Feb 5, 2012

Kultur Bicara dan Para Pendiam

Saya sadar saya bukan orang yang paling outgoing. Justru sebaliknya, saya hampir-hampir hermitic, kerap menolak dengan sopan ajakan teman untuk keluar rumah, untuk entah kumpul-kumpul, pesta dan lainnya. Saya juga bukan orang yang paling banyak bicara, sebaliknya saya bisa jadi orang yang paling diam di ruangan penuh manusia. Mungkin banyak yang akan bertanya: lho, kalau keluar rumah saja jarang, bicara saja jarang, lalu bagaimana dengan kesempatan saya melihat dunia luar, networking dengan teman baru, mencari pengalaman lain? Eits, tentu saya melakukan itu semua, hanya saja bukan dengan cara yang konvensional ("Halo! Saya Gilang, senang bertemu dengan anda!")

Tertutup? Pemalu? Menarik diri? (atau yang lebih parah) Egois? Sombong? Wah, tidak terhitung banyaknya label yang diberikan social circle kepada saya, tapi satu label yang paling bisa saya terima adalah introvert. Percayalah, saya bukan alien dari planet lain, hanya introvert (walau memang ekstrem, Introversion saya selalu di batas tertinggi kalau dites berbagai self-report, dari Big Five, 16PF, MBTI ataupun Keirsey Temperament Sorter. Selalu mentok. Pas. Maksimal.)

Seperti yang diutarakan di atas, sejak kecil introversi saya dianggap agak 'aneh', saya pun diberi label macam-macam. Padahal, saya sendiri melihat wajar-wajar saja: social skills saya tidak rusak, interaksi saya normal, tidak agoraphobia, bukan juga antisosial yang diam-diam menyimpan dendam pada masyarakat (lalu membunuhi mereka, seperti kasus penembakan di Columbine atau kampus Virginia Tech, eh kok jadi serem), dan yang terpenting: PASTI bukan saya sendiri yang memiliki preferensi untuk menyenangi kesunyian dan waktu untuk berdiam diri. Bias kepada kami para introvert, mungkin sedikit banyak terjadi karena masalah kultur. Kultur kita adalah kultur bicara, kultur 'makan-tidak-makan-asal-kumpul', kultur nongkrong, kultur arisan. Masyarakat kita menjunjung tinggi kolektivitas, bukan individualitas. Dari sini kemudian muncul bias terhadap mereka yang punya preferensi lain. Nah, kalau judulnya saja sudah kultur, berarti tidak bisa dilawan dan sedikit banyak harus dihormati. Saya sendiri sesekali mengalah dan meninggalkan preferensi pribadi demi terjaganya hubungan interpersonal atas nama tradisi dan kultur: menghadiri pesta, nongkrong bareng, ikut arisan, reunian dan segala macam social events lain. Walau kalau disuruh memilih, saya lebih senang keep-in-touch dengan teman/keluarga lewat cara yang lebih personal, lebih tenang dan tidak kolosal nan epik seperti kumpul-kumpul itu.

Bagian yang paling membebani dari menjadi seorang introvert mungkin ini: diam dan tenang kami kemudian diasumsi bermacam-macam oleh orang lain yang tidak mengerti. Diam kami lalu diisi dengan judgment beragam, “dia marah ya? Dia bete ya?“ Tidak. Hanya diam mencari sedikit kesunyian. Masa iya tidak boleh? Dunia itu berisik. Saya percaya kata-kata ini, kalau menurut buku Quiet karya Susan Cain, ekstrovert mendominasi 2/3 penduduk dunia (ataupun kalau bukan individunya, ya pembicaraan mereka), jadilah kebanyakan dari perspektif dan cara pandang yang berseliweran di dunia itu dari para ekstrovert. Standar sosial di kultur kita juga biasanya adalah standar ekstrovert. Standar seperti, kesopanan, misalnya: saya ingat selalu disuruh keluar kamar untuk menyapa dan berbasa-basi ke setiap tamu yang datang ke rumah oleh orangtua saya. Atas nama kesopanan. Sekalipun si tamu tidak ada kepentingan, bahkan kenal juga mungkin tidak dengan saya. Nah, ini bagian sulitnya, ketika preferensi pribadi mesti dibenturkan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur. Dan kultur kita (serta kultur timur pada umumnya) punya luar biasa banyak detail soal interaksi sosial. Segalanya diatur, dan kita diekspektasi untuk mengikuti standar tersebut (apalagi saya tumbuh di kultur Jawa yang kental, yang segalanya mesti 'orang lain dulu, diri sendiri belakangan'). Padahal tidak bisa disamaratakan semua orang punya ruang gerak pribadi yang terbuka: yang setiap saat, setiap waktu harus mau dimasuki orang lain. Beberapa ada yang personal space-nya lebih terjaga, yang mesti dengan persiapan jika bertemu orang: tidak bisa spontan, tapi apa boleh buat.


