Dec 31, 2011

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Belajar, Bahkan Untuk TKI

Bercanda, bertanya, bertukar pikiran dan belajar (dok pribadi)

Orang buta huruf di abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis,

tapi mereka yang tidak bisa belajar – Alvin Toffle

Seperti biasa, setiap sudut Central Market Kuala Lumpur selalu ramai pengunjung di hari minggu (Ahad). Karena letaknya yang strategis, bekas pusat aktifitas ekonomi Kuala Lumpur yang sekarang menjadi daya tarik wisata ini biasa di jadikan tempat bertemu dan bertukar cerita bagi para tenaga kerja asing di Malaysia, termasuk tenaga kerja asal Indonesia.

Manusia-Manusia Positif

Namun tidak banyak yang menyangka, di lantai dua gedung tua bekas zaman kolonial inggris yang sudah di pugar menjadi restoran Es Teler 77 ini sekarang menjadi tempat nongkrong favorit pekerja-pekerja asal Indonesia. Rata-rata jumlah mereka sekitar 20-30 orang per-minggunya. Jenis pekerjaannya pun bermacam-macam, ada yang kerja di kilang (pabrik), di sektor konstruksi, di sektor jasa, pekerja domestik dan lain-lain.

Belum pukul 11 siang pun mereka sudah berkumpul di depan restoran ini walau hanya untuk ngobrol-ngobrol dan merokok. Menariknya lagi, mereka datang dengan percaya diri, senyum lebar dan semangat yang terlihat menggebu-gebu. Yang sangat pasti mereka bukan mengincar promosi diskon apapun dari restoran makanan Indonesia ini, karena toh kebanyakan dari mereka langsung naik ke lantai dua restoran ini. Walau sesekali melirik dahulu ke penjaga restoran yang kebanyakan berparas ayu.

Kehadiran mereka membuat suasana lantai dua yang biasa hening di hari minggu menjadi penuh canda tawa. Suasana ini terus berlanjut hingga ada yang memimpin untuk membuka sesi. Sesi apa? Sesi belajar bahasa inggris. Iya saya ulangi, SESI BELAJAR BAHASA INGGRIS. Ternyata kehadiran mereka disini adalah untuk memenuhi rasa lapar mereka untuk belajar. Bukan lapar akan es teler. Menarik!

Where do you come from sir? dan PowerPoint!

Sesi belajar (dok pribadi)

Sesi diatas bukanlah sebuah sesi spontan yang tanpa arah. Sesi diatas adalah bagian dari serangkaian modul-modul yang sudah di persiapkan oleh tim LKBN Antara bekerja sama dengan KBRI Kuala Lumpur terlebih dahulu. Untuk saat ini, dua kelas yang di adakan hanya mengcakup dasar-dasar bahasa Inggris dan juga dasar-dasar komputer yang di harap bisa membekali pekerja-pekerja Indonesia di luar sana.

Bahasa Inggris yang kerap di gunakan di Malaysia untuk berkomunikasi dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam kehidupan sehari-hari dan bekerja di Malaysia dan juga secara global. Kemampuan bahasa satu ini bisa menjadi salah satu daya saing tersendiri dan memberikan rasa percaya diri baru bagi kawan-kawan pekerja di Malaysia. Untuk komputer, komputer dianggap penting karena di era digital ini, teknologi berperan sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari dari berkomunikasi dengan sanak saudara di tanah air, membeli tiket pesawat, mengecek berita, cek nilai tukar uang dan juga sharing seperti membuat blog dan lain-lain.

Modul-modul yang diajarkan saat ini memang masih terlihat sangat basic dan sering dipandang sebelah mata. Namun inilah dasar-dasar kebangkitan sebuah bangsa. Rasa lapar akan pendidikan dan iptek ini tidak mustahil dapat membawa perubahan terhadap kualitas individu pelajar-pelajar ini. Jangan kaget suatu hari nanti, mereka akan menjadi sosok yang percaya diri dan mertabat. Seperti yang selalu dicita-citakan kita semua, termasuk para penebar janji dan pesona di tanah air. Termasuk yang mewakili daerah pilih luar negeri. Opps..

Indonesia Mengajar Versi Mini?

Yang patut disaluti bukan saja ide kegiatan positif ini , bukan juga hanya pemakarsanya, Bapak Aulia Badar, yang percaya bahwa acara nonformal dan santai namun berbobot seperti inilah yang dibutuhkan (bukan yang bentuknya seminar), bukan juga hanya pesertanya yang mempunyai semangat tingkat tinggi, TAPI JUGA tenaga-tenaga pengajarnya yang mana adalah tenaga sukarelawan Indonesia dari berbagai kampus di Malaysia dan juga Indonesia. Siswa siswi Indonesia di Malaysia ternyata juga punya semangat dan dambaan yang kuat, hingga mau meluangkan waktunya di hari minggu siang untuk menjadi pengajar. Menariknya lagi, diantara pelajar Indonesia yang kuliah di malaysia, ada juga beberapa pelajar asal Universitas Indonesia jurusan Sastra Inggris yang sedang dalam program student exchange (pertukaran pelajar), sebut saja dua diantaranya Titis dan Beta.

