Apr 24, 2012
Sanubari Jakarta: Deret Cerita Kaum Minoritas
Tidak banyak film Indonesia yang secara gamblang mengangkat tema homoseksual, atau bahkan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Film-film seperti Arisan!, Arisan 2, Catatan Harian si Boy, atau Minggu Pagi di Victoria Park memang menyelipkan isu percintaan sesama jenis namun hanya sebagai tumpangan semata, atau malah sebagai bahan lelucon. Sebenarnya, isu LGBT adalah "hal yang lumrah" di tengah kota metropolitan yang bergerak cepat seperti Jakarta. Mungkin adanya pandangan tabu, ditambah dengan berbagai organisasi massa yang seakan polisi moral, membuat perasaan tidak aman untuk membuat film bertema LGBT. Namun kini, ada Lola Amaria yang berani memproduksi film omibus yang berisi 10 film pendek yang digarap oleh para sutradara muda berbakat. Ya, ke-10 film pendek ini akan mengupas habis dinamika kaum LGBT di konteks kota Jakarta, dalam film Sanubari Jakarta.
Sepuluh film pendek dengan semangat indie yang masing-masing berdurasi kurang lebih 10 menit ini dengan tajam dan to the point mengangkat dinamika dan kesulitan kaum LGBT yang hidup di Indonesia dengan paradigma ke-timur-annya. Masing-masing film pendek cukup fokus dalam membahas setiap komunitas; baik dari lesbian, gay, bisexual, dan transgender. Tidak saja menempatkan isu LGBT di budaya Timur yang masih memandang tabu orientasi seksual komunitas ini, tetapi juga diletakkan dalam konteks kota Jakarta yang keras karena himpitan ekonomi, sekaligus glamour namun penuh dengan tipu daya.
Apr 21, 2012
Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen
Suatu siang ketika tubuh terasa penat karena beratnya beban di punggung, seorang teman menyapa hangat. Matahari di luar bersinar sangat terik, membuat udara panas seakan menggigit kulit. Sinar remang sebuah restoran menjadi saksi bisu pertemuan kami yang tidak disengaja, ketika akan memenuhi kebutuhan utama manusia. Perut seakan meronta, meminta makanan untuk dicerna. Namun kami masih bertegur sapa. Ketika senyum dan kata hampir habis, ia memanggil sekali lagi dan menyerahkan sebuah buku ke tangan saya.
Banyak cara untuk menulis cerita pendek (cerpen). Banyak
juga gaya penulisan dalam cerpen, yang semuanya memiliki ciri khas dan keunikan
masing-masing. Dari keunikan yang berbeda, ada pesan dan kesan khas tertentu
pula yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sebuah buku tentang cara menulis cerpen diberikan kepada
saya sekitar dua bulan lalu. Sampul buku tersebut tertulis “Catatan Kecil
Tentang Menulis Cerpen”. Buku ini ditulis oleh Jakob Sumardjo, terbitan Pustaka Pelajar.
Dalam buku setebal 235 halaman ini, Jakob Sumardjo berusaha
untuk menyampaikan dengan jelas bagaimana seharusnya cerpen ditulis. Untuk
pemula, sangat banyak tips yang dapat dipelajari dari buku ini. Jakob Sumardjo
menjelaskan hal-hal esensial dalam cerpen dengan jelas, disertai dengan contoh.
Misalnya saja, Jakob Sumardjo menjelaskan mengenai buku
penuntun yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penulis. Di samping buku
acuan, dijabarkan juga beberapa kelemahan umum yang dilakukan oleh para pemula
dalam membuat cerpen, seperti pembukaan cerpen, komposisi, bahasa yang
digunakan, dan judul.
Buku ini juga menjelaskan bagaimana menyusun cerpen yang
menarik, namun tidak bertele-tele. Penggunaan bahasa dalam cerpen yang
disarankan juga merupakan bahasa yang dapat membuat pembaca langsung mengerti
makna yang dimaksud oleh penulis. Pesan yang ingin disampaikan oleh penulis
harus dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca. Sebagai contoh, paragraf singkat di awal tulisan ini merupakan contoh dari kalimat yang bertele-tele, yang dimaksud oleh Jakob Sumardjo.
Pesan yang disampaikan oleh penulis buku ini
adalah kejernihan pikiran dan ketepatan bahasa dalam menulis sebuah cerpen. Penulis
biasanya memulai tulisannya dengan menggebu-gebu, lalu kemudian mengakibatkan
tulisannya menjadi tidak bermakna di alinea-alinea berikutnya. Karena inilah
Jakob Sumardjo juga menyarankan agar penulis sering berlatih dan melakukan
pemanasan menulis sebelum benar-benar memulai suatu tulisan.
