Pemberitaan media massa beberapa hari terakhir terkait
reaksi para mahasiswa akibat kenaikan BBM, membuat saya merasa pemberitaan
media seolah-olah menjadikan mahasiswa sebagai suatu kelompok yang sejenis.
Segala tuntutan dan harapan masyarakat terhadap
mahasiswa yang dianggap sebagai ujung tombak pergerakan bangsa dan perwakilan
kaum intelektual disertai tuntutan untuk berpikir kritis tampaknya perlu dikaji
kembali.
Mengapa?
Jika dilihat alur
kronologisnya, maka mahasiswa merupakan suatu tahapan yang dilalui oleh seorang
individu setelah lulus dari jenjang SMA. Ketika tahapan ini dilalui layaknya
menaiki eskalator, maka tidak akan ada perubahan berarti jika siswa SMA yang
kemudian menjadi mahasiswa hanya menjalani saja tanpa memaknai betul arti dan
peran sebagai mahasiswa. Perubahan peran dari siswa menjadi “maha”siswa tak
ubahnya suatu rutinitas seperti makan tidur yang dijalani begitu saja. Lalu
bagaimana mungkin mengharapkan ada perubahan yang signifikan jika si mahasiswa
sendiri tidak menyadari peran, di mana ia berada dan untuk apa ia menjadi
mahasiswa?
Karakteristik mahasiswa
zaman ini tentu berbeda dari generasi mahasiswa yang lalu, bahkan berbeda dari
generasi mahasiswa ’98. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan ini, antara
lain perbedaan situasi zaman yang dihadapi, paparan sosial media dan teknologi
serta tingkat ekonomi orang tua.
Dari perbedaan ini pun,
kondisi mahasiswa zaman sekarang tidak dapat dipukul rata. Bagaimana pun juga
mereka adalah individu-individu yang minimal telah delapan belas tahun lebih
mengalami pembentukan dan sosialisi di lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat mereka selama ini.
Perguruan tinggi
menerima para lulusan SMA setelah mereka mengalami pembentukan dan sosialisasi
tersebut. Bersamaan dengan proses pendidikan mereka di perguruan tinggi,
mahasiswa juga tetap berinteraksi dengan keluarga, teman, dan lingkungan
masyarakat lainnya.
Jika di hari-hari ini
kita prihatin dengan aksi mahasiswa yang anarki, tampaknya perlu juga melihat
bagaimana orang-orang dan lingkungan tempat mereka dibesarkan selama ini.
Sekolah yang mereka jalani selama ini hingga ke perguruan tinggi, lingkungan
pergaulan apa yang mereka miliki dan bagaimana selama ini mereka berinteraksi
di dalam lingkungan-lingkungan tersebut. Dengan demikian label “mahasiswa yang
anarki” tidak dimaknai bahwa perilaku anarki tersebut muncul karena mereka
mahasiswa dan karena mereka terdaftar sebagai mahasiswa di suatu perguruan
tinggi tertentu.
Sebab, banyak juga mahasiswa
yang memilih untuk menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri melalui prestasi
di berbagai bidang seperti perlombaan karya ilmiah mahasiswa, PKM-DIKTI,
perlombaan penerapan teknologi LSI di Okinawa, perlombaan bussines plan tingkat
internasional yang diselenggarakan oleh Danone serta terjun langsung dalam
bidang pengabdian masyarakat dengan mengajar di rumah singgah, membuat kegiatan
pemberdayaan masyarakat dan lingkungan atau pelatihan bagi anak-anak
pra-sejahtera seperti yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta di bawah Yayasan Putra Bahagia.
Pada akhirnya,
mahasiswa merupakan potret dari dinamika dan keragaman masyarakat itu sendiri.
Mahasiswa memang dipandang sebagai kaum intelek dan calon cendekiawan muda.
Posisi sebagai mahasiswa sebenarnya adalah posisi prestises yang setiap
tahunnya hanya mampu dinikmati oleh lima juta orang dari keseluruhan populasi masyarakat
Indonesia sebesar 273 juta penduduk (“Inilah Lima”, 2011). Berdasarkan
pengamatan di lapangan, bagi kalangan
mahasiswa sendiri, saya meragukan mereka sungguh tahu dan menyadari apa arti
peran dan posisi mereka di dalam piramida penduduk Indonesia. Sedangkan bagi kalangan masyarakat lainnya,
menurut saya ada standar sangat tinggi yang diharapkan pada para mahasiswa.
Seakan-akan mereka adalah juru selamat bagi negara Indonesia yang sedang
carut-marut. Seakan melupakan bahwa mahasiswa juga bagian dari realita
masyarakat Indonesia.
Maka, walaupun ada lima
juta orang yang tercatat sebagai mahasiswa namun karakteristik, motivasi dan kiprah
mereka pun beraneka ragam. Tidak semuanya anarki, tidak semuanya juga
berprestasi dan memberikan kontribusi bagi lingkungan sekitarnya. Tidak semudah
itu melakukan dikotomi dan pengkotak-kotakan pada kelompok mahasiswa. Definisi
mahasiswa yang ada dan diharapkan masyarakat tampaknya tidak selalu dapat
memahami kompleksitas mahasiswa pada realitanya.
Sekali lagi, perlu
diingat bahwa mahasiswa juga bagian dari masyarakat Indonesia bukan suatu
kelompok anomali yang berdiri sendiri. Oh ya, mahasiswa sejatinya juga manusia
yang memiliki dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Selain mencoba memahami
mereka sebagai kelompok, pahami juga mereka sebagai individu.
Jika ada
tindakan-tindakan anarki ataupun prestasi yang mereka lakukan pandanglah
perilaku tersebut sebagai perilaku kelompok mahasiswa sekaligus tindakan
seorang atau beberapa individu yang memiliki nama dan identitas. Dengan
demikian, persepsi mengenai mahasiswa di benak masyarakat tak hanya satu warna saja,
entah merah, hitam atau putih saja.