Apakah program ini adalah mini Indonesia mengajar yang di perkenalkan oleh intelektual muda Indonesia, Bapak Anies Baswedan ? Ya suka-suka saja enaknya bagaimana. Yang pasti gerakan untuk Indonesia terus bergulir, bisa dalam bentuk apapun dan siapapun targetnya.

Yang pasti juga kegiatan seperti ini adalah bentuk gerakan perubahan dari diri sendiri yang nyata sembari terus menekan pemerintah pusat melakukan perubahan yang nyata. Termasuk perubahan untuk kaum pekerja Indonesia di Malaysia, yang selalu di dambakan oleh para Pahlawan Devisa.

Harapan

Harap-harap suatu saat kewirausahawan menjadi program di kegiatan ini. Ilmu kewirausahawan dapat menjadi modal awal untuk para pekerja membuka usaha baru di tanah air sehingga tercipta lapangan pekerjaan yang dapat mengurangi pengangguran dalam negeri sendiri.

Salam,

Felix Kusmanto


Dec 21, 2011

Teruntuk Senyuman






*versi yang (mungkin) lebih mudah dibaca ada di sini

Dec 17, 2011

Allah yang Tak Terjangkau Kata


Bahasa tulisan dan kemajuan peradaban menghadirkan Tuhan dalam bentuk teks. Terpatri dalam ribuan halaman kitab suci dan terpampang di tempat-tempat yang kasat mata bagi manusia.

Alam pikiran manusia tak lagi berani bahkan cenderung menghindar untuk bereksplorasi secara sporadis, humanis dan fleksibel mengenai siapa itu atau apa itu Tuhan. Pikiran dan batin dimatikan untuk tunduk pada kata-kata pemuka agama atau halaman kitab suci tentang Tuhan. Ketika ditanya “Siapa itu Tuhan menurut kamu?” yang dituturkan adalah definisi Tuhan menurut pemuka agama dan halaman kitab suci.

Padahal antara aku, pemuka agama dan si penulis kitab suci bisa saja memiliki penghayatan dan pengalaman dengan Tuhan yang berbeda. Jika dunia tahu mengenai hal ini malah aku dianggapnya sebagai manusia berdosa. Dianggap menghujat apa kata pemuka agama atau kitab suci.

Pengalamanku beberapa tahun terakhir ini membawaku pada pengalaman yang terasa intim dengan Tuhan. Ah, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya dengan Transendensi . Rasanya lebih luas, agung, tak terbatas, hidup (alive) dan dekat. Bagiku rasanya seperti udara dan alam semesta ini. Kita hidup karenanya, hidup di dalamnya namun tak selalu bisa melihatnya. Tapi ia juga mampu bermanifestasi di dalam hal-hal kehidupan di sekitar kita. Terkadang sederhana, terkadang rumit dan kompleks. Sungguh misteri tapi buatku bukanlah misteri yang menakutkan melainkan misteri yang membuatku penuh dengan ketertarikan dan rasa ingin tahu untuk mengenal dan menjelajahinya lagi lagi dan lagi.

Kahlil Gibran pernah berkata dalam salah satu puisinya, “Bahkan kamu tak akan mampu menceritakan pengalaman bersama-Nya yang sesungguhnya kepada orang lain, sebab hanya kamu yang merasakan-Nya”.
Maka aku tumbuh berkembang  dengan kepingan puzzle tentang Tuhan. Kedua orang tuaku memberikan arah-arah dasarnya, namun mereka memberikanku kebebasan sepenuhnya untuk bereksplorasi dan meng-ada bersama Tuhan yang aku jumpai melalui pengalamanku sehari-hari.  Aku belajar mengimaninya bukan karena doktrin tapi melalui pengalaman hidup.  Tentu jatuh bangun, berurai air mata namun juga tawa bahagia. Kompleks. Tak cukup sehari untuk aku menceritakan hari-hariku bersama-Nya.

Dari pengalaman hidup itu pula aku mengetahui dan menyadari bahwa Allah adalah Cinta. Meskipun masih penuh dengan kekurangan dan kerapuhanku, tapi ya itu yang aku tahu, hayati dan pahami hingga saat ini. Entah bagaimana penghayatanku selanjutnya bersama Allah dalam pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya.

Entah...sebab Ia misteri, seperti hari esok yang tak bisa kita prediksi.
----------------------------------------------------------------------------------
Membaca artikel mengenai resensi buku yang ditulis Goenawan Mohamad tentang Tuhan , juga melalui audiografi Salihara tentang Iman dan Anti-Theodise, lalu tentang penghayatan Tuhan menurut seorang sufi perempuan, Rabiyah Al-Adawiyah aku seperti menemukan oase.

