Oct 23, 2011

Oleh-oleh dari Ubud Writers & Readers Festival


Setelah mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2011, saya mulai membuat harapan dan rencana perjalanan lainnya. Bagi saya, melalui perjalanan banyak hal baru dan menarik yang bisa saya pelajari. Tempatnya, suasananya, makanannya, orang-orangnya dan terlebih perjalanan untuk lebih mengenal diri saya. Bahkan para traveler yang sudah membukukan perjalanannya meyakini “travelling is not going anywhere, it’s going inside yourself”. Banyak momen-momen mengakrabi diri sendiri, merasakan gejolak dinamika dunia batin di kedalaman diri yang terasa menyenangkan dan menghidupkan.

Ternyata, banyak perbincangan dan dialog dengan diri sendiri yang terlewatkan ketika hidup di hiruk pikuknya Jakarta. Menjadi warga komuter yang harus menempuh jarak 17 km dari kampus-rumah disertai kegiatan-kegiatan lainnya, membuat waktu tenang sungguh menjadi suatu hal yang berharga.
Di sini, di Ubud saya seperti menemukan kembali diri saya

Saya menemukan Anas kecil yang selalu senang dengan lagu, keceriaan, kegembiraan, warna dan storytelling. 

Saya menemukan diri yang mengintegrasikan ilmu Psikologi dengan penuturan para panelis mengenai hidup dan karya mereka.

Betapa sastra sangat psikologis. Betapa pengalaman dan penghayatan diri seseorang, mempengaruhi karya dan cara penulisannya. Menulis menjadi sarana aktualisasi diri sekaligus terapi untuk memaafkan dan menerima diri sendiri. Saya merasakan suasana pembelajaran dan interaksi yang menyenangkan.
Pernahkah mengalami suasana pembelajaran yang santai, kasual, apa adanya namun “berisi”?
Baru kali ini saya mengalaminya. Saya merasa begitu senang dan cocok dengan suasana pembelajaran seperti ini.

Saya menemukan diri saya yang semakin melebarkan, meluaskan dan meninggikan mimpi. Terinspirasi dari orang-orang hebat yang saya lihat dan saya temui. Salah satunya adalah Dr. Izzeldin Abuelaish dari Palestina. Ia menerbitkan buku “I Shall Not Hate”. Sampai hari ini saya belum sempat membaca bukunya. Namun penuturan cerita beliau membuat saya dua kali banjir air mata mengikuti dua sesi yang menghadirkan beliau sebagai salah satu panelisnya.

Apa yang membuat saya tersentuh? 

Sederhana sekaligus sulit.

Sederhana karena ia tetap memiliki cinta dan tak kehilangan harapan untuk perdamaian dunia, mulai dari melindungi anak-anak dan wanita. Padahal ia sejak kecil tinggal di penampungan untuk masyarakat Palestina, merasakan diskriminasi dari orang-orang Palestina. Namun ia akhirnya berhasil menjadi satu-satunya dokter Palestina yang praktek di rumah sakit Israel. Dokter kandungan untuk wanita-wanita Israel. Terakhir setelah istrinya meninggal, tiga anak perempuan dan keponakannya meninggal ketika rumah mereka terkena rudal Israel. Sebenarnya ia sudah cukup memiliki alasan untuk membenci bahkan mungkin mengakhiri hidupnya...

Tapi ia memilih untuk tetap mencintai...

Mencintai anak-anak Israel, sebagaimana ia mencintai anak-anak Palestina.

Menyadari bahwa anak-anak adalah makhluk yang paling rentan dan rapuh.

Menyadari bahwa untuk menyembuhkan dunia di masa depan, perlu dimulai dari sekarang dengan memberi 
perlindungan dan cinta pada anak-anak.

Meyakini bahwa tidak ada hal yang mustahil di dunia ini selama mau berusaha keras. Hal yang mustahil hanyalah mengharapkan istri dan anak-anaknya hidup kembali.

Mendorong dan mengajak orang-orang untuk menaruh perhatian pada pendidikan perempuan. Sebagaimana ia memulai sebuah organisasi untuk beasiswa pendidikan para perempuan di Timur Tengah.
“When you educate a woman, you educate the family and the nation”

Dan bagaimana ia mengapresiasi keluarganya
“My parents lost everything, but we didn’t loose hope and love”

Hal sederhana yang penting namun sering luput. Setidaknya oleh saya sendiri.
Bersama Dr. Izzeldin Abuelaish, setelah sesi di UWRF
                                   Buku versi Bahasa Inggris, versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan

1 comment:

yahya said...

hmm,, bagus sekali tulisannya. penuh inspirasi.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...