Dec 17, 2011

Allah yang Tak Terjangkau Kata


Bahasa tulisan dan kemajuan peradaban menghadirkan Tuhan dalam bentuk teks. Terpatri dalam ribuan halaman kitab suci dan terpampang di tempat-tempat yang kasat mata bagi manusia.

Alam pikiran manusia tak lagi berani bahkan cenderung menghindar untuk bereksplorasi secara sporadis, humanis dan fleksibel mengenai siapa itu atau apa itu Tuhan. Pikiran dan batin dimatikan untuk tunduk pada kata-kata pemuka agama atau halaman kitab suci tentang Tuhan. Ketika ditanya “Siapa itu Tuhan menurut kamu?” yang dituturkan adalah definisi Tuhan menurut pemuka agama dan halaman kitab suci.

Padahal antara aku, pemuka agama dan si penulis kitab suci bisa saja memiliki penghayatan dan pengalaman dengan Tuhan yang berbeda. Jika dunia tahu mengenai hal ini malah aku dianggapnya sebagai manusia berdosa. Dianggap menghujat apa kata pemuka agama atau kitab suci.

Pengalamanku beberapa tahun terakhir ini membawaku pada pengalaman yang terasa intim dengan Tuhan. Ah, sebenarnya aku lebih suka menyebutnya dengan Transendensi . Rasanya lebih luas, agung, tak terbatas, hidup (alive) dan dekat. Bagiku rasanya seperti udara dan alam semesta ini. Kita hidup karenanya, hidup di dalamnya namun tak selalu bisa melihatnya. Tapi ia juga mampu bermanifestasi di dalam hal-hal kehidupan di sekitar kita. Terkadang sederhana, terkadang rumit dan kompleks. Sungguh misteri tapi buatku bukanlah misteri yang menakutkan melainkan misteri yang membuatku penuh dengan ketertarikan dan rasa ingin tahu untuk mengenal dan menjelajahinya lagi lagi dan lagi.

Kahlil Gibran pernah berkata dalam salah satu puisinya, “Bahkan kamu tak akan mampu menceritakan pengalaman bersama-Nya yang sesungguhnya kepada orang lain, sebab hanya kamu yang merasakan-Nya”.
Maka aku tumbuh berkembang  dengan kepingan puzzle tentang Tuhan. Kedua orang tuaku memberikan arah-arah dasarnya, namun mereka memberikanku kebebasan sepenuhnya untuk bereksplorasi dan meng-ada bersama Tuhan yang aku jumpai melalui pengalamanku sehari-hari.  Aku belajar mengimaninya bukan karena doktrin tapi melalui pengalaman hidup.  Tentu jatuh bangun, berurai air mata namun juga tawa bahagia. Kompleks. Tak cukup sehari untuk aku menceritakan hari-hariku bersama-Nya.

Dari pengalaman hidup itu pula aku mengetahui dan menyadari bahwa Allah adalah Cinta. Meskipun masih penuh dengan kekurangan dan kerapuhanku, tapi ya itu yang aku tahu, hayati dan pahami hingga saat ini. Entah bagaimana penghayatanku selanjutnya bersama Allah dalam pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya.

Entah...sebab Ia misteri, seperti hari esok yang tak bisa kita prediksi.
----------------------------------------------------------------------------------
Membaca artikel mengenai resensi buku yang ditulis Goenawan Mohamad tentang Tuhan , juga melalui audiografi Salihara tentang Iman dan Anti-Theodise, lalu tentang penghayatan Tuhan menurut seorang sufi perempuan, Rabiyah Al-Adawiyah aku seperti menemukan oase.

Goenawan Mohamad (“Tuhan Ada”, 2011) mengatakan bahwa Tuhan tak akan mampu diringkus dalam definisi-definisi. Ia tak akan pernah benar-benar terpahamkan oleh akal dan filsafat. Segala sesuatu tentang Tuhan dan maknanya berada di luar bahasa manusia.

“Tuhan...bukanlah ditandai dengan kehadiran, melainkan justru ketakhadiran semua penanda. Ia tak bisa disebut, Ia tak bisa dijebak dalam nama. ... Ia adalah ketakterhinggan yang membentuk ‘hubungan tanpa hubungan’.

