Mar 31, 2012

Mahasiswa Bukanlah Suatu Entitas Homogen


Pemberitaan  media massa beberapa hari terakhir terkait reaksi para mahasiswa akibat kenaikan BBM, membuat saya merasa pemberitaan media seolah-olah menjadikan mahasiswa sebagai suatu kelompok yang sejenis.

Segala tuntutan dan harapan masyarakat terhadap mahasiswa yang dianggap sebagai ujung tombak pergerakan bangsa dan perwakilan kaum intelektual disertai tuntutan untuk berpikir kritis tampaknya perlu dikaji kembali.

Mengapa?

Jika dilihat alur kronologisnya, maka mahasiswa merupakan suatu tahapan yang dilalui oleh seorang individu setelah lulus dari jenjang SMA. Ketika tahapan ini dilalui layaknya menaiki eskalator, maka tidak akan ada perubahan berarti jika siswa SMA yang kemudian menjadi mahasiswa hanya menjalani saja tanpa memaknai betul arti dan peran sebagai mahasiswa. Perubahan peran dari siswa menjadi “maha”siswa tak ubahnya suatu rutinitas seperti makan tidur yang dijalani begitu saja. Lalu bagaimana mungkin mengharapkan ada perubahan yang signifikan jika si mahasiswa sendiri tidak menyadari peran, di mana ia berada dan untuk apa ia menjadi mahasiswa?

Karakteristik mahasiswa zaman ini tentu berbeda dari generasi mahasiswa yang lalu, bahkan berbeda dari generasi mahasiswa ’98. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan ini, antara lain perbedaan situasi zaman yang dihadapi, paparan sosial media dan teknologi serta tingkat ekonomi orang tua.

Dari perbedaan ini pun, kondisi mahasiswa zaman sekarang tidak dapat dipukul rata. Bagaimana pun juga mereka adalah individu-individu yang minimal telah delapan belas tahun lebih mengalami pembentukan dan sosialisi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat mereka selama ini.

Perguruan tinggi menerima para lulusan SMA setelah mereka mengalami pembentukan dan sosialisasi tersebut. Bersamaan dengan proses pendidikan mereka di perguruan tinggi, mahasiswa juga tetap berinteraksi dengan keluarga, teman, dan lingkungan masyarakat lainnya.

Jika di hari-hari ini kita prihatin dengan aksi mahasiswa yang anarki, tampaknya perlu juga melihat bagaimana orang-orang dan lingkungan tempat mereka dibesarkan selama ini. Sekolah yang mereka jalani selama ini hingga ke perguruan tinggi, lingkungan pergaulan apa yang mereka miliki dan bagaimana selama ini mereka berinteraksi di dalam lingkungan-lingkungan tersebut. Dengan demikian label “mahasiswa yang anarki” tidak dimaknai bahwa perilaku anarki tersebut muncul karena mereka mahasiswa dan karena mereka terdaftar sebagai mahasiswa di suatu perguruan tinggi tertentu.

Sebab, banyak juga mahasiswa yang memilih untuk menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri melalui prestasi di berbagai bidang seperti perlombaan karya ilmiah mahasiswa, PKM-DIKTI, perlombaan penerapan teknologi LSI di Okinawa, perlombaan bussines plan tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Danone serta terjun langsung dalam bidang pengabdian masyarakat dengan mengajar di rumah singgah, membuat kegiatan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan atau pelatihan bagi anak-anak pra-sejahtera seperti yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta di bawah Yayasan Putra Bahagia.

Pada akhirnya, mahasiswa merupakan potret dari dinamika dan keragaman masyarakat itu sendiri. Mahasiswa memang dipandang sebagai kaum intelek dan calon cendekiawan muda. Posisi sebagai mahasiswa sebenarnya adalah posisi prestises yang setiap tahunnya hanya mampu dinikmati oleh lima juta orang dari keseluruhan populasi masyarakat Indonesia sebesar 273 juta penduduk (“Inilah Lima”, 2011). Berdasarkan pengamatan di lapangan, bagi  kalangan mahasiswa sendiri, saya meragukan mereka sungguh tahu dan menyadari apa arti peran dan posisi mereka di dalam piramida penduduk Indonesia.  Sedangkan bagi kalangan masyarakat lainnya, menurut saya ada standar sangat tinggi yang diharapkan pada para mahasiswa. Seakan-akan mereka adalah juru selamat bagi negara Indonesia yang sedang carut-marut. Seakan melupakan bahwa mahasiswa juga bagian dari realita masyarakat Indonesia.

Maka, walaupun ada lima juta orang yang tercatat sebagai mahasiswa  namun karakteristik, motivasi dan kiprah mereka pun beraneka ragam. Tidak semuanya anarki, tidak semuanya juga berprestasi dan memberikan kontribusi bagi lingkungan sekitarnya. Tidak semudah itu melakukan dikotomi dan pengkotak-kotakan pada kelompok mahasiswa. Definisi mahasiswa yang ada dan diharapkan masyarakat tampaknya tidak selalu dapat memahami kompleksitas mahasiswa pada realitanya.

Sekali lagi, perlu diingat bahwa mahasiswa juga bagian dari masyarakat Indonesia bukan suatu kelompok anomali yang berdiri sendiri. Oh ya, mahasiswa sejatinya juga manusia yang memiliki dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Selain mencoba memahami mereka sebagai kelompok, pahami juga mereka sebagai individu.

Jika ada tindakan-tindakan anarki ataupun prestasi yang mereka lakukan pandanglah perilaku tersebut sebagai perilaku kelompok mahasiswa sekaligus tindakan seorang atau beberapa individu yang memiliki nama dan identitas. Dengan demikian, persepsi mengenai mahasiswa di benak masyarakat tak hanya satu warna saja, entah merah, hitam atau putih saja. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...