Nov 9, 2012
A Separation: Potret Realistik Drama Kehidupan
Film dibuka dengan adegan pasangan suami istri Nader dan Simin yang sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Dengan penonton yang mengambil sudut pandang hakim, kesaksian dari Nader dan Simin seakan sebuah prolog cantik nan elegan akan kisah yang hendak diceritakan oleh Asghar Farhadi dalam film ini. Ayah dari Nader mengidap Alzheimer dan tidak mengenali lagi putranya, sementara Simin yang mendapatkan kesempatan untuk keluar dari negeri Iran memaksa Nader dan anaknya untuk pergi dari rumah demi kehidupan yang lebih baik. Nader pun dengan tegas menolak rencana itu demi merawat ayahnya yang sakit. Pertentangan tersebut yang kemudian membawa Nader dan Simin menghadapi serentetan kejadian yang menambah rumit situasi.
Film ini menjustifikasi kecintaan saya terhadap film-film Iran yang sukses di dunia internasional. Walaupun track record tontonan film-film Iran saya hanya bisa dihitung dengan jari, namun saya menemukan suatu hal yang khas dari sinema Iran; ide dasar sederhana dan memotret interaksi antar-manusia yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lihat saja kisah Nader dan Simin ini, mungkin kisah pertengkaran suami-istri yang berujung pada perceraian telah kita saksikan ratusan kali di layar kaca maupun layar lebar, maupun sangat familiar kita temui di dunia nyata. Namun dengan naskah nyaris sempurna dari Asghar Farhadi, dengan berbagai konflik dan kejutan di sepanjang film - ditambah dengan twist yang efektif di penghujung film, membuat film ini seakan tontonan menegangkan dan sangat powerful.
Sep 13, 2012
Menikah Muda: Sebuah Argumentasi Pribadi
Melihat satu per satu perempuan muda di sekitar saya menikah. Padahal pribadinya belum matang. Ketidakmatangannya berpengaruh ketika nanti punya anak
Aug 29, 2012
Tanah Air: Cinta yang Berakar dalam Kesedihan
Aug 27, 2012
Kodrat.
Melirik ke kiri dan ke kanan..
Berhenti, mengamati kumbang..
Tersenyum memetik sekuntum mawar keemasan..
Gadis desa bertemu pemilik ladang..
Seucap tanya terlontar..
"Mengapa kamu tak pulang?"
Ia jawab, "Menunggu waktu menatap bintang.."
Gadis desa mendendang lagu..
Bermandikan cahaya..
Menatap cabang dengan ragu..
Berlari menembus semak di hadapannya..
Gadis desa menggembala domba..
Menggiring semua ke dalam kandang..
Pulang dan menatap keluar jendela..
Tersenyum menatap bintangnya yang cemerlang..
Aug 26, 2012
Senja di Pantai Manado
Ketika menyaksikan matahari senja, rasa cintaku pada Sang Transenden...begitu terasa hidup.
Megah dalam kelembutan-Nya...menyentuh, menyatu hingga ke bagian terdalam dunia batinku.
Horizon yang tak terbatas, seluas Cinta-Nya yang tiada tepi dan ujung.
Hanya meng-ada.
Memancarkan cinta...tanpa syarat.
Meng-ada sehingga aku dapat merasakan sentuhan-Nya yang melampaui keterbatasanku.
Ia tak berkata apa-apa, pun tak memintaku untuk berlari mendekati-Nya.
Hanya diam dan meng-ada.
Sebab meng-ada dengann utuh dan otentik adalah PR-ku saat ini.
Aku menyadari ia menerima dan bersabar pada proses pertumbuhkembanganku yang unik.
...
Mengapa aku sering tidak sabar dan tidak menerima diriku sendiri?
Jika cinta-Nya seumpama telur ceplok, mungkin aku baru sanggup mencicip dan mencecap pinggirannya yang kering dan kecoklatan.
Tapi ini pun proses...
Perjalanan yang akan terus bergerak, dinamis, seumur-sepanjang hidup.
