Apr 8, 2012

Aung San Suu Kyi dan Paskah


Beberapa hari terakhir ini film The Lady yang menceritakan tentang potret kehidupan Aung San Suu Kyi ditayangkan di bioskop. Pada hari Sabtu kemarin, saya menontonnya bersama keluarga. Saya tidak tahu seberapa banyak orang Indonesia terutama teman-teman seusia saya yang familiar dengan Aung San Suu Kyi. Kisah hidupnya layak menjadi bahan permenungan bagi kehidupan kita.

Sebelum menonton film ini, saya mengenalnya sebatas artikel di harian Kompas yang beberapa kali memuat berita tentang beliau dalam kilasan kawat dunia. Beliau identik dengan gerakan pro-demokrasi di Myanmar. Beliau menjadi oposisi junta militer yang saat ini berkuasa di Myanmar dan sebagai lawan politik, ia sering menjadi tahanan rumah bahkan penjara.

Ia begitu konsisten berjuang untuk hak asasi, kesetaraan dan kehidupan yang lebih beradab di Myanmar melalui jalan damai. Berbagai foto Aung San Suu Kyi yang muncul di koran selalu menunjukkan wajahnya yang tersenyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajah.

Entah kekuatan apa yang memberinya daya...

Entah apa yang terbersit dalam dirinya untuk melakukan pengorbanan sebesar itu. Meninggalkan kehidupan aman, tentram dan nyaman di Oxford, Inggris sebagai istri dari dosen, profesor dan peneliti, Michael Aris bersama dua anak laki-laki mereka.  Pada tahun 1988 ia kembali ke Rangoon, ibukota Myanmar.
Berawal dari mengunjungi ibunya yang sedang stroke, kehadirannya kembali di tanah kelahirannya menjadi tonggak pergerakan baru di negara yang diktator untuk gerakan pro-demokrasi.

Ia anak dari Jenderal Aung San yang memerdekakan Myanmar dari penjajahan Inggris. Namun ayahnya dibunuh ketika usianya baru menginjak dua tahun. Semenjak itu, ia dibesarkan oleh ibunya yang juga mengambil alih kepemimpinan partai politik.

Selepas SMA, Aung San Suu Kyi berkuliah di Oxford University, Inggris dan mendapat gelar B.A. untuk filsafat, politik dan ekonomi. Timeline hidupnya secara lengkap dapat dilihat di situs Nobel Prize ini.

Singkat cerita, menonton film ini di pekan Minggu Suci yang berpuncak pada perayaan Paskah membuat saya merasa Aung San Suu Kyi merepresentasikan  santa atau martir di zaman ini.

Kesungguhan hatinya,
Kegigihannya,
Kesabarannya,
Kerelaannya berkorban
Dan cintanya yang begitu besar pada bangsa dan tanah air.

Meski demi mewujudkan cinta dan cita-cita tentang bangsanya ia harus rela berpisah belasan tahun dari suaminya. Ia tak dapat mendampingi langsung tumbuh kembang anak-anaknya. Bahkan ia tak dapat mendampingi suaminya di akhir hayat hidupnya.

Betapa orang-orang yang dikasihinya dijauhkan darinya demi menggoyahkan misi dan niat mulianya untuk keadilan dan kedamaian di Myanmar.

Entah pergumulan hidup seperti apa yang ia rasakan pada titik-titik hidup di mana ia harus memilih antara keluarga dan negaranya. Pergumulan Yesus di Taman Getsemani yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan Aung San Suu Kyi. Getir kebingungan dan kekalutannya tergambar melalui ekspresi dan bahasa tubuh Michelle Yeoh yang sangat apik berperan sebagai Aung San Suu Kyi.

Sedih, getir dan kalut yang tak terkatakan. Sekaligus cinta yang tak terkatakan namun dibuktikan sehingga banyak orang perlahan dapat mengalami buah-buah dari perjuangan dan pengorbanannya.