Jadilah para introvert memang mesti dengan lapang dada mengikuti aturan-aturan sosial itu, terlebih di kultur yang tukang ngumpul ini, yang segalanya gotong royong, bahu-membahu, dan atas nama solidaritas ini. Sedikit annoying memang, tapi mau apalagi, toh by default, manusia itu makhluk sosial. Maaf kalau sedikit naif dan simplistik, tapi lagi-lagi penyesuaian diri memang penting. Banyak orang menganggap remeh yang namanya personal space dan energi interaksi, padahal ini penting. Kalau memang bisa, beri sedikit aturan pada hidup pribadi, ini lebih baik daripada mesti tiap hari berpura-pura, pasang senyum palsu, bicara basa-basi, padahal dalam hati dan kepala, "capek banget nih." Saya sering membuat kesepakatan dengan teman-teman mengenai 'jadwal-tidak-mau-diganggu' saya. Di waktu-waktu tersebut, saya tidak mau menerima telepon, email, atau bentuk komunikasi apapun. Saya rasa pembatasan saya itu masih cukup wajar (untuk konteks Indonesia, yang terlalu individual sedikit saja biasanya dibilang egois.) Tapi kalau sampai berlebihan, ekstrem menutup diri juga agak mengganggu sih, terlalu reclusive. Rasanya kok seperti berteman dengan Batman, misterius banget.

Tulisan ini bukan justifikasi perilaku saya (lagian juga apa yang mau dijustifikasi, jadi introvert kan bukan kriminal). Introvert-ekstrovert ini sebenarnya teori super jadul, tapi agak lucu hingga sekarang beberapa orang masih belum mengerti kontinuum sederhana ini (iya, bahkan mereka yang kuliah psikologi), entah memang tidak tahu, memilih untuk taken-for-granted, atau apalah yang jelas saya tergelitik, karena jarang yang membicarakan ini dalam konteks budaya Indonesia. Yang lebih mengagung-agungkan mereka yang ceplas-ceplos, serba terbuka dan banyak bicara, mereka ini lalu diasosiasikan dengan hal-hal positif: menyenangkan, ramah, ceria. Sedangkan kita yang lebih tenang diasosiasikan lebih 'buruk': terlalu serius, cemberut, bahkan ya itu tadi, egois atau sombong. Kalau kami para introvert bisa mengerti aturan dan kultur yang serba ekstrovert ini, inginnya sih kami dimengerti balik.


Anggap saja tulisan ini menyuarakan suara para introvert lain yang mungkin enggan angkat bicara. Jangan khawatir, kami tidak selamanya diam: teman-teman introvert saya banyak yang luar biasa dalam public speaking dan performance kok, bahkan yang cerewet di keseharian pun ada. Dan kalaupun kami tidak bicara secara kasat mata di depan orang banyak: banyak introvert yang memilih mengkompensasi itu lewat cara lain. Menulis, komposisi lagu, melukis, atau menikmati hal individual lain-lain, yang jelas ujungnya kan bicara, dan itu tidak mesti lewat mulut.




*Introversi itu beragam bentuknya, bahkan masih jadi perdebatan sampai sekarang. Kalau diatas saya bicara soal personal space dan energi dalam berinteraksi, itu cuma salah dua model introversi yang paling dikenal. Banyak buku dan artikel berseliweran mengenai kontinuum ekstrovert-introvert. Walau saya sih belum menemukan yang menyangkutkan ini dengan konteks budaya kita.

4 comments:

Anastasia Satriyo (Ning's House) said...

I'm introvert too in certain way. Tulisan ini cukup komprehensif menurut gw, Lang. Thanks ya udah berbagi tentang dunia lu.

gilang! said...

Sama2, nas :-)
Cuma cerita dikit tentang introvert di kultur kita yang ekspektasinya selalu ngumpul dan nongkrong. Hehehe. (sampai kadang jadi 'beban mental' sendiri kalo gue izin ke orang2 untuk gak ikut ngumpul)

Unknown said...

ketika kita diharapkan menerina mereka yg suka ngumpul tapi mereka tak menerima kita yang suka menyendiri. disitulah masalah berat timbul di dunia kerja saya..

Unknown said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...