ada seorang anak kecil, perempuan, usianya sekitar lima tahun.
ia selalu bersuka tiap malam natal tiba.
karna pada saat itu, ia akan mengikuti misa di gereja dengan kerlap kerlip lampu natal dan seribu lilin putih bercahaya di dekapan tangan setiap orang.
kaya dan miskin,
tua dan muda,
pendosa dan orang yang menganggap dirinya bukan pendosa..
semua memegang lilin putih yang sama..
seiring berjalannya waktu, ia tidak hanya menyukai malam natal..
ia juga menyukai lilin putih yang berderet di hadapan Bunda Maria..
baginya, lilin-lilin yang menyala itu mencerminkan sebuah harapan,
yang tiap kali padam, akan ada orang lain lagi yang menyalakannya..
kaya dan miskin,
tua dan muda,
pendosa dan orang yang menganggap dirinya bukan pendosa..
semua bisa menyalakan lilin putih yang baru untuk Bunda Maria..
suatu hari ia pergi ke Goa Maria pada malam natal..
ia ingin meletakkan lilin yang ia pegang selama misa berlangsung di hadapan Bunda Maria..
memang sih, lilinnya sudah agak retak dan nyaris patah karena ia mainkan selama misa berlangsung..
tapi ia percaya Bunda Maria akan menerima lilinnya tersebut, apapun kondisinya..
ia baru saja meletakkan lilin tersebut,
ketika ada seorang penjaga gereja datang dan menegurnya..
"lilin itu tidak boleh ada disana.. kamu tidak lihat? lilin itu cacat dan ia tidak pantas berada disana.. lilin untuk Bunda Maria harus putih bersih tanpa cacat.."
penjaga gereja tersebut mengambil lilin itu dan memadamkannya.. serta merta ia membuang lilin tersebut ke tempat sampah, lalu pergi..
anak kecil itu terdiam..
menangis tanpa suara..
"apa iya, Bunda Maria tidak mau menerima lilin yang cacat dan akan membuang lilin itu seperti yang dilakukan oleh penjaga gereja?"
anak itu kemudian melangkah lunglai tanpa pernah tahu jawaban dari pertanyaannya..
*hanya analogi, cerita ini fiktif belaka..*
No comments:
Post a Comment