Di dukuh (desa) Paruk tahun 1960-an, hiduplah sepasang sahabat yang tumbuh bersama; Rasus (Nyoman Oka Antara) dan Srintil (Prisia Nasution). Dalam perkembangannya, ternyata mereka saling menyimpan perasaan terhadap satu sama lain. Tetapi percintaan mereka terhalang oleh kemampuan Srintil menari. Warga desa pun percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng (penari desa), dimana tidak semua orang bisa menjadi ronggeng. Dukuh Paruk yang terus menerus gagal panen memang sedang membutuhkan seorang ronggeng untuk memberi warna dan semangat bagi warga desa yang mulai putus asa. Namun untuk menjadi seorang ronggeng dukuh, Srintil - dan tubuhnya - akan menjadi milik warga desa. Rasus yang mengetahui tradisi tersebut tidak terima jika Srintil bagaikan "pohon kelapa yang seenaknya dipanjat berbagai orang". Dalam keputusasaan, Rasus pun meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Jaman bergerak, politik tahun 1965 pun bergejolak. Saat-saat dimana Rasus dan Srintil harus memilih untuk loyal pada aset sosial atau mengikuti perasaan masing-masing pun tiba. Sadar tidak ada jalan tengah dari dilema tersebut, mereka pun harus memilih salah satunya.
Menurut istilah yang digunakan oleh pembuat film, cerita dalam film ini "terinspirasi" dari novel trilogi karya Ahmad Tohari; Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus di Dini Hari (1984), dan Jentera Bianglala (1985). Sekarang, trilogi novel tersebut telah digabungkan menjadi satu buku dengan judul "Ronggeng Dukuh Paruk" dengan menyertakan detil-detil cerita yang telah disensor selama lebih dari 20 tahun. Ya, di masanya novel ini dikategorikan sebagai karya sastra yang kontroversial. Selain karena dibilang terlalu vulgar dan seronok, Ahmad Tohari juga berani menyinggung gejolak politik Indonesia tahun 1965. Meskipun dengan dibuatnya film ini merupakan sebuah resiko tersendiri bagi produser Shanty Harmayn, yang juga ikut menulis naskah dari film ini. Kembali ke inspirasi, trio penulis naskah yang juga menggodok Garuda di Dadaku (2009), Ifa-Shanty-Salman Aristo tidak terlalu setia pada novelnya. Garis besar cerita memang mengikuti cerita arahan Ahmad Tohari, namun trio penulis ini mengubah beberapa detil cerita. Toh perubahan ini tidak sedemikian signifikannya, selama makna dan maksud dari penulis novel masih pararel dengan pembuat film.
gambar diambil dari sini |
Judul dari film ini pun sudah jelas dalam menegaskan dimana titik gravitasi cerita akan diletakkan. Adegan awal dan akhir dalam film ini pun menjadi justifikasi tersendiri dari fokus cerita tersebut. Ya, budaya ronggeng yang kental dengan adat Jawa ini memang terbilang unik. Tarian rakyat yang telah hidup di kalangan masyarakat agraris Jawa sejak abad ke-15 ini awalnya adalah ritual pemujaan terhadap Dewi Kesuburan atau Dewi Sri. Konon, dengan diadakan pagelaran ronggeng, maka dipercaya akan melancarkan panen di musim tersebut. Ternyata ada lagi kepercayaan barangsiapa yang meniduri ronggeng, akan melancarkan pula kesuburan sang pria. Tidak heran jika para istri malah bangga jika suaminya bisa meniduri ronggeng, dengan harapan selanjutnya sang istri akan hamil jika bersetubuh dengan sang suami yang telah "menaklukkan" titisan Dewi Kesuburan. Kepercayaan ini pun tergambar jelas lewat salah satu dialog dan adegan dalam film karya Ifa.
gambar diambil dari sini |
Jujur saja, apa yang muncul di kepala anda ketika melihat seorang wanita cantik menari di tengah-tengah para lelaki yang ikut menari bersamanya, menggunakan kebaya yang memperlihatkan "terlalu banyak", melakukan gerakan tarian yang terbilang erotis, sambil sesekali menggunakan selendang untuk menarik seorang lelaki untuk menari berpasangan? Dengan melihat salah satu adegan di pinggir pantai Pangandaran dalam film 3 Hari untuk Selamanya (2007) saja memberikan pikiran dalam kepala gue bahwa; wah si penari ini adalah topeng lain dari prostitusi. Prostitusi yang disamarkan dalam adat istiadat dan harus dilestarikan demi keberlangsungan kehidupan warga yang damai dan sejahtera. Segala macam pikiran dan perasaan moral yang muncul dari hati nurani sang ronggeng pun digilas dan dileburkan dengan loyalitas untuk kepentingan umum; warga Dukuh Paruk.
Berpakaian sensual, menari erotis, menggoda para lelaki, kemudian berakhir di kasur, demi "kepentingan bersama". Sounds like Moulin Rouge to me. Sebuah tradisi yang "manusia sekali" yang bisa ditemukan dimana saja? Hm.
Kembali ke film, Ifa tampak sukses memotret berbagai lapisan dilema ini akan kesenian ronggeng yang ada di Indonesia. Tidak hanya dilema terhadap perilaku moral vs kepentingan bersama, tetapi juga citra diri kesenian ronggeng yang sempat diasosiasikan dengan ekspresi gerakan "kiri". Salah satu cara "Partai Rakyat" untuk mendapatkan pendukung adalah dengan mendekati masyarakat agraris yang buta huruf dan tidak berpendidikan. Dengan segudang alasan kepentingan rakyat dan memanfaatkan kemiskinan warga, "Partai Rakyat" ini pun dengan mudah memerahkan suatu daerah - bahkan menyusupkan indoktrinasi ideologi lewat orasi dalam pertunjukkan ronggeng. Saking mulusnya pendekatan ini, penonton pun dibuat tidak menduga bahwa kehadiran seorang karakter di awal film ternyata adalah salah satu kader dari partai tersebut. Sayangnya, gejolak politik 1965 di Indonesia yang berimbas pada keberadaan "Partai Rakyat", berimbas pula pada masyarakat desa yang tidak bisa baca-tulis dan hanya dijanjikan kesejahteraan. Korban tidak bersalah pun berjatuhan, kesenian ronggeng pun dicap "kiri".
Potret itu berhasil divisualisasikan dengan baik lewat arahan Ifa. Tangan ajaib Yadi Sugandi sebagai sinematografer memang magis, gambar-gambar yang ada di layar serasa membuat penonton berada di dukuh Paruk, tentunya dengan gaya artistik. Arahan kamera Yadi Sugandi benar-benar menghidupkan atmosfer desa miskin Dukuh Paruk yang kering, namun hangat secara kultural. Setiap set yang ada pun serasa mengingatkan penonton bahwa dulu inilah wajah Indonesia yang terpinggirkan. Kegiatan keseharian masyarakat desa, seperti pembuatan tempe bongkrek, yang diselipkan dalam film ini sukses mengingatkan penonton lokal akan keragaman bangsa yang dimilikinya. Scoring yang mengangkat irama tradisional Jawa pun menambah unsur mistis dan tradisional, sayang penggunaan scoring tersebut tidak konsisten sampai akhir film. Pengangkatan cerita dari novel ke dalam adegan pun cukup mudah untuk diikuti, walaupun setiap adegan tampak berdiri sendiri. Para penulis naskah begitu ingin memasukkan setiap detil penting yang ada, tapi konsekuensinya adalah tontonan film 110 menit ini seperti layaknya rangkaian film pendek yang disambungkan satu sama lain. Penonton memang harus memiliki tingkat konsentrasi yang cukup untuk melihat konektivitas antar-adegan agar dapat memahami jalan cerita. Namun sayang seribu sayang, keputusan Ifa dkk untuk memasukkan adegan ending tersebut sangat dipertanyakan, dimana adegan tersebut malah membuat jalan cerita dan konektivitas dengan adegan sebelumnya menjadi absurd. Tetapi shot terakhir dalam film ini mengobati kekecewaan tersebut, dengan aura magisnya yang membuat penonton secara tak sadar merenungi makna dari film ini.
gambar diambil dari sini |
Secara keseluruhan, film ini jelas menjadi tontonan yang sangat berbeda, unik, dan berkualitas tinggi sebagai film lokal. Ada banyak sekali buah pikiran yang bisa direnungkan, dan didiskusikan, setelah keluar dari studio usai menonton film ini. Sayangnya, lagi-lagi pemutaran film ini dianak-tirikan dengan hanya diputar di bioskop-bioskop "kelas B". Yang membuat sakit hati, kualitas film ini disejajarkan dengan film karya mafia India dengan diputarnya trailer film Arwah Kuntilanak Duyung Hamil di Luar Nikah di Kuburan Sebelah sebelum film dimulai. Tapi semoga kepercayaan penonton terhadap kualitas film lokal belum hilang dengan masih adanya film-film lokal yang berkualitas dan layak tonton.
Indonesia | 2011 | Drama | 111 min. | Aspect Ratio 1.85 : 1
Pemenang Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ifa Isfansyah), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Prisia Nasution), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Dewi Irawan), Festival Film Indonesia, 2011.
Dinominasikan untuk Penulis Skenario Terbaik (Salman Aristo, Ifa Isfansyah, dan Shanty Harmayn), Pengarah Sinematografi Terbaik (Yadi Sugandi), Pengarah Artistik Terbaik (Eros Eflin), Penyunting Gambar Terbaik (Cesa David Luckmansyah), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Hendro Djarot), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Dewi Irawan), Pemeran Utama Pria Terbaik (Oka Antara), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Prisia Nasution), Festival Film Indonesia, 2011.
Interpretasi terhadap kesenian ronggeng dalam resensi ini ditulis berdasarkan sumber-sumber terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ronggeng
http://liamustafa.multiply.com/journal/item/58
http://nurrahmanarif.wordpress.com/2011/04/11/trilogi-ronggeng-dukuh-paruk/
http://margeraye.blogdetik.com/2011/10/10/book-review-ronggeng-dukuh-paruk/ http://berita.liputan6.com/read/291975/Ronggeng.sebuah.Tari.Pergaulan
2 comments:
Saya agak ngeri mau nonton filmnya, takut semua imajinasi saya tentang tiga novel yang pernah saya baca (dan sangat berkesan) rusak karena menonton filmnya.
Sial banget ya film ini hanya masuk bioskop kelas dua, yang kebetulan cukup sulit dijangkau semua.
-_-"
Post a Comment