Goenawan Mohamad (“Tuhan Ada”, 2011) mengatakan bahwa Tuhan tak akan mampu diringkus dalam definisi-definisi. Ia tak akan pernah benar-benar terpahamkan oleh akal dan filsafat. Segala sesuatu tentang Tuhan dan maknanya berada di luar bahasa manusia.

“Tuhan...bukanlah ditandai dengan kehadiran, melainkan justru ketakhadiran semua penanda. Ia tak bisa disebut, Ia tak bisa dijebak dalam nama. ... Ia adalah ketakterhinggan yang membentuk ‘hubungan tanpa hubungan’.

“Sebuah agama tanpa janji” seperti penghayatan Rabiah Al-Adawiyah tentang Tuhan yang seperti ini

                                          Aku mengabdi pada Tuhan bukan karena takut neraka

                                                  Bukan pula karena mengharap masuk surga
                                                                      Tetapi aku mengabdi,
                                                                    Karena cintaku padaNya
                                                             Ya Allah, jika aku menyembahMu
                                                    Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
                                                                 Dan jika aku menyembahMu
                                                Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
                                                               Tetapi, jika aku menyembahMu
                                                                       Demi Engkau semata,
                                    Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
                                                                        Yang abadi padaku

Menurut saya, sungguh indah dan magis jika bisa memaknai Tuhan yang seperti ini tanpa iming-iming pahala dan surga dan tanpa ketakutan akan ancaman dosa, neraka dan siksa kubur. Tapi ini menurut saya lho, anda bisa dan boleh memiliki pendapat dan penghayatan yang berbeda.

Anies Baswedan (2011) dalam audiografi Salihara mengatakan bahwa konsep Tuhan begitu subyektif sehingga konsep Tuhan yang saya miliki tidak bisa ditukar-tambah dengan konsep Tuhan yang anda miliki. Konsepsi Tuhan yang dibuat oleh manusia pun bukanlah Tuhan itu sendiri.

Menurut Baswedan, di sinilah letak problematikanya karena bahasa memiliki keterbatasannya sendiri. “Jangan kira Tuhan sudah menjelma di dalam kata Allah sendiri”, demikian katanya.

Mengkonseptualisasikan Tuhan ke dalam kata sebenarnya membatasi Tuhan itu sendiri. “Aku adalah zat tersembunyi yang belum punya nama, diberi nama tergantung bahasa yang dipakai dan apa yang ingin disampaikan.”

Baswedan juga mengatakan ketidaksetujuannya pada umat muslim di Malaysia yang menuntut kata “Allah” hanyalah milik umat muslim dan harus dihapuskan dari Alkitab umat Nasrani. “Kalau belajar sejarah asal kata Allah, kita akan tahu bahwa masyarakat Arab pra-Islam sudah memakai kata Alah untuk menyebut dewa-dewi dan patung yang mereka sembah.”

“Kata Allah sebenarnya ruang kosong, yang makna dan definisinya sangat ditentukan oleh si pembaca itu sendiri. Ia memaknainya tergantung dari caranya mengisi, sesuai dengan pengalaman kita sndiri.

Maka jangan pula menjadikan tulisan ini sebuah definisi tentang Allah. Sebab Allah sungguh melampaui kata. Sebab kita memiliki pengalaman dan penghayatan masing-masing yang tak perlu pula disama-samakan dengan pengalaman para pemuka agama dan penulis kitab suci. Allah bukan dogma, ia adalah pengalamanku dengan-Nya, pengalamanmu dengan-Nya.

Semoga para kaum beragama (theis) menyadari mereka tak ubahnya dengan para atheis yang menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Seringkali kaum theis juga terkena waham, tertipu berhala (Mohamad, 2011) tentang iming-iming surga dan pahala.

Semua misteri, semua adalah entah...seperti hari esok yang tak bisa diprediksi.

Bagaimana pengalamanmu bersama Allah?

Gambar dipinjam dari sini








Dec 13, 2011

december wish

ada seorang anak kecil, perempuan, usianya sekitar lima tahun.
ia selalu bersuka tiap malam natal tiba.
karna pada saat itu, ia akan mengikuti misa di gereja dengan kerlap kerlip lampu natal dan seribu lilin putih bercahaya di dekapan tangan setiap orang.
kaya dan miskin,
tua dan muda,
pendosa dan orang yang menganggap dirinya bukan pendosa..
semua memegang lilin putih yang sama..

seiring berjalannya waktu, ia tidak hanya menyukai malam natal..
ia juga menyukai lilin putih yang berderet di hadapan Bunda Maria..
baginya, lilin-lilin yang menyala itu mencerminkan sebuah harapan,
yang tiap kali padam, akan ada orang lain lagi yang menyalakannya..
kaya dan miskin,
tua dan muda,
pendosa dan orang yang menganggap dirinya bukan pendosa..
semua bisa menyalakan lilin putih yang baru untuk Bunda Maria..

suatu hari ia pergi ke Goa Maria pada malam natal..
ia ingin meletakkan lilin yang ia pegang selama misa berlangsung di hadapan Bunda Maria..
memang sih, lilinnya sudah agak retak dan nyaris patah karena ia mainkan selama misa berlangsung..
tapi ia percaya Bunda Maria akan menerima lilinnya tersebut, apapun kondisinya..

ia baru saja meletakkan lilin tersebut,
ketika ada seorang penjaga gereja datang dan menegurnya..