Selain tips untuk para penulis cerpen pemula, Jakob Sumardjo
juga menyampaikan beberapa catatan mengenai karya sastra. Karya sastra lain
yang dibahas adalah novel, novelet, dan roman. Fiksi sastra juga tidak lupa
dibahas secara mendalam oleh penulis buku ini.
Singkat kata, buku ini memberikan poin dan tips penting bagi
para penulis cerpen, yaitu bahwa untuk menjadi penulis cerpen yang baik,
dibutuhkan latihan terus menerus. Tidak ada hal yang instan untuk sebuah karya
yang memuaskan. Ditambah lagi, penulis cerpen juga harus terus memperluas
wawasan dan pengetahuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak membaca dan
belajar dari berbagai sumber. Dengan kata lain, penulis cerpen harus terus
memperkaya diri dan berlatih, untuk menghasilkan karya yang luar biasa.
Apr 8, 2012
Aung San Suu Kyi dan Paskah
Beberapa hari terakhir ini film The Lady yang menceritakan tentang potret kehidupan Aung San Suu Kyi ditayangkan di bioskop. Pada hari Sabtu kemarin, saya menontonnya bersama keluarga. Saya tidak tahu seberapa banyak orang Indonesia terutama teman-teman seusia saya yang familiar dengan Aung San Suu Kyi. Kisah hidupnya layak menjadi bahan permenungan bagi kehidupan kita.
Sebelum menonton film ini, saya mengenalnya sebatas artikel di harian Kompas yang beberapa kali memuat berita tentang beliau dalam kilasan kawat dunia. Beliau identik dengan gerakan pro-demokrasi di Myanmar. Beliau menjadi oposisi junta militer yang saat ini berkuasa di Myanmar dan sebagai lawan politik, ia sering menjadi tahanan rumah bahkan penjara.
Ia begitu konsisten berjuang untuk hak asasi, kesetaraan dan kehidupan yang lebih beradab di Myanmar melalui jalan damai. Berbagai foto Aung San Suu Kyi yang muncul di koran selalu menunjukkan wajahnya yang tersenyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajah.
Entah kekuatan apa yang memberinya daya...
Entah apa yang terbersit dalam dirinya untuk melakukan pengorbanan sebesar itu. Meninggalkan kehidupan aman, tentram dan nyaman di Oxford, Inggris sebagai istri dari dosen, profesor dan peneliti, Michael Aris bersama dua anak laki-laki mereka. Pada tahun 1988 ia kembali ke Rangoon, ibukota Myanmar.
Berawal dari mengunjungi ibunya yang sedang stroke, kehadirannya kembali di tanah kelahirannya menjadi tonggak pergerakan baru di negara yang diktator untuk gerakan pro-demokrasi.
Ia anak dari Jenderal Aung San yang memerdekakan Myanmar dari penjajahan Inggris. Namun ayahnya dibunuh ketika usianya baru menginjak dua tahun. Semenjak itu, ia dibesarkan oleh ibunya yang juga mengambil alih kepemimpinan partai politik.
Selepas SMA, Aung San Suu Kyi berkuliah di Oxford University, Inggris dan mendapat gelar B.A. untuk filsafat, politik dan ekonomi. Timeline hidupnya secara lengkap dapat dilihat di situs Nobel Prize ini.
Singkat cerita, menonton film ini di pekan Minggu Suci yang berpuncak pada perayaan Paskah membuat saya merasa Aung San Suu Kyi merepresentasikan santa atau martir di zaman ini.
Kesungguhan hatinya,
Kegigihannya,
Kesabarannya,
Kerelaannya berkorban
Dan cintanya yang begitu besar pada bangsa dan tanah air.
Meski demi mewujudkan cinta dan cita-cita tentang bangsanya ia harus rela berpisah belasan tahun dari suaminya. Ia tak dapat mendampingi langsung tumbuh kembang anak-anaknya. Bahkan ia tak dapat mendampingi suaminya di akhir hayat hidupnya.
Betapa orang-orang yang dikasihinya dijauhkan darinya demi menggoyahkan misi dan niat mulianya untuk keadilan dan kedamaian di Myanmar.