Jul 25, 2012
Keluar dari Rahim Ibu Kesekian Kalinya
Jul 10, 2012
Butuh Istirahat
Apr 24, 2012
Sanubari Jakarta: Deret Cerita Kaum Minoritas
Tidak banyak film Indonesia yang secara gamblang mengangkat tema homoseksual, atau bahkan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Film-film seperti Arisan!, Arisan 2, Catatan Harian si Boy, atau Minggu Pagi di Victoria Park memang menyelipkan isu percintaan sesama jenis namun hanya sebagai tumpangan semata, atau malah sebagai bahan lelucon. Sebenarnya, isu LGBT adalah "hal yang lumrah" di tengah kota metropolitan yang bergerak cepat seperti Jakarta. Mungkin adanya pandangan tabu, ditambah dengan berbagai organisasi massa yang seakan polisi moral, membuat perasaan tidak aman untuk membuat film bertema LGBT. Namun kini, ada Lola Amaria yang berani memproduksi film omibus yang berisi 10 film pendek yang digarap oleh para sutradara muda berbakat. Ya, ke-10 film pendek ini akan mengupas habis dinamika kaum LGBT di konteks kota Jakarta, dalam film Sanubari Jakarta.
Sepuluh film pendek dengan semangat indie yang masing-masing berdurasi kurang lebih 10 menit ini dengan tajam dan to the point mengangkat dinamika dan kesulitan kaum LGBT yang hidup di Indonesia dengan paradigma ke-timur-annya. Masing-masing film pendek cukup fokus dalam membahas setiap komunitas; baik dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender. Tidak saja menempatkan isu LGBT di budaya Timur yang masih memandang tabu orientasi seksual komunitas ini, tetapi juga diletakkan dalam konteks kota Jakarta yang keras karena himpitan ekonomi, sekaligus glamour namun penuh dengan tipu daya.
Apr 21, 2012
Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen
Suatu siang ketika tubuh terasa penat karena beratnya beban di punggung, seorang teman menyapa hangat. Matahari di luar bersinar sangat terik, membuat udara panas seakan menggigit kulit. Sinar remang sebuah restoran menjadi saksi bisu pertemuan kami yang tidak disengaja, ketika akan memenuhi kebutuhan utama manusia. Perut seakan meronta, meminta makanan untuk dicerna. Namun kami masih bertegur sapa. Ketika senyum dan kata hampir habis, ia memanggil sekali lagi dan menyerahkan sebuah buku ke tangan saya.
Apr 8, 2012
Aung San Suu Kyi dan Paskah
Kesungguhan hatinya,
Meski demi mewujudkan cinta dan cita-cita tentang bangsanya ia harus rela berpisah belasan tahun dari suaminya. Ia tak dapat mendampingi langsung tumbuh kembang anak-anaknya. Bahkan ia tak dapat mendampingi suaminya di akhir hayat hidupnya.
Betapa orang-orang yang dikasihinya dijauhkan darinya demi menggoyahkan misi dan niat mulianya untuk keadilan dan kedamaian di Myanmar.
Entah pergumulan hidup seperti apa yang ia rasakan pada titik-titik hidup di mana ia harus memilih antara keluarga dan negaranya. Pergumulan Yesus di Taman Getsemani yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan Aung San Suu Kyi. Getir kebingungan dan kekalutannya tergambar melalui ekspresi dan bahasa tubuh Michelle Yeoh yang sangat apik berperan sebagai Aung San Suu Kyi.
Sedih, getir dan kalut yang tak terkatakan. Sekaligus cinta yang tak terkatakan namun dibuktikan sehingga banyak orang perlahan dapat mengalami buah-buah dari perjuangan dan pengorbanannya.
Bukan perjuangan yang instan memang, perjuangan yang hasilnya baru terlihat setelah belasan tahun. Namun berawal dari kesediaan dan komitmen Aung San Suu Kyi untuk berjuang hingga kematian, seperti yang sudah dilakukan ayah dan ibunya bagi negaranya.
Ia juga menunjukkan sisi keibuan, kasih dan kelemahlembutan yang mengingatkan saya pada sosok Bunda Maria. Seorang perempuan yang berani berkata “Ya” pada rencana Allah meski ia tak tahu apa yang akan dihadapinya. Seorang perempuan yang pasrah dan berserah namun tetap berusaha memberi yang terbaik. Seorang ibu yang harus rela melihat putra yang dilahirkan dan dibesarkannya disiksa dan mati di kayu salib.
Konon, orang baru tahu rasanya menjadi ibu jika sudah menjadi ibu. Paling tidak kalimat “sakti” ini yang sering ibu saya utarakan pada saya jika saya protes akan suatu hal yang menurutnya penting untuk diusahakan.
Jika melihat bayi kecil jatuh, digigit nyamuk atau sakit saja rasanya tidak rela...bagaimana rasanya tercabik-cabik melihat anak yang dikandung dan dibesarkan harus mati di kayu salib dengan disiksan dan dihujat banyak orang?
Banyak hal masih misteri terlebih jika menyangkut cerita yang konon terjadi dua ribu tahun yang lalu.
