Sampai hari ini, masih banyak pihak yang mempertanyakan
loyalitas kelompok Indonesia Tionghoa pada negara ini. Pada banyak kesempatan,
mereka disamakan dengan orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai negara.
Diumpamakan sebagai tikus di lumbung padi yang akan menjadi orang pertama yang
melarikan diri jika terjadi kebakaran di lumbung padi. Pada perumpaan yang sama
pula, mereka dianggap sebagai orang yang hanya mengeruk keuntungan dan kekayaan
dari negara yang mereka tinggali tanpa merasa perlu berkontribusi bagi
pembangunan negara ini.
Entah anggapan ini benar atau tidak, namun banyak orang
sampai hari ini masih salah kaprah. Etnis Tionghoa di Indonesia dianggap
sebagai satu entitas yang homogen (Tan, 2008). Padahal etnis Tionghoa di Indonesia
sangat heterogen dalam hal sosiokultural dan geografisnya, termasuk keberagaman
dalam menghayati ke-Indonesiaan. Di satu kontinuum terdapat orang-orang
keturunan Tionghoa yang sudah sangat melebur ke dalam budaya Indonesia. Mereka
bahkan menjadi pakar dari kebudayaan Indonesia, seperti Melani Budianta, guru
besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Prof. Tjan Tjoe Siem ahli
Javanologi yang menikah dengan perempuan Jawa, Junus Jahja ekonom dari
Rotterdam yang menikah dengan perempuan Sunda, Go Tik Swan yang ahli batik,
Masagung pemilik Toko Buku Gunung Agung, (Alm). Prof. Hembing yang ahli
obat-obatan herbal dan masih banyak lagi.
Sementara di kontinuum lain, ada orang-orang keturunan
Tionghoa yang masih teguh memegang kulturnya. Mereka dulu mengenyam pendidikan
Cina dan masih fasih menggunakan bahasa Mandarin. Saat ini banyak di antara
mereka yang menjadi pengusaha besar, seperti Sudono Salim pemilik Salim Group
dan Mochtar Riyadi. Generasi penerus mereka kebanyakan bersekolah di luar
negeri untuk kemudian kembali ke nagara ini meneruskan bisnis keluarga mereka.
Menurut Mely G. Tan (2008) sebagian besar orang berada di
tengah-tengah antara dua kontinum ini. Kondisi ini mungkin yang menyebabkan
munculnya kebingungan pada generasi muda Tionghoa Indonesia. Mereka menyadari
diri mereka tidak sama dengan kaum Cina daratan yang tinggal di negara Cina.
Tapi mereka juga menyadari bahwa diri mereka sampai saat ini belum sepenuhnya
diterima oleh masyarakat Indonesia.
Kebingungan para generasi muda mungkin juga diperparah
dengan ajaran di dalam keluarga yang menanamkan bahwa mereka (Tionghoa
Indonesia) berbeda dari orang Indonesia lainnya, terutama pribumi (Komunikasi
pribadi, 20 November 2011). Ajaran di dalam keluarga yang seperti ini tak
terlepas dari pengalaman para orang tua menghadapi kehidupan yang diskriminasif
akibat kebijakan pemerintah Orde Baru.
Walaupun kemudian sejak tahun 2002 Gusdur mencabut SK pelarangan
perayaan kebudayaan Cina suasana hidup bermasyarakat jauh lebih demokratis dan
terbuka. Tapi tetap saja friksi dan kesensitifan mengenai hal ini masih terasa.
Mungkin ini adalah sisa peninggalan “kebudayaan” Orde Baru yang secara
sublimatif terpatri di alam bawah sadar masyarakat. Pada kondisi authomatic response atau dalam kondisi
tertekan, isu ini masih muncul kuat di masyarakat.
Maka, muncul generasi muda Tionghoa Indonesia yang gamang
di mana mereka seharusnya meletakkan kaki untuk berpijak. Beranikah
mereka berpijak apa adanya pada tanah Indonesia ini atau merasa perlu memiliki
kapital sebanyak mungkin agar menjadi orang yang diperhitungkan di negara ini?
Jawabannya tentu bergantung pada pemaknaan diri mereka masing-masing sesuai
dengan pengalaman hidup dan internalisasi yang mereka lakukan.
Selain dipengaruhi oleh pengalaman hidup, pemaknaan diri
juga dipengaruhi oleh ingatan kolektif dan informasi yang tersedia mengenai
sejarah kehadiran Tionghoa Indonesia. Sayangnya, penulisan sejarah mengenai
kontribusi Tionghoa Indonesia seringkali diabaikan (“Call to”, 24 Januari
2011). Padahal mereka sudah ikut berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia
sejak masa penjajahan Belanda.
Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang
(Oey Phan Ciang) memimpin pasukan koalisi antara penduduk Jawa dan Tionghoa
menentang VOC. Perang ini dinamakan Perang Sepanjang. Kapiten Nie Hoe Kong merupakan
salah satu orang yang mempelopori pemberontakan rakyat Tionghoa terhadap VOC di
Batavia. Rumah
tempat Sumpah Pemuda dilaksanakan pun milik orang Tionghoa bernama Sie Kok
Liong. Pada Kongres Sumpah Pemuda ini ada 700 orang hadir. Namun, hanya 85 yang
berani tanda tangan, lima di antaranya adalah pemuda Tionghoa. Saat
mempertahankan kemerdekaan ada satu nama yaitu Laksamana Muda John Lie yang
belum lama diangkat sebagai pahlawan nasional
Kontribusi Indonesia Tionghoa pun
terus berlanjut pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Di Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat
4 orang Tionghoa yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong
Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang
Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status
sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia
Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh
Koran Sin Po (Intisari Online, 21 Januari 2012).
Identitas Terbentuk
Melalui Interaksi
Di masa reformasi ini,pertanyaan mengenai identitas menjadi
relevan kembali. Bukan hanya bagi Indonesia Tionghoa saja tapi bagi seluruh
putra dan putri Bangsa Indonesia. Pada generasi muda Indonesia yang hidup di
zaman kebebasan informasi dan globalisasi, rasa ke-Indonesiaan bukanlah suatu
hal yang dapat diperoleh secara otomatis. Diperlukan usaha terus menerus untuk
merefleksikan dan memaknai apa arti menjadi Indonesia bagi diri sendiri dan
orang-orang di sekitar. Diperlukan kesadaran bahwa identitas juga terbentuk
melalui interaksi dengan orang lain, dengan kelompok lain, dengan masyarakat
kolektif dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun kehidupan.
Maka jika tokoh Psikologi Erik Erikson mengatakan bahwa pencarian identitas
hanya terjadi di masa remaja (Identity VS Identity Confusion), sesungguhnya
pertanyaan mengenai identitas pada orang-orang Tionghoa di Indonesia terjadi
setiap hari di seluruh rentang hidupnya.
Cara mereka mengisi hidup dan mengkontribusikan diri di
dalam kehidupan Indonesia mungkin salah satu cara menjawab sekaligus mencari
identitas ke-Indonesiaan mereka. Sekalipun mereka belum sampai pada kesadaran
ini, mungkin hidup di Indonesia hanyalah sekedar fase hidup yang harus dilalui
saja. Seperti orang yang meminum air agar tak mengalami kehausan, namun tak
sempat memaknai rasa dan hakikat air itu sendiri.
3 comments:
salam satu budaya jeng.. dahsyat tulisane
Orang Cina di Indonesia ingin menghapus konotasi negartif dari perilaku para orang Cina di Indonesia yang sering melakukan perendahan martabat kepada para orang Pribumi Indonesia sejak zaman Belanda. Para Orang Cina di Indonesia merasa mereka golongan menengah yaitu diatas dari sebutan Inlander kepada bangsa Pribumi Indonesia selama itu dan bangsa Belanda saat itu sebagai bangsa tertinggi kastanya.
Lucu yaaa, tidak keberatan jika dipanggil Chayna or Chineese, padahak sama saja. Orang Cina di Indonesia merasa dengan kemampuan mereka mendominasi ekonomi Indonesia, sudah saatnya mendikte bangsa pribumi Indonesia agar pribumi Indonesia tidak lagi menyebut Cina akan tetapi menyebut mereka dengan Tionghoa.
Seperti saat sekarang ini setiap perayaan hari besar Cina, mereka menjadikan momentum mengekspose secara besar-besaran budaya Cina di Indonesia sehingga berkesan Cinanisasi Indonesia. Hal ini terjadi diseluruh perkotaan besar maupun kecil di seluruh Indonesia serta diekpose juga secara besar-besaran.
Seharusnya para orang Cina di Indonesia larut lah secara akrab bersama pribumi Indonesia lalu mengadopsi budaya daerah setempat dimana dia berada. Janganlah membesar-besarkan budaya sendiri yang itu merupakan budaya asing yang dapaksakan menjadi bagian budaya di Indonesia. Pakailah pakaian Batak jika berada mukim di Batak juga bahasa Batak, pakailah budaya Jawa dan bahasa Jawa bila mukim di Jawa, pakailah budaya Sunda dan bahasa Sunda jika bermukim di tanah Sunda, pakailah budaya Makassar/Bugis jika mukim di Bugis dan seterusnya serta orang Cina menghidupkan budaya setempat pada keluarga mereka masing-masing sebagai bukti nyata larut kedalam budaya etnis bangsa Indonesia.
Seandainya Bangsa Indonesia yang berada di Negara daerah Cina, lalu mengadakan secara besar-besaran salah satu dalam budatya Indonesia yaitu seperti budaya Padang, Budaya Sunda, Budaya Jawa, Budaya Bugis, Budaya Batak tentu akan menjadi masalah besar dan tidak akan mendapatkan izin dan akan terjadi penolakan yang sangat kuat.
Bandingkan seperti terjadi kepada etnis Cina di Indonesia, kalau begitu, masyarakat dan pemerintah kita sangat lemah dan banyak yang tidak mengerti tentang “DOMINASI BUDAYA ASING DI INDONESIA”
Tionghoa berasal dari kata “Zhong Hua” (baca: Chung Hua) atau yang berarti “Segala sesuatu mengenai Dataran (Negara) Pusat”. Tiongkok dipakai untuk menyebut seluruh wilayah nasional Cina.
ARTINYA ADALAH, DENGAN MENGATAKAN ORANG CINA DENGAN “TIONGHOA” SENYATANYA ADALAH BANGSA INDONESIA MENGAKUI BAHWA WILAYAH INDONESIA ADALAH BAGIAN DARI DATARAN CINA (TIONGKOK).
Inilah yang sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia kedepan bila kita semua anak bangsa Indonesia mengatakan mereka itu Tionghoa.
Maka sekarang ganti kembali TIONGHOA dengan kata CINA …..CINA…….CINA…..CINA…..CINA…..CINA.
Wah, sdri Wanda ini gemar sekali berbicara tapi enggan banyak membaca atau belajar ya? Banyak sekali kesalahan fakta yang substansial.
Mba Wanda mengatakan bagaimana warga keturunan Cina (Tiong Hoa) merasa dirinya lebih tinggi dari pribumi sejak zaman kolonial. Nah, coba deh mba baca buku "Tionghoa dalam Pusaran Politik". Kalau sudah, mari kita berdiskusi lebih lanjut.
Wanda juga secara lugu menjelaskan bahwa mereka harus larut dalam kebudayaan lokal. Maaf, Wanda pernah mendengar semboyan Bhinneka Tunggal Ika nggak? Tahu akulturasi? Ayo baca! Kalau sudah, mari kita berdiskusi lebih lanjut.
Lalu mengenai perayaan budaya asing di negara lain, argumen yang mba ajukan terlihat membodohi diri mba sendiri. Kalau memang belum pernah keluar negeri, Wanda boleh loh baca surat kabar, televisi, atau media lain apa pun deh.
Di negara-negara lain yang memiliki hubungan diplomasi dengan Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus (ini hari Kemerdekaan ya, kalau-kalau mba Wanda juga tidak tahu), KBRI mengadakan upacara yang dilanjutkan dengan perayaan kebudayaan Indonesia. Lalu, dimananya yang tidak dapat izin, menimbulkan masalah besar, atau penolakan kuat seperti yang mba khawatirkan?
Terakhir, mengenai asal kata Tiong Hoa. Wah, jujur saya sudah tidak sanggup berkomentar lagi. Logika yang Wanda utarakan sungguh absurd dan sulit diikuti oleh nalar manusia waras mana pun. Ketika pelajar Indonesia di Malaysia menyatakan diri bahwa mereka adalah orang Indonesia, apakah lantas artinya Malaysia adalah bagian dari daratan Indonesia? Tentu tidak, bukan? =)
Untuk sejarah asal usul kata Tionghoa, Wanda bisa baca di:
http://www.indonesiamedia.com/2010/01/18/cina-atau-tionghoa/
Sekian saja dari saya. Rajin-rajin membaca ya mba Wanda! Kita ini hanya sebagian kecil dari bangsa Indonesia yang beruntung bisa menikmati akses internet, sayang sekali kalau tidak digunakan untuk belajar dan membaca.
Post a Comment