Jun 17, 2013

Minggu Pagi di Cilincing

Apa yang terbersit di kepala kita ketika mendengar kata “Cilincing”? Mungkin yang terbayang adalah suatu sudut kota Jakarta yang kumuh. Enggan untuk dilihat apalagi didatangi. Dekat dengan pelabuhan dan pabrik-pabrik besar, Cilincing merupakan bagian kota Jakarta yang menunjukkan kekhasannya sebagai  daerah industri kaum pekerja.

Sepanjang jalan tol menuju Cilincing, kita akan melihat deretan pabrik dan mesin-mesin alat berat di kiri kanan jalan. Sementara di jalanan, sering sekali kita berpapasan dengan truk-truk kontainer besar. Minder rasanya menaiki mobil kijang yang diapit oleh truk-truk kontainer besar.

Pernahkah terbayang kehidupan seperti apa yang dapat kita temukan di Cilincing?

Daerah Cilincing sendiri merupakan daerah yang luas. Ada daerah pemukiman layak, setengah layak sampai tidak layak sama sekali untuk disebut tempat tinggal. Kalau kita meng-googling “Cilincing” maka yang muncul adalah berita kriminal, narkoba, nelayan, perjudian dan berita-berita lainnya yang negatif.

Seeing is Believing

Idiom ini pertama kali muncul pada tahun 1639. Idiom ini muncul dari cerita Santo Thomas yang tidak percaya bahwa Yesus yang disalib telah bangkit. Maka dia berkata kalau ia baru akan percaya bahwa Yesus bangkit jika ia dapat mencucukkan jari pada lubang di tangan Yesus karena disalib.
Ini juga bisa berlaku untuk kita. Kita baru mempercayai sesuatu jika melihat hal tersebut secara langsung. 

Sebaliknya kita juga perlu peka dan kritis mempercayai yang disajikan atau disuguhkan dalam kehidupan kita sehari-hari dalam bentuk pengetahuan yang ada di keluarga, masyarakat, dan media massa. Sebab siapa tahu keyakinan kita akan suatu hal diarahkan melalui apa yang dengan sengaja disuguhkan di depan mata kita.

Kembali ke soal Cilincing. Di Minggu pagi saat menyusuri gang-gang kecil di Cilincing, saya melihat dinamika kehidupan masyarakat yang memperlihatkan sendi dan denyut-denyut kehidupan sosial manusia masih ada dan hidup.

Berbelok ke gang di sebelah kiri, terlihat tiga ibu berpakaian gamis dan jilbab serasi warna merah dan kuning gading. Lengkap dengan riasan wajah sedang memegang alat music. Saya duga mereka akan qasidahan di suatu hajatan.

Menyusuri gang, lalu berbelok ke sebelah kanan terlihat jalanan gang ditutup oleh kursi kayu panjang. Di jalan tersebut sekitar lima belas ibu-ibu sedang melakukan senam aerobik dipandu oleh instruktur laki-laki. House music diputar untuk mengiringi gerakan mereka. Riuh sekali suasananya. Di sekitarnya, ada beberapa anak kecil yang menonton para ibu berlatih senam. Ada juga ibu yang menggendong bayi lalu ikut berjoget mengikuti irama house music.

Tak berapa lama, sambil mencari jalan keluar dari gang sempit ini terdengar suara pengumuman dari masjid. Tersiar berita duka cita atas meninggalnya seorang nenek dari pengeras suara masjid. Pengurus masjid juga memberitahukan kapan jenazah akan di-sholatkan dan dibawa ke pemakaman.

Di setiap sudut atau pengkolan gang, dengan mudah ditemui warung. Warung yang bukan hanya berfungsi sebagai penyedia kebutuhan sehari-hari tapi juga menjadi tempat nongkrong. Anak muda nongkrong dengan sesama anak muda, bapak-bapak nongkrong dengan sesama bapak-bapak. Begitu juga dengan para ibu.

Tak lama kemudian, dari pengeras masjid lainnya terdengar suara himbauan untuk melakukan kerja bakti bersama.

Saya tercenung.

