Aug 28, 2011

Rancangan Semesta





The Grand Design
Stephen Hawking & Leonard Mlodinow
Bantam, 2010


"The most incomprehensible thing about the universe is that it is comprehensible." -- Albert Einstein
Saya ingat buku ini terbit dengan riuh, publikasi media dan sorotan publik menyertai Grand Design diawal penerbitannya. Beberapa menyatakan keberatan, beberapa mengangguk menyetujui apa yang ditulis Hawking (dan co-author Mlodinow) di dalam buku ini. Singkat kata, buku ini mengemukakan hipotesa -- yang bisa dibuktikan suatu saat ketika teknologi manusia sudah mumpuni -- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri, tanpa bantuan tangan transendental milik entitas bernama Tuhan. Hawking menyertakan teori penguat hipotesa ini, yakni Grand Unified Field Theory, sebuah modifikasi M-Theory -- dimana M-Theory sendiri merupakan lanjutan dari string theory (dan superstring theory) yang super-njelimet itu. Setelah membaca bukunya, saya pribadi tidak menemukan kontroversi berlebih seperti yang diumbar banyak orang: buku ini ternyata tidak anti-Tuhan, tapi pro-sains dan pro-kehidupan.
"The native view of reality therefore is not compatible with modern physics." (hal.7)
Untuk sampai pada kesimpulan diatas, Hawking, di dalam buku ini, mengajak pembaca berkeliling dimensi ruang-waktu untuk menemui sosok-sosok yang menginspirasi terciptanya modifikasi M-Theory, banyak dari tokoh yang ia kemukakan dalam buku mungkin sangat asing bagi kita di luar domain ilmu fisika atau astronomi, namun Hawking dengan teliti tidak memfokuskan arah buku kepada mereka, melainkan kepada tiga ikon fisika yang dikenal dunia. Sosok paling awal yang ia kenalkan tentu saja bapak Fisika klasik, Isaac Newton (dan di akhir buku, kesimpulan akan berbalik ke temuan Newton pertama kali: gaya gravitasi), lalu pembaca juga akan menemui si jenius penemu fisika quantum, Richard Feynmann -- yang teorinya akan dijadikan landasan string theory serta M-Theory -- serta terakhir, Albert Einstein, dengan teori relativitas-nya. Tokoh keempat (dan kelima) yang sebenarnya memegang peran penting adalah James Maxwell dan Michael Faraday, masing-masing ialah penemu gaya magnet dan elektrik, yang kemudian terbukti saling bersinggungan satu sama lain dan dikenal sebagai gaya elektromagnet. Keempat gaya fundamental dalam fisika: gravitasi, elektromagnet dan nuklir (kuat-lemah) menjadi 'bahan baku' utama dalam buku. Perlu diingat, buku ini mempersepsikan pembaca sebagai 'penganut' fisika kuantum, yang berarti percaya dan paham bahwa realita kita hanyalah satu diantara realita lain yang tidak berbatas jumlahnya, dan 'secara kebetulan' kita berada dan memilih untuk berada di jagat ini (diterangkan dalam teori Goldilock Zone di bab 7 dalam buku). Kedua, buku ini sangat spekulatif dan imajinatif: tidak adanya observasi dan pembuktian teori dalam buku memaksa pembaca untuk berimajinasi dan membayangkan segalanya.
"...the universe doesn't have just a single existence or history, but rather every possible version of the universe exists simultaneously..." (hal.59)
Buku ini sangat epik dalam sudut pandangnya mengenai jagat raya, delapan bab dalam buku ini mengupas alam, tidak hanya dari sudut pandang kosmik yang luas, tapi juga sampai ke detil atom terkecil, bahkan partikel subatom. Ini adalah salah satu kehebatan buku ini, Hawking serasa memainkan teleskop besar yang bisa menerawang dari luar angkasa hingga sudut terkecil di alam raya tanpa melepas gambaran utama. Kelebihan lainnya adalah bagaimana Hawking mengelaborasi teori-teori yang selama ini eksis dalam fisika klasik dan kontemporer, menjadi satu kesimpulan besar -- dalam Grand Unified Field Theory -- tanpa terlihat memusingkan atau mengalienasi pembaca, dan kelengkapan referensinya juga sangat mencengangkan. Hawking menerangkan segala ini dengan bahasa awam, bahkan kadang diiringi lelucon dan ilustrasi humor. Tapi bukan berarti buku ini tanpa kekurangan. Saya pribadi menganggap buku ini, walaupun sangat jelas dan simpel dalam penjelasannya, namun tetap terlalu 'datar'. Sekalipun banyak ilustrasi menarik disana-sini dan lelucon (yang terkadang aneh) dari penulis, itu tidak cukup untuk menutupi betapa datarnya buku ini.
"...we must alter our conception of goals and of what makes a physical theory acceptable." (hal. 143)