"lilin itu tidak boleh ada disana.. kamu tidak lihat? lilin itu cacat dan ia tidak pantas berada disana.. lilin untuk Bunda Maria harus putih bersih tanpa cacat.."

penjaga gereja tersebut mengambil lilin itu dan memadamkannya.. serta merta ia membuang lilin tersebut ke tempat sampah, lalu pergi..

anak kecil itu terdiam..
menangis tanpa suara..

"apa iya, Bunda Maria tidak mau menerima lilin yang cacat dan akan membuang lilin itu seperti yang dilakukan oleh penjaga gereja?"

anak itu kemudian melangkah lunglai tanpa pernah tahu jawaban dari pertanyaannya..

*hanya analogi, cerita ini fiktif belaka..*

Dec 11, 2011

Tuhan Memang Satu, Kita yang Tak Sama

“Tuhan memang satu, kita yang tak sama...”

Itu adalah penggalan lagu yang dibawakan oleh Marcell. Lagu ini terlintas di kepala saya, ketika sedang mengobrol santai dengan klien. Dari pembicaraan tentang film, kami mulai berdiskusi tentang banyak hal, dan akhirnya berujung pada topik yang cukup ‘berat’. Seperti yang tergambarkan pada lirik lagu di atas. Agama.

Muncul banyak pertanyaan dalam pikiran saya. Jika memang Tuhan satu, kenapa ada begitu banyak agama? Membuat saya juga bertanya-tanya, sebenarnya apa yang manusia cari dengan beribadah. Katanya Tuhan hanya satu, lalu kenapa begitu banyak cara berbeda yang dilakukan manusia untuk berhubungan denganNya?

Lalu pertanyaan berikutnya muncul. Jika memang demikian, sebenarnya apa yang manusia lakukan dengan segala ritual dari kepercayaannya masing-masing? Memenuhi ritual tertentu menurut cara yang diajarkan oleh pemimpin agamanya masing-masing? Atau menyembah Tuhannya? Yang manakah fokusnya?

Baiklah, mungkin itu adalah hal yang sangat kontroversial dan cukup sensitif untuk diperdebatkan. Oleh karena itu, saya juga terpikirkan hal lain ketika diskusi itu terus berlanjut. Tentang ciptaan.

Manusia hidup di jagat raya ini tidak sendiri. Masih banyak makhluk ciptaan lain. Dari sekian banyaknya planet di seluruh alam semesta, benarkah manusia adalah satu-satunya ciptaan? Bagaimana jika benar alien itu ada? Apakah mereka menyembah Tuhan yang sama? Bagaimana jika ya? Bagaimana jika tidak?

Jika mereka menyembah Tuhan yang sama, apakah mereka juga memiliki agama yang berbeda, seperti kita di bumi? Apakah mereka juga melakukan ritual tertentu hasil budaya dan pengajaran nenek moyangnya? Atau adakah cara yang berbeda? Lalu, bisakah kita juga mengikuti cara mereka?

Jika mereka menyembah Tuhan yang berbeda, apakah mereka percaya akan Tuhan? Pernahkah mereka terpikir akan pribadi yang menciptakan mereka? Tak terpikirkan kah mereka akan cara untuk berhubungan dengan pencipta mereka? Kalau Tuhan hanya ada satu, Tuhan mana yang benar? Tuhan kita kah? Tuhan mereka kah?

Begitu banyak kemungkinan yang muncul di pikiran saya. Banyaknya sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang juga terus bermunculan. Sampai pada suatu titik saya menemukan pertanyaan yang membuat saya terhenyak.

Lalu kenapa, kalau kita mencari Tuhan dengan cara yang berbeda? Lalu kenapa, kalau Tuhan kita pun tak sama? Lalu kenapa, kalau pemikiran kita mengenai agama dan kepercayaan begitu berbeda?

Dan kemudian segala pertanyaan itu rasanya tidak perlu dicari lagi jawabannya. Itu hak kita. Hak kamu, hak saya. Hak setiap kita.

Dec 8, 2011

Kelas Kuliah Terakhir #1


Masih teringat  kelas pertama saya pada semester satu di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.

Senin, 11 Agustus 2008.
Pukul 08.00-09.40 : Metode Penelitian I
Pukul 13.00-14.40 : Penulisan Ilmiah

Masih dengan warna pakaian yang seragam, bergerombol mencari kelas lalu masuk ke ruangan BKS 203.
Kami datang dua puluh menit sampai lima belas menit sebelum kelas dimulai. 
Bandingkan dengan sekarang... 
Bahkan hari ini baru pertama kali saya datang ke kelas PBM tidak terlambat setelah hampir  14 kali pertemuan.