Tak ada manusia yang sempurna. Namun sosok Aung San Suu Kyi dapat menjadi salah satu inspirasi masa kini untuk menyadari makna kehidupan dan transendensi dalam setiap aspek kehidupan. Dunia politik yang tampaknya kotor bagi banyak orang dapat menjadi sarana bagi Suu Kyi untuk menunjukkan bakti, cinta dan pengorbanannya pada bangsa dan negara, pada kesetaraan hak asasi manusia, pada perjuangan membela martabat kehidupan.
Pada akhirnya, bukankah perjuangan terhadap kesetaraan martabat kehidupan dan kemanusiaan merupakan hal yang selalu didengungkan oleh gereja?
Maka di zaman ini jika kalimat “Mewartakan Kerajaan Allah dan kabar gembira” selalu dimaknai untuk menciptakan sebanyak-banyaknya pengikut Kristus agaknya terlalu sempit. Berbagai metafora, perumpamaan, analogi dan ekspresi bahasa yang terdapat di dalam Kitab Suci tidak terlepas dari konteks budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum pada zaman si penulis Kitab Suci. Terlebih kitab suci yang mengalami proses penerjemahan bahasa berkali-kali tentu mengalami perbedaan atau penurunan makna akibat ekspresi bahasa dan pemaknaan.
Masih relevankah kita menggunakan dogma sebagai kaca mata untuk melihat kehidupan?
“I see God in every human being” (Mother Teresa).
Selamat Paskah!
Di waktu yang bersamaan dengan dipublikasikannya film The Lady, Aung San Suu Kyi pada tahun ini diperbolehkan mengikuti Pemilu dan menjadi kandidat untuk bergabung dalam parlemen Myanmar. Kelanjutan sepak terjangnya di dunia politik masih akan kita saksikan dalam hari-hari yang akan datang.
Gambar dipinjam dari sini
Mar 31, 2012
Mahasiswa Bukanlah Suatu Entitas Homogen
Mar 9, 2012
Jangan Abaikan Bahasa Ibu
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar "Bahasa Ibu dan Keberaksaraan" yang digelar oleh Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), Unika Atma Jaya, Jakarta, Selasa (21/2). Menurut Kepala Pusat Pengembangan Kependidikan Nonformal dan Informal Regional II Semarang, Ade Kusniadi, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdinas) kita masih belum tegas menerapkan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan tahap awal.
"Dalam Undang-Undang Sikdinas kita (hanya) menganjurkan proses pembelajaran tahap awal menggunakan bahasa ibu, tapi tidak menuntut. Kita lihat akibat undang-undang kita yang tidak tegas, persoalan bahasa terabaikan."
Padahal, menurut Ade, bahasa ibu (daerah) terbukti efektif sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan pra sekolah, sekolah dasar, sekolah awal (formal), dan terlebih dalam pendidikan orang dewasa. Dalam penelitiannya, ia mengisahkan, dua kelompok anak di daerah yang mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kelompok anak yang mengunakan bahasa daerah lebih mudah menjawab atau menyebut pertanyaan bila dibandingkan dengan anak yang mengunakan bahasa Indonesia.
Agar bahasa daerah tetap terjaga eksistensinya, Ade berpesan, "Masyarakat yang homogen harus mengunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sedangkan untuk masyarakat yang heterogen bisa mengunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia)."
Selanjutnya, Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya, Prof. Bambang Kaswanti Purwo, mengungkapkan bahwa terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya bahasa ibu dalam pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. Keprihatinan seperti itulah yang melatarbelakangi UNESCO menetapkan setiap 21 Pebruari sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu (International Mother Language Day).
“Terabaikannya atau kurang dimanfaatkannya potensi bahasa ibu untuk pendidikan formal di sekolah tidak hanya merupakan persoalan di Indonesia, melainkan juga persoalan di dunia. UNESCO sungguh memprihatinkan ini. Sebab, anak yang memulai pendidikan mereka dengan bahasa ibu menapakkan langkah awal yang lebih baik, dan akan berlanjut untuk berprestasi lebih baik pula, dibandingkan dengan mereka yang ketika di sekolah menggunakan bahasa baru (yang bukan bahasa ibu). Oleh karena itu, UNESCO mulai tahun 2000 mengajak seluruh dunia memperingati Hari Internasional Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Pebruari.” Ungkapnya.
