Kamu datang. Hari ini. Masih hari yang terlalu dini untuk mengeluh. Tapi area matamu hitam dan membengkak. Aku sadar, kamu butuh kedua telinga dan hangat pelukku. Kamu duduk terdiam, matamu memandang kedua kakimu yang hanya beralaskan sandal kamar.
Kamu mulai berkisah, tentang hati yang kini retak terbelah lima (atau mungkin lebih?) kamu berkisah mengenai mimpi menjadi ratu dihidupnya. Sayang jalan karir menuju ratu terhenti di posisi gundik. Kamu menangis, bukan sedih.. tetapi marah. Dengan berang, kamu menunjuk ke arah foto berbingkai indah, di sudut meja ruang tamu. Melihat sepasang insan tersenyum bangga akan hubungan mereka. Sekarang itu hanya kisah, penggalan masa lalu yang entah untuk disimpan atau dilupa.
Kamu mulai memelukku, menyatakan bahwa dirimu tidak terima, tidak siap menerima lebih tepatnya, apalagi tidak siap melupakan. Kamu mulai berkisah tentang masa lalu yang sesungguhnya tidak terbentang terlalu jauh dari masa kini. Detik-detik pengambilan keputusan adalah momen yang paling menyakitkan, yang katamu, masih memaksamu berpikir bagaimana caranya memutar arah menjari jalan tikus yang tersisa untuk sekadar kembali menjadi ratunya.
Kamu menangis, tertawa beberapa detik, dan menangis kembali berjam-jam. Terus menerus kau kumandangkan remukan hatimu. Bahwa Tuhan tidak adil untuk memotong habis kisah percintaan ini. Bahwa Tuhan tidak adil membiarkanmu sebagai korban, bahwa menurutmu : aku. Orang yang duduk sambil memelukmu dari dua jam yang lalu pasti tidak mengerti perasaan apa yang kamu rasakan saat ini.
Sayang, tulikah aku tak mendengar kisahmu? Mati rasakah aku tak ikut menangis dalam deraian arus air matamu? Atau bodohkah aku tak mengerti rasanya perih akibat cinta?
Aku tahu.. aku tahu, sayang.. bahkan lebih dari yang kamu tahu.
Bahwa setiap perasaan kehilangan selalu saja menyakitkan bagi siapapun yang merasakan. Bahwa air mata kadang tak pernah bisa sanggup mewakili kata, bahwa cinta memang selalu berhasil menghancurkan manusia hingga ke kepingan terkecil.
Ya.. dan masih, kau berpikir aku tidak mengerti. Tentang sakit, tentang luka, tentang kecewa, yang kini tampaknya sedang kau nyanyikan layaknya kidung mesra. Aku tahu. Aku tahu. Aku punya luka yang sama. Dalam dada. Dalam prahara kisah terdalam sejarah hidupku.
Saat dimana ayah lupa. Dan ibu terbawa kisah lainnya. Masa dimana si gadis kecil berjuang sendiri mencari pegangan. Sepotong kayu diharapkan membantu. Sebatang pohon diharapkan untuk bergantung. Walau pada kenyataannya. Hanya cinta. Pegangan terhandal. Yang tidak juga dimiliki.
Aku tahu. Aku punya duka yang sama. Sama sepertimu, aku pun punya cerita. Terhimpit di sana, di tempat yang kata pun enggan tuk singgah.
Jadi bisakah kau terima? Jika luka ini terlalu dalam untuk dibagi lewat media kata? Bisakah kau terima? Kalau tangis terlalu manis untuk gambarkan kecut, perih, kepingan hati terdalam. Tempat dimana yang kubutuhkan hanya dua tokoh ideal, mozaik hati di masa kecil. Tempat harapan. Mungkin kau menyebutnya orang tua? Di mataku, harapan akan mereka layaknya menunggu Tuhan turun ke bumi.
Dan hari ini, setiap sakit, Setiap luka kehilangan kekuatan untuk berekspresi di hidupku. Aku hanya diam. Raga dan jiwa. Ini satu-satunya caraku bertahan. Tanpa kata, tanpa suara, tanpa rintih, atau nada.
No comments:
Post a Comment