Halo, namaku waktu. Terkesan familiar? Mungkin bagi sebagian
dari kalian, aku merupakan hal yang cukup sering dikeluhkan. Aku juga
seringkali jadi bahan pembicaraan. Jadi kambing hitam!
Sebagian manusia mengeluhkan ketika aku terasa berjalan
lambat. Banyak hal yang mereka tunggu di masa depan, katanya. Huh, gaya! Tahu
apa mereka sebenarnya tentang masa depan? Esok akan terjadi apa pun, mereka
tidak tahu. Bagaimana bisa mereka bilang menunggu sesuatu dalam hitungan
minggu, bulan, bahkan tahun ke depan?
Sebagian manusia lainnya mengeluhkan ketika aku terasa
berjalan sangat cepat. Waktu dua puluh empat jam dalam satu hari tidak dirasa
cukup untuk mereka. Tidak cukup banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu,
katanya.
Padahal, aku stabil-stabil saja. Konsisten. Satu menit diisi
oleh enam puluh detik. Satu jam diisi oleh enam puluh menit. Satu hari diisi
dua puluh empat jam. Konstan. Pasti. Tidak berubah.
Lalu, kenapa seringkali aku disalahkan? Seakan aku ini yang
mengatur kalian, manusia. Seakan segala kebodohan kalian dalam melakukan
kegiatan kalian menjadi salahku. Seakan segala ketidakmampuan kalian dalam
mengaturku, juga adalah kesalahanku. Haruskah aku marah karena disalahkan? Atau
aku harus tertawa atas kebodohan kalian?
Banyak yang membuangku sia-sia. Banyak yang berkata bahwa
aku tidak ada, untuk lari dari tanggungjawab mereka. Aku terima. Terima dengan
lapang dada. Lalu aku tertawa, keras sekali.
1 comment:
Yup, Para filsuf postmodernis pun seolah latah dan terkesan 'sok' sibuk, bagi mereka waktu tidak lagi berjalan, tapi justru belari. Padahal, seperti kata Nina, "Aku (waktu) stabil-stabil saja". Lantas, "Aku (waktu) harus gimana?". Mungkin, nasehat para orang tua ada benarnya,"hargailah, waktu!".
Terima kasih untuk prosanya, Nina. Salam.
Post a Comment