Saya yang tinggal di kompleks perumahan tidak pernah menyaksikan dinamika kehidupan bermasyarakat seperti ini di lingkungan tempat tinggal saya. Paling hanya ada rapat RT. Itupun yang hadir biasanya hanya sepertiga dari warga kompleks.

Saat saya lari pagi atau sore keliling kompleks, saya menyadari bahwa yang menikmati jalanan kompleks yang enak hanyalah para baby sitter dengan anak majikannya yang didorong di kereta bayi dan sepeda, atau para anjing peliharaan majikan yang dibawa berkeliling oleh pembantu rumah tangga.

Sementara pemilik rumah yang tinggal di kompleks hanya berseliweran dengan mobil. Pergi pagi, pulang 
malam dan langsung masuk ke garasi rumah.

Sepuluh tahun lalu, saya masih kenal tetangga saya. Setiap sore saya bermain dengan tetangga seumuran. Naik sepeda keliling kompleks atau bermain di rumah.

Salah satu keberfungsian manusia yang sehat dilihat dari kualitas interaksi dan relasi sosialnya.

Di tempat yang sering dikonotasikan orang sebagai tempat yang kumuh, kriminal dan tidak layak tinggal saya menyaksikan kemanusiaan manusia yang terfasilitasi melalui ruang publik yang terbatas.

Saya melihat orang-orang bisa mengobrol dengan akrab di luar rumah, tak hanya mengurung diri di dalam rumah beton.

Saya melihat orang-orang yang bisa terlihat rileks dan tersenyum saat bertegur sapa dengan sesamanya. Bukan hanya tersenyum ke layar tablet atau komputer ketika ada orang nun jauh di sana menge-like status Facebook saya. *eaaa*

Minggu pagi itu di Cilincing saya diizinkan-Nya melihat kemanusiaan manusia pada suatu kelompok masyarakat yang sering kita nihilkan keberadaannya.  

Sesungguhnya siapa yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai yang paling ‘beradab’?-Maria Hartiningsih, jurnalis senior Kompas di bidang HAM dan kemanusiaan (2013).

Sekali lagi, pengalaman dan perjalanan hidup menyadarkan saya akan keberagaman. Menyadarkan betapa paradigma berpikir kita sendiri yang seringkali membuat kotak sempit sehingga kita sulit melihat kekayaan dan keberagaman warna hidup di depan kita.

Termasuk membatasi bahkan menghambat kita untuk menyadari sentuhan dan suara-Nya di keseharian hidup kita.

Seeing is believing-St. Thomas.

Jan 10, 2013

Saya dan Perbedaan


Sejak tahun 2010, semakin banyak bermunculan film-film Indonesia yang mengangkat hubungan percintaan antar lawan jenis dari suku dan/atau agama yang berbeda. Secara fundamental, perbedaan agama dalam hubungan percintaan dianggap lebih krusial dan menjadi isu di dalam kehidupan masyarakat. Jika diperhatikan, setting yang dibangun di cerita sebagian besar berada di tahap forming atau pembentukan. Ketika dua insan dari latar belakang berbeda saling bertemu dan jatuh cinta lalu ingin menikah tapi tidak disetujui oleh keluarga karena perbedaan tersebut.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama bukanlah baru terjadi di tahun-tahun terakhir ini. Situasi seperti ini sudah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun sejak agama-agama “impor” masuk ke bumi pertiwi. Lalu bagaimana menjalani hidup di dalam keluarga, kelompok dan masyarakat dalam perbedaan yang sudah terberi (given) seperti ini?

Saya adalah orang yang terlahir dalam situasi terberi (given) berada dalam perbedaan. Hubungan antar berbagai keluarga inti di keluarga besar merupakan interaksi antar keluarga yang berbeda agama. Keluarga saya menganut agama Katolik, keluarga tante saya beragama Kristen Protestan, keluarga tante saya yang lain beragama Islam, dan ada keluarga om-tante saya beragama Buddha.

Saya tidak lahir dalam kondisi baru akan membentuk keluarga. Ketika saya lahir, kondisi-kondisi berbeda seperti ini sudah ada dan terberi. Saya belajar hidup dan bertumbuh dalam perbedaan-perbedaan ini. Saya hidup dalam keberagaman sedari saya mulai berjalan dan mengucap kata pertama.

Saat ini saya memang tidak terlalu sering bertatap muka, bertemu dan berkumpul dengan keluarga besar saya. Kami berkumpul hanya pada waktu-waktu tertentu, entah ada saudara yang menikah, meninggal, atau hari besar agama. Tapi dari pengalaman masa kecil yang teringat di saat ini saya mengingat memiliki pengalaman-pengalaman berinteraksi bersama mereka yang menyenangkan.

Pengalaman duduk, mengobrol, makan dan tertawa bersama. Interaksi normal antar manusia.

Manusia yang sama-sama punya mata, telinga, mulut, tangan dan kulit yang melapisi tubuh. Sama-sama berselera untuk menikmati makanan dan duduk bersantai.

Lebih dari itu, ada ikatan dan perasaan sebagai satu keluarga yang menyatukan. Kami berbeda tapi kami menyadari kami punya leluhur, nenek moyang yang sama. Kami mengasihi dan menghormati kakek-nenek, emak-akong, eyang putri-eyang kakung yang sama sehingga membuat kami juga mampu mengasihi dan menghormati satu sama lain.

Dari pengalaman ini saya belajar, ikatan keluarga melampaui perbedaan agama.
Hal serupa saya temui ketika mengunjungi komunitas Kampung Sawah. Ada yang tau komunitas Kampung Sawah?

Di komunitas ini masih tersisa orang-orang Betawi yang tinggal bersama dalam populasi sejumlah 20.000 orang berdasarkan penuturan tokoh masyarakat setempat. Orang-orang Betawi di sini ada yang menganut agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Di lingkungan Kampung Sawah sendiri, berbagai gereja dan masjid didirikan berdekatan bahkan bersebelahan. Saat ini, komunitas gereja yang ada di Kampung Sawah pun kian beragam. Mulai dari Gereja Pasundan, Gereja Kristen Jawa, Gereja HKBP dan beberapa gereja lainnya.

Mereka terbiasa saling meminjamkan ruangan dan membantu jika ada acara keagamaan dari salah satu agama. Pernikahan antar agama maupun berbeda-beda agama di satu keluarga bagi mereka adalah hal yang biasa.

“Jadi dari satu nenek saya, yang anak pertama masuk Islam, yang anak kedua, bapak saya masuk Kristen. Saya sendiri Kristen dan ikut gereja Pasundan”, demikian penuturan seorang bapak tokoh masyarakat di Kampung Sawah berusia 60-an tahun.

Saya lumayan kaget mendengar penuturan bapak ini. Sebab ia menggunakan pakaian khas Betawi: peci, baju koko dan sarung. Atribut pakaian yang saya identikkan dengan agama Islam. Di kemudian hari ketika mengobrol dengan Mas Danny Yatim, baru saya ketahui kalau peci itu sebenarnya tradisi di Indonesia yang dahulu berlaku universal *lihat saja foto-foto generasi muda Indonesia tahun 1920-1970-an. Sementara saat ini peci sudah bergeser seolah-olah hanya yang beragama Islam yang memakai peci.

Bapak ini juga menceritakan orang-orang di Kampung Sawah terlibat dalam perseteruan, misalnya pada saat berkendara di jalan mereka menjadi mudah akur karena menyadari kalau mereka masih bersaudara, nenek moyangnya masih sama. Kesadaran ini membuat mereka cepat meredam pertikaian di antara mereka.
Sejuk sekali hati rasanya mendengar penuturan bapak ini. Percakapan di jalan kecil yang rindang pepohonan di Kampung Sawah kala menjadi pendamping kelompok dan penerjemah untuk pemuka agama dari World Church Organization (WCO), sebuah organisasi oikumene antar berbagai denominasi gereja.

Berbeda bukan hal yang tabu.

Berbeda adalah keindahan.

Berbeda adalah keberagaman yang diizinkan-Nya terjadi. Sebagaimana Ia menciptakan keberagaman flora dan fauna di darat, laut dan air.