Fisika/filsafat/astronomi/geometri, sesuai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri: memang harus selalu benar, harus mengungkapkan fakta, harus bisa dibuktikan, namun harus serius dan datar seperti diktat kuliah yang membosankan? Tidak. Dan inilah kelemahan Grand Design. Mungkin ini kembali kepada gaya penulisan. Saya mengakui penulisan Hawking dan Mlodinow sangat datar, berbeda misalnya dengan buku-buku dari spesies yang sama, seperti Carl Sagan dalam Demon-Haunted World, atau The Fabric of Cosmos karangan Brian Greene. Buku-buku ini, walaupun sama-sama menerangkan topik mengenai alam semesta dan objek di dalamnya, namun terasa lebih hidup, lebih menyenangkan, dan di akhirnya: lebih meyakinkan pembaca. Hal ini sedikit disayangkan karena salah satu penulis Grand Design, Mlodinow, adalah penulis naskah veteran, ia pernah menulis beberapa episode untuk Star Trek: The Next Generation.
"In this view, the universe appeared spontaneously, starting off in every possible way." (hal. 136)
Kelemahan kedua dari buku ini adalah Grand Design tidak menyentuh aspek teknis. Tentu saja aspek teknis fisika akan membosankan (dan tidak mungkin, karena M-theory melibatkan multiverse, jagat lain di luar realita kita dalam kalkulasinya) untuk dimasukkan ke dalam buku, namun di sisi lain, ketiadaan aspek teknis (misal, pembuktian rumus dan kalkulasi) membuat buku ini terasa tidak meyakinkan. Ini selalu menjadi pedang bermata dua bagi para penulis sains populer: di satu sisi, pembaca yang mengerti atau paling tidak kenal dengan topiknya selalu menginginkan aspek teknis untuk dibahas, namun di sisi lain, untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, aspek teknis kemudian di-filter oleh penulis, demi menjaga koherensi teks dan pesan didalamnya.
"We are the product of quantum fluctuations in the very early universe." (hal. 139)
Satu kelemahan lain yang sangat saya sayangkan adalah bahwa Hawking dan Mlodinow, walau keduanya tidak dipungkiri dua jenius besar di dunia, memilih untuk menulis pembukaan yang sangat, sangat tidak pintar. Di bab pertama, mereka menulis: 'philosophy is dead, philosophy is not keeping up with modern science.' Ini adalah sebuah sindiran tidak perlu kepada filsafat, yang notabene adalah akar dari segala ilmu pengetahuan rasional. Bagi saya pribadi, pernyataan ini sangat munafik, karena nyatanya di bab-bab selanjutnya, The Grand Design banyak memuat filsafat. Ini sangat 'mengganggu' keseluruhan pengalaman membaca saya, karena bagi saya pembukaan tadi tidak lebih dari sekedar pernyataan bodoh yang tidak perlu dalam buku setingkat The Grand Design.
"If the theory is confirmed by observation, it will be the successful conclusion of a search going back more than 3,000 years. We will have found the grand design." (hal.181)
Akhir kata, buku ini sangat cocok untuk mereka yang penasaran mengenai alam semesta dan proses penciptaan non-religius atau bagi mereka yang familiar dengan tema fisika, astronomi dan matematika. Catatan saya, bagi yang berniat membaca buku ini: selamat menantang daya imajinasi anda untuk membayangkan proses yang terjadi milyaran tahun lalu :-)


1 comment:

Ron Krumpos said...

In "The Grand Design" Stephen Hawking postulates that the M-theory may be the Holy Grail of physics...the Grand Unified Theory which Einstein had tried to formulate but never completed. It expands on quantum mechanics and string theories.

In my free ebook on comparative mysticism, "the greatest achievement in life," is a quote by Albert Einstein: “…most beautiful and profound emotion we can experience is the sensation of the mystical. It is the sower of all true science. To know that what is impenetrable to us really exists, manifesting itself as the highest wisdom and most radiant beauty – which our dull faculties can comprehend only in their primitive form – this knowledge, this feeling, is at the center of all religion.”

E=mc², Einstein's Special Theory of Relativity, is probably the best known scientific equation. I revised it to help better understand the relationship between divine Essence (Love, Grace, Spirit), matter (mass/energy: visible/dark) and consciousness (f(x) raised to its greatest power). Unlike the speed of light, which is a constant, there are no exact measurements for consciousness. In this hypothetical formula, basic consciousness may be of insects, to the second power of animals and to the third power the rational mind of humans. The fourth power is suprarational consciousness of mystics, when they intuit the divine essence in perceived matter. This was a convenient analogy, but there cannot be a divine formula.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...