Dec 2, 2011

Surat Untuk Negaraku


Negarawan? Bukan. Politikus? Apalagi. Sejarawan? Eh, bahkan saya kurang tahu dengan detil sejarah negara ini. Hanya tahu garis besar tentang kemerdekaan. Memalukan, memang.

Di bulan yang di mana orang banyak sedang mempersiapkan diri untuk Natal dan pergantian tahun, saya terpikirkan mengenai hal yang biasa dipikirkan oleh orang pada bulan Agustus. Saya terpikir tentang negara ini. Indonesia.

Saya cinta Indonesia? Tidak juga. Saya bukan salah satu fans sepakbola yang setia mendukung ketika Indonesia bertanding melawan negara tetangga. Bahkan bukan peserta upacara setia ketika hari Kemerdekaan tiba.

Saya bahkan dianggap pendatang di sini. Walaupun saya lahir dan besar di tanah air, tetap saja karena warna kulit dan penampilan fisik, saya dianggap bukan bagian dari negara ini.

Namun saya peduli dengan Indonesia. Negara yang seringkali dikatakan sampah oleh warganya sendiri. Negara yang dianggap sudah tidak ada harapan lagi. Negara dengan segunung masalah, yang tidak akan mudah diselesaikan. Negara dengan banyak lingkaran setan yang sulit diputuskan. Negara yang hanya dibanggakan oleh warganya ketika mencapai suatu prestasi. Negara yang lebih banyak dihujat daripada dipuji. Negara yang menuai banyak tulisan tentang rasa cinta ketika bulan Agustus tiba. Bulan lainnya? Entahlah.

Harus diakui bahwa memang banyak kekurangan yang dimiliki oleh negara ini. Negara mana yang sempurna? Banyak keluhan dan masalah yang bersumber dari orang-orang yang ada di negara ini, yang kemudian digeneralisasi. Ralat. Di-overgeneralisasi.

Pemimpin di negara ini dikenal sebagai koruptor. Apakah semuanya koruptor? Kata siapa? Mungkin banyak yang tidak percaya. Warga negara ini dianggap konyol karena perilaku mereka. Apakah semuanya berperilaku sama? Kata siapa?

Negara kita dan kita sebagai warganya mungkin hanya belum siap. Belum cukup dewasa untuk diberikan kebebasan demokrasi. Belum cukup dewasa untuk menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai negara ini. Belum cukup dewasa untuk melihat tidak hanya dari sudut pandang pribadi.

Sebagian dari kita sudah sangat pintar dan kaya, sehingga sombong. Merasa bahwa Indonesia tidak akan bisa berkembang ke mana-mana. Begitu sombongnya sehingga tidak lagi peduli dengan segala urusan yang dihadapi oleh negara. Masa bodoh, kata kita.

Sebagian lagi dari kita masih berkekurangan. Memikirkan negara? Memikirkan makan apa nanti malam saja sudah pusing. Memikirkan dengan cara apa lagi akan menyambung hidup esok hari. Pintar? Bagaimana caranya? Membayar uang sekolah pun tidak mampu.

Satu kelompok berada di ekstrim kiri, dan satu kelompok lainnya berada di ekstrim kanan. Tidak ada satu pun yang mau mengulurkan tangan dan bergandengan. Masing-masing sibuk dengan jalannya sendiri. Kubu kiri berjalan ke kiri, dan kubu kanan terus ke kanan. Tidak bisakah bergandengan tangan dan berjalan sama-sama ke depan? Bagaimana Indonesia mau maju jika tidak bersama-sama ke depan?

Bagaimana Indonesia mau maju jika warganya, yaitu kamu dan saya, masih pesimis akan negara ini?








Teriring doa untuk negaraku,



Seorang mahasiswa dengan pengetahuan dan analisis minim yang peduli dengan negaranya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...