Bukan perjuangan yang instan memang, perjuangan yang hasilnya baru terlihat setelah belasan tahun. Namun berawal dari kesediaan dan komitmen Aung San Suu Kyi untuk berjuang hingga kematian, seperti yang sudah dilakukan ayah dan ibunya bagi negaranya.

Ia juga menunjukkan sisi keibuan, kasih dan kelemahlembutan yang mengingatkan saya pada sosok Bunda Maria. Seorang perempuan yang berani berkata “Ya” pada rencana Allah meski ia tak tahu apa yang akan dihadapinya. Seorang perempuan yang pasrah dan berserah namun tetap berusaha memberi yang terbaik. Seorang ibu yang harus rela melihat putra yang dilahirkan dan dibesarkannya disiksa dan mati di kayu salib.

Konon, orang baru tahu rasanya menjadi ibu jika sudah menjadi ibu. Paling tidak kalimat “sakti” ini yang sering ibu saya utarakan pada saya jika saya protes akan suatu hal yang menurutnya penting untuk diusahakan.

Jika melihat bayi kecil jatuh, digigit nyamuk atau sakit saja rasanya tidak rela...bagaimana rasanya tercabik-cabik melihat anak yang dikandung dan dibesarkan harus mati di kayu salib dengan disiksan dan dihujat banyak orang?

Banyak hal masih misteri terlebih jika menyangkut cerita yang konon terjadi dua ribu tahun yang lalu.
Namun pesan-pesan perdamaian, kasih dan ketulusan hidup melalui pengorbanan dan perjuangan pada nilai-nilai luhur nampaknya masih berguna bagi kehidupan saat ini. Di era milenium ini, perjuangan ini dapat direpresentasikan oleh sosok Aung San Suu Kyi.

Tak ada manusia yang sempurna. Namun sosok Aung San Suu Kyi dapat menjadi salah satu inspirasi masa kini untuk menyadari makna kehidupan dan transendensi dalam setiap aspek kehidupan. Dunia politik yang tampaknya kotor bagi banyak orang dapat menjadi sarana bagi Suu Kyi untuk menunjukkan bakti, cinta dan pengorbanannya pada bangsa dan negara, pada kesetaraan hak asasi manusia, pada perjuangan membela martabat kehidupan.

Pada akhirnya, bukankah perjuangan terhadap kesetaraan martabat kehidupan dan kemanusiaan merupakan hal yang selalu didengungkan oleh gereja?

Maka di zaman ini jika kalimat “Mewartakan Kerajaan Allah dan kabar gembira” selalu dimaknai untuk menciptakan sebanyak-banyaknya pengikut Kristus agaknya terlalu sempit.  Berbagai metafora, perumpamaan, analogi dan ekspresi bahasa yang terdapat di dalam Kitab Suci tidak terlepas dari konteks budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum pada zaman si penulis Kitab Suci. Terlebih kitab suci yang mengalami proses penerjemahan bahasa berkali-kali tentu mengalami perbedaan atau penurunan makna akibat ekspresi bahasa dan pemaknaan.

Masih relevankah kita menggunakan dogma sebagai kaca mata untuk melihat kehidupan?
Bisakah kita membuka mata pada inspirasi keilahian (transendensi)  yang masih dan sebenarnya ada di kehidupan kita sehari-hari? Bahkan melalui sosok Aung San Suu Kyi yang notabene bukan penganut agama Nasrani.

I see God in every human being” (Mother Teresa).



Selamat Paskah!



                                     Use your freedom, to promote ours (Aung San Suu Kyi)



Di waktu yang bersamaan dengan dipublikasikannya film The Lady, Aung San Suu Kyi pada tahun ini diperbolehkan mengikuti Pemilu dan menjadi kandidat untuk bergabung dalam parlemen Myanmar. Kelanjutan sepak terjangnya di dunia politik masih akan kita saksikan dalam hari-hari yang akan datang.

Gambar dipinjam dari sini

1 comment:

dargombes said...

jadi pengeen nonton film ini...sinopsis nya keren

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...