Mencoba mencairkan suasana dengan segelas minuman di tangan
masing-masing. Berusaha mencari hal sederhana yang bisa diperbincangkan. Aku
mulai menyalakan rokokku. Berharap bahwa rokok ini dapat menunda waktu
perbincangan kita.
Menatap kedua bola matamu. Gestur santai dari tubuhmu.
Melihatmu mengaduk minumanmu. Memperhatikan responmu atas pertanyaan dan
kisahku. Senyum itu, senyum khas milikmu. Senyum yang terbawa hingga mimpiku.
Minuman di hadapanku sudah habis. Aku sengaja memesan lagi,
berharap kebersamaan yang menyenangkan ini tidak akan pernah usai. Sambil aku
terus mencari cara untuk memperpanjang waktuku bersamamu.
Terus mencari hal yang dapat diperbincangkan. Kamu nampak
begitu menikmati kisahku. Tatapanmu menunjukkan bahwa kamu lebih dari sekedar
mendengarkan. Kamu peduli.
Rokokku sudah habis dua batang. Nah, sekarang kamu mulai
menceritakan kisahmu. Kisah masa lalumu ternyata juga penuh kepahitan, walaupun
tak sepahit masa laluku. Melihatmu menyisir rambutmu dengan jari. Cantik.
Aku menenggak minumanku lagi. Sudah hampir habis. Ah,
biarlah. Berapa gelas pun akan kupesan lagi, selama aku masih tetap bisa
berbincang dengan wanita menakjubkan ini. Berapa bungkus rokok pun rela aku
habiskan.
Binar dari mata itu. Bagaimana bisa aku tak kagum padanya?
Semua cerita dan candaannya terasa begitu menyejukkan hati. Kisah apapun
rasanya menjadi sangat menarik ketika diceritakan olehnya. Dia luar biasa!
Kutengok jam di tangan kiriku. Sudah malam. Sebaiknya aku
mengantarkannya pulang. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya hingga sampai ke
rumah. Anggukan dan senyumannya, serasa aku telah diijinkan melangkahkan kaki
semakin masuk dalam kehidupannya.
Aku menyetir sambil memikirkan buket bunga di kursi
belakang. Haruskah kuberikan kepadanya sekarang? Atau nanti? Apakah berlebihan
jika kuberikan kepadanya di pertemuan kali ini? Kendaraanku terus melaju.
Rumahnya semakin dekat. Aku tak punya akal lagi bagaimana
memperpanjang pertemuan ini. Haruskah aku mengajaknya pergi lagi? Tidak. Malam
sudah terlalu larut. Ia harus pulang. Bagaimana dengan buket bunga itu?
Ia membuka pintu mobilku dan mengucapkan terima kasih. Rasanya
belum ingin menyudahi pertemuan ini. Aku memintanya menunggu sebentar. Aku
membuka pintu belakang mobilku dan mengambil buket bunga itu. Ah, kuletakkan
lagi buket bunga itu. Tidak. Jangan malam ini.
Aku menutup pintu mobilku lagi. Aku menghampirinya dan
mengucapkan terima kasih atas pertemuan hari ini. Menunggunya masuk dalam
rumah. Lalu aku kembali masuk ke mobilku. Menyetir pulang, dengan pikiran penuh
olehnya.
Kuperiksa ponselku, ada satu pesan masuk. Dari dirinya.
Ucapan terima kasih dan pesan untuk berhati-hati saat menyetir. Aku tersenyum
sekali sambil menatap layar ponselku. Aku melihat buket bunga itu dari kaca
spionku. Aku tersenyum lagi.
Mendadak aku memutar balik mobilku. Aku kembali ke rumahnya.
Kutelepon dia untuk keluar dan menemuiku lagi. Aku sendiri tak mengerti perubahan
pikiran yang mendadak ini.
Kulihat ia keluar dari pintu ruang tamu rumahnya. Kali ini,
aku berikan buket itu ke tangannya. Ia tersenyum lebar dan memelukku. Aku tidak
bisa menggerakkan badanku. Tertegun. Diam. Lama.
Ia melepaskan pelukannya. Aku meraih tangannya dan meraihnya
dalam pelukku. Kali ini, ia yang tertegun. Aku tidak tahu apa yang ada di
pikiranku saat itu. Aku menyatakan cintaku kepadanya. Ia kembali tersenyum.
Aku juga, katanya. Tapi tidak bisa, kita tidak bisa bersama.
Kamu dan aku ada di dunia yang tak akan mengijinkan kita bersama. Lebih baik
tidak memulai. Sehingga tidak akan ada akhir yang menyakitkan.
Aku menatapnya. Ia benar. Terlalu tinggi dan tebal tembok
penghalang di antara kami. Aku menatap matanya sekali lagi. Berjalan kembali ke
mobilku dengan langkah berat.
Aku beranjak pergi dari rumahnya. Mungkin pergi juga dari
hidupnya. Kuharap ia tahu, ruang di hatiku hanya terisi olehnya. Untuk saat
ini. Mudah-mudahan untuk selamanya. Agar jika mungkin, kami bisa bersama.
Mungkin. Suatu saat nanti. Jika keajaiban terjadi.
Aku menantikan waktu itu akan tiba. Semoga segera. Dimana
warna kulit, latar belakang, dan kepercayaan tidak lagi menjadi penghalang antara cinta kita.
Saat dimana kita bisa saja bergandengan dan berangkulan di tempat umum. Tanpa
ada mata dan mulut usil yang mengomentari. Sama sekali.
Semoga ketika waktu itu tiba, aku dan kamu masih ada. Masih juga ada cinta itu di antara kita. Dan
kita akan mencinta, hingga maut yang menjadi penghalangnya.
Inspired by a little chat with some inspiring
friends
3 comments:
Dan semoga maut pun tidak menjadi penghalang seperti kisah Sang Pek dan Eng Tay. Justru maut dan kematianlah yang membuat mereka bisa bertemu dan bersatu ketika 'dunia' menolak cinta mereka...Terima kasih untuk cerpennya, nina.
Terima kasih juga, Mas Djanuar. Salam kenal :)
suatu saat nanti, kuharap yang ada hanya cinta. tanpa jenis kelamin, kedudukan, dan kebodohan-kebodohan lainnya. keep on cycling Nina.. *peluk hangat*
Post a Comment