Tertutup?
Pemalu? Menarik diri? (atau yang lebih parah) Egois? Sombong? Wah, tidak
terhitung banyaknya label yang diberikan social circle kepada saya, tapi
satu label yang paling bisa saya terima adalah introvert. Percayalah, saya
bukan alien dari planet lain, hanya introvert (walau memang ekstrem,
Introversion saya selalu di batas tertinggi kalau dites berbagai
self-report, dari Big Five, 16PF, MBTI ataupun Keirsey Temperament Sorter. Selalu
mentok. Pas. Maksimal.)
Seperti
yang diutarakan di atas, sejak kecil introversi saya dianggap agak
'aneh', saya pun diberi label macam-macam. Padahal, saya sendiri melihat
wajar-wajar saja: social skills saya tidak rusak, interaksi saya normal, tidak
agoraphobia, bukan juga antisosial yang diam-diam menyimpan dendam pada
masyarakat (lalu membunuhi mereka, seperti kasus penembakan di Columbine atau
kampus Virginia Tech, eh kok jadi serem), dan yang terpenting: PASTI bukan saya sendiri yang
memiliki preferensi untuk menyenangi kesunyian dan waktu untuk berdiam diri.
Bias kepada kami para introvert, mungkin sedikit banyak terjadi karena masalah
kultur. Kultur kita adalah kultur bicara, kultur
'makan-tidak-makan-asal-kumpul', kultur nongkrong, kultur arisan. Masyarakat
kita menjunjung tinggi kolektivitas, bukan individualitas. Dari sini kemudian
muncul bias terhadap mereka yang punya preferensi lain. Nah, kalau judulnya
saja sudah kultur, berarti tidak bisa dilawan dan sedikit banyak harus
dihormati. Saya sendiri sesekali mengalah dan meninggalkan preferensi pribadi
demi terjaganya hubungan interpersonal atas nama tradisi dan kultur: menghadiri
pesta, nongkrong bareng, ikut arisan, reunian dan segala macam social events
lain. Walau kalau disuruh memilih, saya lebih senang keep-in-touch
dengan teman/keluarga lewat cara yang lebih personal, lebih tenang dan tidak
kolosal nan epik seperti kumpul-kumpul itu.
Jadilah para introvert memang mesti dengan lapang dada mengikuti aturan-aturan sosial itu, terlebih di kultur yang tukang ngumpul ini, yang segalanya gotong royong, bahu-membahu, dan atas nama solidaritas ini. Sedikit annoying memang, tapi mau apalagi, toh by default, manusia itu makhluk sosial. Maaf kalau sedikit naif dan simplistik, tapi lagi-lagi penyesuaian diri memang penting. Banyak orang menganggap remeh yang namanya personal space dan energi interaksi, padahal ini penting. Kalau memang bisa, beri sedikit aturan pada hidup pribadi, ini lebih baik daripada mesti tiap hari berpura-pura, pasang senyum palsu, bicara basa-basi, padahal dalam hati dan kepala, "capek banget nih." Saya sering membuat kesepakatan dengan teman-teman mengenai 'jadwal-tidak-mau-diganggu' saya. Di waktu-waktu tersebut, saya tidak mau menerima telepon, email, atau bentuk komunikasi apapun. Saya rasa pembatasan saya itu masih cukup wajar (untuk konteks Indonesia, yang terlalu individual sedikit saja biasanya dibilang egois.) Tapi kalau sampai berlebihan, ekstrem menutup diri juga agak mengganggu sih, terlalu reclusive. Rasanya kok seperti berteman dengan Batman, misterius banget.
Tulisan
ini bukan justifikasi perilaku saya (lagian juga apa yang mau dijustifikasi,
jadi introvert kan bukan kriminal). Introvert-ekstrovert ini sebenarnya teori
super jadul, tapi agak lucu hingga sekarang beberapa orang masih belum mengerti
kontinuum sederhana ini (iya, bahkan mereka yang kuliah psikologi), entah memang tidak tahu, memilih untuk taken-for-granted,
atau apalah yang jelas saya tergelitik, karena jarang yang membicarakan ini
dalam konteks budaya Indonesia. Yang lebih mengagung-agungkan mereka yang ceplas-ceplos, serba terbuka dan banyak bicara, mereka ini lalu diasosiasikan dengan hal-hal positif: menyenangkan, ramah, ceria. Sedangkan kita yang lebih tenang diasosiasikan lebih 'buruk': terlalu serius, cemberut, bahkan ya itu tadi, egois atau sombong. Kalau kami para introvert bisa mengerti aturan
dan kultur yang serba ekstrovert ini, inginnya sih kami dimengerti balik.
Anggap saja tulisan ini menyuarakan suara para introvert lain yang mungkin enggan angkat bicara. Jangan khawatir, kami tidak selamanya diam: teman-teman introvert saya banyak yang luar biasa dalam public speaking dan performance kok, bahkan yang cerewet di keseharian pun ada. Dan kalaupun kami tidak bicara secara kasat mata di depan orang banyak: banyak introvert yang memilih mengkompensasi itu lewat cara lain. Menulis, komposisi lagu, melukis, atau menikmati hal individual lain-lain, yang jelas ujungnya kan bicara, dan itu tidak mesti lewat mulut.
Anggap saja tulisan ini menyuarakan suara para introvert lain yang mungkin enggan angkat bicara. Jangan khawatir, kami tidak selamanya diam: teman-teman introvert saya banyak yang luar biasa dalam public speaking dan performance kok, bahkan yang cerewet di keseharian pun ada. Dan kalaupun kami tidak bicara secara kasat mata di depan orang banyak: banyak introvert yang memilih mengkompensasi itu lewat cara lain. Menulis, komposisi lagu, melukis, atau menikmati hal individual lain-lain, yang jelas ujungnya kan bicara, dan itu tidak mesti lewat mulut.
*Introversi
itu beragam bentuknya, bahkan masih jadi perdebatan sampai sekarang. Kalau
diatas saya bicara soal personal space dan energi dalam berinteraksi, itu cuma
salah dua model introversi yang paling dikenal. Banyak buku dan artikel
berseliweran mengenai kontinuum ekstrovert-introvert. Walau saya sih belum menemukan yang menyangkutkan ini dengan konteks budaya kita.
4 comments:
I'm introvert too in certain way. Tulisan ini cukup komprehensif menurut gw, Lang. Thanks ya udah berbagi tentang dunia lu.
Sama2, nas :-)
Cuma cerita dikit tentang introvert di kultur kita yang ekspektasinya selalu ngumpul dan nongkrong. Hehehe. (sampai kadang jadi 'beban mental' sendiri kalo gue izin ke orang2 untuk gak ikut ngumpul)
ketika kita diharapkan menerina mereka yg suka ngumpul tapi mereka tak menerima kita yang suka menyendiri. disitulah masalah berat timbul di dunia kerja saya..
Post a Comment