Selain itu, Prof. Bambang juga menyinggung kalau selama ini besarnya jumlah para siswa tahun-tahun pertama Sekolah Dasar (SD) yang tidak naik kelas atau putus sekolah, menurut ulasan media sering disebabkan karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, atau mahalnya buku, tetapi sebenarnya yang menjadi persoalan di tahun tersebut karena masih banyak siswa yang berjuang untuk belajar baca tulis sementara bahasa lisan dan bahan baca tulis yang tersaji menggunakan bahasa yang tidak mereka kuasai.
“Mengenai besarnya jumlah siswa tahun-tahun pertama SD yang putus sekolah atau tidak naik kelas, menurut ulasan di media cetak, antara lain, karena kondisi ekonomi, kurangnya gizi, mahalnya buku. Tetapi, justru di tahun-tahun itulah siswa SD mengalami masa perjuangan memasuki dunia baca tulis, apalagi kalau mereka tidak menguasai bahasa Indonesia secara lisan; padahal, bahan baca tulis hanya tersedia di dalam bahasa Indonesia.”
“Idealnya, belajar baca tulis pertama adalah dalam bahasa yang telah dikuasai anak secara lisan, yaitu bahasa dalam lingkungan keseharian mereka (bahasa ibu). Bisa kita bayangkan betapa akan frustrasinya mereka bila belajar baca tulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai secara llisan. Jadi, kalau sampai anak kelas 5 SD di Papua atau di Lombok masih mengalami kesulitan baca tulis dalam bahasa Indonesia bukanlah karena mereka bodoh tetapi karena tidak sesuai “pintu masuk” untuk menuntun mereka masuk ke dunia literasi.” Pungkasnya.
Mar 6, 2012
A Trip to Sawarna: Exploring The Hidden Paradise
Mar 3, 2012
Satu Menit Untuk Sebuah Kejujuran
Ada kalanya jujur tidak akan membawa saya kemana pun.
Jujur justru menarik saya ke belakang.
Tapi... bolehkan saya
untuk satu menit ini saja
jujur
kepada diri sendiri
kepada dunia
kepada dirimu?
Kutahu bahwa ini adalah
kejujuran yang tak bermakna
bagimu
bagi dunia.
Tapi setidaknya bagiku.
Satu menit saja...
membiarkan kejujuran ini
membinasakan benci
menumpahruahkan air mata
menusuk kalbu sekali lagi.
Satu menit untuk sebuah kejujuran:
Saya mencintaimu.
P.S.: ini bukan curhat! hanya terinspirasi dari AADC sewaktu Valentine's Day kemarin =)
http://eljez.blogspot.com/2012/02/satu-menit-untuk-sebuah-kejujuran.html
Feb 26, 2012
Antara Angin dan Pohon Kokoh Berulir
Mengapa melompat?
Karena dalam kebebasan gravitasi aku mencintamu yang tak dipahami oleh orang lain
Dan aku lebur tak kasat mata
Tak akan ada yang pernah tahu
Feb 19, 2012
Maret, Indonesia Kirim PRT dengan “Bungkus” Baru
"Pemerintah telah terjebak pada kenikmatan pengiriman TKI PRT ke luar negeri. Hasilnya, pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan" - Jumhur
Surat kabar Malaysia The Star (8/2/2012) yang mengutip informasi dari Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (PAPA), memberitakan bahwa aliran kedatangan maid atau pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia secara resmi akan dimulai lagi bulan maret 2012.
Keputusan pengiriman diatas merupakan usaha pengiriman resmi pertama semenjak penghapusan moratorium pengiriman PRT oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali pada Desember lalu.
Walau belum ramai yang membicarakan hal ini di Malaysia, agak-agaknya keputusan ini akan menjadi berita baik bagi para calon majikan di Malaysia dan calon pekerja asal Indonesia yang sudah saling ketergantungan.
Indonesia memang dikenal sebagai pemasok utama tenaga kerja PRT di Malaysia, selain negara Filipina dan Kamboja. Namun selama 2 tahun ini, banyak kesempatan PRT Indonesia yang telah diambil alih oleh tenaga kerja asal Kamboja akibat kekosongan PRT resmi asal Indonesia.
Menariknya, walau sempat terjadi kelangkaan PRT resmi atau legal selama dua tahun, permintaan akan tenaga kerja Indonesia di sektor ini tetaplah tinggi. Tingginya permintaan di bidang ini di sebut-sebut disebabkan oleh kesamaan budaya yang memudahkan komunikasi dan adaptasi antara majikan dan pekerja, bahkan adaptasi antara pekerja dan anak majikan.