Jika Ia, Sang Pencipta Kehidupan saja mencipta dunia dan isinya dalam keberagaman. Siapakah kita, manusia ciptaan-Nya yang berani menistakan keberagaman?

Kalau sedari saya hidup dan membuka mata, saya sudah hidup di tengah keberagaman masak saya harus meniadakan kehidupan saya sendiri demi “keseragaman”?

Di akhir berbagai pertanyaan, pergumulan dan keprihatinan saya terhadap situasi di Indonesia akhir-akhir ini, salah satu cuplikan adegan di film Tarzan yang saya tonton saat kelas 5 SD selalu muncul.

Adegan ketika Tarzan bertanya kepada ibu gorilla, mengapa Kala, sang Ayah gorilla dan kelompoknya membenci dirinya, apakah karena dirinya berbeda?

Lalu ibu gorilla menjawab, “Lihat…apakah yang berbeda dari kita? Rentangkan jari tanganmu, lihatkan jari tangan kita sama meskipun aku lebih berbulu. Kita juga punya dua mata yang sama. Lalu…rasakan degup jantung di dadaku. Bukankah degup jantungku sama dengan degup jantungmu, Nak?”

Di momen itu, Tarzan menyadari persamaan dirinya dengan ibu Gorilla serta bagaimana Ibu Gorilla mengasihi dan menerima dia.

Di momen itu saya menonton, saya menangis tersedu-sedu .

We’re not that difference, dear human.

Nov 9, 2012

A Separation: Potret Realistik Drama Kehidupan

Sekian lama saya menantikan momen untuk menonton film A Separation, sebuah film asal Iran karya sutradara dan penulis Asghar Farhadi. Tidak lain dan tidak bukan, ketertarikan saya terhadap film ini meledak ketika melihat kesuksesan film ini sebagai film asal Iran pertama yang mampu menembus nominasi dan memenanginya di ajang Academy Awards, Golden Globe, bahkan menjadi film pertama yang mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada ajang Berlin International Film Festival. Film ini banyak menuai kritikan positif dari pada kritikus film, ramai pula dibicarakan oleh para pecinta film-film arthouse dan movie blogger. Keajaiban datang ketika 21 Cineplex memutuskan untuk mendistribusikan film ini di beberapa bioskop di ibukota. Sebuah kejutan yang tidak terkira bagi penonton reguler 21 Cineplex melihat ada film kelas arthouse bertengger di deretan pilihan film bioskop.

Film dibuka dengan adegan pasangan suami istri Nader dan Simin yang sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Dengan penonton yang mengambil sudut pandang hakim, kesaksian dari Nader dan Simin seakan sebuah prolog cantik nan elegan akan kisah yang hendak diceritakan oleh Asghar Farhadi dalam film ini. Ayah dari Nader mengidap Alzheimer dan tidak mengenali lagi putranya, sementara Simin yang mendapatkan kesempatan untuk keluar dari negeri Iran memaksa Nader dan anaknya untuk pergi dari rumah demi kehidupan yang lebih baik. Nader pun dengan tegas menolak rencana itu demi merawat ayahnya yang sakit. Pertentangan tersebut yang kemudian membawa Nader dan Simin menghadapi serentetan kejadian yang menambah rumit situasi.

Film ini menjustifikasi kecintaan saya terhadap film-film Iran yang sukses di dunia internasional. Walaupun track record tontonan film-film Iran saya hanya bisa dihitung dengan jari, namun saya menemukan suatu hal yang khas dari sinema Iran; ide dasar sederhana dan memotret interaksi antar-manusia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lihat saja kisah Nader dan Simin ini, mungkin kisah pertengkaran suami-istri yang berujung pada perceraian telah kita saksikan ratusan kali di layar kaca maupun layar lebar, maupun sangat familiar kita temui di dunia nyata. Namun dengan naskah nyaris sempurna dari Asghar Farhadi, dengan berbagai konflik dan kejutan di sepanjang film - ditambah dengan twist yang efektif di penghujung film, membuat film ini seakan tontonan menegangkan dan sangat powerful.

Sep 13, 2012

Menikah Muda: Sebuah Argumentasi Pribadi


Melihat satu per satu perempuan muda di sekitar saya menikah. Padahal pribadinya belum matang. Ketidakmatangannya berpengaruh ketika nanti punya anak
Melihat dan merencakan foto pre-wedding memang seru, tapi menikah lebih besar konsekuensinya dari itu.
Habis belanja bulanan rumah tangga. Menyadari betapa banyak pengeluaran rumah tangga yang dibiayai orang tua dan saya belum sanggup untuk meng-afford hidup seperti ini
(@anasbubu, 2012).

Saya menulis ini dari sudut pandang pribadi saya menanggapi fenomena dan peristiwa di lingkungan sekitar saya. Saya tidak bicara dari sudut pandang agama. Saya berbicara dari sudut pandang psikologi, ekonomi, dan pengalaman pribadi.

Saat ini saya hampir memasuki usia 22 tahun. Usia yang menurut banyak orang, usia perempuan muda yang sedang ranum-ranumnya. Perempuan muda yang potensial menikah dan memiliki anak. Tak heran jika orang bertemu dengan perempuan seusia saya akan bertanya, “Kapan menikah?”.

Menikah adalah hak setiap orang, menikah muda pun hak setiap orang. Namun alangkah baiknya jika hak ini dijalani atas pertimbangan yang matang dan masak mengenai konsekuensi dari keputusan hidup yang akan diambil.

Saya belum tahu bagaimana proses pengambilan keputusan seseorang sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Hal-hal apa saja yang dipertimbangkannya, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkannya, hal-hal apa yang sudah diantisipasinya. Adakah pemikiran seperti ini selalu dilakukan? Ataukah hanya sudah merasa cocok dengan pasangan, sudah “berumur”, sudah didesak keluarga dan sana-sini untuk menikah atau sudah terlanjur hamil?

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda, usia remaja (16-19 tahun) dan usia dewasa awal (20-25 tahun) yang mengambil keputusan untuk menikah tanpa pertimbangan dan pemikiran yang matang. Tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi potensi diri dan dunia sekitarnya. Tanpa pernah menyadari dan mengetahui peluang apa saja yang ditawarkan dunia untuk ia mengembangkan dan memaksimalkan dirinya.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang sudah terlanjur menikah dan merasa terjebak pada rutinitas hidup yang membosankan menurut mereka. Membuat mereka menjadi kutu loncat ketika tuntutan peran sebagai istri dan ibu membutuhkan diri yang selalu ada kapanpun dibutuhkan.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang tidak berpikir panjang ketika menghadirkan anak ke dunia ini. Ketika anak dipandang sebagai komoditi dan checklist terpenuhinya tuntutan sosial. Padahal mereka sendirinya belum sebegitu tergerak dan terpanggilnya untuk menjadi ibu dan orang tua. Ketika mengurus anak penuh dengan keluhan dan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, berpikir bahwa kehadiran ibu yang penuh dan utuh dapat digantikan oleh seorang babysitter dari desa.

Menurut saya, menikah adalah tahap kehidupan yang perlu diambil dengan pertimbangan masak. Terlebih lagi ketika menjadi ibu.  Ibu yang kepribadiannya sudah matang membuat ia memiliki kualitas tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Kematangan psikologis memang tidak selalu sejalan dengan usia biologis. Namun, kalau usianya saja masih muda kemungkinan besar kematangan psikologisnya pun masih di sekitar usia itu bahkan lebih rendah.

Saya berbicara untuk perempuan-perempuan muda seusia saya yang hidup di zaman ini. Sebab menikah mudah untuk generasi-generasi yang lalu tidak sekrusial saat ini.

Hamil, melahirkan, menyusui, merawat dan mengasuh anak bukanlah kondisi yang selalu nyaman. Seringkali dihinggapi rasa tidak nyaman, sakit, tidak enak, pengorbanan fisik seperti kekurangan waktu tidur, sampai pengorbanan mental di mana harus mengutamakan kebutuhan bayi kecil di atas kepentingan diri sendiri.
Sudahkah mampu menjalani proses menjadi ibu seperti ini dengan kerelaan hati? Menyadari bahwa seluruh ketidaknyamanan dan kesakitan ini dilalui atas dasar pertimbangan matang dan keputusan diri sendiri untuk menghadirkan generasi penerus kehidupan?

