Jan 11, 2012

Semoga

Lampu yang bersinar redup. Tembok berwarna kuning kecoklatan. Kursi sederhana berwarna coklat tua. Kafe sederhana. Aku dan kamu duduk berhadapan.

Mencoba mencairkan suasana dengan segelas minuman di tangan masing-masing. Berusaha mencari hal sederhana yang bisa diperbincangkan. Aku mulai menyalakan rokokku. Berharap bahwa rokok ini dapat menunda waktu perbincangan kita.

Menatap kedua bola matamu. Gestur santai dari tubuhmu. Melihatmu mengaduk minumanmu. Memperhatikan responmu atas pertanyaan dan kisahku. Senyum itu, senyum khas milikmu. Senyum yang terbawa hingga mimpiku.

Minuman di hadapanku sudah habis. Aku sengaja memesan lagi, berharap kebersamaan yang menyenangkan ini tidak akan pernah usai. Sambil aku terus mencari cara untuk memperpanjang waktuku bersamamu.

Terus mencari hal yang dapat diperbincangkan. Kamu nampak begitu menikmati kisahku. Tatapanmu menunjukkan bahwa kamu lebih dari sekedar mendengarkan. Kamu peduli.

Rokokku sudah habis dua batang. Nah, sekarang kamu mulai menceritakan kisahmu. Kisah masa lalumu ternyata juga penuh kepahitan, walaupun tak sepahit masa laluku. Melihatmu menyisir rambutmu dengan jari. Cantik.

Aku menenggak minumanku lagi. Sudah hampir habis. Ah, biarlah. Berapa gelas pun akan kupesan lagi, selama aku masih tetap bisa berbincang dengan wanita menakjubkan ini. Berapa bungkus rokok pun rela aku habiskan.

Binar dari mata itu. Bagaimana bisa aku tak kagum padanya? Semua cerita dan candaannya terasa begitu menyejukkan hati. Kisah apapun rasanya menjadi sangat menarik ketika diceritakan olehnya. Dia luar biasa!

Kutengok jam di tangan kiriku. Sudah malam. Sebaiknya aku mengantarkannya pulang. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya hingga sampai ke rumah. Anggukan dan senyumannya, serasa aku telah diijinkan melangkahkan kaki semakin masuk dalam kehidupannya.

Aku menyetir sambil memikirkan buket bunga di kursi belakang. Haruskah kuberikan kepadanya sekarang? Atau nanti? Apakah berlebihan jika kuberikan kepadanya di pertemuan kali ini? Kendaraanku terus melaju.

Rumahnya semakin dekat. Aku tak punya akal lagi bagaimana memperpanjang pertemuan ini. Haruskah aku mengajaknya pergi lagi? Tidak. Malam sudah terlalu larut. Ia harus pulang. Bagaimana dengan buket bunga itu?

Ia membuka pintu mobilku dan mengucapkan terima kasih. Rasanya belum ingin menyudahi pertemuan ini. Aku memintanya menunggu sebentar. Aku membuka pintu belakang mobilku dan mengambil buket bunga itu. Ah, kuletakkan lagi buket bunga itu. Tidak. Jangan malam ini.

Aku menutup pintu mobilku lagi. Aku menghampirinya dan mengucapkan terima kasih atas pertemuan hari ini. Menunggunya masuk dalam rumah. Lalu aku kembali masuk ke mobilku. Menyetir pulang, dengan pikiran penuh olehnya.

Kuperiksa ponselku, ada satu pesan masuk. Dari dirinya. Ucapan terima kasih dan pesan untuk berhati-hati saat menyetir. Aku tersenyum sekali sambil menatap layar ponselku. Aku melihat buket bunga itu dari kaca spionku. Aku tersenyum lagi.

Mendadak aku memutar balik mobilku. Aku kembali ke rumahnya. Kutelepon dia untuk keluar dan menemuiku lagi. Aku sendiri tak mengerti perubahan pikiran yang mendadak ini.

Kulihat ia keluar dari pintu ruang tamu rumahnya. Kali ini, aku berikan buket itu ke tangannya. Ia tersenyum lebar dan memelukku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku. Tertegun. Diam. Lama.

Ia melepaskan pelukannya. Aku meraih tangannya dan meraihnya dalam pelukku. Kali ini, ia yang tertegun. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu. Aku menyatakan cintaku kepadanya. Ia kembali tersenyum.

Aku juga, katanya. Tapi tidak bisa, kita tidak bisa bersama. Kamu dan aku ada di dunia yang tak akan mengijinkan kita bersama. Lebih baik tidak memulai. Sehingga tidak akan ada akhir yang menyakitkan.

Aku menatapnya. Ia benar. Terlalu tinggi dan tebal tembok penghalang di antara kami. Aku menatap matanya sekali lagi. Berjalan kembali ke mobilku dengan langkah berat.

Aku beranjak pergi dari rumahnya. Mungkin pergi juga dari hidupnya. Kuharap ia tahu, ruang di hatiku hanya terisi olehnya. Untuk saat ini. Mudah-mudahan untuk selamanya. Agar jika mungkin, kami bisa bersama. Mungkin. Suatu saat nanti. Jika keajaiban terjadi.

Aku menantikan waktu itu akan tiba. Semoga segera. Dimana warna kulit, latar belakang, dan kepercayaan tidak lagi menjadi penghalang antara cinta kita. Saat dimana kita bisa saja bergandengan dan berangkulan di tempat umum. Tanpa ada mata dan mulut usil yang mengomentari. Sama sekali.

Semoga ketika waktu itu tiba, aku dan kamu masih ada. Masih juga ada cinta itu di antara kita. Dan kita akan mencinta, hingga maut yang menjadi penghalangnya.




Inspired by a little chat with some inspiring friends

3 comments:

Djanuar said...

Dan semoga maut pun tidak menjadi penghalang seperti kisah Sang Pek dan Eng Tay. Justru maut dan kematianlah yang membuat mereka bisa bertemu dan bersatu ketika 'dunia' menolak cinta mereka...Terima kasih untuk cerpennya, nina.

Nina said...

Terima kasih juga, Mas Djanuar. Salam kenal :)

gitagita said...

suatu saat nanti, kuharap yang ada hanya cinta. tanpa jenis kelamin, kedudukan, dan kebodohan-kebodohan lainnya. keep on cycling Nina.. *peluk hangat*

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...