Kepada surga,
Pagi di suatu saat dalam hidupku, aku membuka mata dan kulihat dia ada di sana.
Di pagi-pagi tertentu kupikir dia terlihat seperti setengah hidup,
Di pagi yang lain, kulihat berkas-berkas harapan di matanya, tak pernah kurang dari yang dulu selalu kulihat.
Pagi di suatu saat dalam hidupku, aku membuka mata dan kulihat dia ada di sana.
Sekilas aku jadi bertanya-tanya, mungkinkah ia pernah berharap tak pernah lagi membuka mata?
Mungkinkah ia pernah merasa, dirinya hanya sekedar sampah tua?
Pagi di suatu saat dalam hidupku, aku membuka mata dan kulihat dia ada di sana.
Di pagi itu, wajahnya tampak memohon pertolongan. Sepertinya hidup baginya hanya sekedar bayangan masa lalu.
Di pagi yang lain, wajahnya bercahaya. Matanya terang seolah berkata ia bangga akan keberadaanku.
Pagi di suatu saat dalam hidupku, aku membuka mata dan kulihat dia ada di sana.
Pagi itu, sepertinya ia menyerah.
Tapi kuharap, di pagi yang lain ia akan tampak seperti seorang pejuang.
Lalu, pagi lagi.
Dan pagi lagi, dan lagi, dan lagi.
Lalu, kupikir akan ada pagi untuk selamanya. Esok, lusa, tiga hari lagi, selalu akan ada pagi.
Pagi di suatu saat dalam hidupku, aku membuka mata dan aku tidak melihatnya.
Kucari, kucari, aku berlari dan mencari.
Hilang. Begitu saja perginya.
Lalu, aku berpikir. Masih ada pagi. Tapi dia tak lagi di sana.
Aneh. Bukankah dia dan pagi selalu berpasangan?
Bukankah kalau kubuka mata, artinya pagi sudah datang, dan aku akan menemukannya lagi?
Aneh.
Kalau pasangannya tak ada, apa pagi akan tetap kusebut pagi?
Lalu, kupikir tak ada yang peduli.
Bagi mereka, pagi akan tetap pagi.
Dia juga akan tetap dia.
Bagiku, pagiku tak lagi sama.
Kepada surga,
Jika kau menemukannya di sana,
Tolong pastikan dia selalu ada bersama pagi.
No comments:
Post a Comment