Berkaca pada diri sendiri. Saya saja saat ini kalau badan sedang sakit, entah sakit gigi atau PMS, dengan mudahnya saya uring-uringan dan bad mood. Kewajiban belajar sebagai mahasiswa pun bisa saya abaikan dan kesampingkan jika badan dan perasaan sedang tidak enak. Apalagi ketika badan dan perasaan sedang tidak enak lalu harus melayani kebutuhan orang lain. Terlebih melayani kebutuhan bayi mungil-rentan, yang hidupnya amat bergantung pada pengasuhnya.

Saya juga masih ingin bermain-main, jalan-jalan dan bisa membeli barang-barang yang saya inginkan. Berada di keluarga dengan kelas sosial ekonomi menengah, membuat saya belajar membuat prioritas mana yang butuh saya beli, mana yang hanya saya inginkan semata. Termasuk memikirkan bagaimana orang tua saya memenuhi kebutuhan dua anak yang lainnya. Kondisi saya saat ini memberi kemungkinan pada saya untuk sesekali menggunakan uang untuk bersenang-senang.

Coba bayangkan jika dalam keadaan diri masih ingin bersenang-senang, masih ingin membeli hal-hal yang diinginkan, masih ingin memuaskan dan menyenangkan diri sendiri, lalu memiliki anak. Uang yang semestinya bisa dipakai untuk bersenang-senang sendiri harus dibagi dua bahkan dialihkan untuk kebutuhan bayi kecil. Ditambah lagi uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja banyak, apalagi untuk memenuhi kebutuhan tersier?

Berkaca pada pengalaman ibu dan beberapa sepupu yang menunda usia pernikahan hingga masuk ke usia dewasa madya (25-30 tahun). Membuat mereka tidak hanya matang secara usia, tapi juga matang  sebagai seorang individu maupun sosial-ekonomi.

Ibu saya menikah di usia 29 tahun dan memiliki anak pertama di usia 30 tahun. Suatu hal yang aneh untuk orang-orang kebanyakan di tahun 1990-an. Ia menikah setelah berpacaran 6,5 tahun, setelah lulus kuliah dan bekerja, setelah bertemu dengan beragam orang dari berbagai negara. Sewaktu kecil saya melihat ibu saya cenderung lebih tua dan tidak se-fashionable ibu-ibu teman sekolah saya yang mayoritas berasal dari kalangan menengah atas.  

Dulu saya juga berpikir ibu saya kolot dan tidak mengikuti perkembangan jaman.

Namun setelah melewati masa remaja yang penuh krisis dan mempelajari psikologi, saya jadi menyadari kualitas pola asuh dan penanaman nilai beliau sehingga membentuk pribadi saya seperti yang hari ini.
Ibu mendidik saya dengan nilai-nilai hasil refleksi dan internalisasi diri atas pengalaman hidup yang telah ia peroleh. Ibu tidak mendidik saya dengan “kata orang” atau “kata masyarakat”. 

Ia memfasilitasi dan memberikan ruang pada saya untuk mengenali dan menjadi diri sendiri. Meskipun prosesnya pun tetap tidak mudah. Bahkan ketika ia sedang memarahi atau menegakkan peraturan, ia tetap bertanya pada saya “kalau kamu merasa apa”, “kalau menurut Anas bagaimana”.

Betapa saya merasa penting dan berarti sebagai seorang individu.
Betapa saya merasa penting dan berarti untuk ibu yang menghadirkan saya ke dunia ini.
Betapa ia mempedulikan saya sehingga pendapat dan perasaan saya menjadi begitu berarti baginya.

Padahal dengan pola asuh seperti ini saja, saya masih mudah merasa minder, tidak percaya diri dan tidak merasa dipedulikan (ini mungkin kontribusi pengalaman di kandungan dan posisi sebagai anak pertama yang hanya berjarak 1,5 tahun dengan adik).

