Senyap itu kembali datang, ketika hujan urung bertandang dan jangkrik tertidur sebelum mengerik. Bukan, bukan sepi yang berisik. Bukan pula sepi yang memekakkan telinga. Tapi sepi yang kosong seakan ruang hampa udara ada di sekitarmu. Ia hanya tak berwujud dan enggan mewujud karena kosong telah lama menjadi wujudnya yang enggan kau kenali.
Pernah aku berteman dengan senyap, berkawan bahkan bergandeng tangan, tapi kemudian ia menghilang digantikan suara-suara yang enggan padam. Pernah aku berteriak, mencari dirinya di segala penjuru ruang, tak kudapat juga. Entahlah ia bosan atau bertemu teman barunya, yang jelas aku mulai tertawa di tengah riuh tawa dunia dan berteriak serta bersorak di dalam suasana gempita.
Tapi kali ini, di ruang yang hingar bingar oleh desis kipas angin dan kecakan cicak yang tak henti lewat, sang senyap memasuki ruangan membawa tatapan rindunya yang dalam.
Bukan aku tak siap dengan kedatangannya, bukan pula enggan menyambutnya. Hanya saja sudah lama tak kulihat perawakan menarik yang selalu kupandang asing ini. Lembut aroma rambutnya ketika tertiup angin menggetarkan jiwaku, hangat sentuhan tangannya yang seakan penuh kasih menghangatkan ariku. Setiap inci sentuhnya pernah tertinggal di masa lalu. Ya, dulu. Aku pernah begitu lama mengenalnya, bahkan pernah menjadi bagian dirinya. Aku mengenali setiap gerak-gerik tubuhnya, kerling matanya, senyum nakalnya, serta ide-ide yang ia bawa bersama otak cerdasnya. Aku mengenalnya lebih dari mengenal diriku sendiri. Aku bahkan pernah berpikir, mungkinkah senyap adalah diriku sendiri?
Senyap melangkah dengan penuh percaya dirinya, senyumnya terjepit di antara pipi, ia melangkah ke dekatku, menarik kursi dan.. Sst… senyap sekarang duduk di sebelahku, tepat sebelah kiri. Ia menatapku lamat-lamat, tatapan lekat yang seakan tak akan pernah beranjak. Tak hanya itu, ia menyondongkan tubuhnya ke arahku, harum wewangian kosongnya bisa kurasakan menjalar masuk ke dalam rongga hidungku. Hembusan nafasnya terasa hangat, di sini, di pipi kiriku ini.
Aku merasakannya. Ia Mendekat. Mendekat. Erat, melekat. Menyentuhkan bibirnya rapat ke bibirku, bibirnya terasa hangat dan empuk. Kami berciuman, ia meninggalkan kursinya dan bergerak ke arahku. Tangan kirinya merangkul pundakku, dan tangan kanannya menyentuhkan diri ke dadaku, menekan terus ke dalam dada. Aku tersentak, mataku terbuka lebar; jari-jari tangan kanan senyap menembus kulit dan tulangku. Ia mengambil sesuatu dari rongga dadaku. Entah apa. Aku bisa merasakan jarinya mengorek sesuatu, sesuatu yang keras. Sesuatu yang tersangkut tepat di dadaku. Sesuatu yang besar yang membuat nafasku tahun-tahun lalu kian memendek.
Jemari itu sekarang terasa menggenggam sesuatu, di kepalan tangan kanannya itu. sementara mataku… aku terbelalak begitu lebar, warna merah,jingga, kuning, dan hitam semua berputar dalam ruang pandang. Telah kulepaskan ciumanku. Kini mulutku ternganga sempurna. Aku gamang. Kehilangan makna, tak bisa menjelaskan rasa lewat kata. Tak terbayang di bumi ada aksara. Tak lama ditariknya tangan tersebut keluar dari dadaku, sebuah batu berwarna merah marun. Ya, sebuah batu Kristal berwarna merah marun. Aku terpana. Tapi hatiku dipenuhi perasaan lega. Nafasku panjang. Begitu lapang. Begitu tenang.
Aku masih bersender di bangkuku. Tidak berdaya, memandang ke arah sang senyap yang senyum nakalnya masih terlihat, di ujung sadarku yang mengelam, tak begitu lama kudengar tawanya membahana
“Halo teman lama, sudah lama kita tak berjumpa”
Masih di dalam warna jingga yang menghitam. entah terdengar atau tidak tapi hatiku berbisik lega:
“senyap, kini aku mengerti apa yang kurasa; engkau rinduku yang sempurna”. Dan bahana tawa senyap menyisakkan pusing di kepala sebelum akhirnya aku terjatuh ke tanah.
Senyap, terima kasih untuk kebebasan dari sesak.