Berikanlah sebuah kertas putih kosong dan alat mewarnai pada anak TK di Indonesia.
Lalu mintalah mereka untuk “Menggambar!”
Bisa dipastikan akan muncul gambar yang sejenis dari tangan-tangan mereka yang berbeda-beda itu.
Dua buah gunung dengan matahari setengah lingkaran menyembul di antaranya. Satu jalan pematang di tengah. Sementara di bagian kanan dan kiri adalah sawah bertanda centang, dengan rumah kecil di salah satu sudutnya.
Entah apa namanya kalau bukan sekolah militer, membuat keseragaman di dalam suatu karya seni menjadi begitu nyata. Mungkin guru akan mengangguk-angguk senang dan puas melihat muridnya mampu memenuhi semua ruang putih kosong di kertas dengan aneka warna. Tak peduli dengan bentuk-bentuk serupa yang ditampilkan mereka.
Mengapa pula gunung itu “harus” diwarnai dengan warna biru? Bukankah dataran yang tingginya di atas 1.500-2.00 dpl itu dipenuhi berbagai tumbuhan dan pepohonan hijau? Mengapa langit “harus” diberi warna oranye senja? Padahal di kota Jakarta yang polusi, aku lebih sering melihat langit yang kelabu.Dan banyak ke-“harus”-an lainnya atas nama seni dan kreativitas.
Namun suatu kali di taman kanak-kanak pula, Ibu guru memotong kentang menjadi berbentuk bintang, memotong belimbing yang memang sudah berbentuk bintang dan entah buah atau sayuran apalagi yang dipakainya. Aku tak ingat lagi.
Buah-buahan itu bukan untuk dimasak apalagi disantap.
Buah-buahan itu dicelupkan ke cat warna-warni...
Seperti mencocol gorengan ke dalam sambal, lalu kugoreskan warna yang menempel di buah itu pada selembar kertas putih.
Ajaib! Warna yang terbentuk menyerupai bentuk potongan si buah atau sayuran. Bentuk dan warnanya beragam. Setiap orang punya karyanya yang otentik. Ada ungkapan hati yang meluap-luap dan mampu tersalurkan melalui goresan warna dari buah-buahan yang dibentuk.
Kali lain, ibu di rumah mengajakku untuk mencelupkan tangan ke dalam tube-tube cat poster dan cat air. Aneh...awalnya aku bergidik. Sebab yang aku tahu dari pengalaman menggambar di sekolah, kita “harus” selalu menggunakan alat bantu entah kuas, pensil warna atau crayon.
“Rasakan tanganmu tercelup ke dalam warna-warna itu”, begitu katanya.
Maka aku memberanikan diri untuk menyelupkan jemari kecilku ke dalamnya. Cair dan dingin. Sensasinya menjadi semakin magis ketika memejamkan mata sambil mencelupkan jari jemari.
Lalu, ketika aku membuka mata... aku bingung dan bertanya apa yang harus kugambar. Tak ada panduan apalagi tema. Satu hal yang melegakan, ini bukan untuk dinilai.
“Goreskan sesuai dengan apa yang ada di hatimu, apa yang kamu rasa...”
“Kalau terlalu sulit, kamu bisa mulai menggoreskan warna dengan mata terpejam sehingga kamu tak perlu lagi berpikir tentang hal-hal teknis. Tapi sungguh menyediakan ruang bagi hatimu untuk berbicara melalui goresan warna-warna itu”
Muncul gambar yang seakan terlihat seperti coretan warna warni. Meliuk di sana-sini, melintang di sana sini. Tak ada perspektif apalagi kaidah menggambar. Tak ada gradasi warna seperti yang selalu muncul serupa di gambar anak-anak TK pemenang lomba menggambar.
Tapi rasanya PUAS,
SENANG,
HARU,
TERHIDUPI,
TERSEMANGATI.
Rasanya benar-benar HIDUP!
Sebab baru kali ini aku belajar, bagaimana menyalurkan perasaanku, emosiku melalui gambar.
Tidak ada salah atau benar, bagus atau jelek.
Yang ada adalah aku yang memberi ruang pada diriku sendiri untuk menjadi apa adanya aku, merasakan apa adanya aku...tanpa khawatir.
Gambar dipinjam dari sini
No comments:
Post a Comment