Melihat satu per satu perempuan muda di sekitar saya menikah. Padahal pribadinya belum matang. Ketidakmatangannya berpengaruh ketika nanti punya anak
Melihat dan merencakan foto pre-wedding memang seru, tapi menikah lebih
besar konsekuensinya dari itu.
Habis belanja bulanan rumah tangga. Menyadari betapa banyak pengeluaran
rumah tangga yang dibiayai orang tua dan saya belum sanggup untuk meng-afford
hidup seperti ini
(@anasbubu, 2012).
Saya menulis ini dari sudut pandang pribadi saya menanggapi
fenomena dan peristiwa di lingkungan sekitar saya. Saya tidak bicara dari sudut
pandang agama. Saya berbicara dari sudut pandang psikologi, ekonomi, dan
pengalaman pribadi.
Saat ini saya hampir memasuki usia 22 tahun. Usia yang
menurut banyak orang, usia perempuan muda yang sedang ranum-ranumnya. Perempuan
muda yang potensial menikah dan memiliki anak. Tak heran jika orang bertemu dengan
perempuan seusia saya akan bertanya, “Kapan menikah?”.
Menikah adalah hak setiap orang, menikah muda pun hak setiap
orang. Namun alangkah baiknya jika hak ini dijalani atas pertimbangan yang
matang dan masak mengenai konsekuensi dari keputusan hidup yang akan diambil.
Saya belum tahu bagaimana proses pengambilan keputusan
seseorang sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Hal-hal apa saja yang
dipertimbangkannya, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkannya, hal-hal apa
yang sudah diantisipasinya. Adakah pemikiran seperti ini selalu dilakukan?
Ataukah hanya sudah merasa cocok dengan pasangan, sudah “berumur”, sudah
didesak keluarga dan sana-sini untuk menikah atau sudah terlanjur hamil?
Saya peduli pada perempuan-perempuan muda, usia remaja
(16-19 tahun) dan usia dewasa awal (20-25 tahun) yang mengambil keputusan untuk
menikah tanpa pertimbangan dan pemikiran yang matang. Tanpa pernah memiliki
kesempatan untuk mengeksplorasi potensi diri dan dunia sekitarnya. Tanpa pernah
menyadari dan mengetahui peluang apa saja yang ditawarkan dunia untuk ia
mengembangkan dan memaksimalkan dirinya.
Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang sudah
terlanjur menikah dan merasa terjebak pada rutinitas hidup yang membosankan
menurut mereka. Membuat mereka menjadi kutu loncat ketika tuntutan peran
sebagai istri dan ibu membutuhkan diri yang selalu ada kapanpun dibutuhkan.
Saya peduli pada perempuan-perempuan muda yang tidak
berpikir panjang ketika menghadirkan anak ke dunia ini. Ketika anak dipandang
sebagai komoditi dan checklist
terpenuhinya tuntutan sosial. Padahal mereka sendirinya belum sebegitu tergerak
dan terpanggilnya untuk menjadi ibu dan orang tua. Ketika mengurus anak penuh
dengan keluhan dan bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, berpikir
bahwa kehadiran ibu yang penuh dan utuh dapat digantikan oleh seorang babysitter dari desa.
Menurut saya, menikah adalah tahap kehidupan yang perlu
diambil dengan pertimbangan masak. Terlebih lagi ketika menjadi ibu. Ibu yang kepribadiannya sudah matang membuat
ia memiliki kualitas tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Kematangan
psikologis memang tidak selalu sejalan dengan usia biologis. Namun, kalau
usianya saja masih muda kemungkinan besar kematangan psikologisnya pun masih di
sekitar usia itu bahkan lebih rendah.
Saya berbicara untuk perempuan-perempuan muda seusia saya
yang hidup di zaman ini. Sebab menikah mudah untuk generasi-generasi yang lalu
tidak sekrusial saat ini.
Hamil, melahirkan, menyusui, merawat dan mengasuh anak
bukanlah kondisi yang selalu nyaman. Seringkali dihinggapi rasa tidak nyaman,
sakit, tidak enak, pengorbanan fisik seperti kekurangan waktu tidur, sampai
pengorbanan mental di mana harus mengutamakan kebutuhan bayi kecil di atas
kepentingan diri sendiri.
Sudahkah mampu menjalani proses menjadi ibu seperti ini
dengan kerelaan hati? Menyadari bahwa seluruh ketidaknyamanan dan kesakitan ini
dilalui atas dasar pertimbangan matang dan keputusan diri sendiri untuk
menghadirkan generasi penerus kehidupan?
Berkaca pada diri sendiri. Saya saja saat ini kalau badan
sedang sakit, entah sakit gigi atau PMS, dengan mudahnya saya uring-uringan dan
bad mood. Kewajiban belajar sebagai
mahasiswa pun bisa saya abaikan dan kesampingkan jika badan dan perasaan sedang
tidak enak. Apalagi ketika badan dan perasaan sedang tidak enak lalu harus
melayani kebutuhan orang lain. Terlebih melayani kebutuhan bayi mungil-rentan,
yang hidupnya amat bergantung pada pengasuhnya.
