Apr 22, 2011

Unsur Feminin di dalam Transendensi




Budaya patriarki yang telah mengakar pada peradaban manusia, juga mengakar kuat pada agama-agama di dunia, terutama pada agama-agama samawi. Termasuk juga mempengaruhi bagaimana manusia dari zaman ke zaman dalam usaha mempersonifikasi Tuhan atau Sang Transenden itu ke dalam konteks kehidupan manusia. Tuhan dipersonifikasikan sebagai Bapa, Ayah atau Tuan.

Setiap individu mungkin memiliki preferensi kedekatan dengan Transendennya masing-masing.

Ada yang merasakan kehadiran transenden lewat personifikasi seorang Bapa.

Personifikasi seperti ini mungkin cocok untuk para anak perempuan atau perempuan yang merasa lebih dekat dengan figur Bapa/Ayah yang berbeda jenis kelamin dengan dirinya. Ini ada teorinya di dunia Psikologi.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran ibu yang adalah perempuan merupakan sosok sentral dalam jejak kehidupan seorang manusia.

Siapa yang pertama kali merawat dan mengasuh seorang anak?

Siapa yang selalu berjaga ketika anaknya sakit?

Siapa yang paling banyak menghabiskan waktu dengan anak?

Tak bisa dipungkiri bahwa ibu berperan besar dalam kehidupan anak manusia. Dan bukan tidak mungkin seorang manusia menjadi lebih mudah memahami tentang Transendensi melalui sosok ibu yang memang riil dan nyata ada dalam kehidupannya.

Pengkotak-kotakkan keilahian transendensi di dalam kelaki-lakian boleh jadi sebagai usaha manusia memahami keilahian transendensi yang begitu luas tak terbatas. Tentu saja proses memahami ini berjalan seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan bagaimana manusia mampu memahami diri dan alam sekitarnya.

Namun, apakah itu saja cukup?

Bisa iya, bisa tidak...

Tergantung pengalaman dan interpretasi masing-masing individu terhadap transendensi di dalam dirinya.

Paling tidak, dengan menyadari bahwa agama sebenarnya juga bersifat antropologis bukan suatu dogma dan doktrin absolut kita mampu menyadari bahwa patriarki dan maskulinitas di dalam agama terjadi seiring dengan perkembangan peradaban manusia dari zaman ke zaman.

Saya ingin mengutip ajaran agama Hindu tentang bagaimana mereka menggambarkan hubungan mansuia dengan Transendensinya.

Dalam Hinduisme, hubungan terdalam antara manusia dan Tuhan adalah hubungan anak dengan Ibu. Tuhan memiliki sifat-sifat keibuan, sifat feminin yang selamai ini hanya diatribusikan kepada perempuan. Tak ada hubungan manusiawi yang lebih dekat dari hubungan ibu dan anak.” (Jurnal Perempuan, 2010).

Pemikiran dan kesadaran bahwa hubungan manusiawi yang paling dekat terjadi antara ibu dan anak, bukan tidak mungkin kesadaran ini dipakai untuk memahami Sang Transenden yang Maha Kasih dan Maha Rahim.

Unsur feminin di dalam Transendensi ternyata mampu menjangkau ke tempat-tempat terdalam di mana maskulinitas tidak dapat menembusnya.

Akhir kata,

Tanpa memberi penghargaan yang layak pada kualitas feminin, sebuah agama tidaklah lengkap dan akan menghasilkan konsekuensi negatif. Pengenalan terhadap aspek feminin selain maskulin niscaya akan memberikan pemahaman tentang keseluruhan Tuhan yang lengkap dan universal (Jurnal Perempuan: Perempuan dan Spiritualitas, 2010).

Tulisan ini adalah refleksi hari Kartini dan Kamis Putih yang tahun ini jatuh pada hari yang sama.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...