Kali ini aku datang sendiri di tepian kolam tempat aku terbiasa menghiasnya dengan indah dan apik. Menghias sisi-sisi luar kolam agar kau mau singgah sejenak untuk duduk bersamaku di sini. Dalam kesendirianku, kusadari tepian kolam ini tak akan berarti lagi. Tak perlu pula aku berpeluh untuk menghiasnya. Malahan dalam kondisinya yang apa adanya, aku tergerak untuk berjalan lebih dekat pada air di tepian kolam.
Selama ini kukira tepian kolam ini sudah cukup indah. Sudah cukup bagi kita untuk duduk-duduk sambil memandang ke sekeliling. Air di dalam kolam itu jarang kuhiraukan. Padahal air ini ada terlebih dahulu sehingga muncullah kolam. Maka, kuberanikan diri untuk mencelupkan tangan pada air di tepian kolam ini.
Tampak ada riak-riak yang muncul akibat tanganku yang bergerak, memberikan energi pada kolam. Sebaliknya air di kolam menyambutnya dengan energi yang setimpal hanya bentuknya berbeda. Lalu riak-riak itu perlahan menghilang. Bersatu kembali dengan wujud tenang kumpulan air di kolam itu.
Aku gerakkan kembali tangan yang kucelupkan ke dalam kolam. Muncul kembali riak-riak lalu hilang... begitu seterusnya.
Pada riak-riak itu aku bercermin diri.
Tanganku hanyalah sebuah stimulus pelaku daya dorong. Seolah pemberi daya namun aku sebenarnya hanyalah perantara.
Perantara energi dari sumber energi itu sendiri.
Perantara cinta dari Sang Sumber Cinta sendiri.
Kali lain mungkin akan kau temukan perantara cinta lainnya.Sungguh tak ada yang berbeda. Secara substansial, kami sama. Namun mungkin saja di suatu waktu kamu juga menyadari. Bagaimanapun juga setiap perantara memiliki otentisitasannya masing-masing. Dan akhirnya kamu memutuskan untuk memilih. Bukan atas nama substansi,
Melainkan atas nama otentisitas.
Di suatu saat, mungkin kamu menyadari bahwa aku tak lain dan tak bukan adalah air yang merupakan bagian dari kolam. Yang dengan kumpulan energi membentuk tangan. Memberikan sapuan gelombang dan riak. Mendayungkan riak hingga berima seirama...
“CINTA!”, seru melodi dan abjad mencoba mendeskripsikan kolam yang sedemikian luasnya dalam satu kata.
Aku sangsi...
Satu kata itu mampu melukiskan kemahaluasan kolam ini.
Maka kubebaskan sekat-sekat itu...
Tak ada lagi nama, bentuk, embel-embel apalagi keharusan
Menjadikannya selalu setia pada esensi kolam: Penuh fleksibilitas, keindahan, kejernihan, kelenturan, keterbukaan...
Dan kemahaluasan
Untuk selalu mencoba mengenal kamu hari demi hari
Selapis demi selapis
Setahap demi setahap
Sedikit lebih dalam, lagi dan lagi
Yang kuyakin tak akan menemukan ujungnya...
Bahkan sampai nanti ketika kita kembali bersatu dengan kemahaluasan kolam ini.
Gambar diambil dari sini
No comments:
Post a Comment