Untuk setiap nilai-nilai hidup; nilai-nilai religiusitas maupun nilai-nilai budaya pun ia filterisasi terlebih dahulu sebelum diajarkan kepada anak-anaknya. Tidak ada nilai di budaya atau masyarakat yang ia berikan mentah-mentah kepada anak-anaknya.

Pengaruhnya sangat signifikan terasa ketika saya memasuki usia dewasa awal seperti ini. Menyadari  banyak orang hidup karena “kata orang”, “kata keluarga”, “kata masyarakat” tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal “apa kata dirinya sendiri tentang dirinya”. 

Menjadi ibu bukan hanya semata-mata melahirkan, merawat dan memberi makan seorang anak. Ibu memasukkan keseluruhan diri (self ibu); penghayatannya tentang diri dan lingkungan dalam interaksi dengan anak. Pada akhirnya hal ini akan terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri (self) anak juga.

Kalau ibunya saja belum yakin dengan dirinya, dengan lingkungannya. Belum matang dalam menyikapi diri dan lingkungannya. Belum yakin dengan  berbagai arus nilai-nilai hidup yang berseliweran di sekitarnya. Bagaimana ia dapat mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang kokoh, solid dan matang? Pribadi yang berkualitas dan berkompeten untuk berkompetisi di dunia global sekarang ini?

Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik?
Ibu berhutang pada masyarakat, sebab anak yang ia didik merupakan bagian dari masyarakat yang akan hidup dan berkembang di masyarakat.
(R.A. Kartini, 1902)

Aug 29, 2012

Tanah Air: Cinta yang Berakar dalam Kesedihan


Oleh Gita Panjaitan
“Kita memuja upacara bendera di istana. Bangga, katanya. Haru, sebutnya. Kaum nasionalis semu bermunculan. Segera menghilang 24 jam kedepan. Sulit bagi saya jatuh cinta pada negara ini, tapi sangat mudah bagi saya untuk terus mencintai tanah air. Kemanapun saya pergi, tanah air: ribuan pulau, jutaan penduduk, beragam budaya, bahasa, kearifan lokal, akan terus memanggil saya pulang.
Dimana lagi ada orang-orang seaneh, selugu, sebodoh, dan semenggemaskan, seperti orang-orang di tanah air kita? Bangga akan bhineka tunggal ika, tapi terus menerus mempertahankan stereotipe negatif, dan diskriminasi terhadap asal suku, agama, dll? Negara kita sakit karena orang-orangnya sakit. Negara tidak akan ada, jika tidak ada orang-orang yang mendirikannya. Tetapi tanah air, adalah sebuah tempat dimana hati kita berada; "Home", istilah yang tidak disediakan dalam Bahasa Indonesia.
Kadang cinta terhadap tanah air menimbulkan kebingungan, karena tampaknya sulit memisahkan "tanah air" dari "negara". Tapi tanah air itu menurut saya sangat mungkin dibedakan dari negara.
Berbicara tentang tanah air, berbicara soal keberakaran. Sebuah keyakinan bahwa saya berasal dari tanah ini. Saya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal tanah ini. Saya adalah bagian dari tanah ini. Berbicara soal negara itu bicara soal sistem. Sesuatu yang dengan sengaja dibentuk manusia. Sesuatu yang berasal di luar diri manusia. Kita bisa mengatakan bahwa kita adalah manusia Jawa,mencintai budaya Jawa,lahir di tanah Jawa, tanpa berpikir bahwa Pulau Jawa adalah bagian dari Indonesia.”
Semua tulisan di atas hanyalah kumpulan “kicauan” saya hari ini yang dengan rendah hati dikumpulkan oleh Anastasia Satriyo. Sangat tidak bisa dijadikan tulisan ilmiah, karena tulisan tersebut tidak runut. Semua adalah fragmen-fragmen pikiran saya hari ini, tentang kita; tentang Indonesia; tentang tanah air kita yang tidak dapat kita lupakan; tentang negara yang begitu memuakkan-namun tetap diam-diam bersemayam dalam istana hati yang paling megah.
Sejak kecil saya belajar tentang tanah air, tentang tanah yang padanya kaki saya menjejakkan langkah pertama di dunia; dan sumber air yang membasuh tubuh saya yang lengket oleh darah ibu saat ia melahirkan. Kita tidak berasal dari negara, kita berasal dari tanah air. Ketika dilahirkan, kita tidak lahir dan belajar mengenai undang-undang, kita lahir dan belajar berbicara bahasa ibu. Belajar mengenai ayah dan ibu yang berbeda cara berkomunikasinya, belajar mengenal paman yang mungkin tinggal di Pulau Kalimantan dan setia mudik ke Pulau Jawa untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Kita belajar tentang Pak Slamet, seorang tetangga yang adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Kita belajar tentang Pak Hatorangan yang berbicara dengan nada tinggi saat mengobrol dengan Pak Slamet. Lebih dari semua itu, kita belajar tentang rumah. Tempat asal, tanah air yang namanya Indonesia. Tempat yang sesungguhnya dulu pernah sangat kaya akan perbedaan namun tetap bersih hati oramg-orang kecilnya.
Hari ini, kita bisa menghitung dengan data statistik berapa jumlah orang Indonesia yang pesimis mengenai negara ini. Tapi kita juga bisa menggali dengan wawancara mendalam mengenai kecintaan orang-orang terhadap tanah air mereka. Tentang ribuan pulau dan penduduknya. Tentang interaksi yang membekas di dalam hati. Tentang keinginan untuk pulang di saat berada begitu jauh dari rumah.
Maka, ketika saat ini konsep negara terlihat semakin mengecewakan. Ketika sistem pemerintahan meniadakan aspek kemanusiaan, ketika melakukan sesuatu untuk negara terasa sia-sia bahkan sejak awal perencanaan, mungkin ini saatnya kita berpaling kepada konsep tanah air. Kepada manusia-manusia yang kaya akan aspek budaya dan masih senang tinggal bersama. Kepada senyum ramah satu sama lain saat berpapasan, kepada anak-anak masa depan yang saat ini belum memahami konsep kebencian, korupsi, dendam masa lalu, dan polusi hati.
Saya memang kesulitan untuk optimis, jika membayangkan bahwa suatu hari nanti anak saya akan bertumbuh di negara yang penuh dengan tindakan korupsi. Saya kesulitan untuk optimis, jika anak saya belajar membaca dari koran yang memberitakan pemukulan terhadap etnis tertentu, penggusuran terhadap pemeluk agama tertentu, pemerkosaan, dan larangan resmi pemerintah kepada perempuan untuk mengenakan rok mini.
Kemudian saya memalingkan wajah saya kepada teman-teman saya. Kepada orang-orang yang memperjuangkan hidup bersama dengan mengusung konsep pluralisme, kepada teman-teman saya yang berpacaran dengan etnis yang berbeda dan bersedia belajar memahami budaya etnis pasangannya. Saya melihat secercah harapan bahwa di masa depan masih ada kalian, masih ada orang-orang yang memberikan ruang pada perbedaan, yang saling mengagumi atas dasar cinta. Dan saya masih bisa membayangkan, di masa depan.. keponakan, anak, cucu, dan cicit saya masih bisa menyanyikan lagu yang sama..
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Aug 27, 2012

Kodrat.



Gadis desa berjalan di tengah ladang..
Melirik ke kiri dan ke kanan..
Berhenti, mengamati kumbang..
Tersenyum memetik sekuntum mawar keemasan..

Gadis desa bertemu pemilik ladang..
Seucap tanya terlontar..
"Mengapa kamu tak pulang?"
Ia jawab, "Menunggu waktu menatap bintang.."

Gadis desa mendendang lagu..
Bermandikan cahaya..
Menatap cabang dengan ragu..
Berlari menembus semak di hadapannya..

Gadis desa menggembala domba..
Menggiring semua ke dalam kandang..
Pulang dan menatap keluar jendela..
Tersenyum menatap bintangnya yang cemerlang..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...