Mengapa melompat?
Karena dalam kebebasan gravitasi aku mencintamu yang tak dipahami oleh orang lain
Dan aku lebur tak kasat mata
Tak akan ada yang pernah tahu
"Pemerintah telah terjebak pada kenikmatan pengiriman TKI PRT ke luar negeri. Hasilnya, pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan" - Jumhur
Surat kabar Malaysia The Star (8/2/2012) yang mengutip informasi dari Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing Malaysia (PAPA), memberitakan bahwa aliran kedatangan maid atau pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia secara resmi akan dimulai lagi bulan maret 2012.
Keputusan pengiriman diatas merupakan usaha pengiriman resmi pertama semenjak penghapusan moratorium pengiriman PRT oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bali pada Desember lalu.
Walau belum ramai yang membicarakan hal ini di Malaysia, agak-agaknya keputusan ini akan menjadi berita baik bagi para calon majikan di Malaysia dan calon pekerja asal Indonesia yang sudah saling ketergantungan.
Indonesia memang dikenal sebagai pemasok utama tenaga kerja PRT di Malaysia, selain negara Filipina dan Kamboja. Namun selama 2 tahun ini, banyak kesempatan PRT Indonesia yang telah diambil alih oleh tenaga kerja asal Kamboja akibat kekosongan PRT resmi asal Indonesia.
Menariknya, walau sempat terjadi kelangkaan PRT resmi atau legal selama dua tahun, permintaan akan tenaga kerja Indonesia di sektor ini tetaplah tinggi. Tingginya permintaan di bidang ini di sebut-sebut disebabkan oleh kesamaan budaya yang memudahkan komunikasi dan adaptasi antara majikan dan pekerja, bahkan adaptasi antara pekerja dan anak majikan.
Ketergantungan yang sudah ada ini tentu memaksa kedua pemerintah untuk memecahkan kebuntuan hal ini.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang di kutip Kompas (4/1/2012), Indonesia hanya akan mengirim PRT yang masuk kategori pekerja formal. Artinya pekerja-pekerja PRT yang akan datang Maret ini akan mendapat pengakuan jam kerja, ibur, gaji minimum, perlindungan sosial seperti asuransi dan jaminan keamanan.
Jika hal diatas diterapkan dan di monitor secara serius seperti yang di beritakan (biasanya awalnya aja..) maka PRT Indonesia akan semartabat dengan PRT asal Filipina yang selama ini terkenal didukung dan dilindungi secara penuh oleh pemerintah Filipina melalui Kedutaan Besarnya.
Tentu, tuntutan diatas tidaklah tanpa imbalan. Pihak Malaysia juga mengharapkan PRT Indonesia mempunyai kualitas yang tinggi.
Presiden Asosiasi Pembantu Rumah Tangga Malaysia mengakatakan bahwa PRT yang datang ke Malaysia Maret ini harus lulus dari 200 jam pelatihan di Indonesia.
Permintaan diatas adalah wajar, karena banyak kasus kekerasan terhadap PRT Indonesia disebabkan hal-hal kecil, seperti tidak pahamnya bagaimana menyalakan mesin cuci dan menyalakan lampu.
Melihat situasi yang ada, rasa-rasanya pemerintah Indoensia akan terus mengirimkan TKI PRT ke Malaysia dalam bentuk dan status apapun. Pemerintah sudah terbuai nikmatnya mengirim TKI. Dengan mengirim TKI, tenaga kerja di Indonesia terserap dan tiap bulannya perputaran uang dari negara tujuan juga sangat kencang. Ini kenapa sampai sekarang TKI masih di sebut sebagai pahlawan Devisa. Jadi susah untuk benar-benar lepas dari mengirim tenaga kerja non-professional ke luar negeri.
Menurut kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat yang di kutip Media Indonesia (5/7/2011), sebelum dihentikan, pemerintah mengirim TKI PRT sebanyak 400 ribu per bulan. Sekarang, setelah memoratorium dihapus ada raturan ribu yang sudah menunggu untuk kembali ke Malaysia, seperti yang di kutip Jakarta Post (16/1/2012).
Ratusan ribu orang yang sudah menunggu untuk menjadi TKI PRT menunjukan dengan jelas kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja, kegagalan pemerintah memberdayakan manusia Indonesia dan kegagalan pemerintah memberdayakan TKI yang sudah kembali ke tanah air.
Mengirim TKI PRT seharusnya bukan menjadi sebuah hal yang abadi!
Diharapkan peta jalan (road map) pekerja domestik 2017 yang di garap kementrian tenaga kerja dan transmigrasi untuk menghentikan secara total pengiriman TKI PRT mengcakup bagaimana memberdayakan TKI PRT baik yang masih bertugas di luar negeri dan yang sudah kembali tanah air.