Duduk menempati bangku-bangku BKS yang keras dan tidak berperikemanusiaan (baca: tidak ergonomis). 

Menanti harap-harap cemas dosen yang akan mengajar kelas pertama kami sebagai mahasiswa/i.

Detik-detik waktu telah berlalu dari pukul 08.00 lalu muncul sesosok pria berkemeja putih dan bercelana panjang warna cokelat khaki, menyandang tas postman dan tak lupa sepatu sneakers Converse berwarna hitam.

Beliau bertanya mengapa kami mau masuk Fakultas Psikologi.

Secara random ia bertanya kepada beberapa orang dan menemukan jawaban yang serupa.
“Karena biasa dicurhatin temen, Mas”
“Karena kepengen jadi psikolog, buka praktek...”

Beliau tak bertanya pada saya, tapi kedua jawaban di atas tidak merepresentasikan jawaban saya.

*Masih samakah jawaban kita jika sekarang ditanya lagi pertanyaan seperti ini?

Lalu beliau kembali bertanya, kali ini dengan nada agak sinis “Jawaban-jawaban kalian mulia amat? Yakin bukan untuk berobat jalan masuk ke Fakultas Psikologi?”

Saya terkesiap mendengar perkataan “berobat jalan”.

Ya, saya memang sedang ingin mencari tahu dan mengenal diri saya lebih jauh.
Ya, saya baru saja (atau masih) melalui masa-masa depresi yang membuat saya harus pindah sekolah di kelas 3 SMA dan hampir saja tidak melanjutkan sekolah.
Ya, saya masih didampingi psikolog dan konselor untuk menstabilkan diri saya...
Tapi, “berobat jalan” bukan terminologi yang pernah terlintas di benak saya.
...
Membuat saya berpikir, merenung, tersindir, penasaran dan aneka perasaan campur aduk lainnya.

Sisa waktu di hari pertama itu, beliau memperkenalkan namanya lalu menuliskan di papan tulis buku wajib yang harus kami miliki untuk mata kuliah ini. Serta memberitahu bahwa akan ada asisten dosen yang merupakan mahasiswi senior angkatan 2006. 
Pertama kalinya saya mengetahui ada istilah asisten dosen dan diampu oleh mahasiswa angkatan atas.
Keren sekali rasanya saat itu melihat senior yang bertitel “asisten dosen” itu, apalagi tampangnya juga terlihat intelek. “Jabatan impian kalau sudah mahasiswa atas nih”, begitu pemikiran saya.

11 Agustus 2008 09.40
Pertemuan di kelas pertama di Semester Pertama menyisakan rasa penasaran, bingung, khawatir dan ingin tahu.
Tentang apa yang dipelajari di Fakultas Psikologi dan bagaimana mempelajarinya.
Tentang dosen yang satu ini dan apakah dosen-dosen lain juga tipenya sama seperti itu.
Tentang “berobat jalan” dan pertanyaan “kenapa kamu mau masuk Fakultas Psikologi?”
...
Kalau sekarang kamu punya jawaban apa?

Mohon maaf untuk kesalahan tanggal dan detail peristiwa karena ingatan bersifat rekonstruktif =)
Gambar dipinjam dari sini

Dec 7, 2011

Menggambar Rasa


Berikanlah sebuah kertas putih kosong dan alat mewarnai pada anak TK di Indonesia.
Lalu mintalah mereka untuk  “Menggambar!”
Bisa dipastikan akan muncul gambar yang sejenis dari tangan-tangan mereka yang berbeda-beda itu.
Dua buah gunung dengan matahari setengah lingkaran menyembul di antaranya. Satu jalan pematang di tengah. Sementara di bagian kanan dan kiri adalah sawah bertanda centang, dengan rumah kecil di salah satu sudutnya.

Entah apa namanya kalau bukan sekolah militer, membuat keseragaman di dalam suatu karya seni menjadi begitu nyata. Mungkin guru akan mengangguk-angguk senang dan puas melihat muridnya mampu memenuhi semua ruang putih kosong di kertas dengan aneka warna. Tak peduli dengan bentuk-bentuk serupa yang ditampilkan mereka.

Mengapa pula gunung itu “harus” diwarnai dengan warna biru? Bukankah dataran yang tingginya di atas 1.500-2.00 dpl itu dipenuhi berbagai tumbuhan dan pepohonan hijau? Mengapa langit “harus” diberi warna oranye senja? Padahal di kota Jakarta yang polusi, aku lebih sering melihat langit yang kelabu.Dan banyak ke-“harus”-an lainnya atas nama seni dan kreativitas.

Namun suatu kali di taman kanak-kanak pula, Ibu guru  memotong kentang menjadi berbentuk bintang, memotong belimbing yang memang sudah berbentuk bintang dan entah buah atau sayuran apalagi yang dipakainya. Aku tak ingat lagi.

