Oleh Gita Panjaitan
“Kita
memuja upacara bendera di istana. Bangga, katanya. Haru, sebutnya. Kaum
nasionalis semu bermunculan. Segera menghilang 24 jam kedepan. Sulit bagi saya
jatuh cinta pada negara ini, tapi sangat mudah bagi saya untuk terus mencintai
tanah air. Kemanapun saya pergi, tanah air: ribuan pulau, jutaan penduduk,
beragam budaya, bahasa, kearifan lokal, akan terus memanggil saya pulang.
Dimana
lagi ada orang-orang seaneh, selugu, sebodoh, dan semenggemaskan, seperti orang-orang
di tanah air kita? Bangga akan bhineka tunggal ika, tapi terus menerus
mempertahankan stereotipe negatif, dan diskriminasi terhadap asal suku, agama,
dll? Negara kita sakit karena orang-orangnya sakit. Negara tidak akan ada, jika
tidak ada orang-orang yang mendirikannya. Tetapi tanah air, adalah sebuah tempat
dimana hati kita berada; "Home", istilah yang tidak disediakan dalam
Bahasa Indonesia.
Kadang
cinta terhadap tanah air menimbulkan kebingungan, karena tampaknya sulit
memisahkan "tanah air" dari "negara". Tapi tanah air itu
menurut saya sangat mungkin dibedakan dari negara.
Berbicara
tentang tanah air, berbicara soal keberakaran. Sebuah keyakinan bahwa saya
berasal dari tanah ini. Saya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal tanah ini.
Saya adalah bagian dari tanah ini. Berbicara soal negara itu bicara soal
sistem. Sesuatu yang dengan sengaja dibentuk manusia. Sesuatu yang berasal di
luar diri manusia. Kita bisa mengatakan bahwa kita adalah manusia
Jawa,mencintai budaya Jawa,lahir di tanah Jawa, tanpa berpikir bahwa Pulau Jawa
adalah bagian dari Indonesia.”
Semua
tulisan di atas hanyalah kumpulan “kicauan” saya hari ini yang dengan rendah
hati dikumpulkan oleh Anastasia Satriyo. Sangat tidak bisa dijadikan tulisan
ilmiah, karena tulisan tersebut tidak runut. Semua adalah fragmen-fragmen pikiran
saya hari ini, tentang kita; tentang Indonesia; tentang tanah air kita yang
tidak dapat kita lupakan; tentang negara yang begitu memuakkan-namun tetap
diam-diam bersemayam dalam istana hati yang paling megah.
Sejak
kecil saya belajar tentang tanah air, tentang tanah yang padanya kaki saya
menjejakkan langkah pertama di dunia; dan sumber air yang membasuh tubuh saya
yang lengket oleh darah ibu saat ia melahirkan. Kita tidak berasal dari negara,
kita berasal dari tanah air. Ketika dilahirkan, kita tidak lahir dan belajar
mengenai undang-undang, kita lahir dan belajar berbicara bahasa ibu. Belajar
mengenai ayah dan ibu yang berbeda cara berkomunikasinya, belajar mengenal
paman yang mungkin tinggal di Pulau Kalimantan dan setia mudik ke Pulau Jawa
untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Kita belajar tentang Pak Slamet, seorang
tetangga yang adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Kita belajar tentang Pak
Hatorangan yang berbicara dengan nada tinggi saat mengobrol dengan Pak Slamet.
Lebih dari semua itu, kita belajar tentang rumah. Tempat asal, tanah air yang
namanya Indonesia. Tempat yang sesungguhnya dulu pernah sangat kaya akan perbedaan
namun tetap bersih hati oramg-orang kecilnya.
Hari
ini, kita bisa menghitung dengan data statistik berapa jumlah orang Indonesia
yang pesimis mengenai negara ini. Tapi kita juga bisa menggali dengan wawancara
mendalam mengenai kecintaan orang-orang terhadap tanah air mereka. Tentang
ribuan pulau dan penduduknya. Tentang interaksi yang membekas di dalam hati.
Tentang keinginan untuk pulang di saat berada begitu jauh dari rumah.
Maka,
ketika saat ini konsep negara terlihat semakin mengecewakan. Ketika sistem
pemerintahan meniadakan aspek kemanusiaan, ketika melakukan sesuatu untuk
negara terasa sia-sia bahkan sejak awal perencanaan, mungkin ini saatnya kita
berpaling kepada konsep tanah air. Kepada manusia-manusia yang kaya akan aspek
budaya dan masih senang tinggal bersama. Kepada senyum ramah satu sama lain
saat berpapasan, kepada anak-anak masa depan yang saat ini belum memahami
konsep kebencian, korupsi, dendam masa lalu, dan polusi hati.
Saya
memang kesulitan untuk optimis, jika membayangkan bahwa suatu hari nanti anak
saya akan bertumbuh di negara yang penuh dengan tindakan korupsi. Saya
kesulitan untuk optimis, jika anak saya belajar membaca dari koran yang
memberitakan pemukulan terhadap etnis tertentu, penggusuran terhadap pemeluk
agama tertentu, pemerkosaan, dan larangan resmi pemerintah kepada perempuan
untuk mengenakan rok mini.
Kemudian
saya memalingkan wajah saya kepada teman-teman saya. Kepada orang-orang yang
memperjuangkan hidup bersama dengan mengusung konsep pluralisme, kepada
teman-teman saya yang berpacaran dengan etnis yang berbeda dan bersedia belajar
memahami budaya etnis pasangannya. Saya melihat secercah harapan bahwa di masa
depan masih ada kalian, masih ada orang-orang yang memberikan ruang pada
perbedaan, yang saling mengagumi atas dasar cinta. Dan saya masih bisa
membayangkan, di masa depan.. keponakan, anak, cucu, dan cicit saya masih bisa
menyanyikan lagu yang sama..
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan