Entah kenapa saya yang setengah Tionghoa ini sering
mempertanyakan tentang identitas saya. Identitas saya sebagai individu maupun
identitas dalam kelompok etnis, suku dan budaya. Perpaduan suku dan budaya
orang tua saya menjadikan saya berkembang dalam budaya hibrid. Ada nilai-nilai
suku dan budaya yang diwariskan. Namun tidak semua nilai-nilai tersebut serta
merta diteruskan di keluarga kami. Muncul budaya eklektik atau penggabungan
dari nilai-nilai tersebut. Terjadi transformasi nilai bahkan muncul nilai-nilai
baru yang berasal dari agama yang diyakini, proses pendidikan yang dialami
serta hasil refleksi dan pemaknaan terhadap hidup.
Saya menerimanya sebagai nilai-nilai di dalam keluarga kami.
Waktu kecil saya menerimanya sebagai nilai keluarga di mana antara satu
keluarga dengan keluarga yang lain bisa mempunyai nilai yang berbeda. Beranjak
besar saya baru menyadari bahwa proses ini tidak dialami oleh semua orang.
Sebagian orang menerima dan meneruskan saja nilai budaya yang diterimanya.
Tanpa proses reflektif sehingga mampu memfiltrasi bahkan mentransformasi
nilai-nilai tersebut menjadi lebih kontekstual dengan kehidupan masa kini.
Mungkin mengenai pewarisan nilai-nilai dalam keluarga secara khusus akan saya
buat pada tulisan berikutnya.
Kembali ke soal mempertanyakan identitas. Saya yang berkulit
sawo matang ini lebih merasa dekat dengan keluarga ibu saya yang keturunan
Tionghoa. Namun nilai-nilai Tionghoa tidak sepenuhnya ibu saya tanamkan dan
wariskan di keluarga inti kami. Mulai muncul pemahaman bahwa merasa dekat belum
tentu identik dengan suatu kelompok.
Kebingungan lain muncul ketika orang-orang bertanya “Anas,
kamu orang apa?”.
Sewaktu kecil saya akan menjawabnya dengan “Saya orang
Indonesia”. Namun jawaban seperti ini tampaknya tidak memuaskan banyak orang.
Sebab akan muncul pertanyaan lanjutan dari mereka “Iya, tapi kamu orang apa? Sukunya
apa?” ...
Sejak kecil, ibu saya menanamkan kepada tiga anak
perempuannya bahwa kami orang Indonesia. Menurut saya, ibu saya bahkan jauh
lebih nasionalis daripada ayah saya yang asli Jawa dan sering disebut sebagai
pribumi (native people of Indonesia).
Indonesia itu satu kesatuan dengan helaan nafas, satu kesatuan dengan tanah
yang kami pijak, satu kesatuan dengan eksistensi kami sebagai manusia.
Kemudian, walaupun dari kecil saya terbiasa memanggil
keluarga ayah dan ibu saya dengan sebutan yang berbeda saya tidak
sungguh-sungguh menyadari bahwa ini dikarenakan perbedaan suku. Sejak saya bisa
berceloteh saya memanggil orang tua ayah saya dengan sebutan eyang kakung dan
eyang putri dan memanggil orang tua ibu saya dengan sebutan Akong dan
Emak/Amak. Sama alaminya bagi saya
memanggil “Ayah” untuk ayah saya dan “Mama” untuk ibu saya.
Waktu kecil, saya tidak tahu apa itu Jawa dan apa itu Cina.
Yang saya tahu mereka adalah keluarga saya. Buat saya yang lebih esensial dalam
keluarga adalah kehadiran dan penerimaan, bukan labelisasi. Maka pertanyaan
orang-orang di sekitar saya tentang suku menjadi paparan pertama saya mengenai
isu identitas ini. Terlebih sampai saya SMP, saya jarang menemukan keluarga
yang campuran seperti saya.
Kemudian beranjak remaja dan bertemu dengan psikotes
beberapa kali, selalu ada kolom suku bangsa. Ketika saya bingung menuliskan apa
karena sebenarnya saya ingin menuliskannya dengan “Indonesia”, muncul arahan
dari tester bahwa kolom itu diisi
dengan suku dari ayah. Saat itu rasanya muncul penolakan dari dalam diri saya.
Apakah suku dari ayah serta merta menjadikan saya bagian dari suku itu? Serta
merta membuat saya mengadopsi semua nilai dari suku ayah saya? Padahal saya
lihat dan rasakan sendiri nilai-nilai di keluarga inti saya berbeda dari
nilai-nilai di keluarga ayah saya.
Lalu di masa sekarang ini, ketika ditanya saya orang apa lebih
sering saya menjawab dengan memaparkan fakta. “Ayah saya orang Jawa, ibu saya
keturunan Tionghoa. Tapi saya lahir dan besar di Jakarta”. Di tengah
persilangan kultural seperti ini, saya merasa lebih aman dan nyaman menghayati
diri sebagai orang Indonesia.
Bagi saya, Indonesia adalah rumah bagi semua suku dan etnis.
Bagi saya, Indonesia lebih memiliki fleksibilitas dan
penerimaan untuk orang campuran seperti saya.
Bagi saya, Indonesia yang terkenal dengan kebhinnekaannya
pasti bisa menerima keragaman saya yang belum tentu mudah dipahami oleh orang
lain.
Di titik ini, saya justru makin tergugah untuk menelusuri
kembali asal usul saya. Semakin tergugah untuk mempelajari sejarah bangsa serta
memahami bagaimana suku mempengaruhi pemaknaan identitas seseorang.
Dari ayah yang tidak mau mengajarkan bahasa Jawa dan pada
ibu yang tidak fasih berbahasa Mandarin, saya memutar haluan. Mempelajari
budaya Jawa melalui diri sendiri, buku dan lingkungan serta mempelajari bahasa
Mandarin melalui kursus. Namun ini saja tidaklah cukup.
Perhatian saya saat ini lebih mengarah pada kelompok
Indonesia Tionghoa yang sebenarnya juga merupakan bagian dari budaya hibrid.
Mereka adalah orang-orang yang berbeda dari orang Cina daratan, namun di sisi
lain dianggap berbeda pula dari orang-orang Indonesia pada umumnya.
Politisasi terhadap Tionghoa Indonesia mulai dari bahasa,
pelarangan kebudayaan, stigmatisasi, stereotipe hingga standar ganda
menyebabkan semakin muncul kegamangan terhadap identitas. Setiap kali melakukan
studi literatur tentang Indonesia Tionghoa terkait dengan skripsi saya, ada
bagian diri yang ikut terhanyut dan tergerak. Ada bagian diri yang ingin ikut
bersuara dan berkontribusi. Ada bagian diri yang menyadari betapa krusialnya
masalah ini.
Sebab identitas mencakup eksistensi manusia. Bagaimana
mungkin mengharapkan manusia dapat berkembang dan mengaktualisasikan diri
dengan maksimal jika identitasnya selalu terombang-ambing.
Maka, saya yang setengah Tionghoa ini tergerak untuk
menelaah, mengkaji dan menggumuli masalah ini lebih lanjut. Meskipun belum tahu
dengan cara apa dan bagaimana.
Saya berpendirian bahwa Indonesia Tionghoa adalah bagian
dari kebhinnekaan Indonesia yang seharusnya juga terfasilitasi untuk berkembang
optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan. Sebagaimana saya juga
ingin dapat berkembang optimal dengan aman, nyaman, penuh cinta dan penerimaan.
“Pernikahan sesama suku akan menghasilkan anak suku,
pernikahan antar suku akan menghasilkan anak bangsa”(Romo Ismartono, S.J.)
“Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua
bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu
kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu
yang keramat.
...Kesadaran Minke tergugat, tergurah dan tergugah, bahwa ia
adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa
bangsanya dan berbuat untuk
manusia-manusia bangsanya.” (Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer)