Jan 4, 2012

Jembatan yang Koyak: Ketidaksinambungan Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja



Sejak September 2010, Kemendiknas melakukan suatu penelitian untuk melihat keterpaduan pendidikan tinggi dan dunia usaha. Terungkap adanya ketidakpaduan antara dunia usaha dan pendidikan (“Pendidikan Tak”, 2011).  Melihat hal ini sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Kita banyak mendengar sulitnya lulusan perguruan tinggi mencari kerja. "Setiap tahun ribuan lulusan perguruan tinggi hanya menambah panjang barisan penganggur intelektual”, demikian pendapat rektor Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, NTT, Pater Yulius Yasinto SVD (“Perguruan Tinggi”, 2009). Menurut versi pemerintah pada artikel “Pendidikan Tak Padu dengan Dunia Kerja” (2011), ada sembilan juta penganggur terbuka,  empat belas persen di antaranya adalah alumni pendidikan setara diploma dan tujuh belas persen setara sarjana.

Sudah saatnya dunia pendidikan berkaca dan berefleksi apa yang sudah dibekalkan bagi para peserta didik.  Apakah kurikulum dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia-selain mampu membuat siswa-siswinya jago hafalan- mampu memiliki kompetensi yang berguna di dunia kerja.  Sebenarnya, antara dunia pendidikan dan dunia kerja  terdapat hubungan berkesinambungan suatu proses. Dunia pendidikan sebagai hulu dan dunia kerja sebagai hilir. Proses ini seharusnya berjalan seiring sehingga apa yang diajarkan di dunia pendidikan berguna di dunia kerja.  Sebaliknya dunia kerja pun bisa memberikan kontribusi dan umpan balik pada dunia pendidikan. Sekarang ini situasinya para peserta didik di dunia pendidikan mengeluhkan kurikulum dan tuntutan ketuntasan belajar yang berat. Guru dan tenaga pengajar  juga merasa kesulitan memenuhi tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan dalam kurun waktu terbatas disertai tugas administratif dari suku dinas pendidikan yang harus mereka selesaikan pada saat bersamaan pula. Informasi ini saya peroleh dari interaksi dengan para guru dalam Pelatihan Yayasan Putera Bahagia (YPB) pada kurun waktu September-November 2011.

Sementara dari sisi dunia kerja mereka juga menyatakan protes dan keheranan serta rasa penasaran dan bertanya-tanya mengenai apa yang sudah dibekalkan dunia pendidikan pada para lulusannya. Sebab mereka menjumpai orang-orang lulusan dunia pendidikan bukanlah orang yang siap bekerja melainkan siap dilatih (“Dunia Pendidikan”, 2011). Akhirnya banyak hal yang sudah dipelajari di dunia pendidikan menjadi mubazir karena tidak terpakai di dunia kerja. Sementara pihak dunia kerja masih harus mengeluarkan waktu, biaya dan tenaga untuk melatih lulusan dunia pendidikan agar mampu bekerja sesuai dengan tuntutan. Belum lagi ketika berbicara tentang ketertinggalan dunia pendidikan dalam mengejar perkembangan dunia kerja yang sangat pesat dalam dekade terakhir ini. Bisa jadi materi pendidikan yang diajarkan sudah tidak lagi relevan dan kontekstual.

                Maka hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja di Indonesia tak ubahnya jembatan yang koyak. Dibilang benar-benar putus juga tidak, tapi tersambung dengan baik pun juga tidak. Berbagai pihak pembuat kebijakan dan pelaksana sampai saat ini lebih sering saling tuding untuk mencari siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap realita ini. Kondisi ini mungkin sama seperti tak ada satu pun pihak yang merasa bertanggung jawab bahkan saling menyalahkan ketika jembatan Kutai Kartanegara runtuh. Para eksekutor di dunia pendidikan dan dunia kerja seumpama kerbau yang dicucuk hidung karena harus tetap menjalankan sistem yang tidak jelas. Korban paling “tersiksa” dan dirugikan adalah para peserta didik yang menjadi objek penderita. Harus menerima nasib ketika kurikulum bergonta-ganti tergantung siapa yang memegang jabatan Menteri Pendidikan. Sekaligus dituntut untuk mampu mentuntaskan kompetensi kurikulum yang berat ini. Tapi pada akhirnya, segala perjuangan untuk memenuhi tuntutan dunia pendidikan pun tidak bisa menjamin para peserta didik dapat menjadi penyintas di dunia kerja. Seperti meniti jembatan yang koyak, orang-orang ini tetap berusaha untuk berjalan, bertahan, bahkan bergelantung di jembatan ini demi mampu menyebrangkan diri dari dunia pendidikan ke dunia kerja. 

2 comments:

Okki Sutanto said...

Kalo dari outlinenya:
-> Data ketidakpaduan pendidikan & industri
--> Situasi ideal versus kenyataan di lapangan
---> Lulusan PT yang tidak siap kerja
----> Kesimpulan (?)

Udah cukup beralur, logis, dan ilmiah kok Nas. Referensinya ada dan kredibel, meski ada beberapa kalimat yang masih terlalu "indah". hehe.

Saran aja, sebelum nulis dibuat outlinenya dulu deh, jadi jelas per paragraf pokok pikirannya apa. Kalau di tulisan ini, masih gampang ditemukan satu paragraf yang kurang jelas pokok pikirannya apa. Contohnya paragraf terakhir, sebagai kesimpulan itu masih terlalu kemana-mana loh. Ada analogi, ada penyebab, ada contoh kasus, ada dampak jangka panjang, dll. Kalau bisa fokus bisa lebih baik.

Kalau ini jadi tulisan argumentatif, maka ada satu kekurangan penting Nas: ajakannya apa? Lu mau mengajak pembaca untuk yakin dan berbuat apa? =)

Kalau sempat nih ada beberapa literatur yang bisa dibaca:
1. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Penalaran-dalam-Karya-Tulis-Populer-Argumentatif-Dawud.pdf (baca aja bagian penutupnya)
2. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_c0151_0605508_chapter2.pdf (baca aja yang lu suka)

Ayo makin sering menulis ilmiah Nas! =D

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

Waah, sip Ki. Makasih banyak untuk masukannya! Akan gw latih lagi di waktu-waktu yang akan datang. Thanks ya!

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...