Buah-buahan itu bukan untuk dimasak apalagi disantap.

Buah-buahan itu dicelupkan ke cat warna-warni...

Seperti mencocol gorengan ke dalam sambal, lalu kugoreskan warna yang menempel di buah itu pada selembar kertas putih.

Ajaib! Warna yang terbentuk menyerupai bentuk potongan si buah atau sayuran. Bentuk dan warnanya beragam. Setiap orang punya karyanya yang otentik. Ada ungkapan hati yang meluap-luap dan mampu tersalurkan melalui goresan warna dari buah-buahan yang dibentuk.

Kali lain, ibu di rumah mengajakku untuk mencelupkan tangan ke dalam tube-tube cat poster dan cat air. Aneh...awalnya aku bergidik. Sebab yang aku tahu dari pengalaman menggambar di sekolah, kita “harus” selalu menggunakan alat bantu entah kuas, pensil warna atau crayon.

“Rasakan tanganmu tercelup ke dalam warna-warna itu”, begitu katanya.

Maka aku memberanikan diri untuk menyelupkan jemari kecilku ke dalamnya. Cair dan dingin. Sensasinya menjadi semakin magis ketika memejamkan mata sambil mencelupkan jari jemari.

Lalu, ketika aku membuka mata... aku bingung dan bertanya apa yang harus kugambar. Tak ada panduan apalagi tema. Satu hal yang melegakan, ini bukan untuk dinilai.

“Goreskan sesuai dengan apa yang ada di hatimu, apa yang kamu rasa...”

“Kalau terlalu sulit, kamu bisa mulai menggoreskan warna dengan mata terpejam sehingga kamu tak perlu lagi berpikir tentang hal-hal teknis. Tapi sungguh menyediakan ruang bagi hatimu untuk berbicara melalui goresan warna-warna itu”

Muncul gambar yang seakan terlihat seperti coretan warna warni. Meliuk di sana-sini, melintang di sana sini. Tak ada perspektif apalagi kaidah menggambar. Tak ada gradasi warna seperti yang selalu muncul serupa di gambar anak-anak TK pemenang lomba menggambar.

Tapi rasanya PUAS,
SENANG,
HARU,
TERHIDUPI,
TERSEMANGATI.
Rasanya benar-benar HIDUP!

Sebab baru kali ini aku belajar, bagaimana menyalurkan perasaanku, emosiku melalui gambar.

Tidak ada salah atau benar, bagus atau jelek.

Yang ada adalah aku yang memberi ruang pada diriku sendiri untuk menjadi apa adanya aku, merasakan apa adanya aku...tanpa khawatir.


 Gambar dipinjam dari sini

Dec 6, 2011

Kuliah Itu Cuma Etalase Kok.

#Curhat070


Diposkan juga di Nota Facebook.

Kutipan yang saya jadikan judul tulisan ini dulu pernah saya dengar ketika mewawancara salah satu guru sekolah alam. Eh, sebelumnya, pada tahu gak sekolah alam itu apa? Bukan, ini bukan sekolah yang lulusannya jadi tarzan. Bukan pula sekolah yang lulusannya jadi pecinta alam hebat macam Soe Hok Gie. Di sekolah alam, anak-anak dibebaskan bereksplorasi, bereksperimen, berekspresi tanpa dibatasi sekat dinding dan berbagai aturan yang mengekang rasa ingin tahu mereka, yang membatasi interaksi mereka dengan kehidupan yang sebenarnya, yang membuat mereka tak berjarak dan akrab dengan alam lingkungan mereka (Website Sekolah Alam Indonesia).

Kembali ke awal. Guru tersebut mengemukakan bahwa kuliah itu tak lebih dari sekedar etalase saja. Mahasiswa hanya diperkenalkan secara sekilas saja tentang berbagai hal, tanpa tahu bagaimana pengaplikasian yang sebenarnya di kehidupan. Pada waktu itu guru yang saya wawancarai memberi contoh pula tentang bagaimana menangani anak-anak yang memiliki gangguan belajar dan kebutuhan khusus. Di buku-buku kuliah sih, tertulis dengan jelas penyebabnya apa, definisinya apa, dan intervensinya bagaimana. Tapi, apa iya menerjemahkan apa yang tertulis di dalam buku ke kehidupan nyata itu mudah? Ternyata tidak. Banyak loh tantangannya. Bisa dari ketidakpedulian orangtua, bisa keterbatasan ekonomi keluarga, dan segudang faktor lainnya. Hal-hal yang gak ada di perkuliahan. Gak tertulis di buku-buku kuliah.

