Sep 13, 2012

Menikah Muda: Sebuah Argumentasi Pribadi


Melihat satu per satu perempuan muda di sekitar saya menikah. Padahal pribadinya belum matang. Ketidakmatangannya berpengaruh ketika nanti punya anak
Melihat dan merencakan foto pre-wedding memang seru, tapi menikah lebih besar konsekuensinya dari itu.
Habis belanja bulanan rumah tangga. Menyadari betapa banyak pengeluaran rumah tangga yang dibiayai orang tua dan saya belum sanggup untuk meng-afford hidup seperti ini
(@anasbubu, 2012).

Saya menulis ini dari sudut pandang pribadi saya menanggapi fenomena dan peristiwa di lingkungan sekitar saya. Saya tidak bicara dari sudut pandang agama. Saya berbicara dari sudut pandang psikologi, ekonomi, dan pengalaman pribadi.

Saat ini saya hampir memasuki usia 22 tahun. Usia yang menurut banyak orang, usia perempuan muda yang sedang ranum-ranumnya. Perempuan muda yang potensial menikah dan memiliki anak. Tak heran jika orang bertemu dengan perempuan seusia saya akan bertanya, “Kapan menikah?”.

Menikah adalah hak setiap orang, menikah muda pun hak setiap orang. Namun alangkah baiknya jika hak ini dijalani atas pertimbangan yang matang dan masak mengenai konsekuensi dari keputusan hidup yang akan diambil.

Saya belum tahu bagaimana proses pengambilan keputusan seseorang sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Hal-hal apa saja yang dipertimbangkannya, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkannya, hal-hal apa yang sudah diantisipasinya. Adakah pemikiran seperti ini selalu dilakukan? Ataukah hanya sudah merasa cocok dengan pasangan, sudah “berumur”, sudah didesak keluarga dan sana-sini untuk menikah atau sudah terlanjur hamil?

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda, usia remaja (16-19 tahun) dan usia dewasa awal (20-25 tahun) yang mengambil keputusan untuk menikah tanpa pertimbangan dan pemikiran yang matang. Tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi potensi diri dan dunia sekitarnya. Tanpa pernah menyadari dan mengetahui peluang apa saja yang ditawarkan dunia untuk ia mengembangkan dan memaksimalkan dirinya.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang sudah terlanjur menikah dan merasa terjebak pada rutinitas hidup yang membosankan menurut mereka. Membuat mereka menjadi kutu loncat ketika tuntutan peran sebagai istri dan ibu membutuhkan diri yang selalu ada kapanpun dibutuhkan.

Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang tidak berpikir panjang ketika menghadirkan anak ke dunia ini. Ketika anak dipandang sebagai komoditi dan checklist terpenuhinya tuntutan sosial. Padahal mereka sendirinya belum sebegitu tergerak dan terpanggilnya untuk menjadi ibu dan orang tua. Ketika mengurus anak penuh dengan keluhan dan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, berpikir bahwa kehadiran ibu yang penuh dan utuh dapat digantikan oleh seorang babysitter dari desa.

Menurut saya, menikah adalah tahap kehidupan yang perlu diambil dengan pertimbangan masak. Terlebih lagi ketika menjadi ibu.  Ibu yang kepribadiannya sudah matang membuat ia memiliki kualitas tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Kematangan psikologis memang tidak selalu sejalan dengan usia biologis. Namun, kalau usianya saja masih muda kemungkinan besar kematangan psikologisnya pun masih di sekitar usia itu bahkan lebih rendah.

Saya berbicara untuk perempuan-perempuan muda seusia saya yang hidup di zaman ini. Sebab menikah mudah untuk generasi-generasi yang lalu tidak sekrusial saat ini.

Hamil, melahirkan, menyusui, merawat dan mengasuh anak bukanlah kondisi yang selalu nyaman. Seringkali dihinggapi rasa tidak nyaman, sakit, tidak enak, pengorbanan fisik seperti kekurangan waktu tidur, sampai pengorbanan mental di mana harus mengutamakan kebutuhan bayi kecil di atas kepentingan diri sendiri.
Sudahkah mampu menjalani proses menjadi ibu seperti ini dengan kerelaan hati? Menyadari bahwa seluruh ketidaknyamanan dan kesakitan ini dilalui atas dasar pertimbangan matang dan keputusan diri sendiri untuk menghadirkan generasi penerus kehidupan?

Berkaca pada diri sendiri. Saya saja saat ini kalau badan sedang sakit, entah sakit gigi atau PMS, dengan mudahnya saya uring-uringan dan bad mood. Kewajiban belajar sebagai mahasiswa pun bisa saya abaikan dan kesampingkan jika badan dan perasaan sedang tidak enak. Apalagi ketika badan dan perasaan sedang tidak enak lalu harus melayani kebutuhan orang lain. Terlebih melayani kebutuhan bayi mungil-rentan, yang hidupnya amat bergantung pada pengasuhnya.