Beda PRT Dulu dan Sekarang
Ketergantungan yang sudah ada ini tentu memaksa kedua pemerintah untuk memecahkan kebuntuan hal ini.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang di kutip Kompas (4/1/2012), Indonesia hanya akan mengirim PRT yang masuk kategori pekerja formal. Artinya pekerja-pekerja PRT yang akan datang Maret ini akan mendapat pengakuan jam kerja, ibur, gaji minimum, perlindungan sosial seperti asuransi dan jaminan keamanan.
Jika hal diatas diterapkan dan di monitor secara serius seperti yang di beritakan (biasanya awalnya aja..) maka PRT Indonesia akan semartabat dengan PRT asal Filipina yang selama ini terkenal didukung dan dilindungi secara penuh oleh pemerintah Filipina melalui Kedutaan Besarnya.
Tentu, tuntutan diatas tidaklah tanpa imbalan. Pihak Malaysia juga mengharapkan PRT Indonesia mempunyai kualitas yang tinggi.
Presiden Asosiasi Pembantu Rumah Tangga Malaysia mengakatakan bahwa PRT yang datang ke Malaysia Maret ini harus lulus dari 200 jam pelatihan di Indonesia.
Permintaan diatas adalah wajar, karena banyak kasus kekerasan terhadap PRT Indonesia disebabkan hal-hal kecil, seperti tidak pahamnya bagaimana menyalakan mesin cuci dan menyalakan lampu.
Akankah Pengiriman PRT dari Negeri Kaya Ini Akan Berhenti?
Melihat situasi yang ada, rasa-rasanya pemerintah Indoensia akan terus mengirimkan TKI PRT ke Malaysia dalam bentuk dan status apapun. Pemerintah sudah terbuai nikmatnya mengirim TKI. Dengan mengirim TKI, tenaga kerja di Indonesia terserap dan tiap bulannya perputaran uang dari negara tujuan juga sangat kencang. Ini kenapa sampai sekarang TKI masih di sebut sebagai pahlawan Devisa. Jadi susah untuk benar-benar lepas dari mengirim tenaga kerja non-professional ke luar negeri.
Menurut kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat yang di kutip Media Indonesia (5/7/2011), sebelum dihentikan, pemerintah mengirim TKI PRT sebanyak 400 ribu per bulan. Sekarang, setelah memoratorium dihapus ada raturan ribu yang sudah menunggu untuk kembali ke Malaysia, seperti yang di kutip Jakarta Post (16/1/2012).
Memberdayakan TKI PRT
Ratusan ribu orang yang sudah menunggu untuk menjadi TKI PRT menunjukan dengan jelas kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja, kegagalan pemerintah memberdayakan manusia Indonesia dan kegagalan pemerintah memberdayakan TKI yang sudah kembali ke tanah air.
Mengirim TKI PRT seharusnya bukan menjadi sebuah hal yang abadi!
Diharapkan peta jalan (road map) pekerja domestik 2017 yang di garap kementrian tenaga kerja dan transmigrasi untuk menghentikan secara total pengiriman TKI PRT mengcakup bagaimana memberdayakan TKI PRT baik yang masih bertugas di luar negeri dan yang sudah kembali tanah air.
Menurut hasil pengamatan penulis terhadap sejumlah TKI yang sedang bertugas di Malaysia, banyak dari mereka mempunyai semangat, impian dan niat belajar yang tinggi. Banyak juga yang berkeinginan membangun Indonesia dengan kemampuan mereka.
Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi diharapkan bekerja sama dengan kementrian-kementerian lain (seperti kementrian pendidikan, keuangan, koperasi dan UKM, pembangunan daerah tertinggal, dll ) untuk memberdayakan para manusia indonesia ini.
Salah satu bentuknya adalah program pelatihan wira usaha, pentingnya menabung dan lain-lain yang serupa. Hal ini penting untuk mempersiapkan para pekerja ini dari sekarang, di negara kerja mereka, untuk siap bertahan hidup dan menjadi mandiri di Tanah Air. Dengan menjadi pengusaha, lapangan kerja diharapkan akan tumbuh dan dapat menyerap pengganguran yang ada.
Namun semua rencana diatas akal gagal jika tidak ada political will dari pemerintah pusat. Contohnya, adanya minat membuat usaha, tanpa dukungan stimulus bank dan daya beli masyarakat, sama saja bohong. Apakah pemerintah benar-benar ingin memberdayakan manusia Indonesia?
Apa lah jadinya nanti, yuk mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang!
Salam,
Felix Kusmanto
Tulisan ini juga di publikasikan di blog pribadi saya http://felixkusmanto.com/