Sebutlah sebuah kasus, dimana ada seorang anak SD yang suka menunjukkan perilaku kurang "sopan" ke teman-teman sebayanya. Ternyata, setelah ditelusuri, anak ini terkadang melihat orangtuanya melakukan hubungan suami-istri di rumah. Anak ini pun, tanpa paham apa yang dilakukan orangtuanya, mencoba meniru (walau dalam derajat tertentu). Nah, solusinya gimana? Gampang kan kalau di buku? Hilangkan penyebabnya! Minta orangtuanya jangan melakukan hal itu lagi di depan anaknya! Eh, sabar dulu. Usut punya usut, keluarga ini ternyata tinggal di sebuah kos sederhana, dan rumahnya itu cuma terdiri dari satu kamar kecil yang sempit. Semua anggota keluarga pun hidup dan beraktivitas di kamar sempit itu. Lantas, mau minta mereka sekeluarga pindah ke rumah yang lebih besar? Mana sanggup. Mau minta mereka gak melakukan hubungan suami-istri sama sekali? Mana tahan. Atau mau mereka ngungsi ke kamar tetangga kalau lagi kepepet? Mana enak sih.

Ya, itu baru satu kasus. Masih banyak kasus-kasus lain yang membuktikan bahwa kuliah itu cuma sebatas etalase, dan apa yang tertulis di buku itu gak banyak membantu di kehidupan nyata. Lantas, gimana dong? Ya, simpel aja, jangan cuma nuntut ilmu di kelas! Di luar kelas juga kan banyak tempat belajar yang bisa mengajarkan lebih dari sekedar etalase. Entah ikut organisasi, magang ke perusahaan, kembangin komunitas, atau apa lah. Di kelas pun, jangan mau cuma duduk diem dengerin dosen ngoceh. Kritisi dosen! Ajukan pertanyaan! Benturkan dengan realitas yang ada. Jangan biarin otak kita cuma jadi stasiun transit doang, sebelum ilmu itu berpindah dari buku dan mulut dosen ke lembar jawab ujian.

Jangan mudah puas. Hanya orang bodoh yang beli ember anti-pecah karena terlihat bagus di etalase (emang ada etalase yang muat ya?). Orang beli ember anti-pecah, setelah terbukti ember itu dibanting sekuat tenaga pun gak bakalan pecah. Ya, demikian pula dengan kuliah. Coba benturkan ilmu yang kita pelajari ke kenyataan, sampai terbukti kebenarannya. Banting sekuat mungkin. Sekali lagi, benturkan dan banting ilmunya ya. Bukan nilai Anda yang dibanting. Bukan pula pintu atau bangku kelas. Apalagi dosen.

Jakarta, 5 Desember 2011

Dec 2, 2011

Surat Untuk Negaraku


Negarawan? Bukan. Politikus? Apalagi. Sejarawan? Eh, bahkan saya kurang tahu dengan detil sejarah negara ini. Hanya tahu garis besar tentang kemerdekaan. Memalukan, memang.

Di bulan yang di mana orang banyak sedang mempersiapkan diri untuk Natal dan pergantian tahun, saya terpikirkan mengenai hal yang biasa dipikirkan oleh orang pada bulan Agustus. Saya terpikir tentang negara ini. Indonesia.

Saya cinta Indonesia? Tidak juga. Saya bukan salah satu fans sepakbola yang setia mendukung ketika Indonesia bertanding melawan negara tetangga. Bahkan bukan peserta upacara setia ketika hari Kemerdekaan tiba.

Saya bahkan dianggap pendatang di sini. Walaupun saya lahir dan besar di tanah air, tetap saja karena warna kulit dan penampilan fisik, saya dianggap bukan bagian dari negara ini.

Namun saya peduli dengan Indonesia. Negara yang seringkali dikatakan sampah oleh warganya sendiri. Negara yang dianggap sudah tidak ada harapan lagi. Negara dengan segunung masalah, yang tidak akan mudah diselesaikan. Negara dengan banyak lingkaran setan yang sulit diputuskan. Negara yang hanya dibanggakan oleh warganya ketika mencapai suatu prestasi. Negara yang lebih banyak dihujat daripada dipuji. Negara yang menuai banyak tulisan tentang rasa cinta ketika bulan Agustus tiba. Bulan lainnya? Entahlah.

Harus diakui bahwa memang banyak kekurangan yang dimiliki oleh negara ini. Negara mana yang sempurna? Banyak keluhan dan masalah yang bersumber dari orang-orang yang ada di negara ini, yang kemudian digeneralisasi. Ralat. Di-overgeneralisasi.

Pemimpin di negara ini dikenal sebagai koruptor. Apakah semuanya koruptor? Kata siapa? Mungkin banyak yang tidak percaya. Warga negara ini dianggap konyol karena perilaku mereka. Apakah semuanya berperilaku sama? Kata siapa?

Negara kita dan kita sebagai warganya mungkin hanya belum siap. Belum cukup dewasa untuk diberikan kebebasan demokrasi. Belum cukup dewasa untuk menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai negara ini. Belum cukup dewasa untuk melihat tidak hanya dari sudut pandang pribadi.