Entah pergumulan hidup seperti apa yang ia rasakan pada titik-titik hidup di mana ia harus memilih antara keluarga dan negaranya. Pergumulan Yesus di Taman Getsemani yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan Aung San Suu Kyi. Getir kebingungan dan kekalutannya tergambar melalui ekspresi dan bahasa tubuh Michelle Yeoh yang sangat apik berperan sebagai Aung San Suu Kyi.
Sedih, getir dan kalut yang tak terkatakan. Sekaligus cinta yang tak terkatakan namun dibuktikan sehingga banyak orang perlahan dapat mengalami buah-buah dari perjuangan dan pengorbanannya.
Bukan perjuangan yang instan memang, perjuangan yang hasilnya baru terlihat setelah belasan tahun. Namun berawal dari kesediaan dan komitmen Aung San Suu Kyi untuk berjuang hingga kematian, seperti yang sudah dilakukan ayah dan ibunya bagi negaranya.
Ia juga menunjukkan sisi keibuan, kasih dan kelemahlembutan yang mengingatkan saya pada sosok Bunda Maria. Seorang perempuan yang berani berkata “Ya” pada rencana Allah meski ia tak tahu apa yang akan dihadapinya. Seorang perempuan yang pasrah dan berserah namun tetap berusaha memberi yang terbaik. Seorang ibu yang harus rela melihat putra yang dilahirkan dan dibesarkannya disiksa dan mati di kayu salib.
Konon, orang baru tahu rasanya menjadi ibu jika sudah menjadi ibu. Paling tidak kalimat “sakti” ini yang sering ibu saya utarakan pada saya jika saya protes akan suatu hal yang menurutnya penting untuk diusahakan.
Jika melihat bayi kecil jatuh, digigit nyamuk atau sakit saja rasanya tidak rela...bagaimana rasanya tercabik-cabik melihat anak yang dikandung dan dibesarkan harus mati di kayu salib dengan disiksan dan dihujat banyak orang?
Banyak hal masih misteri terlebih jika menyangkut cerita yang konon terjadi dua ribu tahun yang lalu.
Namun pesan-pesan perdamaian, kasih dan ketulusan hidup melalui pengorbanan dan perjuangan pada nilai-nilai luhur nampaknya masih berguna bagi kehidupan saat ini. Di era milenium ini, perjuangan ini dapat direpresentasikan oleh sosok Aung San Suu Kyi.
Tak ada manusia yang sempurna. Namun sosok Aung San Suu Kyi dapat menjadi salah satu inspirasi masa kini untuk menyadari makna kehidupan dan transendensi dalam setiap aspek kehidupan. Dunia politik yang tampaknya kotor bagi banyak orang dapat menjadi sarana bagi Suu Kyi untuk menunjukkan bakti, cinta dan pengorbanannya pada bangsa dan negara, pada kesetaraan hak asasi manusia, pada perjuangan membela martabat kehidupan.
Pada akhirnya, bukankah perjuangan terhadap kesetaraan martabat kehidupan dan kemanusiaan merupakan hal yang selalu didengungkan oleh gereja?
Maka di zaman ini jika kalimat “Mewartakan Kerajaan Allah dan kabar gembira” selalu dimaknai untuk menciptakan sebanyak-banyaknya pengikut Kristus agaknya terlalu sempit. Berbagai metafora, perumpamaan, analogi dan ekspresi bahasa yang terdapat di dalam Kitab Suci tidak terlepas dari konteks budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum pada zaman si penulis Kitab Suci. Terlebih kitab suci yang mengalami proses penerjemahan bahasa berkali-kali tentu mengalami perbedaan atau penurunan makna akibat ekspresi bahasa dan pemaknaan.
Masih relevankah kita menggunakan dogma sebagai kaca mata untuk melihat kehidupan?
Bisakah kita membuka mata pada inspirasi keilahian (transendensi) yang masih dan sebenarnya ada di kehidupan kita sehari-hari? Bahkan melalui sosok Aung San Suu Kyi yang notabene bukan penganut agama Nasrani.
“I see God in every human being” (Mother Teresa).
Selamat Paskah!
Di waktu yang bersamaan dengan dipublikasikannya film The Lady, Aung San Suu Kyi pada tahun ini diperbolehkan mengikuti Pemilu dan menjadi kandidat untuk bergabung dalam parlemen Myanmar. Kelanjutan sepak terjangnya di dunia politik masih akan kita saksikan dalam hari-hari yang akan datang.
Gambar dipinjam dari sini
Subscribe to:
Posts (Atom)