Saya juga masih ingin bermain-main, jalan-jalan dan bisa
membeli barang-barang yang saya inginkan. Berada di keluarga dengan kelas
sosial ekonomi menengah, membuat saya belajar membuat prioritas mana yang butuh
saya beli, mana yang hanya saya inginkan semata. Termasuk memikirkan bagaimana
orang tua saya memenuhi kebutuhan dua anak yang lainnya. Kondisi saya saat ini
memberi kemungkinan pada saya untuk sesekali menggunakan uang untuk
bersenang-senang.
Coba bayangkan jika dalam keadaan diri masih ingin
bersenang-senang, masih ingin membeli hal-hal yang diinginkan, masih ingin
memuaskan dan menyenangkan diri sendiri, lalu memiliki anak. Uang yang
semestinya bisa dipakai untuk bersenang-senang sendiri harus dibagi dua bahkan
dialihkan untuk kebutuhan bayi kecil. Ditambah lagi uang untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja banyak,
apalagi untuk memenuhi kebutuhan tersier?
Berkaca pada pengalaman ibu dan beberapa sepupu yang menunda
usia pernikahan hingga masuk ke usia dewasa madya (25-30 tahun). Membuat mereka
tidak hanya matang secara usia, tapi juga matang sebagai seorang individu maupun
sosial-ekonomi.
Ibu saya menikah di usia 29 tahun dan memiliki anak pertama
di usia 30 tahun. Suatu hal yang aneh untuk orang-orang kebanyakan di tahun
1990-an. Ia menikah setelah berpacaran 6,5 tahun, setelah lulus kuliah dan
bekerja, setelah bertemu dengan beragam orang dari berbagai negara. Sewaktu
kecil saya melihat ibu saya cenderung lebih tua dan tidak se-fashionable ibu-ibu teman sekolah saya
yang mayoritas berasal dari kalangan menengah atas.
Dulu saya juga berpikir ibu saya kolot dan
tidak mengikuti perkembangan jaman.
Namun setelah melewati masa remaja yang penuh krisis dan
mempelajari psikologi, saya jadi menyadari kualitas pola asuh dan penanaman
nilai beliau sehingga membentuk pribadi saya seperti yang hari ini.
Ibu mendidik saya dengan nilai-nilai hasil refleksi dan
internalisasi diri atas pengalaman hidup yang telah ia peroleh. Ibu tidak
mendidik saya dengan “kata orang” atau “kata masyarakat”.
Ia memfasilitasi dan
memberikan ruang pada saya untuk mengenali dan menjadi diri sendiri. Meskipun
prosesnya pun tetap tidak mudah. Bahkan ketika ia sedang memarahi atau
menegakkan peraturan, ia tetap bertanya pada saya “kalau kamu merasa apa”,
“kalau menurut Anas bagaimana”.
Betapa saya merasa penting dan berarti sebagai seorang
individu.
Betapa saya merasa penting dan berarti untuk ibu yang
menghadirkan saya ke dunia ini.
Betapa ia mempedulikan saya sehingga pendapat dan perasaan
saya menjadi begitu berarti baginya.
Padahal dengan pola asuh seperti ini saja, saya masih mudah
merasa minder, tidak percaya diri dan tidak merasa dipedulikan (ini mungkin
kontribusi pengalaman di kandungan dan posisi sebagai anak pertama yang hanya
berjarak 1,5 tahun dengan adik).
Untuk setiap nilai-nilai hidup; nilai-nilai religiusitas maupun
nilai-nilai budaya pun ia filterisasi terlebih dahulu sebelum diajarkan kepada
anak-anaknya. Tidak ada nilai di budaya atau masyarakat yang ia berikan
mentah-mentah kepada anak-anaknya.
Pengaruhnya sangat signifikan terasa ketika saya memasuki
usia dewasa awal seperti ini. Menyadari
banyak orang hidup karena “kata orang”, “kata keluarga”, “kata
masyarakat” tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal “apa kata dirinya sendiri tentang dirinya”.
Menjadi ibu bukan
hanya semata-mata melahirkan, merawat dan memberi makan seorang anak. Ibu
memasukkan keseluruhan diri (self
ibu); penghayatannya tentang diri dan lingkungan dalam interaksi dengan anak.
Pada akhirnya hal ini akan terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri (self) anak juga.
Kalau ibunya saja belum yakin dengan dirinya, dengan
lingkungannya. Belum matang dalam menyikapi diri dan lingkungannya. Belum yakin
dengan berbagai arus nilai-nilai hidup
yang berseliweran di sekitarnya. Bagaimana ia dapat mendidik anaknya untuk
menjadi pribadi yang kokoh, solid dan matang? Pribadi yang berkualitas dan
berkompeten untuk berkompetisi di dunia global sekarang ini?
Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana
mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik?
Ibu berhutang pada masyarakat, sebab anak yang ia didik merupakan
bagian dari masyarakat yang akan hidup dan berkembang di masyarakat.
(R.A. Kartini, 1902)