Negarawan? Bukan. Politikus? Apalagi. Sejarawan? Eh, bahkan
saya kurang tahu dengan detil sejarah negara ini. Hanya tahu garis besar
tentang kemerdekaan. Memalukan, memang.
Di bulan yang di mana orang banyak sedang mempersiapkan diri
untuk Natal dan pergantian tahun, saya terpikirkan mengenai hal yang biasa
dipikirkan oleh orang pada bulan Agustus. Saya terpikir tentang negara ini.
Indonesia.
Saya cinta Indonesia? Tidak juga. Saya bukan salah satu fans
sepakbola yang setia mendukung ketika Indonesia bertanding melawan negara
tetangga. Bahkan bukan peserta upacara setia ketika hari Kemerdekaan tiba.
Saya bahkan dianggap pendatang di sini. Walaupun saya lahir
dan besar di tanah air, tetap saja karena warna kulit dan penampilan fisik,
saya dianggap bukan bagian dari negara ini.
Namun saya peduli dengan Indonesia. Negara yang seringkali
dikatakan sampah oleh warganya sendiri. Negara yang dianggap sudah tidak ada
harapan lagi. Negara dengan segunung masalah, yang tidak akan mudah
diselesaikan. Negara dengan banyak lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Negara yang hanya dibanggakan oleh warganya ketika mencapai suatu prestasi.
Negara yang lebih banyak dihujat daripada dipuji. Negara yang menuai banyak
tulisan tentang rasa cinta ketika bulan Agustus tiba. Bulan lainnya? Entahlah.
Harus diakui bahwa memang banyak kekurangan yang dimiliki
oleh negara ini. Negara mana yang sempurna? Banyak keluhan dan masalah yang
bersumber dari orang-orang yang ada di negara ini, yang kemudian
digeneralisasi. Ralat. Di-overgeneralisasi.
Pemimpin di negara ini dikenal sebagai koruptor. Apakah
semuanya koruptor? Kata siapa? Mungkin banyak yang tidak percaya. Warga negara
ini dianggap konyol karena perilaku mereka. Apakah semuanya berperilaku sama?
Kata siapa?
Negara kita dan kita sebagai warganya mungkin hanya belum
siap. Belum cukup dewasa untuk diberikan kebebasan demokrasi. Belum cukup
dewasa untuk menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai negara ini. Belum
cukup dewasa untuk melihat tidak hanya dari sudut pandang pribadi.
Sebagian dari kita sudah sangat pintar dan kaya, sehingga
sombong. Merasa bahwa Indonesia tidak akan bisa berkembang ke mana-mana. Begitu
sombongnya sehingga tidak lagi peduli dengan segala urusan yang dihadapi oleh
negara. Masa bodoh, kata kita.
Sebagian lagi dari kita masih berkekurangan. Memikirkan
negara? Memikirkan makan apa nanti malam saja sudah pusing. Memikirkan dengan
cara apa lagi akan menyambung hidup esok hari. Pintar? Bagaimana caranya?
Membayar uang sekolah pun tidak mampu.
Satu kelompok berada di ekstrim kiri, dan satu kelompok
lainnya berada di ekstrim kanan. Tidak ada satu pun yang mau mengulurkan tangan
dan bergandengan. Masing-masing sibuk dengan jalannya sendiri. Kubu kiri
berjalan ke kiri, dan kubu kanan terus ke kanan. Tidak bisakah bergandengan
tangan dan berjalan sama-sama ke depan? Bagaimana Indonesia mau maju jika tidak
bersama-sama ke depan?
Bagaimana Indonesia mau maju jika warganya, yaitu kamu dan
saya, masih pesimis akan negara ini?
Teriring doa untuk negaraku,
Seorang mahasiswa dengan pengetahuan dan analisis minim yang
peduli dengan negaranya.
No comments:
Post a Comment