Sebagian dari kita sudah sangat pintar dan kaya, sehingga sombong. Merasa bahwa Indonesia tidak akan bisa berkembang ke mana-mana. Begitu sombongnya sehingga tidak lagi peduli dengan segala urusan yang dihadapi oleh negara. Masa bodoh, kata kita.

Sebagian lagi dari kita masih berkekurangan. Memikirkan negara? Memikirkan makan apa nanti malam saja sudah pusing. Memikirkan dengan cara apa lagi akan menyambung hidup esok hari. Pintar? Bagaimana caranya? Membayar uang sekolah pun tidak mampu.

Satu kelompok berada di ekstrim kiri, dan satu kelompok lainnya berada di ekstrim kanan. Tidak ada satu pun yang mau mengulurkan tangan dan bergandengan. Masing-masing sibuk dengan jalannya sendiri. Kubu kiri berjalan ke kiri, dan kubu kanan terus ke kanan. Tidak bisakah bergandengan tangan dan berjalan sama-sama ke depan? Bagaimana Indonesia mau maju jika tidak bersama-sama ke depan?

Bagaimana Indonesia mau maju jika warganya, yaitu kamu dan saya, masih pesimis akan negara ini?








Teriring doa untuk negaraku,



Seorang mahasiswa dengan pengetahuan dan analisis minim yang peduli dengan negaranya.

Lelah… 01.12.11




Aku lelah
Aku lelah berlari
Aku lelah
Aku hanya ingin berhenti sejenak
Tapi aku janji nanti aku pasti akan berlari hingga garis finish.
Aku janji.
Aku janji bunda.
Aku janji ayah.
Aku akan membuat kalian bangga.

Tulisanku... 01.12.11

Aku sadar aku tidak bisa menulis.

Aku sadar temanku menyerah dengan cara menulisku.

Dosen pembimbing apalagi.

Give up?

Ya

Dia give up dengan tulisanku. Tapi aku…

Aku lom give up.

Aku masih bisa belajar.

Dan satu hal yang menjadi modalku saat ini.

Aku mau belajar.

Dec 1, 2011

Bahagia Adalah...

Bahagia. Satu kata sederhana.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku melihatmu tersenyum dan tahu bahwa itu bukan pura-pura.

Bahagia itu sangat sederhana. Ketika aku melihatmu dari kejauhan dan tahu bahwa kamu baik-baik saja.

Bahagia itu sederhana, sesederhana berbincang denganmu dan tahu kabarmu.

Bahagia adalah ketika melihat ada pesan singkat darimu, sesingkat apapun itu. Aku tahu, bahwa kamu masih mengingatku.

Bahagia adalah ketika kedua bola matamu menatapku, dan menyapaku akrab. Aku tahu, bahwa kamu sadar akan kehadiranku.

Bahagia adalah ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta kepadamu. Aku tahu, bahwa kamu tidak tahu.

Nov 26, 2011

Go, (Try to) Fake A Smile!


Fake smile. Senyum palsu.

Katanya senyumku palsu. Benarkah?

Ah, sok tahu dia. Mana mungkin senyumku palsu. Aku tidak pernah tersenyum pura-pura.

Tahu apa dia? Katanya aku sebenarnya menutupi kesedihanku dengan senyum. Lihat, sok tahu sekali, bukan?

Memang apa yang harus aku sedihkan? Aku baik-baik saja. Memang ada beberapa masalah, tapi kan bukan berarti bahwa aku harus sedih. Betul kan?

Ah, baiklah. Aku akui memang hatiku sedang sedih, tapi kan bukan berarti aku harus terus memasang wajah sedih.

Hmm... baiklah. Aku mengaku lagi. Mungkin aku memang tidak sebahagia yang aku tampilkan. Eh, tapi siapa sih yang benar-benar bahagia dan tersenyum senantiasa? Pasti tidak ada.

Ya habis bagaimana, hatiku terluka. Tentu saja aku sedih. Apakah hatimu pernah terluka? Sakit, bukan?

Apa? Kenapa terluka? Kau ingin tahu? Tidak, aku tidak ingin menceritakannya. Itu juga bukan masalahmu kan?

Aku tersenyum, justru karena aku sakit, teman. Tidak tahukah kamu bahwa senyumku ini untuk menutupi sakitku? Aku tersenyum, agar air mata ini tidak menetes...

Apa? Menyedihkan? Memang, menyedihkan. Oleh karena itulah aku tersenyum. Agar sedih ini dapat sedikit lebih baik. Agar sakit ini sedikit bisa kulupakan. Agar dunia tidak tahu betapa sedihnya aku sebenarnya.

Ah, akui saja. Kamu juga merasakan hal yang sama kan? Kamu juga punya rasa sakit yang kau coba untuk dihindari, atau mungkin kau lupakan. Mari, kita tersenyum bersama. Nah, sekarang, bukankah dunia terlihat sedikit lebih menyenangkan?

Lihat, kau pun tersenyum sekarang. Coba rasakan, apakah sakit itu masih sama?



-inspired by facial feedback-
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...