Menurut hasil pengamatan penulis terhadap sejumlah TKI yang sedang bertugas di Malaysia, banyak dari mereka mempunyai semangat, impian dan niat belajar yang tinggi. Banyak juga yang berkeinginan membangun Indonesia dengan kemampuan mereka.
Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi diharapkan bekerja sama dengan kementrian-kementerian lain (seperti kementrian pendidikan, keuangan, koperasi dan UKM, pembangunan daerah tertinggal, dll ) untuk memberdayakan para manusia indonesia ini.
Salah satu bentuknya adalah program pelatihan wira usaha, pentingnya menabung dan lain-lain yang serupa. Hal ini penting untuk mempersiapkan para pekerja ini dari sekarang, di negara kerja mereka, untuk siap bertahan hidup dan menjadi mandiri di Tanah Air. Dengan menjadi pengusaha, lapangan kerja diharapkan akan tumbuh dan dapat menyerap pengganguran yang ada.
Namun semua rencana diatas akal gagal jika tidak ada political will dari pemerintah pusat. Contohnya, adanya minat membuat usaha, tanpa dukungan stimulus bank dan daya beli masyarakat, sama saja bohong. Apakah pemerintah benar-benar ingin memberdayakan manusia Indonesia?
Apa lah jadinya nanti, yuk mari kita lakukan apa yang bisa kita lakukan sekarang!
Salam,
Felix Kusmanto
Tulisan ini juga di publikasikan di blog pribadi saya http://felixkusmanto.com/
Penulis: Jeffrey Meshel & Douglas Garr
Tahun terbit: 2005
Jumlah halaman: 256
ISBN: 1591840902
Judul: One Phone Call Away: Secrets of a Master Networker
Jangan bertanya apa keuntungan atau manfaat yang bisa kita dapatkan dari orang lain. Tanyakanlah, "Apa yang bisa saya bantu?"
aya
sadar saya bukan orang yang paling outgoing. Justru sebaliknya, saya
hampir-hampir hermitic, kerap menolak dengan sopan ajakan teman untuk
keluar rumah, untuk entah kumpul-kumpul, pesta dan lainnya. Saya juga bukan
orang yang paling banyak bicara, sebaliknya saya bisa jadi orang yang paling
diam di ruangan penuh manusia. Mungkin banyak yang akan bertanya: lho, kalau
keluar rumah saja jarang, bicara saja jarang, lalu bagaimana dengan kesempatan
saya melihat dunia luar, networking dengan teman baru, mencari
pengalaman lain? Eits, tentu saya melakukan itu semua, hanya saja bukan dengan
cara yang konvensional ("Halo! Saya Gilang, senang bertemu dengan anda!")
agian
yang paling membebani dari menjadi seorang introvert mungkin ini: diam dan
tenang kami kemudian diasumsi bermacam-macam oleh orang lain yang tidak
mengerti. Diam kami lalu diisi dengan judgment beragam, “dia marah ya?
Dia bete ya?“ Tidak. Hanya diam mencari sedikit kesunyian. Masa iya tidak boleh?
Dunia itu berisik. Saya percaya kata-kata ini, kalau menurut buku Quiet karya Susan Cain,
ekstrovert mendominasi 2/3 penduduk dunia (ataupun kalau bukan individunya, ya
pembicaraan mereka), jadilah kebanyakan dari perspektif dan cara pandang yang
berseliweran di dunia itu dari para ekstrovert. Standar
sosial di kultur kita juga biasanya adalah standar ekstrovert. Standar seperti,
kesopanan, misalnya: saya ingat selalu disuruh keluar kamar untuk menyapa dan
berbasa-basi ke setiap tamu yang datang ke rumah oleh orangtua saya. Atas nama
kesopanan. Sekalipun si tamu tidak ada kepentingan, bahkan kenal juga mungkin
tidak dengan saya. Nah, ini bagian sulitnya, ketika preferensi pribadi mesti dibenturkan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur. Dan kultur kita (serta kultur timur pada umumnya) punya luar biasa banyak detail soal interaksi sosial. Segalanya diatur, dan kita diekspektasi untuk mengikuti standar tersebut (apalagi saya tumbuh di kultur Jawa yang kental, yang segalanya mesti 'orang lain dulu, diri sendiri belakangan'). Padahal tidak bisa disamaratakan semua orang punya ruang gerak pribadi yang terbuka: yang setiap saat, setiap waktu harus mau dimasuki orang lain. Beberapa ada yang personal space-nya lebih terjaga, yang mesti dengan persiapan jika bertemu orang: tidak bisa spontan, tapi apa boleh buat.