Jan 6, 2012

Jika Nilai adalah Sebuah Masakan


Seumpama nilai adalah hidangan masakan yang sudah jadi dan terhidang di atas meja, menurut Anda ia bisa dilambangkan dengan masakan apa? Lalu terhidang di piring dan meja seperti apa? Bagaimana diaturnya? Apakah rapi teratur atau acak-acakan?

Zaman sekarang ini food photography semakin marak. Untuk semakin menggugah selera manusia, tampilan foto makanan dibuat semenarik dan seindah mungkin menyaingi foto pre-wedding yang latah dibuat oleh para pasangan.

Foto-foto  makanan itu ditampilkan di menu makanan sebuah restoran, website, iklan atau media apapun yang tertangkap mata. Seketika itu juga tampilan yang ditangkap oleh indera penglihat membangkitkan keinginan untuk mencicipi rasa dari makanan itu. Kita tergugah untuk mencobanya secara langsung.
Tapi apakah ketika dicoba langsung, rasanya akan sama “indahnya” dengan tampilannya?

Kita semua akan punya pendapat subyektif masing-masing. Sebab ini menyangkut rasa.
Apa yang manis menurut saya, belum tentu manis menurut Anda.
Apa yang pedas menurut anda, belum tentu pedas menurut saya.

Jika nilai adalah masakan, ia adalah hasil akhir makanan yang terhidang di meja. Kemudian para juri (baca: dosen) menilai dengan kriteria pembuatan masakan dan makanan yang “baik”.
Terkadang penilaian tergantung selera juri. Terkadang penilaian tergantung urutan dan ketepatan hal-hal teknis yang sudah kita lakukan sebagai pemasak. Terkadang sedikit kekurangan namun krusial bisa mematikan, namun kekurangan untuk konteks lainnya masih termaafkan sebab kita adalah pemasak yang sedang belajar.

Memasak tentunya butuh latihan, butuh persiapan, butuh proses, butuh umpan balik dari yang sudah mahir. Butuh mempelajari secara teori apa itu yang disebut “pastry”, apa kriterianya sehingga disebut pastry. Dari teori kemudian mempraktekkan. Dari praktek melakukan evaluasi dan umpan balik. Lalu mempelajari lagi, begitu seterusnya dengan alur yang berulang.

Bosan? Sangat mungkin. Tapi konon menurut Malcolm Gladwell dalam Tipping Point  (2007) kemahiran membutuhkan waktu 10.000 jam berlatih. Sudah dibuktikan oleh The Beatles, Bill Gates dan pemain orkestra handal.

Kembali lagi ke masakan. Ketika penilaian juri belum atau tidak memuaskan kita sebagai pemasak,saatnya kita mengevaluasi diri. *meski evaluasi diri tak hanya bergantung dari penilaian luar. Menilik kembali perjalanan persiapan dan pembuatan masakan selama ini.

Jika masih belum menemukan korelasi antar usaha dan apresiasi, mungkin saatnya menerima dan memiliki kerendahan hati tentang perbedaan.

Tapi apakah lalu berhenti sampai di situ saja?

Kalau saya sih masih ingin terus memasak. Supaya suatu hari saya bisa menjadi JURU MASAK.

Gambar dipinjam dari sini

2 comments:

Djanuar said...

Kalau nilai itu sebuah masakan dan harus diletakan di piring atau meja apa, gw ingin meja itu ada bukan di piring saji dan atau diletakan di meja hidangan, tapi gw ingin nilai itu ada di piring bumbu2 dan bahan mentah, biar bisa terus diolah. Sebab, klo nilai sudah ada di piring saji dan diletakan di meja hidangan semuanya berhenti di situ saja lalu yang ada tinggal soal "gimana merasakannya". Padahal, hasil yang baik tidak melulu lahir dari proses yang baik bukan. Atau sebaliknya, hasil yang buruk tidak melulu buah dari proses yang buruk juga bukan. Terima kasih untuk curhatnya, Anas.

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

Iya, betul sekali...apalagi namanya pendidikan apapun subjeknya, menurut saya merupakan suatu perjalanan proses. Pemberhentian sejenak dan momen evaluasi merupakan saat-saat di mana untuk mengevaluasi hasil selama kurun waktu tertentu, tapi sesungguhnya bukanlah hal yang saklek. Kadang, kita, saya cenderung berhenti setelah muncul nilai hitam di atas putih. Padahal itu hanyalah penanda perjalanan saja, tapi kita sendiri yang harus terus berjalan dan berproses... Never ending learning.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...