“Sebuah agama tanpa janji” seperti penghayatan Rabiah Al-Adawiyah tentang Tuhan yang seperti ini

                                          Aku mengabdi pada Tuhan bukan karena takut neraka

                                                  Bukan pula karena mengharap masuk surga
                                                                      Tetapi aku mengabdi,
                                                                    Karena cintaku padaNya
                                                             Ya Allah, jika aku menyembahMu
                                                    Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
                                                                 Dan jika aku menyembahMu
                                                Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
                                                               Tetapi, jika aku menyembahMu
                                                                       Demi Engkau semata,
                                    Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
                                                                        Yang abadi padaku

Menurut saya, sungguh indah dan magis jika bisa memaknai Tuhan yang seperti ini tanpa iming-iming pahala dan surga dan tanpa ketakutan akan ancaman dosa, neraka dan siksa kubur. Tapi ini menurut saya lho, anda bisa dan boleh memiliki pendapat dan penghayatan yang berbeda.

Anies Baswedan (2011) dalam audiografi Salihara mengatakan bahwa konsep Tuhan begitu subyektif sehingga konsep Tuhan yang saya miliki tidak bisa ditukar-tambah dengan konsep Tuhan yang anda miliki. Konsepsi Tuhan yang dibuat oleh manusia pun bukanlah Tuhan itu sendiri.

Menurut Baswedan, di sinilah letak problematikanya karena bahasa memiliki keterbatasannya sendiri. “Jangan kira Tuhan sudah menjelma di dalam kata Allah sendiri”, demikian katanya.

Mengkonseptualisasikan Tuhan ke dalam kata sebenarnya membatasi Tuhan itu sendiri. “Aku adalah zat tersembunyi yang belum punya nama, diberi nama tergantung bahasa yang dipakai dan apa yang ingin disampaikan.”

Baswedan juga mengatakan ketidaksetujuannya pada umat muslim di Malaysia yang menuntut kata “Allah” hanyalah milik umat muslim dan harus dihapuskan dari Alkitab umat Nasrani. “Kalau belajar sejarah asal kata Allah, kita akan tahu bahwa masyarakat Arab pra-Islam sudah memakai kata Alah untuk menyebut dewa-dewi dan patung yang mereka sembah.”

“Kata Allah sebenarnya ruang kosong, yang makna dan definisinya sangat ditentukan oleh si pembaca itu sendiri. Ia memaknainya tergantung dari caranya mengisi, sesuai dengan pengalaman kita sndiri.

Maka jangan pula menjadikan tulisan ini sebuah definisi tentang Allah. Sebab Allah sungguh melampaui kata. Sebab kita memiliki pengalaman dan penghayatan masing-masing yang tak perlu pula disama-samakan dengan pengalaman para pemuka agama dan penulis kitab suci. Allah bukan dogma, ia adalah pengalamanku dengan-Nya, pengalamanmu dengan-Nya.

Semoga para kaum beragama (theis) menyadari mereka tak ubahnya dengan para atheis yang menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Seringkali kaum theis juga terkena waham, tertipu berhala (Mohamad, 2011) tentang iming-iming surga dan pahala.

Semua misteri, semua adalah entah...seperti hari esok yang tak bisa diprediksi.

Bagaimana pengalamanmu bersama Allah?

Gambar dipinjam dari sini








4 comments:

Okki Sutanto said...

Tulisan menarik! Referensi yang cukup luas, meski cenderung berasal dari satu kutub: liberal. Mungkin akan lebih menarik lagi jika dilengkapi juga dengan literatur fundamentalis.

Oh ya, agak mempertanyakan diksi "sporadis" di paragraf kedua dan "beragama (theist)" di paragraf kedua terakhir. Maksudnya bereksplorasi secara sporadis itu apa ya? Apa tidak ada kosakata lain yang lebih tepat? Lalu, theist itu sebenarnya bertuhan atau beragama? hehe..

Makin banyak membaca dan makin rajin menuliskannya menjadi sebuah pengetahuan baru ya, Nas! Hebat-hebat. hehe.

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

Makasih Ki. Yang fundamentalis ya? Nanti kapan2 dicoba deh, kalo udah ga bikin emosi bacanya. Haha... Sporadis di sini maksudnya tersebar dan menyebar, tidak dengan pakem-pakem tertentu. Kayaknya gw sendiri pun masih rancu theist itu lebih ke ber-Tuhan atau beragama. Kalo di wikipedia sih theist dipakai pada hubungan antara manusia dgn Tuhan dlm monotheisme.

Djanuar said...

Luar biasa! Membaca tulisan Anas. Bahasanya mengalir. Menarik ketika melirik kata 'takut'. Takut pada Allah, Tuhan, atau trasendensi meminjam istilah Anas justru membuat manusia merasa dekat dan intim dengan Allah. Lain halnya bila Takut kepada hal-hal gaib justru membuat kita menjauh dan kalau perlu menghindar.

Kemudian, mengenai arti theis, kalau tidak salah teis berasal dari kata Yunani Theos yang artinya Tuhan.

Terima kasih Anas untuk tulisannya. Salam

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

Makasih Mas Djanuar. Salam kenal.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...