Saya juga masih ingin bermain-main, jalan-jalan dan bisa membeli barang-barang yang saya inginkan. Berada di keluarga dengan kelas sosial ekonomi menengah, membuat saya belajar membuat prioritas mana yang butuh saya beli, mana yang hanya saya inginkan semata. Termasuk memikirkan bagaimana orang tua saya memenuhi kebutuhan dua anak yang lainnya. Kondisi saya saat ini memberi kemungkinan pada saya untuk sesekali menggunakan uang untuk bersenang-senang.

Coba bayangkan jika dalam keadaan diri masih ingin bersenang-senang, masih ingin membeli hal-hal yang diinginkan, masih ingin memuaskan dan menyenangkan diri sendiri, lalu memiliki anak. Uang yang semestinya bisa dipakai untuk bersenang-senang sendiri harus dibagi dua bahkan dialihkan untuk kebutuhan bayi kecil. Ditambah lagi uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja banyak, apalagi untuk memenuhi kebutuhan tersier?

Berkaca pada pengalaman ibu dan beberapa sepupu yang menunda usia pernikahan hingga masuk ke usia dewasa madya (25-30 tahun). Membuat mereka tidak hanya matang secara usia, tapi juga matang  sebagai seorang individu maupun sosial-ekonomi.

Ibu saya menikah di usia 29 tahun dan memiliki anak pertama di usia 30 tahun. Suatu hal yang aneh untuk orang-orang kebanyakan di tahun 1990-an. Ia menikah setelah berpacaran 6,5 tahun, setelah lulus kuliah dan bekerja, setelah bertemu dengan beragam orang dari berbagai negara. Sewaktu kecil saya melihat ibu saya cenderung lebih tua dan tidak se-fashionable ibu-ibu teman sekolah saya yang mayoritas berasal dari kalangan menengah atas.  

Dulu saya juga berpikir ibu saya kolot dan tidak mengikuti perkembangan jaman.

Namun setelah melewati masa remaja yang penuh krisis dan mempelajari psikologi, saya jadi menyadari kualitas pola asuh dan penanaman nilai beliau sehingga membentuk pribadi saya seperti yang hari ini.
Ibu mendidik saya dengan nilai-nilai hasil refleksi dan internalisasi diri atas pengalaman hidup yang telah ia peroleh. Ibu tidak mendidik saya dengan “kata orang” atau “kata masyarakat”. 

Ia memfasilitasi dan memberikan ruang pada saya untuk mengenali dan menjadi diri sendiri. Meskipun prosesnya pun tetap tidak mudah. Bahkan ketika ia sedang memarahi atau menegakkan peraturan, ia tetap bertanya pada saya “kalau kamu merasa apa”, “kalau menurut Anas bagaimana”.

Betapa saya merasa penting dan berarti sebagai seorang individu.
Betapa saya merasa penting dan berarti untuk ibu yang menghadirkan saya ke dunia ini.
Betapa ia mempedulikan saya sehingga pendapat dan perasaan saya menjadi begitu berarti baginya.

Padahal dengan pola asuh seperti ini saja, saya masih mudah merasa minder, tidak percaya diri dan tidak merasa dipedulikan (ini mungkin kontribusi pengalaman di kandungan dan posisi sebagai anak pertama yang hanya berjarak 1,5 tahun dengan adik).

Untuk setiap nilai-nilai hidup; nilai-nilai religiusitas maupun nilai-nilai budaya pun ia filterisasi terlebih dahulu sebelum diajarkan kepada anak-anaknya. Tidak ada nilai di budaya atau masyarakat yang ia berikan mentah-mentah kepada anak-anaknya.

Pengaruhnya sangat signifikan terasa ketika saya memasuki usia dewasa awal seperti ini. Menyadari  banyak orang hidup karena “kata orang”, “kata keluarga”, “kata masyarakat” tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal “apa kata dirinya sendiri tentang dirinya”. 

Menjadi ibu bukan hanya semata-mata melahirkan, merawat dan memberi makan seorang anak. Ibu memasukkan keseluruhan diri (self ibu); penghayatannya tentang diri dan lingkungan dalam interaksi dengan anak. Pada akhirnya hal ini akan terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri (self) anak juga.

Kalau ibunya saja belum yakin dengan dirinya, dengan lingkungannya. Belum matang dalam menyikapi diri dan lingkungannya. Belum yakin dengan  berbagai arus nilai-nilai hidup yang berseliweran di sekitarnya. Bagaimana ia dapat mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang kokoh, solid dan matang? Pribadi yang berkualitas dan berkompeten untuk berkompetisi di dunia global sekarang ini?

Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik?
Ibu berhutang pada masyarakat, sebab anak yang ia didik merupakan bagian dari masyarakat yang akan hidup dan berkembang di masyarakat.
(R.A. Kartini, 1902)

1 comment:

Frankie.Frank said...

WOW!!! Sangat membuka mata.. Keren Nas.. :)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...