriku untuk berdiri sendiri. Masih terlalu rapuh diriku jika harus tanpa mereka. Masih terlalu rapuh. Atau entah apakah akan selalu rapuh.

Ingin rasanya aku meningap di tempat ini. Tapi tentu hal tersebut tidak mungkin. Lagipula pesawatku akan segera lepas landas kembali menuju tempat lain 3 jam lagi.

Terpaksa kuseret langkah menuju kantor pusat pengelola makam ini. Membayar perpanjangan sewa tanah kubur untuk lima tahun kedepan. Ini bukti kesetiaanku. Bukti penghormatanku pada mereka. Bisa saja kutransfer uang itu. tapi rasanya, hanya dengan cara inilah aku bisa memaknai penghormatanku kepada ayah dan ibu.

Keluar dari kantor, kembali kuberjalan menuju taksi. Masih dengan hati yang remuk. Masih dengan mata yang sembab. Sulit memang tapi aku kembali harus berpisah.

Karena jalanku masih panjang ke depan. Dan kenangan tak seharusnya memenjarakan.

Dari dalam taksi, kutengok kembali kedua makam itu.

“selamat tinggal ayah, ibu.. aku akan kembali. Pada waktunya nanti.” Bisikku dalam hati.

“memperpanjang izin tanah makam ya mbak?” tanya supir taksi.

“iya, pak..”

“wah saya tau banget orang kayak mbak.. pasti kalau hormat sama orang tua hidupnya akan dimudahkan Tuhan,mbak.”

“ya , amin.”

Supir taksi tersebut mengatakan ucapannya dengan begitu yakin. Seakan-akan dia tahu apa yang dia ucapkan. Tetapi, ada satu hal yang tidak ia tahu. Bahwa, tanah di samping makam ayah dan ibu. Sudah dipesan. Dan akan diperpanjang selama belum digunakan.

Dan orang yang memesannya adalah aku.

“Would you know my name, if I saw you in heaven”

“will it be the same, if I saw you in heaven.

Selang beberapa menit, radio di taksi tersebut memutar lagu itu. lagu yang terus menerus berputar di kepalaku dari lima tahun yang lalu.

“ayah.. ibu.. masihkah kalian mengingat aku ketika kita berjumpa di surga?”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...